Konflik Partai Politik dalam Lintasan Sejarah

Konflik partai politik di Indonesia merupakan fenomena klasik sejak orde lama dan orde baru. Pada era reformasi sekarang, kemelut parpol pun masih dipertontonkan oleh sekelompok elite. Kasus paling mutakhir adalah Partai Demokrat, terjebak dalam arus konfliktual yang menambah daftar panjang gonjang ganjing parpol di Tanah Air.

Agak jauh ke belakang, nasib serupa dialami Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Termasuk parpol-parpol baru yang bersemai pasca Pemilu 1999. Dari kisruh intra partai, melahirkan faksionalisasi hingga pendirian partai baru. Ada yang masih eksis, tapi ada pula partai baru yang redup bahkan lenyap.

Pada masa pergerakan dan orde lama, tak sedikit partai mengalami konflik internal. Sarekat Islam (SI) berpecah ke dalam dua blok: SI merah dan SI putih. SI merah belakangan menjadi PKI. SI putih bermetamorfosa menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Baik PKI maupun PSII penuh pasang surut akibat faksionalisme yang eksis di dalamnya.

Begitu juga PNI, terpecah beberapa faksi, lalu lahirlah Partai Indonesia (Partindo) dan PNI-Baru. Partai Sosialis pun mengalami pengeroposan internal. Ada Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir dan Front Demokrasi Rakyat (FDR) versi Amir Syarifuddin. Partai Masyumi juga terbelah pasca keluarnya NU.

Ketika rezim Orba berkuasa, goncangan internal pun mendera PPP dan PDI. Intervensi penguasa Orba dalam suksesi kepemimpinan parpol juga menuai sorotan. PPP dibelah, yakni kubu Mintaredja dengan Djaelani Naro. PDI dipecah, antara kubu Soerjadi dengan kubu Megawati Soekarnoputri. Reformasi pun datang, tapi kisah lama konflik internal parpol masih berulang.

Konflik internal PPP pada fase selanjutnya melahirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) di bawah kepemimpinan Zainuddin MZ, kemudian Bursah Zarnubi. Belakangan PPP juga pernah dirundung kisruh antara kubu Romahurmuziy dengan Djan Faridz.

Konflik internal PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri melahirkan Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) pimpinan Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) versi Laksamana Sukardi dan versi Roy BB Janis.

Partai Golkar pun tak luput dari konflik internal. Adapun Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Nasdem dan Partai Berkarya sesungguhnya turunan dari gejolak internal Golkar. Belakangan Partai Golkar sempat bersengketa kepengurusan antara kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono.

Partai Berkarya terhitung masih anyar, terjadi dualisme pula, antara kubu Tommy Soeharto dengan kubu Muchdi PR. Sebelumnya menimpa Partai Hanura, yang diketuai Oesman Sapta berhadapan dengan versi Daryatmo.

Konflik internal PAN pernah melahirkan Partai Ummat yang didirikan oleh Amien Rais sebagai reaksi bernada protes terhadap kepemimpinan Zulkifli Hasan. Sebelumnya Partai Matahari Bangsa (PMB) sempat terbit sebagai efek dari konflik PAN.

PKB juga mengalami gesekan antara Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur. Juga PKB Gus Dur versus Matori Abdul Jalil. Dari perselisihan intra partai itu, sempat muncul Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Bahkan Partai Demokrat, jauh sebelum prahara saat ini, sempat lahir Partai NKRI yang diprakarsai oleh mantan petinggi Demokrat, yakni Sys NS.

Soliditas PKS yang selama ini kuat pun terbelah, hingga lahir Partai Gelora Indonesia yang didirikan oleh mantan petinggi PKS, yakni Anis Matta dan Fahri Hamzah. PBB yang disebut sebagai pewaris Masyumi pimpinan Yusril Ihza Mahendra kian merosot lantaran bergulir Partai Masyumi ‘Reborn’.

Manajemen Partai

Dalam lintasan sejarah sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa konflik parpol baik internal maupun eksternal memiliki motif dan pola yang berangkat dari silang pendapat maupun pendapatan (sumber daya ekonomi-politik). Konflik internal kerap terjadi karena perbedaan perspektif tokoh-tokoh partai dalam menafsir isu strategis maupun kebijakan tertentu.

Jelang momen pilpres, perbedaan sikap di antara elite partai mengenai capres/cawapres yang diusung, bisa memicu pertikaian internal. Yang paling rawan adalah benturan antar pemuka partai yang tergiring dalam tarik ulur kepentingan pasca pemilihan pucuk pimpinan parpol.

Sementara itu, konflik eksternal berkaitan dengan fragmentasi sikap elite dalam konteks pola relasi partai dengan penguasa. Perbedaan-perbedaan yang timbul dari aktor utama partai dalam merespon dinamika internal dan eksternal, umumnya menimbulkan keretakan, hingga sebagian kelompok menelurkan partai sempalan.

Lemahnya ideologi sebagai perekat anggota partai menjadi penyebab mendasar terjadinya konflik parpol. Sebagian besar parpol cenderung menggiring loyalitas anggotanya berbasis figur-sentris, bukan politik nilai dan ideologi. Itulah yang disebut oleh Thomas Carothers (2006) mengenai partai di Indonesia yang sangat leader-centric.

Faktor lain adalah problem tata kelola partai. Sulit disangkal, manajemen kepemimpinan partai saat ini sebagian mengarah pada privatisasi partai disertai watak oligarkis. Mengacu pada Jeffrey A. Winters (2011), oligarki terbagi dua dimensi.

Pertama, oligarki memiliki dasar kekuasaan – kekayaan material – yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Kedua, oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas.

Dalam konteks inilah, parpol membutuhkan figur yang berkomitmen memperkuat kelembagaan partai, berbasis profesional-teknokratik, bukan kultus individu. Manajemen partai perlu menghadirkan prinsip-prinsip meritokrasi, moralitas politik, keterbukaan dan cita rasa inklusif.

Partai-partai politik harus dikembalikan esensinya sebagai institusi publik dan jangkar konsolidasi demokrasi. Saat yang sama, parpol mesti mengarus-utamakan ideologi, platform perjuangan, kaderisasi dan khususnya rekrutmen politik yang bersifat meritokratik.

Bila politik dilakoni tanpa internalisasi ideologi bagi anggota partai, maka hasrat kuasa lah yang dominan. Padahal ideologi adalah landasan perjuangan bagi para kader yang diterjemahkan ke dalam visi-misi, agenda programatik dan strategi partai dalam mewujudkan cita-citanya.

Lagi-lagi real-politik tidak sesederhana itu. Ungkapan klasik Harold Lasswell “who gets what and how” masih berlaku. Ideologi sebagai perekat organisasi politik belum sepenuhnya melekat pada aktor politik. Yang berkecambah justru aliansi leviathan, saling memangsa satu sama lain.

Resolusi Konflik

Dalam kasus Partai Demokrat, resolusi konflik parpol kian kompleks lantaran figur di luar partai, Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) didaulat menjadi ketua umum lewat Kongres Luar Biasa (KLB). Pasca KLB, kini Partai Demokrat terbelah menjadi dua kepengurusan, yakni kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kubu Moeldoko.

Idealnya, langkah resolusi konflik parpol dilakukan melalui mekanisme internal sesuai UU Parpol, dibawa ke Mahkamah Partai. Sesepuh pendiri partai yang berintegritas bersama tokoh independen yang diterima semua pihak bisa menjadi mediator resolusi konflik dengan skema “win-win solution”.

Bila tak ada titik kompromi, kedua kubu beradu kekuatan hukum di pengadilan. Tentu saja proses ini melelahkan, sebab tak tertutup kemungkinan upaya yuridis berlanjut ke Mahkamah Agung lewat kasasi sebagai palagan terakhir.

Jalan tengah selanjutnya bagi Partai Demokrat adalah mengadakan rekonsiliasi, berdamai dan kompromi. Itu pun menyaratkan sikap lapang dada dan posisi setara dari kedua kubu, lalu menegosiasikan titik temu kepentingan multi-pihak.

Perlu kedewasaan berdemokrasi untuk menyelesaikan konflik internal partai. Publik juga membutuhkan pendidikan politik dari elite parpol. Sebagai pembelajaran, memperbaiki pola komunikasi di lingkup elite maupun antar elite dengan massa adalah kunci.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

 

Sumber foto: Dok Charta Politika

Menyoal Gender dalam Politik

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah bagi demokrasi di Tanah Air. Baik kekerasan secara tidak langsung, lebih lagi kekerasan yang melibatkan fisik, selain berdampak kepada kondisi mental dan kerugian lainnya, praktek politik yang demikian tentu saja akan semakin menurunkan kualitas demokrasi kita.

Terkait erat dengan persoalan gender di dalam politik, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 menjadi ruang yang perlu dievaluasi bersama. Pada proses pilkada yang lalu, tidak sedikit kaum perempuan yang mendapatkan perlakuan minor. Terlepas apakah itu adalah bagian dari strategi politik, komoditisasi perempuan yang abai terhadap nilai, akan menjadi pembenaran bagi kecenderungan praktek-praktek serupa berikutnya.

Di tengah upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan pemerintahan, kesadaran gender rupanya belum inheren dalam laku politik.  Doktrin dan nalar patriarki masih menyisakan pondasi kuat di dalam politik kontestasi. Memperkuat politik maskulin dan bapakisme, hingga menggeser ruang dan kedudukan perempuan ke titik terpinggir subordinasi.

Kesenjangan gender dalam kontestasi politik mengakibatkan asa demokrasi berkesetaraan mengalami tantangan serius. Ada beberapa kasus kekerasan berbasis gender yang perlu mendapat perhatian dalam konteks politik praktis. Di antaranya isu pelecehan seksual terhadap kandidat perempuan dalam Pilkada Serentak 2020.

Kekerasan berbasis gender

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut adanya beberapa praktek diskriminasi terhadap perempuan pada Pilkada 2020. Pertama, pada Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Kota Ternate, disebutkan oleh ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) dari salah satu partai politik bahwa Kota Ternate harus dipimpin oleh seorang laki-laki. Kedua, Tangerang Selatan, pelecehan dilakukan terhadap salah satu pasangan calon melalui penyebaran foto pribadi secara tidak pantas.

Selain laporan KontraS, isu gender juga terjadi di Pilkada Bima, yaitu dalam bentuk ungkapan seksis yang menautkan status janda kepada salah satu Calon Bupati. Kasus serupa juga terjadi pada Pilwalkot Depok dalam bentuk pelecehan seksual secara verbal yang dialami oleh calon Wakil Walikota perempuan, yang justru pelaku pelecehan berasal dari rival politiknya.

Dari beberapa contoh kasus di atas, tergambar bahwa kekerasan berbasis gender bisa berupa pendiskreditan terhadap perempuan. Dibangun citra perempuan tidak mampu menjadi pemimpin. Itulah budaya patriarki ‘rules of the father’ yang bekerja di wilayah politik melalui penempatan dominasi laki-laki secara hegemonik.

Sebagai komoditas politik, perempuan distigmatisasi sebagai objek seksual. Pelabelan negatif diarahkan kepada rata-rata politisi perempuan berstatus janda. Komoditas diproduksi, kemudian dilakukan bully. Maka tidak heran jika kemudian muncul pelecehan seksual terhadap calon kepala daerah atau politisi perempuan dalam segala kontennya terutama di media sosial.

Perlakuan diskriminasi dan pelecehan ternyata tidak hanya dilakukan oleh lawan politik yang tengah berkontestasi. Bahkan tidak sedikit warga sosial media (netizen) yang juga melakukan body shaming, berkomentar miring tentang wujud atau bentuk fisik dengan tujuan mempermalukan. Pada wilayah terutama di media sosial, bahasa menjadi instrumen untuk hegemoni terhadap wacana, dengan menjadikan perempuan sebagai objek untuk dikomodifikasi.

Praktik diskriminasi terhadap perempuan sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan. Semarak ungkapan seksis membuat demokrasi tidak berciri substantif. Mestinya aktor politik fokus pada kontestasi gagasan programatik, menunjukkan performa positif, bukan melempar guyonan yang berbau pelecehan.

Di dalam kntestasi politik, mengerahkan seluruh sumber daya dan strategi adalah wajar. Namun jika dijalankan dengan cara yang menjadikan kaum perempuan sebagai korban diskriminasi dan pelecehan seksual, tentu setiap politisi siapapun dia, harus berfikir lebih keras lagi untuk menggunakan cara dan strategi yang lebih beradab.

Politik sensitif gender

Strategi politik dengan menjadikan sisi seksualitas dan kelemahan perempuan sebagai komoditas tentu perlu dihindari. Pengetahuan dan kesadaran terhadap kesetaraan gender perlu diperkuat di masyarakat. Penting bagi peserta dan penyelenggara pemilu untuk memperhatikan isu-isu politik yang melibatkan gender.

Keadilan terhadap perempuan telah tertuang di dalam konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). Sebagai wujud pengakuan terhadap perempuan di seluruh dunia, tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional (International Woman’s Day).

Demokrasi dan politik kita dengan segala gagasan berikut prakteknya harus mulai memposisikan perempuan pada kedudukannya yang terhormat dan mulia. Kita tidak boleh lagi hanya berharap kepada peingkatan partisipasi perempuan baik di dalam politik maupun jabatan publik, kita harus dudukkan eksistensi kaum perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai bagian dari pertimbangan-pertimbangan pembangunan nasional; politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Anne Phillips (1999) dalam “Engendering Democracy” berpandangan bahwa perlu dilakukan genderisasi terhadap ruang pribadi, ruang domestik dan ranah publik secara bersamaan. Hari ini, alam demokrasi memberikan ruang bagi siapa pun untuk tampil, laki-laki ataupun perempuan. Pengarusutamaan gender harus diimbangi dengan perilaku kelembagaan dan sosial di seluruh aspek dan tingkatan struktur sosial-politik di Indonesia. Siapapun sebagai warga negara Indonesia dan memenuhi syarat, bisa dan berhak menjabat sebagai bupati, walikota, gubernur, anggota legislatif, menteri, bahkan presiden.

Partisipasi dalam ruang demokrasi perlu menghadirkan paradigma politik yang berwawasan gender, menjamin kesetaraan bagi semua warga negara tanpa ketimpangan yang diskriminatif. Setiap partai politik harus mendukung kader perempuannya untuk berkader dan menjalankan tanggung jawab politik, sekaligus melindungi mereka dari kecenderungan komodifikasi politik yang melibatkan kehormatan perempuan.

Lebih dari itu, segenap stakeholders politik mesti dilibatkan, termasuk insan pers agar mengedepankan jurnalisme yang berperspektif gender. Begitu juga keterlibatan ormas dan civitas akademika diharapkan menjadi agen pencerahan tentang nilai-nilai kesetaraan, dan tentu saja dukungan pemerintah agar mewujudkan kebijakan yang berkeadilan gender.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

 

Sumber foto: infopublik.id

Kualitas Kampanye Pilpres

Tak terasa fase kampanye Pilpres 2019 akan memasuki sesi debat ketiga.

Dalam kampanye politik, ajang debat menjadi salah satu momen yang paling ditunggu. Dari sisi pemilih, debat bermanfaat untuk mengetahui posisi isu-kebijakan dan personalitas para kandidat. Namun, konstelasi pascadebat tak boleh diabaikan, jika tak bisa dibilang sama pentingnya.

Pasalnya, pascadebat, terpaan informasi tentang (konten) debat terus berlanjut dengan segala variasinya. Secara umum, kandidat yang dapat peliputan negatif cenderung juga dinilai negatif oleh pemilih (Fredkin dkk, 2008). Selain di media massa, terpaan debat pilpres juga berlangsung lewat percakapan, umumnya dengan orang-orang yang sepreferensi. Dengan kata lain, pembicaraan pascadebat lebih bersifat meneguhkan predisposisi pada kandidat yang disukainya (Cho dan Ha, 2012).

Dalam konteks Pilpres 2019, terpaan informasi tentang jalan debat kedua pilpres berlangsung seru, terutama di medsos. Kedua kubu sama-sama memberi penonjolan pada apa yang mereka anggap kelemahan kompetitor, misalnya tecermin pada tagar #jokowibohonglagi atau #prabowogagapunicorn. Hal ini diimbuhi upaya mengembangkan rasionalisasi dan atau apologi atas penampilan dan pernyataan kandidat yang dijagokan. Terkadang, interpretasi yang dikembangkan cukup melebar dari realitas dalam debat itu sendiri. Lebih penting dari itu, kedua pihak sama-sama mendaku capres jagoan mereka sebagai pemenang.

Keseruan percakapan pascadebat berakhir menandai upaya setiap kubu untuk mengubah lanskap persaingan. Pasalnya, merujuk dua survei terakhir Charta Politika (Oktober 2018 dan Januari 2019), elektabilitas Jokowi-Amin ataupun Prabowo- Sandi relatif stagnan. Kedua kubu butuh satu lentingan kecil untuk menjaga jarak aman (dalam kasus pasangan 01) atau mengatasi ketertinggalannya (untuk kasus pasangan 02). Sebab, meski rentang elektabilitasnya cukup lebar (53 persen-35 persen), potensi perubahannya masih sangat terbuka.

Terlebih, pada setiap kandidat ada sekitar 12 persen pemilih yang mengaku belum mantap dengan pilihannya dan 12 persen pemilih merahasiakan pilihan atau belum menentukan pilihan. Karena itu, kedua kubu masih akan terus menggencarkan beragam taktik, tak terkecuali berharap atau mendorong kompetitornya tergelincir akibat perkataan atau tindakannya sendiri.

Walau seru, tak berarti pasti menarik. Bagi sebagian kalangan, Pilpres 2019 kurang gereget karena seperti pertarungan ulangan Pilpres 2014. Bukan semata karena capresnya sama, melainkan juga dalam segi, termasuk kontennya, banyak yang hanya salinan dan atau sekadar perluasan pilpres sebelumnya. Pilpres 2019 kian tak menarik karena kombinasi sejumlah faktor: dibanjiri hoaks, diriuhkan tarung wacana tak penting; diramaikan lontaran yang bersifat soundbites alih-alih paparan isu kebijakan yang argumentatif; diwarnai rebutan simbolik agama dan ulama, tapi tak satu pun yang secara nyata menunjukkan komitmen memajukan ekonomi umat; serta disesaki kecenderungan kandidat yang lebih senang mengirimkan sinyal membingungkan tentang posisinya pada sejumlah isu krusial.

Pesan negatif mendominasi. Meski barangkali dimaksudkan untuk mempersuasi swing voters, pesan-pesan negatif nyatanya lebih efektif mengkristalisasikan predisposisi pemilih yang sudah tak suka pada satu kandidat tertentu (Klein dan Ahluwalia, 2005). Dengan kata lain, pesan negatif (termasuk hoaks) lebih berperan dalam mengkristalkan opini. Kristalisasi opini terbentuk manakala kontennya dinilai sangat penting atau ekstrem (misal: hoaks tentang kaitan Jokowi dengan PKI) dan bersua dengan belief yang sudah tertanam sebelumnya di benak pemilih. Kian kuat aliran informasi tentang hoaks, kian kuat ketaksukaan pemilih pada kandidat yang bukan preferensinya. Kian terkristalisasi opini seseorang, kian sulit baginya mengubah opini (Sciarini dan Kriesi, 2003).

Polarisasi persaingan juga mendorong pemilih bersedia mengubah pandangannya terhadap satu isu agar sejalan dengan posisi isu yang dianut kandidat yang didukung. Ini memang tak terelakkan manakala preferensi pemilih kepada individu lebih kuat daripada preferensinya pada isu kebijakan (Abramowitz, 1978).

Tanpa tawaran program yang lebih subtantif dan atau jika tak ada kejadian luar biasa, tingkat elektoral 01 dan 02 akan terus stagnan. Dalam situasi seperti ini, dinamika elektoral sangat mungkin ditentukan “operasi darat” memperebutkan suara pemilih pragmatis yang mempertimbangkan pemberian kandidat (uang, bahan pokok, dan barang lain) sebagai acuan memilih. Seturut uraian di atas, mengemuka penilaian yang menyebutkan kampanye Pilpres 2019 cenderung berakhir tanpa peningkatan kualitas. Penyebutan kualitas kampanye mengasumsikan (aktivitas) kampanye jadi juru pandu utama dalam memilih.

Cakupan kualitas

Pendekatan yang optimistis menilai proses kampanye (diskursus, retorika kandidat, peliputan media, atensi pada faktor-faktor jangka pendek selama kampanye dan lainnya) memiliki daya persuasi untuk memengaruhi pemilih dalam menilai isu kebijakan yang ditawarkan kandidat. Ini tak berarti menegasi arti penting evaluasi yang dilakukan pemilih terhadap kinerja petahana (retrospektif). Kampanye jadi ruang bagi pemilih untuk mempertimbangkan berbagai kebijakan alternatif yang diajukan para kandidat (Maisel, West dan Clifton, 2007).

Kampanye pemilu disebut berkualitas jika deliberatif, informatif, mengutamakan isu kebijakan daripada citra personalitas dan juga digenapi diskursus mendalam, bukannya meramaikan hal remeh-temeh. Pemilih diandaikan berpartisipasi dan terlibat. Kampanye yang baik ditandai adanya perubahan belief pemilih (Gardner, 2009). Lebih dari itu, kampanye berkualitas ditandai adanya keselarasan isu-isu kebijakan yang dianggap penting antara kandidat dan pemilih. Dan, ini ditandai adanya dukungan pemilih seperti terlihat pada hasil pemilu (Buchanan, 1999).

Cakupan kualitas kampanye seperti itu merupakan gambaran ideal dan kiranya perlu direlaksasi agar lebih membumi. Pertama, sejak beberapa waktu berkembang tren kampanye permanen. Hal ini membuat distingsi antara predisposisi pemilih yang terbentuk pada masa prapemilu dan predisposisi yang terbentuk selama fase kampanye jadi kurang relevan. Dalam kasus Pilpres 2019 (pendukung) Jokowi ataupun (pendukung) Prabowo sejak pasca-Pilpres 2014 sudah aktif melakukan persuasi ke publik. Seiring kian terbentuknya prioritas pembangunan, kubu Jokowi banyak mengedepankan capaian-capain di sektor infrastruktur. Secara lebih khusus, berbagai aktivitas Jokowi seperti hendak menguatkan citra merakyatnya. Sebaliknya, kubu pendukung Prabowo selain aktif beretorika soal kegagalan pembangunan di era Jokowi juga terus memainkan isu-isu khusus, seperti ancaman dominasi China di Indonesia, kebangkitan PKI, dan pendakuan Islam di Indonesia tengah terancam.

Kedua, pilihan berdasarkan evaluasi terhadap personalitas kandidat tak harus dianggap cara memilih yang buruk sepanjang didasarkan pada informasi yang memadai. Dalam kasus Pilpres 2019, identitas personal kedua capres dipergunjingkan lebih karena keterbatasan informasi yang tersedia (contohnya soal keislaman Prabowo) dan atau karena aliran informasi bohong (contohnya isu Jokowi terlibat PKI).

Ketiga, kualitas kampanye tidak dengan sendirinya dapat disebut buruk jika keterlibatan dan partisipasi pemilih bersifat minimal. Kualitas kampanye baru dapat dibilang buruk manakala pemilu tak punya peluang untuk berpartisipasi atau terlibat dalam berbagai aktivitas kampanye, termasuk mengajukan pertanyaan dan beroleh respons dari kandidat. Atau sebaliknya, pemilih aktif tapi utamanya melakukan persekusi dan atau pemaksaan terhadap pemilih yang tak sebarisan dengan dirinya.

Dalam kasus Pilpres 2019, partisipasi pemilih, khususnya di kalangan pemilih partisan, dapat dikatakan tinggi, terlebih di medsos dan media percakapan. Di kubu Prabowo ada kelompok emak-emak, di kubu Jokowi ada kelompok yang sudah eksis pada 2014 (misalnya Seknas dan Projo), tetapi ada pula banyak yang baru tapi tak satu pun cukup menonjol dalam peliputan di media. Yang merisaukan, ruang dialog langsung antara pemilih dan para capres relatif minim. Ajang pertemuan tatap muka atau blusukan lebih banyak diwarnai komunikasi satu arah dan atau terkesan diatur untuk kepentingan pemberitaan belaka. Selain itu, insiden-insiden persekusi, seperti pencopotan kaus atau penghadangan, terjadi di beberapa tempat. Pada saat bersamaan, kekerasan verbal, baik melalui penjulukan (cebong, kampret, dungu, contohnya) atau bentuk lain (doa, puisi, postingan di medsos) kian menjadi keseharian.

Keempat, kualitas kampanye tak selalu berarti berlangsungnya proses persuasi, tapi minimal mengandaikan kecukupan informasi. Persuasi mengandaikan adanya perubahan belief– nya. Misalnya, ada pemilih mengubah predisposisinya soal utang. Jika awalnya berpendirian utang Indonesia masih wajar, sikapnya berubah jadi antiutang dan menganggap utang Indonesia berlebihan setelah diterpa retorika, pemberitaan, dan pembicaraan di grup Whatsapp yang dilakukan kubu Prabowo.

Sebaliknya, kampanye sudah bisa dinilai berkualitas jika pemilih bisa mengetahui proposal yang cukup rinci mengenai gagasan dari setiap kandidat. Misal saja soal bagaimana restorasi toleransi yang ditawarkan pasangan 01 atau melestarikan keragaman warisan budaya yang diajukan pasangan 02. Selain itu juga jika ada keseimbangan informasi (sekurangnya menjelaskan persamaan dan perbedaan) tentang “ekonomi Pancasila” atau reforma agraria yang sama-sama dilontarkan kedua pasangan. Terkait itu, kecukupan informasi juga ditandai minimnya kabar bohong.

Karena itu pula, sebuah kampanye pemilu dapat disebut tak berkualitas manakala terjadi defisiensi informasi. Ini karena aktor utama dalam kampanye (kandidat, media, dan pemilih) memiliki insentif berbeda dan juga didukung faktor situasi tertentu sehingga tak memainkan peran yang diharapkan (Buchanan, 1999). Kandidat diandaikan menginformasikan posisinya terkait isu-kebijakan, termasuk di dalamnya solusi yang ia tawarkan. Namun, misalnya, hasrat “yang penting menang” dapat membuat ia memilih fokus menonjolkan isu-isu tertentu saja yang sangat boleh jadi populer tapi tidak termasuk agenda nasional yang prioritas dan seyogianya didiskursuskan dalam kampanye. Dalam hal ini, kandidat sengaja menghindari pembahasan yang dinilainya “sulit” dan atau bisa menempatkannya pada posisi tidak menguntungkan di mata pemilih.

Media diandaikan jadi ruang bagi pemilih mempelajari kandidat. Meski demikian, media punya insentif untuk mengabaikan fungsi ini karena punya pertimbangan ekonomi, seperti rating (TV), click bait (daring), dan oplah (cetak). Dus, yang sering diberitakan lebih ke soal-soal kontroversial, konflik, atau berbau drama layaknya opera sabun. Situasinya jadi lebih rumit untuk medsos karena pemilih berperan ganda, produsen dan konsumen informasi sekaligus.

Pekerjaan rumah

Pemilih diandaikan memberikan atensi yang penuh pada aliran informasi dan diskursus yang disampaikan kandidat ataupun media. Masalahnya, pemilih kerap mengembangkan seleksi atensi dan atau seleksi informasi. Ia memilih informasi yang hanya sesuai predisposisi yang sudah dimiliki sebelumnya. Pemilih tak mau bersikap terbuka karena berbagai alasan sekaligus. Pemilih yang orientasinya “pokoknya menang” atau “pokoknya kandidat yang tak disukai harus kalah” juga punya insentif untuk mengacaukan aliran informasi. Salah satunya membuat dan atau mendistribusikan hoaks, ancaman, mendiskriminasi pemilih yang tak sepaham dengan dirinya atau juga mempraktikkan politik uang.

Insentif yang dirasakan ketiga aktor itu berbeda-beda, bergantung pada konteks persaingan yang tengah berlangsung (adanya kepentingan kelompok penekan, resesi ekonomi, atau lainnya). Ini diimbuhi dinamika yang terjadi karena adanya interaksi di antara aktor. Kandidat, misalnya, bisa saja memilih mengedepankan soundbites daripada memaparkan isu kebijakan secara komprehensif dalam upaya mendapat atensi dan peliputan dari media.

Dengan mengacu cakupan kualitas di atas, sangat wajar jika berbagai pihak menilai kampanye Pilpres 2019 tak berkualitas. Namun, penting pula menyimak peringatan Gardner (2009). Menurut dia, kritik terhadap kampanye pemilu lebih sering terjadi karena melihat masalahnya hanya pada arena kampanye. Padahal, apa yang terjadi selama kampanye merupakan praktik pengulangan belaka dari komunikasi politik sehari-hari. Dengan kata lain, jika sehari-hari kita sudah “akrab” dengan kabar bohong, sangatlah masuk akal jika arena kampanye juga disesaki hal yang sama. Jika demikian halnya, kita jelas punya pekerjaan rumah yang jauh lebih besar dari sekadar mereformasi kampanye pilpres.

 

 

Yunarto Wijaya 

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Kompas, 12 Maret 2019

 

Foto: FOTO/Hafidz Mubarak A (https://bit.ly/36vR2nq)

Kompetisi Parpol yang Terlupakan

Pemilihan umum presiden dan anggota legislatif yang dilaksanakan secara serentak pada 2019 mendatang akan menjadi tantangan baru bagi partai politik.

Mereka akan menghadapi situasi harus bersaing dan sekaligus harus bekerja sama dengan kompetitornya. Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres), parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno normanya akan bahu-membahu mengomunikasikan kandidatnya masing-masing. Tidak itu saja, parpol normanya juga bertindak secara cermat agar tidak melakukan blunder yang bisa merugikan kandidat mereka, termasuk di dalamnya menahan diri untuk tidak saling menyerang parpol sekoalisi.

Masalahnya, logika pileg justru mensyaratkan parpol harus bersaing satu sama lain untuk meyakinkan basis pemilihnya, memengaruhi pemilih yang belum memutuskan pilihan, ataupun merebut pemilih kompetitornya. Literatur politik menyatakan, ada beberapa pendekatan yang kerap dipergunakan parpol untuk memersuasi pemilih. Dari mulai memainkan kedekatan sosiologis (agama, etnisitas, umur, kelas) hingga mengapungkan isu kebijakan, dari mulai menonjolkan daya tarik partai sebagai organisasi hingga mengedepankan pesona figur. Lebih daripada itu, kerja sama dalam ranah pilpres di atas kertas tak menghasilkan manfaat elektoral yang berimbang dalam konteks pileg. PDI Perjuangan (PDI-P) dan terutama Gerindra diprediksi akan menikmati efek ekor jas (coattail effect) yang besar karena kader mereka menjadi capres atau cawapres. Sosok Ma’ruf Amin mungkin sekali bisa mengalirkan tambahan elektoral bagi PKB atau juga bahkan PPP.

Biaya berkoalisi

Parpol bersedia berhimpun dalam sebuah koalisi pengusung capres-cawapres sekurangnya dilandasi motif mendapatkan portofolio dalam kabinet (office-seeking) atau kesempatan memengaruhi kebijakan publik (policy-seeking). Tiap parpol punya orientasi berbeda-beda, ada yang lebih mengedepankan motif pertama, ada pula yang lebih mengutamakan motif kedua.

Pengutamaan satu dari dua motif ini mengandaikan parpol harus berkompromi dalam konteks pilihan kebijakan (karena harus disesuaikan visi-misi capres-cawapres) dan logisnya tak saling menyingkap kelemahan, kebobrokan, atau perbedaan preferensi sebuah kebijakan. Jika yang pertama berpotensi menjauhkan parpol dengan preferensi basis pemilihnya, yang terakhir berpotensi membuat parpol kian sulit dibedakan dalam upayanya membangun posisi unik di benak pemilih.

Singkatnya, parpol tak dapat optimal mengejar motif meraih suara sebanyak-banyaknya di pileg (vote-seeking). Dengan melihat komposisi kandidat yang berkontestasi (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi), sebagian besar parpol sepertinya lebih mengejar motif office-seeking alih-alih vote-seeking ataupun policy-seeking. Lagi pula, seperti diingatkan Strom dan Muller (1999), parpol memang jarang punya kesempatan mendapatkan hasil optimum dari ketiga motif karena sifatnya yang cenderung trade-off.

Pilihan orientasi itu tentu saja ada konsekuensinya. Parpol yang perolehan suaranya kecil (baik menang maupun kalah dalam konteks pilpres) akan menderita. Daya tawar politiknya menjadi rendah dan pada saat sama harus mengorbankan kepentingan jangka panjangnya, yakni kemampuan berkontestasi dalam pemilu berikutnya. Secara keseluruhan, dapat dikatakan ada biaya politik yang harus ditanggung parpol karena berhimpun dalam koalisi. Biaya politik ini tidak sama besarnya bagi setiap parpol. Sederhananya, semakin jauh spektrum figur dan janji politik capres-cawapres dengan preferensi basis pemilihnya, semakin besar biaya yang harus ditanggungnya.

 

Manuver berkontestasi

Biaya berkoalisi mungkin tak bisa dihindari, tetapi parpol masih mungkin bermanuver agar kepentingan elektoralnya tetap terjaga. Kunci manuvernya terletak pada kemampuan memadukan kerja sama dan kompetisi sekurangnya pada tiga elemen persaingan utama: figur, isu-kebijakan, kelompok sosial. Kontestasi figur terfokus pada capres dan cawapres. Kompetensi, rekam jejak, dan personalitas calon akan jadi konten utama untuk memikat pemilih. Namun, tak selamanya atribut ini jadi acuan pemilih. Terkadang pemilih memilih kandidat yang punya kesamaan sosio-demografis, ideologi, atau identifikasi partisan lainnya dengan dirinya (Marland, 2013).

Ruang manuver sebagian besar parpol adalah memainkan faktor kedua karena faktor pertama jelas dinikmati Gerindra dan PDI-P. Penyematan atribut Sandiaga sebagai representasi santri post-Islamis, misalnya, dapat dibaca sebagai upaya PKS merangkul pemilih Muslim yang merasa tak (lagi) menjadi bagian ormas Islam yang mengakar seperti NU dan Muhammadiyah. Di lain pihak, figur Ma’ruf akan diperebutkan PKB atau PPP untuk mengonsolidasikan basis pemilihnya di kalangan nadhliyin. Ruang manuver lain untuk mengompensasi efek ekor jas adalah dengan mengasongkan figur-figur yang merepresentasikan parpol. Yang sudah biasa adalah mengedepankan figur ketua umum yang sudah dilakukan PKB, PPP, atau Perindo. Rute lain, mengasongkan figur baru seperti dilakukan Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang menyasar segmen pemilih muda.

Bagi parpol yang belum menyiapkan figur tambahan sebagai penguat daya tarik di mata pemilih, strategi generiknya adalah menerapkan jurus meniru dan menambahkan atribut unggulan lain (me too +1) baik menyasar pada pangsa pemilih yang sama atau mengkhususkan diri pada ceruk pemilih tertentu. Apa pun pilihannya, figur itu harus diasosiasikan sebagai “the next leader”. Bingkai inilah yang akan menjadi pengatrol utama dan sekaligus membedakan dengan para pengumpul suara biasa (vote getter). Pilihan figur yang diapungkan harus dipertimbangkan dengan saksama. Pasalnya, ia akan berperan pula sebagai jangkar dalam memajukan janji-janji politik dan juga kelompok sosial yang hendak diasosiasikan. Koherensi ketiganya penting untuk membangun persepsi kredibilitas.

Isu kebijakan yang diusung capres dan cawapres normanya merupakan hasil negosiasi dan kompromi kandidat dengan parpol pengusung. Dalam konteks pilpres, parpol terikat untuk mengampanyekannya secara sendiri-sendiri atau bersama. Namun, dalam konteks pileg, parpol dapat bermanuver dengan melakukan adaptasi, yakni menggunakan isu kebijakan capres-cawapres sebagai konten kampanye, tetapi menambahkan dimensi lain untuk menguatkannya, membuatnya unik, dan disukai target pemilihnya. Pilihan lain sebagai pelengkap, parpol bisa menerapkan strategi konfrontasi atau mengabaikannya agar tak menjadi agenda publik.

Sebagai ilustrasi awal, gagasan ekonomi berbasis umat yang dilontarkan Ma’ruf, dapat diadaptasi parpol pengusung dengan memberikan penonjolan program konkret berbasis sektoral atau berbasis spasial, misalnya. PPP dan PKB jelas memiliki kredibilitas lebih tinggi karena diasosiasikan publik sebagai parpol Islam dibanding parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf lainnya. Meski begitu, ini juga dapat jadi kesempatan baru bagi parpol nasionalis seperti PDI-P, Nasdem, atau bahkan PSI untuk menggeser citranya sehingga dianggap lebih dekat dengan kalangan pemilih Islam. Kuncinya terletak pada kepiawaian menyorongkan program politik yang mengena, tapi tak menghilangkan karakteristik khas masing-masing.

Sebaliknya, bagi parpol koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga seperti Gerindra atau Demokrat, gagasan ekonomi berbasis umat itu dapat dibenturkan dengan gagasan yang berbeda, misalnya dengan gagasan ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila, ekonomi pasar, atau lainnya. Untuk PKS dan PAN, misalnya, strateginya adalah menyingkap kelemahan ekonomi umat versi Ma’ruf dan menawarkan versinya sendiri. Jika ini yang dilakukan, tak terhindarkan PKS dan PAN akan berebut sebagai parpol yang paling kredibel berbicara tentang gagasan tersebut.

Umumnya, parpol cenderung akan memilih isu kebijakan yang dirasakannya punya reputasi baik di benak pemilih (issue ownership) dan isu kebijakan inilah yang akan ia tonjolkan selama kampanye. Masalahnya, efek kepemilikan isu ini akan ternetralisasi jika pemilih menganggapnya sebagai isu kebijakan yang tak penting (Belanger dan Meguid, 2005). Dengan kata lain, kepemilikan isu saja tak cukup untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Untuk mengatasi hal ini, parpol harus saling berkontestasi membangun konteks yang relevan agar isu kebijakan mereka dianggap penting oleh pemilih.

Ruang kontestasi di ranah ini relatif lebar karena parpol umumnya tak punya kepemilikan isu yang kuat. Jikapun ada, seperti dalam kasus PKS dengan solidaritas terhadap Palestina-nya, belum tentu dinilai relevan dalam konteks pileg.

Ruang manuver lain adalah kemauan untuk keluar dari isu kebijakan yang sudah generik dan terkadang berhenti sebagai jargon belaka. Tema-tema seperti utang luar negeri, impor pangan, subsidi energi, ataupun pemberantasan korupsi masuk dalam kategori ini. Sebaliknya, parpol dapat menonjolkan isu-isu keseharian, seperti pendanaan BPJS, penerimaan siswa baru, transportasi daring, dan sekaligus menjadikannya isu yang melekat pada dirinya. Parpol pengusung Prabowo-Sandiaga lebih memiliki peluang mengeksplorasi ini karena sekaligus bisa mengkritisi kinerja pemerintahan petahana. Sebaliknya, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf harus mencari jalan untuk menunjukkan komitmennya pada isu-isu itu dan atau menawarkan solusi baru.

Manuver kontestasi lainnya bersifat lebih agresif, yakni menyingkap wajah ganda parpol. Wajah terbuka parpol adalah apa yang tertuang dalam visi-misi dan program. Wajah lain adalah apa yang disepakati elite parpol dengan aktivis internal parpol bersangkutan (Hammel dkk, 2005). Lebih daripada itu, wajah ganda ini tak saja bisa disingkap dari manifesto parpol, tetapi juga antara pernyataan publik dan keputusan internalnya. Pengabaian hasil ijtima ulama soal cawapres Prabowo merupakan contoh bagaimana strategi ini dimainkan. Untuk itu, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf memang perlu bekerja lebih cerdik, tetapi tetap dalam koridor hukum yang ada.

Ketertautan parpol dengan kelompok sosial tetap relevan dalam menjungkit tingkat elektoral parpol meski harus diakui pengaruhnya tak setinggi sebelumnya karena termediasi faktor figur. Selain tetap mengelaborasi kelompok sosial yang jadi basis pemilih tradisional, parpol dapat mengkreasi dan atau menonjolkan kelompok sosial baru sebagai basis baru. Di Inggris, Partai Konservatif dan Buruh selain konstituen tradisional, juga berupaya menarik kelompok sosial baru, seperti keluarga dan orangtua (Thau, 2017).

Antisipasi

Apapun pilihan manuver kontestasinya, parpol perlu mempertimbangkan dua hal ini. Pertama, kecenderungan perilaku pemilih melakukan split ticket voting. Pada tingkat pertama, split ticket voting terjadi ketika pemilih memilih partai A untuk DPR, tetapi parpol B atau C untuk DPRD. Pada tingkat kedua, split ticket voting terjadi karena mereka memilih pasangan capres-cawapres yang tak diusung parpol yang dipilihnya untuk pileg.

Kedua, agenda laten sesama parpol pengusung. Normanya, apapun pilihan bersaing yang akan dipilih, niscaya harus memperhatikan agenda utama koalisi: memenangkan pasangan capres-cawapres yang diusung. Meski demikian, norma ini dapat dilanggar jika agenda utama sebuah parpol jauh lebih besar dari itu: membesarkan dirinya dengan memanfaatkan momentum pilpres. Mereka tak sungkan menyerang kawan seiring jika itu dianggap sepadan dengan manfaat elektoral yang bisa diraih. Bagi parpol jenis ini, memenangi pilpres hanyalah bonus. Ini berlaku terutama pada parpol yang tak menempatkan kadernya sebagai capres/cawapres atau merasa benefit posisi publik yang ditawarkan kelak tak cukup memadai untuk tujuan-tujuan mereka.

Selamat berkompetisi!

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

(Kompas, 23 Agustus 2018)

 

Foto: hariansinggalang.co.id (https://bit.ly/2YDFfyO)

Pilkada Serentak 2020, Pandemokrasi, Partisipasi Pemilih

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) 2020 yang digelar secara serentak telah usai. Tapi badai pandemi virus corona (covid-19) belum berlalu. Itulah sebabnya pergelaran politik elektoral sebanyak 270 daerah itu bergelayut antara harapan dan kecemasan.

Sebagai catatan, perhelatan Pilkada 2020 itu meliputi 9 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub), 224 Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup), serta 37 Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwakot). Pilkada serentak tahun 2020 merupakan lanjutan dari tiga tahap pilkada serentak sebelumnya pada tahun 2015, 2017, dan 2018.

Kita menyaksikan turbin demokrasi lokal tetap berputar. Mesin-mesin politik juga bekerja. Realitas mencekam akibat pandemi menjadi pertimbangan utama terkait metode pelaksanaan kampanye. Pola kampanye di arena demokrasi perlahan mulai bergeser, dari kebiasaan mobilisasi massa besar-besaran menjadi pertemuan berskala terbatas.

Seturut hal itu, pihak penyelenggara, kontestan dan partisipan ditekankan agar menaati protokol kesehatan. Sebab, pesta demokrasi tidak sekadar mewadahi kedaulatan rakyat, tapi juga harus memerhatikan keselamatan rakyat.

Rakyat telah memberikan mandat pada pemimpin mereka di daerah-daerah dalam proses yang konstitutif. Kekosongan kekuasaan (vacuum of power) dari aspek penyelenggaraan pemerintahan terhindarkan. Apalagi penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi memerlukan pemimpin daerah yang legitimated, responsif sekaligus proaktif. Saat yang sama, stabilitas politik dan pelayanan publik akan terus berjalan. Dan, demokrasi sebagai rezim, kata Claude Lefort, memang menyaratkan institusionalisasi dan proteksi melalui hukum.

Pesta demokrasi lokal 2020 memang sebuah kekecualian. Imunitas demokrasi benar-benar diuji daya tahannya dalam lubang hitam pandemi. Isu kesehatan publik (public health) jelas tak boleh diabaikan. Lahirlah pandemokrasi, sebuah terminologi yang menggambarkan realitas ironik dari demokrasi pada masa pandemi.

Konsekuensi dari “new normal” politik itu, para calon kepala daerah dituntut lebih canggih dalam berkampanye baik secara online maupun offline untuk mempersuasi publik. Kabar baiknya, partisipasi pemilih justru meningkat. Dikatakan kabar baik karena salah satu parameter keberhasilan pelaksanaan Pilkada 2020 dapat ditinjau dari angka partisipasi pemilih.

 

Partisipasi Pemilih

Salah satu indikator keberhasilan praktik demokrasi dalam konteks pilkada adalah seberapa besar tingkat partisipasi warga menggunakan hak-hak politik (political rights) untuk memilih kandidatnya di kotak suara. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 sebesar 75,83%. Angka itu cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari pilkada 2015 dengan tingkat partisipasi sebesar 69,02 %. Angka partisipasi pemilih pada pilkada 2020 itu nyaris mendekati target nasional (77,5%). Target itu dipandang realistis mengingat situasi darurat pandemi.

Melihat partisipasi pemilih pada pilkada 2020 yang dianggap sukses, maka demokrasi bisa dikatakan berjalan baik. Karena itu, apresiasi layak kita arahkan kepada penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, Satgas Anti-Covid, aparat keamanan, media massa dan partisipasi warga. Peran paslon, partai politik pengusung dan tim kampanye masing-masing kandidat juga memberikan warna tersendiri, meski harus diakui tak ada demokrasi yang hampa masalah. Saluran legalistik pun tersedia, manakala dalam proses Pilkada 2020 ada kalangan yang tidak puas dengan hasilnya, mereka bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Segenap pemangku kepentingan itu telah melakukan ikhtiar sewajarnya untuk mendorong keterlibatan warga dalam proses pilkada. Meskipun pelaksanaan Pilkada 2020 sempat diprasangkai sebagian pihak bahwa partisipasi masyarakat akan meredup, akan tetapi fakta menggambarkan partisipasi warga justru antusias ikut memilih para kandidat sesuai preferensinya.

Pilkada 2020 telah memberikan saham terhadap peningkatan indeks demokrasi Indonesia. Van Deth (2001) menyatakan bahwa partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Dalam konteks hak-hak politik, perwujudan terpentingnya adalah tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pilkada. Kendati begitu, penyelenggaraan pilkada kali ini pun mengandung aib politik yang mesti diatasi untuk memproyeksikan hajatan politik yang berkeadaban untuk masa-masa mendatang.

Salah satu persoalan yang perlu mendapat atensi khusus adalah masalah kekerasan dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam kontestasi elektoral. Mengacu pada Laporan Kontras bertajuk “Catatan Kritis atas Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020”, antara lain dikatakan bahwa cara-cara kekerasan masih kerap digunakan baik untuk mengintimidasi kelompok berseberangan dalam Pilkada maupun untuk menekan warga untuk memilih calon-calon tertentu.

Dalam logika elektoral, pertarungan strategi antar paslon, partai pengusung dan pendukung beserta tim kampanye adalah sebuah keniscayaan sepanjang dilakoni dengan cara-cara demokratis, sesuai koridor hukum dan sewajarnya. Namun, fakta ironik masih adanya sebagian pihak yang memainkan isu SARA, khususnya politisasi etnis dan agama, terlebih disertai kekerasan adalah cermin politik purba yang destruktif.

Mobilisasi faksi politik etno-religius yang berhaluan garis keras dapat menajamkan perpecahan antar sesama anak bangsa, bahkan merusak tatanan demokrasi. Politisasi SARA yang cenderung mengeksploitasi kebencian demi elektabilitas bisa memperlebar jarak-psikologis dalam relasi keseharian antar warga. Ketahanan nasional terancam mengalami pengeroposan bilamana politik SARA dibiarkan tanpa adanya pencegahan dan penindakan serius dari aparat berwenang.

Dengan demikian, partisipasi pemilih yang cukup tinggi dalam pilkada 2020 mesti dibarengi dengan kesadaran penuh dari elite untuk menjunjung tinggi integritas demokrasi. Harapan yang besar bagi paslon yang terpilih untuk mengembalikan ruang publik menjadi sehat, tanpa penyebaran virus kebencian dan bercak-bercak darah. Polarisasi politik dan fragmentasi sosial yang terbentuk selama kampanye saatnya dinormalisasikan kembali.

Kepala daerah terpilih juga mesti berkomitmen bahwa mereka bukan sekadar pemimpin untuk pemilihnya saja, atau melayani golongan tertentu saja, tapi pemimpin untuk semua warga tanpa berlaku diskriminatif. Legitimasi yang kuat dari rakyat mesti dijaga. Dukungan pemilih yang mengantarkan aktor-aktor politik lokal menjadi pemimpin daerah adalah modal yang sangat mendasar untuk memajukan kabupaten, kota dan provinsinya kelak.

Tantangan masa kini dan masa mendatang adalah bagaimana memastikan adanya sinergi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk menuntaskan penanganan Covid-19 sekaligus pemulihan ekonomi. Begitu pula masyarakat, diharapkan partisipasi aktifnya untuk mengawal pemimpin terpilih, mengutamakan kolaborasi dan kerjasama konstruktif. Dengan begitu, pilkada tidak sekadar ritual sirkulasi elite semata, tapi menjadi kenduri demokrasi lokal yang melahirkan kepala daerah visioner dalam lanskap otonomi daerah. Semoga.

 

 

Mawardin, peneliti Charta Politika Indonesia

Foto: Aditya Irawan (Getty Images)

 

Menjaga Marwah Pemilu

Pemilu merupakan ruang bersama bagi warga untuk menentukan siapa yang akan menjalankan pemerintahan. Ini dengan pengandaian yang terpilih adalah kandidat yang berkualitas. Implisitnya, pemilu juga medium untuk perawatan mereka yang tidak kompeten atau orang yang bermasalah di arena kekuasaan.

Faktanya, pemilu masih menjadi instrumen yang rapuh. Kandidat (orang atau parpol) yang berkualitas tak selalu jadi pemenang pemilu. Bahkan, untuk jadi kontestan pun, mereka tak bisa atau tak bersedia. Hal ini penyebab beberapa petahana yang tidak bekerja atau bahkan bermasalah justru peluang peluang besar terpilih kembali.

Dalam situasi seperti itu, pemilu terdegradasi. Ia bersaing jadi ranah kompetisi untuk memilih kandidat yang lebih sedikit buruknya dari pilihan yang tersedia. Atau, dalam situasi berbeda, pemilu merupakan ruang berkontestasi ”dari dan untuk” politik elit. Elite politik di sini diimplementasikan oleh para politikus, tetapi juga pemilik modal yang juga terjun langsung menjadi politikus melalui proksi-proksinya.

Menerima situasi seperti ini tentu saja ada harganya. Risiko merosotnya legitimasi pemerintah yang terpilih terpilih memudarnya keyakinan terhadap pelaksanaan demokrasi atau bahkan terhadap prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Risiko ini perlu dimitigasi. Penguatan pemilu menjadi keniscayaan.

Penguatan pemilu bersoal tentang pengondisian yang bisa mendorong perbaikan iklim kepemiluan. Acuannya pada norma-norma standar yang sudah diterima secara global: bebas dan adil. Atau, dalam istilah Norris (2013), integritas pemilu (electoral integrity).

Jika dirumuskan dengan kalimat berbeda, pemilu harus didesain dengan semangat menghadirkan persamaan dalam kesempatan, kemungkinan, dan juga dalam memanfaatkan berbagai sarana. Pemilu tak hanya harus bebas, tetapi juga mengandaikan adanya kesetaraan dalam memanfaatkan kebebasan tersebut.

Pembatas

Penguatan pemilu bukan perkara mudah. Ini setidaknya karena ada kondisi yang jadi pembatas keputusannya secara optimal. Kondisi itu, pertama, ada pada tataran konsepsional, yaitu pendefinisian kandidat berkualitas. Kandidat berkualitas yang diinginkan dengan asumsi memiliki kompetensi, integritas, dan motivasi kuat untuk melayani publik. Ketika terpilih, kandidat ini diharapkan bekerja untuk meningkatkan pemilih hidup pemilih: lebih aman, merasa jadi warga yang berdaya dan lebih sejahtera.

Masalahnya, interpretasi terhadap kandidat berkualitas (dan juga kinerja yang diinginkan) sangat variatif, mengetahui berbagai faktor sekaligus, seperti preferensi ideologi, informasi kelengkapan, dan faktor kontekstual. Seperti diingatkan Murray (2005), kriteria kriteria berkualitas merupakan sesuatu yang masih dikontestasikan.

Teori ilmu politik, studi empiris pemilu, parpol, dan pemilih memiliki kriteria berbeda-beda tentang ini. Dua yang disebut terakhir, menurut Murray, cenderung bias karena banyak menggunakan indikator subyektif. Dalam pemilu konteks serentak 2019, kriteria kualitas yang digunakan sebagai penjulukan bersifat peyoratif seperti terwakili melalui ungkapan Amien Rais tentang ”partai Allah” versus ”partai setan”.

Pembatas berikutnya adalah kampanye. Pemilu tanpa kampanye ibarat memakai baju tanpa memakai celana. Kampanye adalah kesempatan untuk dapat informasi yang relevan untuk membantu pemilih membuat pilihan (Bartels, 1996). Masalahnya, intensitas kampanye itu krusial. Pemilih yang kurang informasi cenderung memilih kandidat yang intensitas kampanyenya tinggi (Blais dkk, 2009).

Persepsi pemilih terhadap informasi dari kampanye juga berbeda. Studi McCain dan Lawson (2005) menunjukkan, aliran informasi dari media kampanye yang intens pada berbagai segmen pemilih menurut status ekonomi tidak banyak mengubah informasi dan bahkan ada tendensi justru kian melebar.

Terkait itu, Achen dan Bartels (2016) mengingatkan, pemilih juga kerap menggunakan identitas sosialnya dan melakukan rasionalisasi agar isu kebijakan yang didukungnya sesuai bias partisannya. Kandidat juga berpeluang memanipulasi pesan tentang kebijakan dan personalitasnya demi terpilih.

Karena itu, kampanye bukan indikator yang baik untuk menilai kualitas kandidat (Markussen dan Tyran 2017; Bowler dkk, 2019). Dan, meski kampanye akurat sebagai sarana efektif pemilih, sebagian kandidat melihat sogokan jauh lebih efektif (Cruzz dkk, 2019).

Kondisi ketiga terkait inkoherensi sistem pemerintahan, sistem parpol, dan sistem pemilu. Ini pula yang terjadi di Indonesia. Ada ketidaksesuaian antara sistem pemerintahan presidensial (tetapi rasa parlementer) dan sistem multipartai yang ekstrem, serta sistem pemilu yang proporsional terbuka.

Dari diskursus politik, pokok soalnya adalah tarik-menarik pengawasan sistem presidensial atau mempertahankan representasi politik yang beragam sesuai kebinekaan masyarakat Indonesia. Ada upaya melakukan kombinasi yang bisa melentingkan keunggulan dari tiap sistem. Akan tetapi, dalam praktiknya sering kali justru mengafirmasi kelemahan-kelemahannya.

Inkoherensi itu terkait dengan pembatas berikutnya: penataan politik, termasuk pemilu, tak terjadi di ruang kosong. Para pihak berkontestasi agar sistem dan regulasi yang ada menguntungkan mereka dalam melakoni kompetisi politik. Tak heran, ada sebagian elit yang memiliki motivasi untuk menghambat bahkan membajak pemilu karena dapat mengurangi atau melempar mereka dari arena kekuasaan politik. Secara pribadi sebagai petahana, politik elit juga memiliki motivasi untuk memanfaatkan politiknya itu ke keluarga atau kerabatnya.

Polemik batas ambang batas. Dan presiden serta ukuran dapil, misalnya, dapat diterapkan dalam konteks ini. Bahkan, sebagian elit lain melihat momen pemilu sebagai instrumen untuk mengubah pemilu secara signifikan. Dalam kasus Indonesia, dari pemilihan langsung menjadi tak langsung.

Agenda minimal

Kondisi pembatas menjadi pengingat penguatan bahwa pemilu memiliki ruang lingkup yang semata-mata peraturan regulasi dan manajemen pemilu belaka. Dan, prosesnya nyaris mustahil dilakukan secara menyeluruh. Terlebih, kepemiluan Indonesia berada dalam situasi ”serba nanggung”. Secara total, tidak ada pemilu yang terjadi pada pemilu yang bersifat substantif di era Orde Baru, tetapi juga sulit menyatakan pelaksanaan pemilu sudah mencapai titik yang tepat dari integritas pemilu.

Seturut situasi ini, agenda pemilu setidaknya diarahkan untuk membangun situasi kondusif bagi terwujudnya persamaan bagi tiap anggota masyarakat untuk dipilih dan memilih. Dengan semangat ini, setidaknya ada empat agenda minimal yang perlu dipromosikan sekaligus didesakkan kepada para pembentuk UU.

Agenda minimal paling dasar, mendorong demokrasi di dalam parpol. Ini tidak mencakup proses kepemimpinan, tetapi juga penetapan caleg, capres-cawapres, calon kepala daerah dan wakilnya, penyusunan manifesto politik, dan penentuan siapa akan berkoalisi. Poin pentingnya, keseluruhan proses ini mengandaikan pelibatan anggota parpol secara langsung atau melalui berjenjang.

Demokrasi internal baru dapat dilakukan jika bersifat mandatori. Misal saja, ditetapkan sebagai bagian dari persyaratan parpol menjadi peserta pemilu. Peluang elite partai mengakali ketentuan ini terbuka, tetapi secara logis ini akan merugikan partai secara keseluruhannya. Pemilih akan membedakan mana partai yang lebih demokratis dan yang kurang demokratis.

Proses demokrasi juga dianggap sebagai pemilik uang atau para ”kutu loncat”. Karena itu, perlu dipersiapkan prosedur penangkal. Dalam konteks pencalonan anggota DPR (D), misalnya, diberlakukan ketentuan baru bisa dicalonkan jika seseorang sudah tiga tahun menjadi anggota partai.

Tak kalah penting, ruang kontestasi perlu tetap dijaga. Pada tingkat pilpres, semangat dasar pemilu serentak ialah menguatkan sistem presidensial demi terwujudnya pemerintahan yang efektif. Namun, persyaratan pencalonan capres-cawapres harus direndahkan agar muncul beberapa calon pemilih yang mempunyai pilihan, sekaligus menghindari polarisasi yang involutif. Pada level pileg, ambang batas tetap terjaga. Ini untuk memastikan proses penyederhanaan partai tak dipaksakan secara brutal ke arah sistem dua partai atau dua setengah partai.

Agenda minimal kedua terkait daya tarik jabatan publik. Meski ruang politik perlu terus dibuka, daya tariknya perlu diwajarkan. Mengikuti Besley (2015), daya tarik yang bermasalah ketika orang-orang lebih termotivasi karena gaji dan ”pendapatan ekstra” yang bisa didapat dalam melayani publik. Normalisasi dilakukan dengan membuat politisi terpilih sulit menyalahgunakan pengaruh, mengomoditisasi perizinan, dan juga melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Normalisasi ini, antara lain, dengan melebarkan transparansi dari hak warga untuk tahu, diberi mandat untuk menerapkan keterbukaan, termasuk dalam proses penyusunan kebijakan yang berarti pula menjalankan pemerintahan terbuka (open government).

Yang terakhir fokusnya bukan pada akuntabilitas, melainkan mendorong partisipasi publik dalam operasi dan mengelola masalah dalam menjalankan pemerintahan. Ini mengandaikan adanya berbagi data yang hampir bersifat real-time , komunikasi yang bersifat banyak , pengumpulan data yang bisa diekstrak melalui portal, adanya platform untuk melakukan kolaborasi, dan untuk membangun interaksi warga dengan pemerintah (Halberstam, 2015).

Dengan pemerintahan terbuka , pemerintahan akan semakin akuntabel. Terlebih jika ini diikuti penguatan dengan kelembagaan komisi negara, seperti KPK, Ombudsman RI, KPPU, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan Komnas HAM.

Agenda minimum berikutnya terkait reformasi politik. Dalam hal dana kampanye, pengaturan harus lebih luas lagi mencakup: (a) sumbangan dari individu pemilik, direksi atau karyawan perusahaan harus diperhitungkan sebagai bagian dari bagian dari korporasi; (b) adanya larangan sumbangan yang berasal dari korporasi yang pemilik atau direksinya sedang dalam proses hukum dan atau sedang menjalani kehidupan; (c) adanya pagu pengeluaran pengeluaran yang dibolehkan; (d) adanya audit forensik keuangan terhadap laporan dana kampanye.

Pada tataran parpol, setidaknya perlu ada pembatasan sumbangan operasional partai dari ketua umum atau pengurus terasnya dan larangan korporasi memberikan sumbangan politik ke lebih dari satu parpol. Ini dibarengi penguatan sanksi berupa pembatalan kepesertaan dan larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya (bagi individu dan partai) dan memperberat hukuman pidana dan perdata (bagi penyumbang).

Agenda minimum terakhir, meningkatkan persamaan pemanfaatan sarana (berkampanye). Pokok krusialnya mengatur media massa dan media sosial. Media massa cetak ataupun elektronik boleh berpihak, tetapi harus dikenai ketentuan menyampaikan informasi keterbukaan tentang keberpihakan dan disertai adanya pembatasan jumlah konten yang boleh dimuat/disiarkan.

Pemanfaatan ruang nonpolitik (seperti acara hiburan, infotainment, ataupun acara keagamaan) harus dilarang. Media publik, seperti TVRI, RRI, dan kantor berita Antara, harus dioptimalkan perannya untuk meningkatkan visibilitas seluruh kontestan. Perlu ada badan khusus ad hoc yang melibatkan jurnalis independen senior, akademisi, dan peserta pemilu sebagai pengawas.

Untuk medsos, pokok pentingnya adalah mencegah medium ini sebagai sarana pendistribusian hoaks. Kerja sama dengan pemilik aplikasi dibutuhkan agar akun dan konten hoaks bisa segera dihilangkan. Meski demikian, sebuah rangkaian pesan yang menyibak rekam jejak, mengevaluasi kelayakan program, mempertanyakan agenda tersembunyi dan afiliasi politik/bisnis dan sejenisnya harus diperbolehkan. Prinsipnya: kampanye negatif yes, hoaks no!

Ketentuan ini harus diikuti pada tataran kewajiban para bagi calon memberikan informasi keterbukaan mengenai dirinya, afiliasi bisnis dan politik keuangan, dan juga agenda politik yang mau dilakukan seandainya terpilih. Informasi ini harus tersedia dan terbuka untuk diakses. Juga dapat ditambahkan oleh publik setelah ada verifikasi. Calon yang tak bersedia dengan sendirinya dinyatakan gugur.

Di luar empat agenda minimum itu, perhatian harus diberikan kepada manajemen pemilu. Proses pendaftaran pemilih, perekrutan tenaga TPS, penentuan dapil, proses penghitungan suara, dan pengumuman hasil harus melibatkan publik dengan pendekatan open government. Dengan cara ini, selain lebih efisien dari sisi biaya dan waktu, penyelenggaraan pemilu juga akuntabel dan partisipatif.

Singkatnya, krisis pemilu harus mengikuti pembenahan sektor-sektor di luar kepemiluan itu sendiri, terutama meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, serta ruang lingkup berusaha yang mudah dan adil, dan pendidikan kewargaan. Pemilu adalah sebuah instrumen demokrasi yang rentan dan tidak diharapkan bak ”kotak ajaib” bagi terwujudnya demokrasi politik, apalagi demokrasi sosial.

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia.

 

Defisit Demokrasi di Tahun Pemilu

Di pengujung 2019, sebagian dari kita cemas dengan masa depan demokrasi. Sebelumnya, di awal tahun, sebagian kita cemas dengan prospek pemilu (serentak).

Ketika pemilu serentak 2019 berakhir, rasa lega terasa. Seperti ada beban berat di pundak yang telah terangkat. Publik mengapresiasi. Mengacu pada beberapa hasil survei, mayoritas responden menilai pemilu telah berlangsung jurdil. Meski demikian, penyelenggaraan pemilu serentak ini bukan tanpa masalah. .

Dari sederet indikator pemilu berkualitas, beberapa di antaranya perlu mendapat perhatian seksama. Pertama, pemilu serentak 2019 mempertegas bahwa penyelenggaraan pemilu di era reformasi masih terus mencari bentuk. Kesan trial and error tak terhindarkan. Aturan mainnya tidak saja terus berubah dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, tetapi juga ditandai adanya ketidakpastian hukum. Yang terakhir ini contohnya antara lain aturan soal narapidana (napi) korupsi menjadi caleg, persyaratan pencalonan DPD, dan juga proses verifikasi partai peserta pemilu.

Kedua, penyelenggaraan Pemilu 2019 juga mempertegas kegagalan dalam membenahi sejumlah masalah yang sudah menahun, antara lain kesemrawutan penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), praktik politik uang yang marak tetapi sangat sedikit yang bisa diproses lebih lanjut. Juga soal posisi media massa yang selalu diperdebatkan, tetapi tak juga ada solusi yang diterima di kalangan pemangku kepentingan.

Ketiga, pemilu serentak juga menyibak persoalan ihwal manajemen pemilu. Salah satunya terkait tenaga pelaksana penyelenggara pemilu di akar rumput. Ada problem serius terkait proses perekrutan yang selama ini terabaikan. Besarnya jumlah tenaga lapangan yang meninggal saat menjalankan tugas tidak saja ”kurang hitung” dalam soal implikasi pemilu serentak, tetapi juga karena tata laksana perekrutan tak seketat di tingkatan kota. Belum lagi masalah netralitas pelaksana pemilu di tingkatan ini karena sebagian terafiliasi parpol atau jadi pendukung salah satu pasangan capres-cawapres.

Keempat, resolusi konflik sengketa pemilu kali ini jauh lebih buruk. Lebih dari sebelumnya, pengerahan aksi massa cenderung menjadi instrumen untuk melakukan tekanan politik, alih-alih berupaya mendapat keadilan pemilu. Hal ini pada gilirannya membuka ruang bagi pihak tertentu untuk memantik kerusuhan yang untungnya berhasil diredam sebelum menjadi lebih tak terkendali.

Kelima, meski baru bersifat ”insiden”, manuver Gerindra ”memuluskan” sejumlah caleg seperti Mulan Jameela dan Sugiono masuk DPR perlu dapat perhatian. Selain soal keadilan; praktik ini ke depannya bisa jadi modus baru. Dalam hal ini, caleg tidak lagi akan terfokus pada kompetisi untuk mendapatkan suara terbanyak, tapi pada bagaimana kemampuan mereka melobi DPP sebagai faktor penentu utama. Selain berpotensi melahirkan modus transaksional baru, kondisi ini juga bisa dianggap ”mengakali” pemilih yang merasa suaranya menjadi mubazir.

Keenam, pemilu serentak juga mengonfirmasi kecemasan lain yang selama ini kurang mendapat ruang dalam diskursus publik, yaitu pemilu serentak membuat pileg seperti dilupakan. Pemilih tak terlalu peduli dalam memilih partai atau caleg. Mereka cenderung tak memperhatikan dengan baik apa agenda politik yang dijanjikan parpol atau caleg. Tak ada kebutuhan untuk tahu rekam jejaknya. Dalam kasus DPD, bahkan tak sedikit pemilih tak tahu siapa saja calonnya dan siapa yang layak dipertimbangkan untuk dipilih. Ibarat konser musik, pileg hanya band pembuka belaka.

Ketujuh, ambang batas pencalonan capres-cawapres yang tinggi secara tak langsung sebenarnya melucuti semangat dasar di balik usulan pemilu serentak. Dari sisi efisiensi, dua paslon sangat tepat karena menghindari kemungkinan adanya pemilihan putaran kedua. Namun, dari sisi pemilih, situasinya berbeda.

Pilihan terbatas membuat pemilih terpaksa menerapkan strategi ”diskon”. Secara sadar, pemilih mengabaikan situasi bahwa preferensi kebijakan dia sebenarnya relatif berjarak dengan kandidat yang dipilihnya. Sebagian pemilih, umpamanya, tetap memilih pasangan 01 walaupun dari sisi janji kampanye terkait BPJS dia merasa lebih dekat yang ditawarkan 02. Atau mengabaikan fakta bahwa mereka sebenarnya tak suka dengan pendamping pasangan yang dipilihnya. Ini secara figuratif terwakili dari ungkapan; ”Saya pilih Sandi, bukan Prabowo” atau ”Saya pilih Jokowi, bukan Kiai Ma’ruf”. Pilihan lain, jadi golput.

Defisit demokrasi

Dengan melakukan diskon preferensi, pemilih telah berkorban rasa dan mungkin pula harga diri. Tetapi, pasca-pilpres, sebagian pemilih dihadapkan pada situasi yang terasa ganjil: Prabowo bergabung ke Kabinet Indonesia Maju. Fenomena ini melahirkan kelakar yang terwakili melalui penjulukan seperti ”pilpres rasa Pemilihan ketua RT”. Tapi, pada saat bersamaan, polarisasi di masyarakat terus berlanjut dan cenderung kian mengkristal. Situasi ini secara telak menggugurkan dalih bahwa bergabungnya Prabowo bentuk pengejawantahan prinsip kegotongroyongan dan atau kebersamaan.

Dan, yang lebih ”menakjubkan”, munculnya berbagai gagasan yang jika dipadatkan tak lain dari upaya mempereteli pemilu langsung. Berbagai gagasan yang terlontar pada intinya ingin mengembalikan pemilihan ke MPR (presiden) dan DPRD (kepala daerah) serta memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode. Mempereteli sesuatu yang dinilai baik tidak saja membingungkan, tetapi juga membangkitkan rasa cemas. Bagaimana tidak, pelaksanaan pemilu jadi penopang indikator kebebasan Indonesia sebagaimana tecermin, umpamanya, pada indeks kebebasan yang dirilis Freedom House. Menurut indeks ini, pelaksanaan pemilu di Indonesia skornya 2 (bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tidak bebas (7) pada periode 2013-2019.

Meski “baru sebatas wacana, gerakan mempereteli pemilu merupakan sesuatu hal yang terlalu serius untuk diabaikan. Dalam hal ini, esensi pemilu sebagai sebuah persamaan peluang memilih dan dipilih hendak dibatasi jadi ruang elite belaka. Maksudnya, pemilu dijarah jadi sekadar ruang bagi elite memilih pemerintahan untuk mereka sendiri dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Dengan begitu, gagasan mempereteli pemilu karena itu harus dipahami sebagai upaya sistematis membangun diskriminasi politik dengan mengatasnamakan efisiensi, gotong royong, atau bahkan mungkin dengan dalih ”demokrasi Pancasila”. Diskriminasi menghasilkan rasa cemas, rasa kekurangan, dan frustrasi sosial. Sebab, ruang bagi masyarakat kebanyakan untuk mendorong terwujudnya persamaan sosial menjadi semakin terbatas dari sebelumnya.

Gagasan mempereteli pemilu langsung bukanlah ide baru. Sebagaimana gagasan menerapkan Piagam Jakarta, gagasan ini sudah beberapa kali dilambungkan. Bahkan, dalam kasus’pilkada, sudah pernah dieksekusi jadi perundang-undangan sebelum akhimya dipatahkan kembali dengan keluarnya perppu di masa akhir pemerintahan SBY. Argumentasi tak pernah berubah: pemilihan langsung itu liberal dan karena itu tak sesuai Pancasila. Ini biasanya diimbuhi argumentasi tambahan seperti: mahal dan lebih banyak mudaratnya. Di sebagian kalangan, pemilu langsung juga dianggap penghinaan. Bagi mereka, prinsip one man one vote cederai prinsip keahlian. ”Bagaimana mungkin suara seorang ulama sama nilainya dengan suara seorang tukang becak” jadi contoh tipikal pembela gagasan pemilu tak langsung dari kalangan ini.

Satu paket dengan itu, juga mencuat gagasan mengembalikan kekuasaan politik ke MPR. Argumennya sebangun meski tidak sama. Bagi pendukung gagasan ini, MPR perwujudan pasal keempat Pancasila; mencerminkan prinsip mufakat dan kegotongroyongan. Sebagaimana tecermin di Orde Baru dan juga Orde Lama, MPR-lah yang memberikan ruang berbagai kalangan duduk sebagai wakil rakyat tanpa dipilih. Mereka ditunjuk dengan mengasumsikan hak istimewa yang melekat di organisasi tertentu atau bahkan mungkin nantinya figur tertentu.

Menariknya, argumen menghidupkan MPR dan mempereteli pemilu mempertemukan dua golongan yang biasanya berseberangan: kalangan yang mengaku diri Pancasilais sejati dan golongan Islam konservatif. Keduanya sama-sama tak bahagia dengan praktik demokrasi saat ini yang mereka nilai terlalu kebarat-baratan (baca: liberal). Ketaksukaan pada sesuatu yang berbau Barat bukanlah tren baru. Sejak beberapa waktu lalu, ada kecenderungan menolak atau menetralisasi nilai-nilai demokrasi liberal: kebebasan, kesetaraan, dan kontrol atas kekuasaan.

Mengacu pada indeks Freedom House, misalnya, sejak 2014 komponen kebebasan sipil Indonesia konsisten skornya 4 (sebagian bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tak bebas (7). Survei SMRC (Mei-Juni 2019) mengoniirmasi hal yang sebangun: perasaan takut berekspresi juga meningkat tajam. Survei LSI (September 2019) mengonfirmasi kecenderungan intoleransi juga meningkat. Dalam literatur politik, situasi ini disebut illiberal democracy. Istilah ini secara karikatural bermakna ‘pemilu yes, nilai-nilai demokrasi liberal no’. Singkatnya, demokrasi di negeri ini hendak kembali dibonsai. Dan, jalan itu sangat mungkin terjadi. Sebagaimana diingatkan Foa dan Mounk (2017), proses konsolidasi demokrasi bukanlah jalan satu arah ke depan. Terbuka peluang untuk stagnan dan atau mundur. Dekonsolidasi terjadi ketika publik mulai tak percaya pada aturan main yang dihadap-hadapkannya dengan kehendak rakyat; ketika daya tahan aturan main demokrasi melemah dan warga mulai tertarik ide otoritarian.

Dalam kasus Indonesia, penggerak utama dekonsolidasi adalah elite politik. Berkat medsos, gagasan ini dipompakan sedemikian rupa sehingga sebagian masyarakat memberikan toleransi dan bahkan mendukung terjadinya pembatasan kebebasan seperti ditunjukkan ketika pemerintah dengan santainya memblokir situs dan mematikan akses internet. Sebagian masyarakat berdiam diri atau malah menganjurkan diskriminasi sebagaimana pada kasus sulitnya membangun rumah ibadah, pilih kasih penggunaan pasal karet terkait penghinaan tokoh politik atau penodaan agama.

Sebagai catatan, pertama, tindakan membatasi kebebasan atau perlakuan diskriminatif tak hanya dilakukan aparatur pemerintah, tapi juga kelompok-kelompok sipil. Kedua, praktik yang cenderung membatasi dan atau melanggar aturan main demokrasi terutama diarahkan ke anggota masyarakat biasa. Ini berbeda dengan pola dalam sistem otoritarian kompetitif di mana pemerintah yang berkuasa cenderung melakukan pembatasan, persekusi, kriminalisasi, manipulasi, dan sejenisnya kepada pihak oposisi (Levitsky dan Way, 2002).

Singkatnya, kebebasan sipil kita mengalami kemerosotan dan ini sepertinya ingin digenapkan dengan juga membonsai pemilu. Yang terakhir ini, meski baru sebatas gagasan, sudah lebih dari cukup memicu rasa cemas. Sikap Jokowi dan juga Partai Demokrat yang belakangan menegaskan posisinya membela pemilu langsung tak dengan sendirinya mempupus rasa cemas itu. Pasalnya, apa yang terjadi selama 2019 ini menunjukkan bahwa elite politik bisa melakukan apa pun yang dalam perkiraan normal tak akan berani mereka lakukan. Secara khusus, ada semacam trauma sosial setelah UU KPK direvisi dan janji Jokowi untuk mengeluarkan perppu tentang revisi UU KPK tak jadi dilaksanakan.

Apakah dengan demikian demokrasi kita dalam bahaya? Mengikuti Erdmann (2011), saat ini kita tengah mengalami penurunan kualitas demokrasi. Kita mungkin saja terus berada dalam situasi ini. Tetapi, seperti diingatkannya, kemungkinan secara perlahan masuk fase hibridisasi (kombinasi otoritarian dan demokrasi) atau gerak cepat menuju pemutusan dari demokrasi juga terbuka. Dalam hal ini, peringatan Alexander dan Wezel (2017) penting diperhatikan. Menurut mereka, dekonsolidasi demokrasi punya peluang besar ketika polarisasi kelas menajam dan marjinalisasi masyarakat bawah terus berlanjut. Dalam konteks Indonesia, persepsi dominasi asing/aseng jadi bahan bakar yang efektif membangun sentimen negatif terhadap kondisi ekonomi secara umum.

Ini ditambah dengan kuatnya persepsi bahwa ekonomi dan dunia usaha cenderung melemah dan harga-harga makin mahal, termasuk juga yang terakhir soal kenaikan iuran BPJS yang dinilai terlalu memberatkan peserta. Kepahitan ekonomi memungkinkan publik berpaling dan mengadopsi gagasan otoritarian atau sekurang-kurangnya menerima situasi jika nyatanya harus menjalani realitas ”diet demokrasi”.

Belum berakhir

Sekali lagi. demokrasi kita tengah defisit. Para penyokong degradasi demokrasi sepertinya beranggapan kurva demokrasi bisa sedikit diturunkan demi mencapai stabilitas yang diasumsikan akan membantu percepatan investasi yang dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian. Asumsinya, demokrasi dapat dinaikkan kembali kualitasnya jika kondisi ekonomi sudah memungkinkan. Padahal, ada kemungkinan, gerak balik itu akan jauh lebih sukar dari yang bisa mereka bayangkan. Terlebih ada sebagian penyokong degradasi demokrasi punya obsesi lebih jauh lagi: menyingkirkan demokrasi secara penuh.

Di titik ini mencuat sebuah kesadaran: kita kekurangan pembela demokrasi, khususnya di kalangan elite politik sendiri. Meski (pernah) diuntungkan oleh. demokrasi, sebagian elite politik kini merasa demokrasi terlalu menguras sumber dayanya. Tingkat keuntungan berdemokrasi tak lagi menarik. Para elite memilih tak setia pada demokrasi karena ,mereka juga mulai merasa publik sepertinya tak terlalu berkeberatan dengan pemangkasan kebebasan ataupun keketidaksetaraan yang dilanggengkan.

Jelaslah sudah, 2019 mungkin bukanlah tahun terbaik bagi Indonesia dari sisi politik. Tetapi, setidaknya tahun ini memberikan satu tanda penting tentang demokrasi kita. Jika diibaratkan klub sepak bola di liga Inggris, posisinya sudah terperosok di zona degradasi. Tetapi, demokrasi di negeri ini masih punya peluang kembali ke zona aman karena musim kompetisi belum berakhir. Kita tak perlu bermimpi bisa ikut kompetisi tingkat Eropa karena untuk bisa masuk klasemen papan téngah saja sudah bisa dibilang pencapaian yang luar biasa. Jadi, mari selamatkan demokrasi kita. Dan, untuk itu, zona nyaman para elite politik harus diganggu. Tanpa itu, mereka akan berpikir bahwa masyarakat tak ubahnya kerbau yang dicocok hidungnya belaka.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 18 Desember 2019

 

Foto: Antara/Mohammad Ayudha

Tantangan Awal Kabinet

Seperti tagline sebuah iklan permen: ramai rasanya. Harapan sekaligus rasa cemas berkelindan menjadi satu seusai mendengar pengumuman nama-nama menteri dan wakil menteri Kabinet Indonesia Maju.

Perasaan campur-baur ini tak hanya terkait personel yang dipilih, tetapi juga pilihan kebijakan yang hendak dijadikan “panglima” pembangunan.

Benang merah dari perasaan campur-baur ini berhulu pada kesan masih kentalnya aroma politik transaksional (baca: bagi-bagi kursi) dalam proses pembentukan Kabinet Indonesia Maju (KIM). Pengangkatan Wakil
Menteri (Wamen) dari unsur organisasi sukarelawan yang sebelumnya sempat ‘ngambek’ menjadi penanda karikaturalnya. Pun, bergabungnya Gerindra juga perlu ditempatkan pada konteks ini.

Dan, karena itu, tak layak di glorifikasi sebagai wujud sikap kenegarawanan Prabowo ataupun Jokowi, misalnya.

Yang perlu ditempatkan dalam konteksnya, “bagi-bagi kursi” (kabinet) merupakan output dari proses tawar-menawar dalam pembentukan kabinet koalisi. Dalam sistem presidensial multipartai, kabinet koalisi  tak terhindarkan kecuali jika partai pengusung presiden menguasai kursi mayoritas di legislatif dan atau bersedia
menetapkan strategi ad hoc (koalisi temporer) di legislatif (Martinez- Gallardo,2011).

Dalam kasus Pilpres 2019, kabinet koalisi menjadi keniscayaan karena sistem pemilu yang mendorong terbentuknya koalisi sebelum pemilu dilangsungkan. Konsekuensi dari tetap diberlakukannya presidential threshold (bahkan menggunakan basis suara dari pemilu sebelumnya) yang memaksa seorang capres bernegosiasi kekuasaan dengan partai untuk dapat memenuhi prasyarat ambang batas dukungan.

Tawar-menawar dalam pembentukan kabinet koalisi menjadi sesuatu yang bisa dianggap normal jika yang dikedepankan adalah ihwal isu-kebijakan (policy seeker) dan bukan soal jumlah kursi atau posisi dalam kabinet (office seeker).

Seperti dinyatakan Cheibub dkk (2004), politik tawar-menawar perlu dibedakan antara sebagai tujuan akhir dan secara metode. Dalam kasus pembentukan KIM, yang mengemuka ke permukaan sejauh ini lebih terlihat sebagai berburu jabatan publik sebagaimana terlihat dengan jelas pada kasus organisasi sukarelawan yang ‘ngambek’ dan juga banyaknya jumlah wamen yang diangkat tatkala pada kesempatan lain Jokowi berbicara soal kebutuhan melakukan perampingan birokrasi.

Dalam konteks ini, sebaliknya, pilihan pelibatan Gerindra ke dalam KIM cenderung bisa dimengerti meski tak selalu harus dibenarkan secara politik. Tanpa Gerindra, KIM baru mencapai level apa yang disebut dengan istilah ambang batas kemenangan koalisi (minimal winning coalition). Secara teoretik, ambang batas ini memungkinkan partai kecil ‘menyandera’ Presiden (Raile dkk, 2009). Dalam kasus KIM, ancaman itu bukan datang dari partai kecil seperti Partai Persatuan Indonesia (PPP) tetapi partai menengah seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau Nasdem, misalnya. Dus, kehadiran Gerindra dapat dimengerti sebagai sebuah strategi cadangan yang diperlukan. Namun, pilihan ini tentu saja juga punya konsekuensi politis lainnya.

Tantangan eksternal

Singkatnya, proses pembentukan KIM tak cukup diterima meski juga tak mendapat penolakan yang kuat. Ini tak lepas dari modal politik yang dimiliki Jokowi. Mengacu pada survei Litbang Kompas terbaru, 73,3 persen menilai citra dirinya baik. Pada saat awal berkuasa, yang menyatakan baik mencapai 89,9 persen. Meski tinggi, Jokowi perlu mencermati adanya tren penurunan yang konsisten terjadi sejak 1,5 tahun terakhir. Dari sisi kinerja, survei Kompas juga menunjukkan adanya tren penurunan kepuasan, dari 72 persen pada April 2018 menjadi 59 persen pada Oktober 2019 (Kompas, 18/10/2019).

Karena itu, secara eksternal, ada sejumlah tantangan atau pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dan atau ditunjukkan KIM dalam 100 hari pertamanya. Benang merahnya: memulihkan kepercayaan dan atay
menumbuhkan harapan. Pertama, menangani kegundahan pendukungnya sendiri. Bergabungnya Prabowo dan ‘hilangnya’ tradisi yang biasanya menempatkan NU di posisi menteri agama serta Muhammadiyah di menteri pendidikan menjadi pemicu pro dan kontra di sebagian kalangan pendukung Jokowi tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan perppu untuk menganulir revisi UU KPK, belum lagi terkait kontroversi RUU KUHP yang akan ditentukan nasibnya dalam waktu dekat. Di titik ini, dipertahankannya Menkumham petahana tak ubahnya menjadi tamparan telak bagi mereka.

Tantangan kedua terkait radikalisme. KIM perlu menjelaskan strategi penanganannya secara holistik. Dan, ini perlu dimulai dengan membangun tipologi radikalisme dan pendekatan penanganannya seturut tipologi itu. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan bahwa yang sedang ditangani adalah gerakan radikal yang mengedepankan cara-cara kekerasan dan atau punya tujuan mengubah dasar negara, bukannya hendak memberangus ekspresi keberagaman (berjenggot, bercadar, celana cingkrang, dan lainnya) yang berpotensi kian membelah masyarakat secara horizontal.

Senapas dengan itu, tantangan ketiga bagaimana menjelaskan formula kebijakan yang menjadikan investasi sebagai panglima pembangunan. Sekurangnya berkenaan dengan tiga isu-kebijakan berikut ini; (a) potensi pengebirian kebebasan, penerabasan hukum, dan pengabaian HAM; (b) kemungkinan mengorbankan kebutuhan untuk pembiayaan kebijakan sosial (misalnya dana kesehatan) atau keharusan penggunaan dana publik secara lebih berhati-hati (misalnya dana haji); dan (c) memberi keyakinan bahwa aliran dana investasi asing tetap dalam
koridor kepentingan nasional. Dalam artian ini, perlindungan terhadap produk dan industri lokal tetap dikedepankan.

Keempat, KIM memiliki kewajiban utama menegaskan posisi dan komitmennya terkait sejumlah isu-kebijakan yang merupakan warisan dari kabinet sebelumnya. Beberapa di antaranya: keberlangsungan BPJS, penguatan kelembagaan KPK, tidak lanjut RUU yang ditunda penetapannya, dan juga sikapnya terhadap beberapa RUU bermasalah (misalnya UU ITE) maupun RUU yang krusial tetapi terpinggirkan (contohnya RUU Perlindungan Data Pribadi).

Kelima, KIM perlu menjelaskan formulasi kebijakannya untuk menjawab kemungkinan terjadinya resesi/perlambatan pertumbuhan ekonomi di level global melalui penjabaran strategi dari semua kementerian yang
terkait. Hal ini dibutuhkan untuk membangun trust di hadapan investor, pelaku pasar, dan masyarakat yang
cenderung merespons positif atas dipertahankannya Sri Mulyani Indrawati, tetapi bertanya-tanya mengenai munculnya nama kader partai yang memimpin beberapa kementerian bidang ekonomi lainnya.

Tantangan internal

Secara internal tantangan utama yang dihadapi Jokowi selaku nakhoda utama KIM adalah mengelola koalisi. Dalam hal ini, memastikan stabilitas KIM sejauh dimungkinkan, tetapi tetap memperhatikan kinerjanya. Terkait ini, sekurangnya ada empat tantangan yang perlu dikelola dengan cermat.

Pertama, perlakuan yang adil. Parpol yang merasa diperlakukan adil punya kans untuk  sewaktu-waktu keluar dari kabinet (Altman, 2000) atau sekurang-kurangnya mengabaikan disiplin koalisi di tingkatan legislatif. Dari proses pembentukannya, benih-benih ketidakpuasan sudah tertanam di tubuh KIM. Nasdem, misalnya secara tak langsung
sempat mengirimkan sinyal “ketidakbahagiaan”-nya selama proses pembentukan kabinet. Di samping itu, juga perlu digarisbawahi ketidakpuasan NU dan secara lebih implisit kegusaran Muhammadiyah terkait posisi kementerian
yang selama ini selalu diisi kader dari kedua ormas tersebut.

Kedua, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi besaran koalisi. Semakin besar koalisi, semakin mudah menjadi tidak solid. Ketidaksolidan ini akan semakin potensial jika jarak ideologi antarpartai juga cukup bervariasi dan atau sekurang-kurangnya ada perbedaan pilihan terkait satu atau beberapa isu kebijakan. Bergabungnya Gerindra membuat koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi (bertambah) tambun. Ini masih diimbuhi dengan parpol nonkursi di legislatif.

Besarnya partai membuat alokasi distribusi kekuasaan menjadi lebih susah dan atau mahal. Karena itu, semakin mungkin partai merasa diperlakukan tak adil. Situasi akan tambah runyam apabila terbentuk ’pengubuan’ secara internal, seperti munculnya istilah ’kubu Teuku Umar’ dan ‘kubu Gondangdia” yang sempat ramai dibicarakan beberapa waktu lalu.

Ketiga, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi faksionalisasi di internal partai koalisi. Faksionalisasi penting diperhatikan karena bisa memengaruhi kedisiplinan berkoalisi di legislatif. Dalam konteks KIM, potensi gangguan dari faksionalisasi ini terutama bersumber dari partai yang faksionalisasinya kuat seperti Golkar dan dalam derajat yang lebih rendah di PKB maupun PPP.

Keempat, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi kedekatan waktu dengan pemilu. Dan, dalam konteks periode kedua, situasi jadi tambah runyam. Sebab, partai-partai akan lebih kritis mengevaluasi keberadaan mereka dalam koalisi. Jika dinilai biaya politiknya lebih besar daripada manfaat politis maupun ekonominya, partai sangat mungkin menjadi ‘anak nakal’ untuk mempertahankan basis pemilihnya atau malah memilih keluar dari koalisi.

Dihadapkan pada tantangan-tantangan ini, Jokowi perlu menyiapkan strategi antisipasi yang relevan. Yang paling pokok dan perlu dituntaskan di 100 hari pertamanya adalah membangun kesepakatan koalisi yang formal. Pesannya pada sidang kabinet perdana (hanya ada visi presiden-wapres dan kerja kabinet adalah kerja tim) masih bersifat simbolik. Pesan politik tersebut perlu diolah ulang menjadi seperangkat aturan main, indikator kinerja, dan konsekuensi politiknya. Indikator kinerja ini terkait target pencapaian setiap kementerian, baik itu berupa program prioritas maupun program regular.

Indikator ini harus dipublikasikan sejak awal sehingga publik pun bisa memonitor. Transparansi ini juga bermanfaat untuk mengeliminasi potensi ‘drama politik’ yang tidak lucu seperti seolah-olah ’jadi korban’ ketika seorang menteri diganti di tengah jalan karena gagal mencapai target kinerja, misalnya.

Selain itu, kesepakatan koalisi ini juga perlu mengatur mekanisme resolusi konflik yang mungkin terjadi pada tataran antarpartai koalisi. Konflik ini antara lain bisa terjadi karena perbedaan isu-kebijakan tertentu. Bagaimanapun, partai punya batas-batas tertentu untuk tak terlalu jauh dari preferensi pemilih tradisionalnya. Terlalu mahal secara politik jika kesenjangan pada satu-dua isu kebijakan tertentu menyebabkan kabinet terbelah dan atau harus dirombak ulang. Meski demikian, Presiden juga tak perlu sungkan menggunakan sarana perombakan kabinet jika menteri tak unjuk kinerja dan bahkan membentuk ulang koalisi jika soliditasnya sudah begitu buruk atau malah jadi beban secara politik.

Yang tak kalah penting, aturan main di internal kabinet perlu diformalkan dan bahkan diketahui publik. Belajar dari pengalaman kabinet sebelumnya, perlu ada tata laksana antarmenteri koordinator, antara menteri koordinator dan kementerian teknis yang dibawahinya, dan juga antara menteri dan wamen. Pada dua hal pertama yang disebut, isu kuncinya adalah sinergi dan kolaborasi karena kecenderungan ego sektoral masih tinggi dan atau merasa memiliki back up politik lebih kuat. Untuk yang terakhir, isu kuncinya adalah menghindari kemungkinan terjadinya ‘matahari kembar’ di kementerian dan atau kemungkinan terisolasinya salah satu dari mereka (entah menteri atau wamen).

Kesepakatan koalisi barulah pedoman awal. Kunci keberhasilan pengelolaan kabinet koalisi juga sangat dipengaruhi bagaimana Jokowi mengelola perangkat eksekutif yang dimilikinya. Seperti diingatkan Araujo dkk (2008), manajemen koalisi bersifat hari demi hari. Dalam hal ini, presiden dapat melakukan transfer politik (misalnya jabatan publik lainnya atau dukungan di pilkada), transfer finansial (contohnya; pork barrel) ataupun pemberian konsesi politik sebagai alat melakukan tawar-menawar untuk memastikan stabilitas pemerintah. Stabilitas pemerintah itu penting. Meski demikian, sebagai publik, kita perlu memastikan stabilitas itu tak ditebus dengan biaya tinggi, entah itu berupa pemborosan keuangan negara atau pengebirian atas proses demokrasi, misalnya.

 

Oleh: Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

 

 

Foto: ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

 

Menyoal Kepemimpinan Jokowi

Sering kita mendengar celetukan bernada sinis yang menyebut SBY itu pemimpin politik yang lamban, namun tak jarang pula kita mendengar decak kekaguman yang dengan gamblang mengatakan SBY adalah pemimpin politik yang matang dalam mengambil keputusan. Pola senada kerap kita dengar manakala orang membicarakan para Presiden Indonesia lainnya, dari mulai Soekarno hingga Jokowi.

Lebih daripada itu, kita juga kerap membaca berbagai ulasan yang melakukan pengandaian. Contohnya, “Kalau presidennya saat ini Gus Dur, kelompok minoritas akan dilindungi penuh oleh negara” atau “Kalau saja Jokowi yang jadi presiden sejak 2004 lalu, kesenjangan infrastruktur antarwilayah tak separah saat ini.”

Dan, tak sedikit dari kita, termasuk saya, sering tergoda untuk mengaitkan personalitas pemimpin politik dengan potensi keberhasilan kepemimpinannya. Pernyataan-pernyataan seperti “Kita butuh presiden yang tegas agar Indonesia kembali berjaya” atau “Kita butuh pemimpin yang kuat agar stabilitas terjaga” terdengar akrab di telinga kita, bukan?

Pokok pesan dari ilustrasi di atas adalah, pertama, kita mudah larut dalam simplifikasi dalam menilai kepemimpinan seorang presiden. Untuk sebagian ini bersumber dari preferensi yang terbentuk, dan untuk sebagian lagi karena peran media yang getol melakukan personalisasi nilai politik.

Celakanya, preferensi tersebut bersifat labil. Tak sedikit yang kini mengidolakan atau sekurang-kurangnya mengagumi Jokowi dulunya juga bersikap yang sama terhadap SBY. Persis sebaliknya, ada pula yang awalnya antusias dengan kemunculan Jokowi tetiba merasa rindu pada kepemimpinan ala SBY yang memberi impresi kuat pada keteraturan atau juga kepada Gus Dur yang memberi impresi siap bersikap frontal terhadap para ‘penumpang gelap’ reformasi.

Kedua, personalitas dan gaya kepemimpinan seorang presiden sering kali dibekukan. Dalam hal ini, misalnya, Jokowi kerap diidentikkan dengan pemimpin yang tak tegas atau SBY lekat dengan asosiasi figur yang sabar.

Namun, dalam momen-momen tertentu, Jokowi nyatanya bisa unjuk diri sebagai seorang pemimpin yang (bisa) tegas, pun SBY bisa menunjukkan kegeramannya secara terbuka. Adanya pergeseran sikap sering mengagetkan dan berujung pada satu dari dua kemungkinan berikut ini: menilainya sebagai pencitraan atau menganggapnya sebagai moment of truth: watak asli yang terungkap.

Ketiga, simplifikasi dan pembekuan karakter merupakan konsekuensi logis dari pengabaian terhadap konteks. Studi-studi kepemimpinan politik kontemporer telah menegaskan pentingnya untuk mempertimbangkan konteks. Ini bukan berarti personalitas tak penting. Saya lebih memahami adanya interaksi antara keduanya. Dan, atas dasar inilah saya hendak mendiskusikan kepemimpinan politik Jokowi sebagai presiden.

Lintasan Politik

Konteks yang saya maksud di sini mencakup dua hal: Posisi Jokowi dalam arus utama gagasan politik dan pembangunan, serta posisinya dalam kekuatan politik. Dari sisi gagasan utama politik, Jokowi menawarkan pembaruan. Ia hendak merekonstruksi (politik) pembangunan sekurangnya melalui tiga gagasan.

Pertama, ia mengusung gagasan pembangunan untuk semua, utamanya memberi atensi khusus pada kelompok masyarakat dan atau wilayah yang selama ini relatif terabaikan. Dan, belakangan ini terfokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan pembiayaan lebih untuk pendidikan (KIP) dan kesehatan (KIS). Kedua, ia berkomitmen mereformasi birokrasi. Belakangan, terlihat fokusnya pada kemudahan pada berinvestasi dan berusaha. Ketiga, ia menggaungkan janji lama tentang kedaulatan ekonomi, politik, dan pembangunan kepribadian bangsa (berdikari).

Gagasan tersebut dianggap sebagai sebuah ‘kebaruan’. Ia diterima publik karena mendobrak ‘kesepakatan diam-diam’ di kalangan elite politik bahwa gagasan-gagasan tersebut tak mungkin dilakukan, setidaknya untuk saat ini.
Bagi Jokowi, pemerataan tidak harus menunggu kekuatan ekonomi mencukupi lebih dahulu. Sebaliknya, ia beragumen, pemerataan (infrastruktur fisik) merupakan jalan membangun kekuatan ekonomi.

Bagi Jokowi, birokrasi tak boleh lagi menyandera publik, ia harus benar-benar jadi pelayan publik. Dan, Jokowi menilai pergaulan antarbangsa harus bertumpu pada identitas nasional yang kuat.

Terkait posisinya dalam kekuatan politik di periode pertama, Jokowi adalah bagian dari kelompok politik yang selama 10 tahun terakhir ini menjadi oposisi. Lebih penting dari itu, pemerintahannya merupakan memiliki kekuatan minoritas di ranah legislatif pada awal kekuasaannya.

Dan, sebagai outsider dalam banyak segi, Jokowi tak bisa mengontrol partai yang menyalonkan dirinya (PDIP) dan relasinya dengan partai pendukung masih berupaya menemukan relasi yang tepat. Ini ada kaitannya dengan posisinya yang bukan ketua partai dan sekaligus ini menjadi pembeda dengan tiga presiden sebelumnya (SBY, Megawati, dan Gus Dur).

Sebagai bonus sekaligus beban, Jokowi memiliki pendamping yang sangat lincah bermanuver dan sekaligus memiliki modal sosial politik yang kuat: Jusuf Kalla. Karakter Kalla yang agresif konon menjadi salah satu alasan SBY memilih cawapres lain pada periode keduanya.

Ketika pemerintahan baru seumur jagung, Jokowi dihadapkan rangkaian ‘pukulan ganda’: Keharusan menaikkan harga BBM, kemelut yang mendera KPK, keriuhan di legislatif, ekonomi global yang mengalami pelambatan. Ketiga hal ini juga pernah dialami SBY.

Bedanya, Jokowi tak berkesempatan ikut menikmati dukungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kala itu, harga-harga komoditas unggulan ekspor (seperti sawit, batubara, coklat, dan lainnya) sedang mengalami masa peak-nya di pasar internasional.

Situasi yang paling membedakan dengan pengalaman-pengalaman presiden sebelumnya setidaknya terkait pada tiga hal berikut ini. Pertama, intensitas politik identitas yang begitu tinggi dan pada saat yang bersamaan Jokowi dibingkai sebagai sosok nasionalis abangan. Ini situasi yang bahkan tak dirasakan Megawati ketika menjadi presiden.

Kedua, peran media dan media sosial yang begitu besar terutama dalam mereduksi secara gila-gilaan berbagai persoalan, sehingga terkesan selalu ada solusi mudah untuk tiap persoalan yang dihadapi pemerintah. Ketiga, disrupsi teknologi yang muncul belakangan mengubah lanskap persaingan usaha di dalam negeri, termasuk mulai menguatnya kecenderungan otomotisasi di sektor manufaktur.

Manuver Kepemimpinan

Dihadapkan pada situasi seperti yang diuraikan di atas, di satu sisi, Jokowi menunjukkan kemampuannya beradaptasi dan bersikap fleksibel. Tidak seperti Gus Dur yang semakin nge-gas ketika diserang lawan dan teman-teman politiknya, Jokowi pada beberapa aspek mengambil sikap seperti SBY.

Jokowi mengembangkan politik akomodatif. Meski tak selalu efektif, Jokowi benar-benar memaanfaatkan apa yang disebut Chaisty dkk (2012) dengan istilah “perangkat eksekutif”. Dus, dari mulai mendistribusikan kursi menteri, menyediakan anggaran kementrian, menggelontorkan pork barrel, melakukan pertukaran kebijakan dengan partai koalisi maupun oposisi, hingga pemberian pengaruh dilakoninya.

Namun di sisi lain, Jokowi juga melakukan perubahan gaya berpolitik dengan semangat ‘membongkar’. Representasi terbaiknya terlihat pada pembubaran Petral, divestasi saham Freeport, dan pengalihan operasi ke Pertamina untuk setiap kilang minyak yang sudah habis masa kontrak karyanya dengan korporasi minyak asing. Meski demikian, Jokowi sering kali belum dianggap berhasil dalam hal reforma agraria dan mengakhiri diskriminasi beribadah.

Terkait dengan hal tersebut, di satu sisi, Jokowi tampil sebagai figur yang bersedia mendengar masukan dari berbagai pihak dan siap mengakomodasi kepentingan mereka. Ini tak jarang membuat kebijakan yang sudah dirilis segera ditunda atau dibatalkan. Contoh terbaru soal penundaan soal pengenaan pajak pada penjualan daring. Namun, harus pula ditegaskan, Jokowi dapat dikatakan relatif mandiri dalam pengambilan keputusan.

Dan, hal itu ada kaitannya dengan sikapnya yang bisa juga, sebut saja, kukuh pada pendirian, jika tak mau disebut keras kepala. Ini, umpamanya, pada pendiriannya yang meyakini bahwa pemerataan pembangunan infrastruktur fisik harus diprioritaskan, meski ada biaya dan risiko politik yang ditanggungnya juga tinggi.

Dan, implikasi praktisnya, Jokowi semakin berorientasi pada output alih-alih pada proses yang ditandai adanya konsultasi dan persuasi dengan para pihak yang terkena dampak. Tak heran jika kemudian sebagian kalangan menjulukinya sebagai pemicu bangkitnya era new-developmentalism.

Kesan ini semakin diperkuat karena Jokowi dinilai oleh sebagian kalangan cenderung konservatif pada isu-isu demokrasi, kebebasan dan hukum. Ini bisa dilihat dari mulai soal keberpihakan pada KPK, mangkraknya penyelesaian beberapa kasus HAM masa lalu, kasus Novel Baswedan, isu ‘kriminalisasi’ berbasis UU ITE, RUU KUHP hingga sikap beberapa kementeriannya yang dianggap gemar mengunakan instrumen blokir dan sensor.

Di isu-isu ini, Jokowi menunjukkan posisinya tak banyak beda dengan arus utama politik para elite politik yang sudah lama mentas di panggung nasional. Menariknya, pada isu terbaru seperti menghidupkan kembali GBHN yang didukung banyak elite lama termasuk Megawati sekalipun, Jokowi secara lantang menyatakan posisinya di sisi publik yang menentang ide tersebut.

Sering kali orang juga melihat kebijakan dan pendekatan kepemimpinan jokowi dalam dua wajah output yang berbeda. Sebagai contoh, pertama, Jokowi amat bergairah mendorong berbagai program populis (KIP, KIS, PKH, dan juga berbagai program afirmasi untuk pondok pesantren dan belakangan KIP kuliah, Kartu Prakerja, Kartu Sembako sebagai contoh yang paling visual, dan populer). Namun, di sisi lain, Jokowi seperti terlihat ‘gelagapan’ dalam menyikapi kurang dana yang dialami BPJS.

Kedua, Jokowi bukanlah tipikal pemimpin dengan daya paksa tinggi dan intimidatif. Ia memimpin dengan memberi contoh dengan harapan anak buahnya mengikutinya. Konsekuensinya, sebagian dari bawahannya seringkali memanfaatkan hal ini sebagai ruang gerak untuk bekerja diluar arahan dan komitmen yang disepakati.

Di level atas, kita beberapa kali disuguhi moment kegaduhan internal di kabinet. Di level paling awam, bagaimana kita bisa melihat perilaku pengawalan mobil sebagian menteri di jalanan yang sering kali malah terasa lebih mengganggu dibanding ketika rombongan RI-1 yang sedang melintas.

Keinginan dan Realita

Dari sisi pemasaran politik, gaya kepemimpinan Jokowi di atas tak ayal memantulkan citra yang ambigu dan sekaligus susah diletakkan pada satu kategori tertentu. Di satu sisi, ia hadir sebagai pembaru, tetapi di sisi lain, ia tampil bak elite politik lainnya.

Di satu sisi, Jokowi mendekati kategori apa yang disebut Kaplan dan Kaiser (2006) dengan istilah field general, yakni pemimpin yang punya determinan tinggi pada pencapaian kinerja, tetapi di sisi lain, ia terkesan mendekati kategori one of troops, yakni pemimpin yang mengutamakan kerja sama, memampukan pihak lain dan tak memaksakan kehendak.

Yang sudah pasti, sejauh ini, Jokowi bukanlah pemimpin yang pandai membangun motivasi melalui kata-kata. Jokowi punya hasrat yang kuat mengembangkan kolaborasi tetapi ia berhadapan dengan berbagai penghalang dari mulai ego sektoral hingga persaingan politik.

Jokowi juga menginginkan partisipasi yang luas dalam proses pembangunan, tetapi ia berhadapan dengan tuntutan pencapaian output, mengejar legacy, dan lagi-lagi juga dihadang resistensi di internal birokrasi. Dan, ini memperburuk lagi dengan ulah para pemujanya yang gemar melakukan konfrontasi dan ingin mengeksklusi pihak lain.

Dalam lima tahun ke depan, pergeseran gaya kepemimpinan Jokowi masih mungkin terjadi. Sebab, ia mengenali kemampuan dan keterbatasannya dan juga harapan yang diamanatkan pada dirinya. Yang juga sudah jelas, Jokowi tak berupaya ingin menyenangkan semua orang dan ia menyadari ada risiko yang harus ditanggungnya dengan pilihannya itu.

 

 

Oleh: Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

Foto: Basith Subastian/kumparan

Jokowi, Kabinet, dan Koalisi

Jokowi akan memulai perjalanan pada periode keduanya. Meski menyatakan tak lagi punya beban, kenyataan politiknya sungguh sangat berbeda.

Kompleksibilitas yang dihadapi bukan tak mungkin akan bertambah banyak dibandingkan periode sebelumnya. Indikasi awal sudah terlihat dalam proses pembentukan kabinet. Mengemuka wacana masuknya parpol pendukung Prabowo-Sandi sebagai bagian dari kabinet yang akan dibentuk. Dari pengalaman Pilpres 2004-2014, kebiasaan parpol “pindah kamar” bukan sesuatu yang baru. Golkar, PAN, PKB, misalnya, “pindah kamar” menjadi bagian dari Kabinet Bersatu I Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004. Di 2009 dan 2014, Golkar juga melakukan hal sama meski pada Pemilu 2014 dilakukan di tengah periode (bersama PAN).

Kali ini kemungkinan adanya parpol “pindah kamar” lebih banyak sorotan dan polemik, paling tidak karena dua hal. Pertama, lebih dari sebelumnya, Pilpres 2019 lebih emosional dan (paling) terpolarisasi. Bagi sebagian pemilih dari kedua pasangan, perilaku “pindah kamar” dianggap pengkhianatan. Kedua, fenomena “pindah kamar” dilihat sebagai kegagalan lain
pelaksanaan pemilu serentak. Pasalnya, dalam keputusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK mengandaikan pemilu serentak menjadi jalan bagi terbentuknya koalisi permanen, negosiasi strategis dan jangka panjang, dan Presiden yang tak bergantung DPR.

Pembubaran Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mengusung Jokowi-Amin, dan Koalisi Indonesia Adil-Makmur (KIAM), yang
mengusung Prabowo-Sandi, secara telak membubarkan harapan MK. Pembubaran ini oleh sebagian pihak juga dijadikan pembenaran “kocok ulang” atau setidaknya menandai kemungkinan adanya lagi parpol yang “pindah kamar” sebagaimana terjadi pada periode-periode sebelumnya.

Namun tanpa ada penambahan partai pengusung pun, Jokowi hampir tidak mungkin menggunakan hak prerogatifnya dalam
membentuk kabinet. Ia tetap harus bernegosiasi dan tawar-menawar. Ini tak terelakkan dalam sistem presidensial banyak partai. Pilihan strategi unilateral (mengedepankan hak prerogatif) dalam membentuk kabinet hanya mungkin dilakukan jika presiden punya cara lain secara konstitusional untuk meloloskan berbagai aturan di legislatif atau mampu memveto UU yang dibuat legislatif (Amorin Neto, 2006)

Dilema Presiden

Dalam hal ini, Jokowi berada dalam situsi dilematis. Di satu pihak, kekuatan parpol pengusungnya (KIM) di legislatif kini
sudah mayoritas (60,7 persen). Namun, ini hanya sedikit diatas apa yang disebut Raile dkk (2009) minimal winning coalition. Secara matematika, Jokowi punya “ketergantungan” pada parpol menengah seperti Nasdem (10,3 persen), PKB (10,1 persen), atau bahkan Golkar (14,8 persen), alih-alih partai kecil seperti PPP (3,3). Pergeseran sikap satu dari tiga partai itu dengan mudah menyeret pemerintah dalam posisi kritis di legislatif. Terlebih harus diingat, disiplin anggota partai di legislatif juga rendah.

Di lain pihak menambah jumlah anggota koalisi partai pendukung dalam kabinet juga tak memberi jaminan adanya konsistensi dukungan di DPR. Asumsi adannya partai pemerintah yang diikuti adanya disiplin partai dan disiplin anggota partai di legislatif hanya berlaku di sistem parlementer. Sebagai mana disebut Cheibub dkk (2004), sangat keliru
berasumsi koalisi di kabinet berarti juga berkoalisi di DPR. Situasi itu sudah pernah dialami SBY, pada periode keduanya. Meski membentuk koalisi gemuk, pemerintahannya sering diganjal anggota koalisinnya sendiri di DPR.

Sementara jaminan konsistensi dukungan di DPR masih diragukan, penambahan jumlah anggota koalisi niscaya meningkatkan biaya memerintah. Biaya ini terdiri dari komoditas koalisi (kursi menteri dan anggaran di kementerian) dan alokasi dana untuk pork barrel. Menurut Periera dkk (2006), biaya memerintah ini akan kian tinggi manakala pertama, jumlah anggota koalisi kian banyak. Kedua, rentang ideologi antarparpol pengusung kian lebar. Ketiga, tatkala distribusi kursi menterinya makin tidak proporsional dengan kekuatan parpol tersebut di legislatif.

Dalam kasus Jokowi, dua faktor pertama sudah terpenuhi. Jumlah partai koalisinya saat ini sudah cukup banyak, lima di DPR
dan lima lagi yang non-kursi DPR. Rentang ideologinya juga lebar dari yang nasionalis (PDI-P, Nasdem, Golkar, PSI, Perindo, PKPI, Hanura), berbasis Islam (PKB, PPP, PBB). Faktor ketiga juga terpenuhi jika terjadi penambahan partai pendukung baru di kabinet. Hal ini otomatis akan membuat alokasi buat partai di KIM berkurang, setidaknya tak lagi sebagaimana diekspektasi sebelumnya. Kesengajaan ekspektasi ini tentu saja butuh kompensasi lain.

Dan, sungguhpun berbagai faktor diatas dapat diantisipasi, kemungkinan ketaksolidan di kabinet ataupun legislatif tetap terbuka. Sebagai petahana, Jokowi tak lagi punya periode berikutnya sebagai pemikat dan pengikat parpol pendukung. Ini terkait tarikan Pemilu 2024. Sebagaimana dikatakan Altman (2000), potensi kabinet koalisi pecah kongsi dapat terjadi karena mendekatnya waktu pemilu, selain faktor keragaman ideologi dan perasaan diperlakukan tidak adil. Dalam kasus Indonesia, dorongan melakukan kampanye dini justru kian kuat. Jeda diantara dua pemilu kian dimaknai sebagai ruang kampanye yang lain alias berlangsungnya kampanye permanen.

Meski jadi bagian dari partai yang memerintah, parpol selalu merasa efek elektoralnya tak cukup berarti meski pemerintah dapat dikatakan berhenti menunaikan janji-janji kampanyenya. Karena itu, mereka merasa perlu berancang-ancang sejak dini. Ada kebutuhan memperbaiki perolehan elektoralnya dan sekaligus memperkuat asosiasi dengan capres yang berpotensi memenangi pilpres berikutnya. Atau bahkan menyiapkan kadernya sendiri untuk jadi presiden/wapres berikutnya.

Tarikan ini mengharuskan parpol memperbarui diri, termasuk mengelola ulang pemosisian politiknya. Hal ini sedikit banyak berpotensi membuat parpol pengusung Jokowi akan lebih sering berbeda sikap dengan pemerintah dalam sejumlah isu/kebijakan di DPR. PKB, misalnya, akan siap bersimpangan jalan ketika pemerintag mereka nilai merugikan kepentingan (ekonomi) nahdliyin. Ini pernah terjadi dalam polemik penggunaan cantrang.

Terkait penambahan anggota koalisi dan tarikan 2024, faktor figur menteri juga bisa jadi sumber masalah lain. Dalam
konteks politik simbolik (kehadiran menteri dari kalangan muda) atau sebagai bagian negosiasi dukungan. Jokowi bukan tak mungkin merekrut figur menteri yang (merasa) punya prospek jadi capres atau minimal cawapres di 2024. Kehadiran figur
seperti ini buka tanpa potensi masalah. Skenario terbaiknya, para menteri yang punya prospek di 2024 ini akan tancap gas
unjuk kinerja sebagai modal awal kampanye. Mereka akan jadi ikon baru dan meningkatkan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Skenario terburuknya, menteri tipe ini akan memanfaatkan sumber daya kementeriannya guna menjalankan agenda mereka sendiri. Termasuk menyiapkan strategi keluar dengan memosisikan diri sebagai orang “lurus” atau “terzalimi”.

Manajemen Koalisi

Dihadapkan pada situasi pelik seperti ini, Jokowi bukan tanpa jalan keluar. Kuncinya, kemampuan mengelola koalisi maupun oposisi. Ia perlu mengaktivasi perangkat eksekutif secara tepat. Chaisty dkk (2012) mengelompokkan perangkat eksekutif itu dalam lima kluster: kekuasaan agenda politik (kekuasaan legislatif yang diberikan pada presiden/dekrit), otoritas anggaran (kontrol atas belanja publik) manajemen kabinet (pendistribusian kursi menteri), kekuasaan partisan (pengaruh presiden terhadap satu atau lebih partai koalisi), institusi informal (kategori lain yang sesuai konteks tiap negara).

Perangkat eksekutif ini sumber daya koalisi yang dapat dipertukarkan kepada partai yang memerintah ataupun oposisi.
Manuver parpol pengusung (KIM) ataupun kompetitor (KIAM) juga berkenan dengan ketersedian sumber daya koalisi ini. Manuver yang dikomunikasikan ke publik belum tentu merupakan target sebenarnya. Pada titik ini, manajemen koalisi selayaknya tak berhenti dan dimaknai sebatas transfer politik (terutama bagi- bagi kursi menteri). Jokowi punya opsi perangkat eksekutif lain yang bisa dipertukarkan sebagai ganti dukungan kebijakan atau meloloskan aturan di legislatif.

Pertama manajemen koalisi bersifat harian dan bukan proses sekali jadi. Kursi menteri merupakan investasi sekali waktu.
Menghadapi dinamika politik dari hari ke hari, Jokowi bisa memainkan perangkat eksekutif lain, seperti anggaran kementerian, posisi jabatan publik lain (kepala badan atau jabatan publik lain), dukungan politik (dalam konteks pilkada), dan melakukan konsesi politik. Jika dirasa kabinet mulai “lesu darah” atau mengatasi guncangan dari luar, Jokowi dapat memaikan kartu reshuffle. Patut dipertimbangkan untuk mempercepat pembentukan kabinet baru lewat reshuffle. Pembentukan kabinet dini setidaknya punya dua keuntungan: (a) akselerasi kerja bisa dilakukan tanpa harus menunggu pelantika Oktober, (b) reshuffle dibutuhkan untuk mengatasi situasi kelumpuhan birokrasi atau perlawanan pihak lain karena adanya persepsi menteri di kementerian itu tak akan dipilih lagi.

Kedua, transfer perangkat eksekutif bukanlah tujuan akhir berkoalisi. Ini hanya sarana untuk menciptakan pemerintahaan efektif guna memenuhi janji-janji kampanyenya. Dalam hal ini, jokowi juga bisa memainkan kartu co- extensive, yakni koalisi bersama oposisi di legislatif ketika ada anggota koalisi di kabinet yang justru mengambil posisi berseberangan dengan sikap pemerintah (Cheibub dkk, 2004). Dengan kartu ini, Jokowi bisa punya daya tawar tinggi untuk mendorong konsistensi dukungan parpol koalisinya di kabinet. Partai oposisi yang memainkan kartu ini juga diuntungkan karena bisa menangguk asosiasi terhadap regulasi dan kebijakan tertentu. Dengan kampanye yang tepat, asosiasi yang terbentuk akan memperkuat kredibilitas partai oposisi tersebut sebagai partai yang dapat diandalkan jika kelak menjadi partai yang memerintah.

Ketiga, untuk mempertahankan konsistensi dukungan dari partai koalisinya di kabinet, Jokowi juga bisa memainkan kartu legasinya. Dalam artian ini, efek positif keberhasilan atau kegagalan pembangunan perlu ditransfer ke individu menteri dan
juga parpol, tak semuanya terakumulasi pada sosok presiden. Contoh terbaik, meski tak sepenuhnya sempurna, adalah kiprah Susi Pudjiastuti memerangi pencurian ikan (illegal fishing). Jika menteri dan atau parpol dapat memanfaatkan program pemerintah untuk membangun issue ownership atau menjungkit reputasinya, legasi Jokowi bukan sekedar program, melainkan juga gaya kepemimpinan yang bersifat terbuka dan mendorong orang lain berkembang bersama.

Melampaui negosiasi

Pengelolaan koalisi seperti diurai diatas merupakan situasi normal dalam konteks sistem presidensial banyak partai yang
bertumpu pada kemampuan negosiasi dan tawar-menawar. Pokok terpentingnya, Jokowi ataupun partai tak melakukannya sekedar untuk bagi-bagi kekuasaan dan atau melampaui “batas kelelahan” rata-rata masyarakat terhadap sepak terjang para elite politik.

Karena itu, Jokowi perlu “setia” setidaknya peda sejumlah agenda politik publik yang sekurangnya meliputi dua: kebebasan dan kedaulatan serta perlawanan pada korupsi.

Yang pertama berkaitan dengan unjuk kebijakan dan sikap politik yang memastikan pemerintahannya akan terus melindungi kebebasan berekpresi, tak menggunakan cara top-down untuk menggusur masyarakat dari lahannya atas nama pembangunan.

Yang kedua, pemerintah perlu unjuk sikap memastikan akan memerangi setiap upaya terorganisasi untuk membonsai KPK, dan memperkuat pengawasan secara institusional, baik meliputi organ pegawasan internal di birokrasi maupun memfasilitasi komisi negara seperti KPK, Ombudsman, KPPU, KIP, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dan juga Komnas HAM.

Tanpa unjuk komitmen terhadap nilai-nilai kehidupan yang demokratis dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional, proses negosiasi dan tawar-menawar untuk mewujudkan pemerintahan efektif akan berakhir pada kegagalan. Sebab, di satu pihak, sentimen publik akan merosot dan bahkan berlanjut pada aksi-aksi perlawanan, dari mulai sekedar membuat petisi, mengelar aksi masa, hingga pembangkangan sosial. Di lain pihak, partai pendukung juga akan bersiasat agar tak terkena sentimen negatif yang dapat merusak elektabilitasnya di 2024.

Dan, pada gilirannya ini akan menambah beban pemerintahan. Pilihan yang tersedia tak banyak dan tak mudah, tetapi peluang mendulang keberhasilan selalu terbuka. Dimulai dengan memilih figur menteri yang tak berpotensi jadi duri dalam daging di internal kabinet dan atau terkesan melecehkan rasionalitas dan etika publik.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 13 Agustus 2019

 

Foto dok Merdeka(dot)com