Menyoal Kepemimpinan Jokowi

Sering kita mendengar celetukan bernada sinis yang menyebut SBY itu pemimpin politik yang lamban, namun tak jarang pula kita mendengar decak kekaguman yang dengan gamblang mengatakan SBY adalah pemimpin politik yang matang dalam mengambil keputusan. Pola senada kerap kita dengar manakala orang membicarakan para Presiden Indonesia lainnya, dari mulai Soekarno hingga Jokowi.

Lebih daripada itu, kita juga kerap membaca berbagai ulasan yang melakukan pengandaian. Contohnya, “Kalau presidennya saat ini Gus Dur, kelompok minoritas akan dilindungi penuh oleh negara” atau “Kalau saja Jokowi yang jadi presiden sejak 2004 lalu, kesenjangan infrastruktur antarwilayah tak separah saat ini.”

Dan, tak sedikit dari kita, termasuk saya, sering tergoda untuk mengaitkan personalitas pemimpin politik dengan potensi keberhasilan kepemimpinannya. Pernyataan-pernyataan seperti “Kita butuh presiden yang tegas agar Indonesia kembali berjaya” atau “Kita butuh pemimpin yang kuat agar stabilitas terjaga” terdengar akrab di telinga kita, bukan?

Pokok pesan dari ilustrasi di atas adalah, pertama, kita mudah larut dalam simplifikasi dalam menilai kepemimpinan seorang presiden. Untuk sebagian ini bersumber dari preferensi yang terbentuk, dan untuk sebagian lagi karena peran media yang getol melakukan personalisasi nilai politik.

Celakanya, preferensi tersebut bersifat labil. Tak sedikit yang kini mengidolakan atau sekurang-kurangnya mengagumi Jokowi dulunya juga bersikap yang sama terhadap SBY. Persis sebaliknya, ada pula yang awalnya antusias dengan kemunculan Jokowi tetiba merasa rindu pada kepemimpinan ala SBY yang memberi impresi kuat pada keteraturan atau juga kepada Gus Dur yang memberi impresi siap bersikap frontal terhadap para ‘penumpang gelap’ reformasi.

Kedua, personalitas dan gaya kepemimpinan seorang presiden sering kali dibekukan. Dalam hal ini, misalnya, Jokowi kerap diidentikkan dengan pemimpin yang tak tegas atau SBY lekat dengan asosiasi figur yang sabar.

Namun, dalam momen-momen tertentu, Jokowi nyatanya bisa unjuk diri sebagai seorang pemimpin yang (bisa) tegas, pun SBY bisa menunjukkan kegeramannya secara terbuka. Adanya pergeseran sikap sering mengagetkan dan berujung pada satu dari dua kemungkinan berikut ini: menilainya sebagai pencitraan atau menganggapnya sebagai moment of truth: watak asli yang terungkap.

Ketiga, simplifikasi dan pembekuan karakter merupakan konsekuensi logis dari pengabaian terhadap konteks. Studi-studi kepemimpinan politik kontemporer telah menegaskan pentingnya untuk mempertimbangkan konteks. Ini bukan berarti personalitas tak penting. Saya lebih memahami adanya interaksi antara keduanya. Dan, atas dasar inilah saya hendak mendiskusikan kepemimpinan politik Jokowi sebagai presiden.

Lintasan Politik

Konteks yang saya maksud di sini mencakup dua hal: Posisi Jokowi dalam arus utama gagasan politik dan pembangunan, serta posisinya dalam kekuatan politik. Dari sisi gagasan utama politik, Jokowi menawarkan pembaruan. Ia hendak merekonstruksi (politik) pembangunan sekurangnya melalui tiga gagasan.

Pertama, ia mengusung gagasan pembangunan untuk semua, utamanya memberi atensi khusus pada kelompok masyarakat dan atau wilayah yang selama ini relatif terabaikan. Dan, belakangan ini terfokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan pembiayaan lebih untuk pendidikan (KIP) dan kesehatan (KIS). Kedua, ia berkomitmen mereformasi birokrasi. Belakangan, terlihat fokusnya pada kemudahan pada berinvestasi dan berusaha. Ketiga, ia menggaungkan janji lama tentang kedaulatan ekonomi, politik, dan pembangunan kepribadian bangsa (berdikari).

Gagasan tersebut dianggap sebagai sebuah ‘kebaruan’. Ia diterima publik karena mendobrak ‘kesepakatan diam-diam’ di kalangan elite politik bahwa gagasan-gagasan tersebut tak mungkin dilakukan, setidaknya untuk saat ini.
Bagi Jokowi, pemerataan tidak harus menunggu kekuatan ekonomi mencukupi lebih dahulu. Sebaliknya, ia beragumen, pemerataan (infrastruktur fisik) merupakan jalan membangun kekuatan ekonomi.

Bagi Jokowi, birokrasi tak boleh lagi menyandera publik, ia harus benar-benar jadi pelayan publik. Dan, Jokowi menilai pergaulan antarbangsa harus bertumpu pada identitas nasional yang kuat.

Terkait posisinya dalam kekuatan politik di periode pertama, Jokowi adalah bagian dari kelompok politik yang selama 10 tahun terakhir ini menjadi oposisi. Lebih penting dari itu, pemerintahannya merupakan memiliki kekuatan minoritas di ranah legislatif pada awal kekuasaannya.

Dan, sebagai outsider dalam banyak segi, Jokowi tak bisa mengontrol partai yang menyalonkan dirinya (PDIP) dan relasinya dengan partai pendukung masih berupaya menemukan relasi yang tepat. Ini ada kaitannya dengan posisinya yang bukan ketua partai dan sekaligus ini menjadi pembeda dengan tiga presiden sebelumnya (SBY, Megawati, dan Gus Dur).

Sebagai bonus sekaligus beban, Jokowi memiliki pendamping yang sangat lincah bermanuver dan sekaligus memiliki modal sosial politik yang kuat: Jusuf Kalla. Karakter Kalla yang agresif konon menjadi salah satu alasan SBY memilih cawapres lain pada periode keduanya.

Ketika pemerintahan baru seumur jagung, Jokowi dihadapkan rangkaian ‘pukulan ganda’: Keharusan menaikkan harga BBM, kemelut yang mendera KPK, keriuhan di legislatif, ekonomi global yang mengalami pelambatan. Ketiga hal ini juga pernah dialami SBY.

Bedanya, Jokowi tak berkesempatan ikut menikmati dukungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kala itu, harga-harga komoditas unggulan ekspor (seperti sawit, batubara, coklat, dan lainnya) sedang mengalami masa peak-nya di pasar internasional.

Situasi yang paling membedakan dengan pengalaman-pengalaman presiden sebelumnya setidaknya terkait pada tiga hal berikut ini. Pertama, intensitas politik identitas yang begitu tinggi dan pada saat yang bersamaan Jokowi dibingkai sebagai sosok nasionalis abangan. Ini situasi yang bahkan tak dirasakan Megawati ketika menjadi presiden.

Kedua, peran media dan media sosial yang begitu besar terutama dalam mereduksi secara gila-gilaan berbagai persoalan, sehingga terkesan selalu ada solusi mudah untuk tiap persoalan yang dihadapi pemerintah. Ketiga, disrupsi teknologi yang muncul belakangan mengubah lanskap persaingan usaha di dalam negeri, termasuk mulai menguatnya kecenderungan otomotisasi di sektor manufaktur.

Manuver Kepemimpinan

Dihadapkan pada situasi seperti yang diuraikan di atas, di satu sisi, Jokowi menunjukkan kemampuannya beradaptasi dan bersikap fleksibel. Tidak seperti Gus Dur yang semakin nge-gas ketika diserang lawan dan teman-teman politiknya, Jokowi pada beberapa aspek mengambil sikap seperti SBY.

Jokowi mengembangkan politik akomodatif. Meski tak selalu efektif, Jokowi benar-benar memaanfaatkan apa yang disebut Chaisty dkk (2012) dengan istilah “perangkat eksekutif”. Dus, dari mulai mendistribusikan kursi menteri, menyediakan anggaran kementrian, menggelontorkan pork barrel, melakukan pertukaran kebijakan dengan partai koalisi maupun oposisi, hingga pemberian pengaruh dilakoninya.

Namun di sisi lain, Jokowi juga melakukan perubahan gaya berpolitik dengan semangat ‘membongkar’. Representasi terbaiknya terlihat pada pembubaran Petral, divestasi saham Freeport, dan pengalihan operasi ke Pertamina untuk setiap kilang minyak yang sudah habis masa kontrak karyanya dengan korporasi minyak asing. Meski demikian, Jokowi sering kali belum dianggap berhasil dalam hal reforma agraria dan mengakhiri diskriminasi beribadah.

Terkait dengan hal tersebut, di satu sisi, Jokowi tampil sebagai figur yang bersedia mendengar masukan dari berbagai pihak dan siap mengakomodasi kepentingan mereka. Ini tak jarang membuat kebijakan yang sudah dirilis segera ditunda atau dibatalkan. Contoh terbaru soal penundaan soal pengenaan pajak pada penjualan daring. Namun, harus pula ditegaskan, Jokowi dapat dikatakan relatif mandiri dalam pengambilan keputusan.

Dan, hal itu ada kaitannya dengan sikapnya yang bisa juga, sebut saja, kukuh pada pendirian, jika tak mau disebut keras kepala. Ini, umpamanya, pada pendiriannya yang meyakini bahwa pemerataan pembangunan infrastruktur fisik harus diprioritaskan, meski ada biaya dan risiko politik yang ditanggungnya juga tinggi.

Dan, implikasi praktisnya, Jokowi semakin berorientasi pada output alih-alih pada proses yang ditandai adanya konsultasi dan persuasi dengan para pihak yang terkena dampak. Tak heran jika kemudian sebagian kalangan menjulukinya sebagai pemicu bangkitnya era new-developmentalism.

Kesan ini semakin diperkuat karena Jokowi dinilai oleh sebagian kalangan cenderung konservatif pada isu-isu demokrasi, kebebasan dan hukum. Ini bisa dilihat dari mulai soal keberpihakan pada KPK, mangkraknya penyelesaian beberapa kasus HAM masa lalu, kasus Novel Baswedan, isu ‘kriminalisasi’ berbasis UU ITE, RUU KUHP hingga sikap beberapa kementeriannya yang dianggap gemar mengunakan instrumen blokir dan sensor.

Di isu-isu ini, Jokowi menunjukkan posisinya tak banyak beda dengan arus utama politik para elite politik yang sudah lama mentas di panggung nasional. Menariknya, pada isu terbaru seperti menghidupkan kembali GBHN yang didukung banyak elite lama termasuk Megawati sekalipun, Jokowi secara lantang menyatakan posisinya di sisi publik yang menentang ide tersebut.

Sering kali orang juga melihat kebijakan dan pendekatan kepemimpinan jokowi dalam dua wajah output yang berbeda. Sebagai contoh, pertama, Jokowi amat bergairah mendorong berbagai program populis (KIP, KIS, PKH, dan juga berbagai program afirmasi untuk pondok pesantren dan belakangan KIP kuliah, Kartu Prakerja, Kartu Sembako sebagai contoh yang paling visual, dan populer). Namun, di sisi lain, Jokowi seperti terlihat ‘gelagapan’ dalam menyikapi kurang dana yang dialami BPJS.

Kedua, Jokowi bukanlah tipikal pemimpin dengan daya paksa tinggi dan intimidatif. Ia memimpin dengan memberi contoh dengan harapan anak buahnya mengikutinya. Konsekuensinya, sebagian dari bawahannya seringkali memanfaatkan hal ini sebagai ruang gerak untuk bekerja diluar arahan dan komitmen yang disepakati.

Di level atas, kita beberapa kali disuguhi moment kegaduhan internal di kabinet. Di level paling awam, bagaimana kita bisa melihat perilaku pengawalan mobil sebagian menteri di jalanan yang sering kali malah terasa lebih mengganggu dibanding ketika rombongan RI-1 yang sedang melintas.

Keinginan dan Realita

Dari sisi pemasaran politik, gaya kepemimpinan Jokowi di atas tak ayal memantulkan citra yang ambigu dan sekaligus susah diletakkan pada satu kategori tertentu. Di satu sisi, ia hadir sebagai pembaru, tetapi di sisi lain, ia tampil bak elite politik lainnya.

Di satu sisi, Jokowi mendekati kategori apa yang disebut Kaplan dan Kaiser (2006) dengan istilah field general, yakni pemimpin yang punya determinan tinggi pada pencapaian kinerja, tetapi di sisi lain, ia terkesan mendekati kategori one of troops, yakni pemimpin yang mengutamakan kerja sama, memampukan pihak lain dan tak memaksakan kehendak.

Yang sudah pasti, sejauh ini, Jokowi bukanlah pemimpin yang pandai membangun motivasi melalui kata-kata. Jokowi punya hasrat yang kuat mengembangkan kolaborasi tetapi ia berhadapan dengan berbagai penghalang dari mulai ego sektoral hingga persaingan politik.

Jokowi juga menginginkan partisipasi yang luas dalam proses pembangunan, tetapi ia berhadapan dengan tuntutan pencapaian output, mengejar legacy, dan lagi-lagi juga dihadang resistensi di internal birokrasi. Dan, ini memperburuk lagi dengan ulah para pemujanya yang gemar melakukan konfrontasi dan ingin mengeksklusi pihak lain.

Dalam lima tahun ke depan, pergeseran gaya kepemimpinan Jokowi masih mungkin terjadi. Sebab, ia mengenali kemampuan dan keterbatasannya dan juga harapan yang diamanatkan pada dirinya. Yang juga sudah jelas, Jokowi tak berupaya ingin menyenangkan semua orang dan ia menyadari ada risiko yang harus ditanggungnya dengan pilihannya itu.

 

 

Oleh: Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

Foto: Basith Subastian/kumparan

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *