Menjaga Marwah Pemilu

Pemilu merupakan ruang bersama bagi warga untuk menentukan siapa yang akan menjalankan pemerintahan. Ini dengan pengandaian yang terpilih adalah kandidat yang berkualitas. Implisitnya, pemilu juga medium untuk perawatan mereka yang tidak kompeten atau orang yang bermasalah di arena kekuasaan.

Faktanya, pemilu masih menjadi instrumen yang rapuh. Kandidat (orang atau parpol) yang berkualitas tak selalu jadi pemenang pemilu. Bahkan, untuk jadi kontestan pun, mereka tak bisa atau tak bersedia. Hal ini penyebab beberapa petahana yang tidak bekerja atau bahkan bermasalah justru peluang peluang besar terpilih kembali.

Dalam situasi seperti itu, pemilu terdegradasi. Ia bersaing jadi ranah kompetisi untuk memilih kandidat yang lebih sedikit buruknya dari pilihan yang tersedia. Atau, dalam situasi berbeda, pemilu merupakan ruang berkontestasi ”dari dan untuk” politik elit. Elite politik di sini diimplementasikan oleh para politikus, tetapi juga pemilik modal yang juga terjun langsung menjadi politikus melalui proksi-proksinya.

Menerima situasi seperti ini tentu saja ada harganya. Risiko merosotnya legitimasi pemerintah yang terpilih terpilih memudarnya keyakinan terhadap pelaksanaan demokrasi atau bahkan terhadap prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Risiko ini perlu dimitigasi. Penguatan pemilu menjadi keniscayaan.

Penguatan pemilu bersoal tentang pengondisian yang bisa mendorong perbaikan iklim kepemiluan. Acuannya pada norma-norma standar yang sudah diterima secara global: bebas dan adil. Atau, dalam istilah Norris (2013), integritas pemilu (electoral integrity).

Jika dirumuskan dengan kalimat berbeda, pemilu harus didesain dengan semangat menghadirkan persamaan dalam kesempatan, kemungkinan, dan juga dalam memanfaatkan berbagai sarana. Pemilu tak hanya harus bebas, tetapi juga mengandaikan adanya kesetaraan dalam memanfaatkan kebebasan tersebut.

Pembatas

Penguatan pemilu bukan perkara mudah. Ini setidaknya karena ada kondisi yang jadi pembatas keputusannya secara optimal. Kondisi itu, pertama, ada pada tataran konsepsional, yaitu pendefinisian kandidat berkualitas. Kandidat berkualitas yang diinginkan dengan asumsi memiliki kompetensi, integritas, dan motivasi kuat untuk melayani publik. Ketika terpilih, kandidat ini diharapkan bekerja untuk meningkatkan pemilih hidup pemilih: lebih aman, merasa jadi warga yang berdaya dan lebih sejahtera.

Masalahnya, interpretasi terhadap kandidat berkualitas (dan juga kinerja yang diinginkan) sangat variatif, mengetahui berbagai faktor sekaligus, seperti preferensi ideologi, informasi kelengkapan, dan faktor kontekstual. Seperti diingatkan Murray (2005), kriteria kriteria berkualitas merupakan sesuatu yang masih dikontestasikan.

Teori ilmu politik, studi empiris pemilu, parpol, dan pemilih memiliki kriteria berbeda-beda tentang ini. Dua yang disebut terakhir, menurut Murray, cenderung bias karena banyak menggunakan indikator subyektif. Dalam pemilu konteks serentak 2019, kriteria kualitas yang digunakan sebagai penjulukan bersifat peyoratif seperti terwakili melalui ungkapan Amien Rais tentang ”partai Allah” versus ”partai setan”.

Pembatas berikutnya adalah kampanye. Pemilu tanpa kampanye ibarat memakai baju tanpa memakai celana. Kampanye adalah kesempatan untuk dapat informasi yang relevan untuk membantu pemilih membuat pilihan (Bartels, 1996). Masalahnya, intensitas kampanye itu krusial. Pemilih yang kurang informasi cenderung memilih kandidat yang intensitas kampanyenya tinggi (Blais dkk, 2009).

Persepsi pemilih terhadap informasi dari kampanye juga berbeda. Studi McCain dan Lawson (2005) menunjukkan, aliran informasi dari media kampanye yang intens pada berbagai segmen pemilih menurut status ekonomi tidak banyak mengubah informasi dan bahkan ada tendensi justru kian melebar.

Terkait itu, Achen dan Bartels (2016) mengingatkan, pemilih juga kerap menggunakan identitas sosialnya dan melakukan rasionalisasi agar isu kebijakan yang didukungnya sesuai bias partisannya. Kandidat juga berpeluang memanipulasi pesan tentang kebijakan dan personalitasnya demi terpilih.

Karena itu, kampanye bukan indikator yang baik untuk menilai kualitas kandidat (Markussen dan Tyran 2017; Bowler dkk, 2019). Dan, meski kampanye akurat sebagai sarana efektif pemilih, sebagian kandidat melihat sogokan jauh lebih efektif (Cruzz dkk, 2019).

Kondisi ketiga terkait inkoherensi sistem pemerintahan, sistem parpol, dan sistem pemilu. Ini pula yang terjadi di Indonesia. Ada ketidaksesuaian antara sistem pemerintahan presidensial (tetapi rasa parlementer) dan sistem multipartai yang ekstrem, serta sistem pemilu yang proporsional terbuka.

Dari diskursus politik, pokok soalnya adalah tarik-menarik pengawasan sistem presidensial atau mempertahankan representasi politik yang beragam sesuai kebinekaan masyarakat Indonesia. Ada upaya melakukan kombinasi yang bisa melentingkan keunggulan dari tiap sistem. Akan tetapi, dalam praktiknya sering kali justru mengafirmasi kelemahan-kelemahannya.

Inkoherensi itu terkait dengan pembatas berikutnya: penataan politik, termasuk pemilu, tak terjadi di ruang kosong. Para pihak berkontestasi agar sistem dan regulasi yang ada menguntungkan mereka dalam melakoni kompetisi politik. Tak heran, ada sebagian elit yang memiliki motivasi untuk menghambat bahkan membajak pemilu karena dapat mengurangi atau melempar mereka dari arena kekuasaan politik. Secara pribadi sebagai petahana, politik elit juga memiliki motivasi untuk memanfaatkan politiknya itu ke keluarga atau kerabatnya.

Polemik batas ambang batas. Dan presiden serta ukuran dapil, misalnya, dapat diterapkan dalam konteks ini. Bahkan, sebagian elit lain melihat momen pemilu sebagai instrumen untuk mengubah pemilu secara signifikan. Dalam kasus Indonesia, dari pemilihan langsung menjadi tak langsung.

Agenda minimal

Kondisi pembatas menjadi pengingat penguatan bahwa pemilu memiliki ruang lingkup yang semata-mata peraturan regulasi dan manajemen pemilu belaka. Dan, prosesnya nyaris mustahil dilakukan secara menyeluruh. Terlebih, kepemiluan Indonesia berada dalam situasi ”serba nanggung”. Secara total, tidak ada pemilu yang terjadi pada pemilu yang bersifat substantif di era Orde Baru, tetapi juga sulit menyatakan pelaksanaan pemilu sudah mencapai titik yang tepat dari integritas pemilu.

Seturut situasi ini, agenda pemilu setidaknya diarahkan untuk membangun situasi kondusif bagi terwujudnya persamaan bagi tiap anggota masyarakat untuk dipilih dan memilih. Dengan semangat ini, setidaknya ada empat agenda minimal yang perlu dipromosikan sekaligus didesakkan kepada para pembentuk UU.

Agenda minimal paling dasar, mendorong demokrasi di dalam parpol. Ini tidak mencakup proses kepemimpinan, tetapi juga penetapan caleg, capres-cawapres, calon kepala daerah dan wakilnya, penyusunan manifesto politik, dan penentuan siapa akan berkoalisi. Poin pentingnya, keseluruhan proses ini mengandaikan pelibatan anggota parpol secara langsung atau melalui berjenjang.

Demokrasi internal baru dapat dilakukan jika bersifat mandatori. Misal saja, ditetapkan sebagai bagian dari persyaratan parpol menjadi peserta pemilu. Peluang elite partai mengakali ketentuan ini terbuka, tetapi secara logis ini akan merugikan partai secara keseluruhannya. Pemilih akan membedakan mana partai yang lebih demokratis dan yang kurang demokratis.

Proses demokrasi juga dianggap sebagai pemilik uang atau para ”kutu loncat”. Karena itu, perlu dipersiapkan prosedur penangkal. Dalam konteks pencalonan anggota DPR (D), misalnya, diberlakukan ketentuan baru bisa dicalonkan jika seseorang sudah tiga tahun menjadi anggota partai.

Tak kalah penting, ruang kontestasi perlu tetap dijaga. Pada tingkat pilpres, semangat dasar pemilu serentak ialah menguatkan sistem presidensial demi terwujudnya pemerintahan yang efektif. Namun, persyaratan pencalonan capres-cawapres harus direndahkan agar muncul beberapa calon pemilih yang mempunyai pilihan, sekaligus menghindari polarisasi yang involutif. Pada level pileg, ambang batas tetap terjaga. Ini untuk memastikan proses penyederhanaan partai tak dipaksakan secara brutal ke arah sistem dua partai atau dua setengah partai.

Agenda minimal kedua terkait daya tarik jabatan publik. Meski ruang politik perlu terus dibuka, daya tariknya perlu diwajarkan. Mengikuti Besley (2015), daya tarik yang bermasalah ketika orang-orang lebih termotivasi karena gaji dan ”pendapatan ekstra” yang bisa didapat dalam melayani publik. Normalisasi dilakukan dengan membuat politisi terpilih sulit menyalahgunakan pengaruh, mengomoditisasi perizinan, dan juga melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Normalisasi ini, antara lain, dengan melebarkan transparansi dari hak warga untuk tahu, diberi mandat untuk menerapkan keterbukaan, termasuk dalam proses penyusunan kebijakan yang berarti pula menjalankan pemerintahan terbuka (open government).

Yang terakhir fokusnya bukan pada akuntabilitas, melainkan mendorong partisipasi publik dalam operasi dan mengelola masalah dalam menjalankan pemerintahan. Ini mengandaikan adanya berbagi data yang hampir bersifat real-time , komunikasi yang bersifat banyak , pengumpulan data yang bisa diekstrak melalui portal, adanya platform untuk melakukan kolaborasi, dan untuk membangun interaksi warga dengan pemerintah (Halberstam, 2015).

Dengan pemerintahan terbuka , pemerintahan akan semakin akuntabel. Terlebih jika ini diikuti penguatan dengan kelembagaan komisi negara, seperti KPK, Ombudsman RI, KPPU, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan Komnas HAM.

Agenda minimum berikutnya terkait reformasi politik. Dalam hal dana kampanye, pengaturan harus lebih luas lagi mencakup: (a) sumbangan dari individu pemilik, direksi atau karyawan perusahaan harus diperhitungkan sebagai bagian dari bagian dari korporasi; (b) adanya larangan sumbangan yang berasal dari korporasi yang pemilik atau direksinya sedang dalam proses hukum dan atau sedang menjalani kehidupan; (c) adanya pagu pengeluaran pengeluaran yang dibolehkan; (d) adanya audit forensik keuangan terhadap laporan dana kampanye.

Pada tataran parpol, setidaknya perlu ada pembatasan sumbangan operasional partai dari ketua umum atau pengurus terasnya dan larangan korporasi memberikan sumbangan politik ke lebih dari satu parpol. Ini dibarengi penguatan sanksi berupa pembatalan kepesertaan dan larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya (bagi individu dan partai) dan memperberat hukuman pidana dan perdata (bagi penyumbang).

Agenda minimum terakhir, meningkatkan persamaan pemanfaatan sarana (berkampanye). Pokok krusialnya mengatur media massa dan media sosial. Media massa cetak ataupun elektronik boleh berpihak, tetapi harus dikenai ketentuan menyampaikan informasi keterbukaan tentang keberpihakan dan disertai adanya pembatasan jumlah konten yang boleh dimuat/disiarkan.

Pemanfaatan ruang nonpolitik (seperti acara hiburan, infotainment, ataupun acara keagamaan) harus dilarang. Media publik, seperti TVRI, RRI, dan kantor berita Antara, harus dioptimalkan perannya untuk meningkatkan visibilitas seluruh kontestan. Perlu ada badan khusus ad hoc yang melibatkan jurnalis independen senior, akademisi, dan peserta pemilu sebagai pengawas.

Untuk medsos, pokok pentingnya adalah mencegah medium ini sebagai sarana pendistribusian hoaks. Kerja sama dengan pemilik aplikasi dibutuhkan agar akun dan konten hoaks bisa segera dihilangkan. Meski demikian, sebuah rangkaian pesan yang menyibak rekam jejak, mengevaluasi kelayakan program, mempertanyakan agenda tersembunyi dan afiliasi politik/bisnis dan sejenisnya harus diperbolehkan. Prinsipnya: kampanye negatif yes, hoaks no!

Ketentuan ini harus diikuti pada tataran kewajiban para bagi calon memberikan informasi keterbukaan mengenai dirinya, afiliasi bisnis dan politik keuangan, dan juga agenda politik yang mau dilakukan seandainya terpilih. Informasi ini harus tersedia dan terbuka untuk diakses. Juga dapat ditambahkan oleh publik setelah ada verifikasi. Calon yang tak bersedia dengan sendirinya dinyatakan gugur.

Di luar empat agenda minimum itu, perhatian harus diberikan kepada manajemen pemilu. Proses pendaftaran pemilih, perekrutan tenaga TPS, penentuan dapil, proses penghitungan suara, dan pengumuman hasil harus melibatkan publik dengan pendekatan open government. Dengan cara ini, selain lebih efisien dari sisi biaya dan waktu, penyelenggaraan pemilu juga akuntabel dan partisipatif.

Singkatnya, krisis pemilu harus mengikuti pembenahan sektor-sektor di luar kepemiluan itu sendiri, terutama meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, serta ruang lingkup berusaha yang mudah dan adil, dan pendidikan kewargaan. Pemilu adalah sebuah instrumen demokrasi yang rentan dan tidak diharapkan bak ”kotak ajaib” bagi terwujudnya demokrasi politik, apalagi demokrasi sosial.

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *