Surya Paloh, Nasdem, dan Keindonesiaan

LINTASAN perjalanan politik seolah berulang. Pada 2004 lalu, Surya Paloh jadi salah satu peserta konvensi Golkar untuk memilih capres yang akan diusung partai itu. Pada 2020 lalu, Surya Paloh kembali muncul terkait konvensi pencapresan. Bedanya, kali ini ia memilih hanya menjadi sutradara sekaligus inisiator dari konvensi capres Partai NasDem yang dipimpinnya.

Pilihan SP (inisial populer yang paling sering dipakai para politikus terhadapnya walau saya sendiri memanggilnya dengan sebutan ‘Bang Surya’) menggelar konvensi untuk sebagian kalangan membersitkan pertanyaan. Logika sederhananya seperti ini: buat apa capek-capek mendirikan partai politik tatkala ada peluang dicalonkan secara mudah malah justru diberikan kepada orang lain. Terlebih, temuan sejumlah survei menunjukkan hingga saat ini belum ada kandidat yang punya peluang tinggi untuk memenangi Pilpres 2024.

Namun, sungguh keliru jika berkesimpulan SP bukanlah sosok yang tak punya ambisi politik. Keikutsertaannya pada konvensi Golkar dan kemudian upayanya membesarkan NasDem menunjukkan dia bukan politisi tanpa ambisi. Namun, seperti diakuinya sendiri, ambisi personal menjadi presiden atau wapres sudah berakhir untuk dirinya. Dengan kata lain, dia kini sedang menggendong ambisi politik yang berbeda. Pilihan sikap politik SP ini sangat mungkin membersitkan spekulasi dan juga prasangka. Menilik jejak politiknya, SP memang sosok yang (mungkin) mudah disalahpahami.

Mudah disalahpahami

Di satu sisi, misalnya, SP secara terbuka menunjukkan kegusarannya terhadap para aktor politik yang menjadikan agama dan etnis sebagai komoditas politik. SP karenanya dengan mudah dilabeli sebagai politikus dari kubu ‘NKRI harga mati’.

Kubu ini kerap diasosiasikan sebagai pihak yang mempromosikan gagasan ‘netral agama’ dan bahkan ada yang melabeli sebagai ‘islamofobia’. Namun, niscaya orang akan kecele jika beranggapan demikian.  Pasalnya, SP dalam berbagai kesempatan justru secara terbuka menunjukkan sosok keislamannya dan juga darah Aceh-nya. Bagi SP, nasionalisme dan agama merupakan dua hal yang bisa berjalan beriringan.

Terkait dengan itu, ia juga termasuk sosok yang mengedepankan inklusivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Semua elemen bangsa ingin dirangkulnya. Namun, pada saat yang sama, SP terbilang menarik demarkasi yang tegas terhadap elemen-elemen yang mendukung gerakan radikalisme, terorisme, dan atau yang menolak Pancasila. Kombinasi sikap ini terkadang menimbulkan persepsi bahwa ia lebih memberi ruang kepada kelompok-kelompok minoritas.

Begitupun dalam bersikap. SP sepertinya memisahkan sikap politik dan pertemanan. Dia tak pernah melihat kubu yang berlawanan sebagai musuh, tapi hanya sebagai pesaing atau lawan politik. Karena itu, dia merasa tak ada salahnya menjalin komunikasi dengan kubu politik di luar koalisi, termasuk pada individu-individu yang dianggap tak sejalan dengan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Sikap ini tak ayal membuat berbagai tudingan terlontar dan jelas tak kompatibel dengan situasi politik saat ini
yang terpolarisasi.

Kepribadian penuh warna ini pula yang kemudian bisa menjelaskan posisi NasDem dalam kancah perpolitikan nasional. Di satu sisi, NasDem, seperti halnya Gerindra dan Demokrat, dapat diklasifikasi sebagai partai personalistik dan personal. Mengacu pada Gunther dan Diamond (2003), partai personalistik ialah partai yang sengaja didirikan untuk memenuhi ambisi politik pendirinya. Callise (2005) mendeskripsikan partai personal sebagai partai yang bertumpu pada kharisma pendirinya yang sekaligus memfasiltasi penyediaan sumber daya secara patronistik.

Namun, NasDem tak sepenuhnya memenuhi kriteria ini. Pasalnya, tidak seperti Demokrat yang asosiasinya hanya melekat pada SBY ataupun Gerindra dengan Prabowo, asosiasi NasDem dengan SP kuat,terutama secara internal, tetapi tidak menggubah partai ini layaknnya menjadi sebuah komunitas
‘Surya Paloh Fans Club’. Daya tarik NasDem secara elektoral dalam perjalanannya justru ‘terdesentralisasi’ ke aktor-aktor lokal di tiap daerah.

Jika PD dan Gerindra secara efektif digunakan SBY dan Prabowo untuk meraih kursi presiden/wakil presiden, NasDem setidaknya dalam dua kali pemilu cenderung menyorongkan kandidat di luar partai (baca: Jokowi). Spekulasi berkembang, bisa jadi SP mengukur diri, bersikap realistis. Karakter pengusahanya dalam hal ini lebih berpengaruh ketimbang libido politiknya sebagai politikus.

Apa pun alasannya, pada titik inilah SP berhasil menempatkan dirinya lebih dari sekadar politikus senior atau ketua umum partai. Ia telah menjadi seoorang sutradara politik yang bertugas menghasilkan sebuah skenario cerita yang baik buat bangsa ini. Tentu saja dimulai dengan memilih bintang-bintang  yang mumpuni untuk membuat cerita betul-betul menjadi indah. Sama seperti ketika seorang Megawati pada 2014, memilih untuk tidak maju di Pilpres dan memajukan kadernya yang memang memiliki peluang lebih besar untuk menang.

Dalam kajian analisis latar belakang SP NasDem bisa juga dikategorikan sebagai partai enterpreneur (enterpreuner party). Salah satu contoh ‘terbaik’ dari tipe ini ialah forza-nya Berlusconi (secara kebetulan juga dikenal sebagai pengusaha media di Italia).

Partai entrepreneur ciri-cirinya sebagai berikut. Pertama, tak memandang penting ideologi dan karenanya bersifat fleksibel terhadap isu dan kebijakan.

Kedua, struktur organisasi yang hierarki dan tersentralisasi. Ketiga, menempatkan pemilih sebagai konsumen dan pengutamaan penggunaan profesional dalam melaksanakan kampanye politik. Keempat, tidak berakar pada gerakan sosial dan tak punya basis di akar rumput. Kelima, figur pemimpin menjadi penting untuk menarik atensi media dan dukungan dari pemilih. Selain itu, keenam, figur-figurnya juga tak berasal dari anggota parlemen dari partai lain (Hlousek dkk, 2010).

Namun, NasDem juga tak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai partai enterprenur secara paripurna. Setidaknya karena tiga hal. Pertama, NasDem sedikit banyak memboyong konstituen dan elite Golkar yang mana SP sebelumnya bergabung. Kedua, meski figuritas SP penting, seperti yang disebut, daya tarik partai ini juga bertumpu pada aktor-aktor di tingkat lokal. Ketiga, NasDem punya restorasi Indonesia sebagai platform politiknya.

Faktor restorasi Indonesia menjadikan NasDem bisa membuat diferensiasi karena punya issue ownership. Akan tetapi,sebagai konsekuensi, publik kerap salah ekspektasi terhadap restorasi Indonesia. Di satu sisi, restorasi menawarkan perubahan. Politik tanpa mahar dan kemudian
konvensi capres menjadi dua penanda penting yang menunjukkan sisi progresif NasDem. Namun, saat bersamaan, Restorasi juga menyorongkan perubahan dalam pengertian membuka diri berpaling ke belakang. Selain pentingnya memulihkan soal keadaban, restorasi dihadapkan pada tantangan menjawab hal-hal aktual yang prinsipiel, termasuk mengenai dibukanya ruang bagi kemungkinan kembalinya presiden dapat lebih dari dua periode.

Tantangan ke depan

Terlepas dari itu, SP dengan NasDem-nya telah memberi warna perpolitikan Indonesia dan berpotensi menjadi pilihan alternatif manakala pemilih jenuh atau ingin menunjukkan rasa marah sesaat pada partai-partai yang selama ini jadi preferensi utama mereka.

Persoalannya, secara internal, SP perlu mencermati kesenjangan antara retorika restorasi dan perilaku politik para aktivis partainya yang terdiri atas banyak elemen dan berada dalam situasi politik yang sangat pragmatis. Mengikuti Hammel dan Svasand (1993), sebagai partai entrepreneur, NasDem telah melewati tahapan pertama yang ditandai keberhasilannya membangun pesan sebagai elemen pembeda (restorasi Indonesia) dan membangun identifikasi pemilih dengan Nasdem.

Namun, saat bersamaan, lika-liku dinamika politik sangat memungkinkan para aktivis partai melakukan berbagai manuver. Secara keorganisasian, secara alamiah muncul dua pengelompokan, yakni kader-kader di parlemen dan aktivis partai yang tak ada di parlemen. Keduanya sangat mungkin berselisih pendapat dan atau punya pilihan taktis-strategis yang berbeda.

Kini, NasDem memasuki tahapan kedua yang ditandai oleh penataan organisasi dan berkepentingan untuk terus melentingkan tingkat elektoralnya. Pada fase kedua ini dibutuhkan gaya kepemimpinan yang berbedaa. SP harus mampu membangun konsensus, tetapi sekaligus membangun mekanisme kontrol. Ini mengandaikan SP harus lebih terlibat. Sementara itu, faktualnya, Paloh selama ini cenderung memberi ruang delegasi yang besar pada elite partai lainnya.

Hal itu menjadi kian penting karena SP punya ambisi besar: berkontribusi untuk mengembalikan kejayaan Indonesia meski dengan itu harus mengorbankan kepentingan dan bahkan mungkin masa depan NasDem. Sementara itu, logika kepartaian telah menumbuhkan aspirasi aktivis politik yang lebih ke berorientasi ke dalam: bagaimana NasDem bertahan, berkuasa, dan bisa terus menjadi wadah penyalur aspirasi dan kepentingan mereka.

Yang sudah pasti, absennya ambisi personal dan posisi elektoral NasDem sebagai partai menengah (menuju papan atas) tak pelak menempatkan Paloh sebagai King Maker yang berpengaruh. Di titik inilah ujian berikutnya menanti. Jika berambisi mengembalikan kejayaan Indonesia dan memulihkan keadaban berbangsa, SP butuh wadah yang kuat.

Agar bisa jadi tumpuan, NasDem butuh modal politik dan keuangan yang sangat mungkin harus dicapai dengan sikap yang lebih pragmatis dan (mungkin) bertentangan dengan keadaban itu sendiri. Bisakah SP dan NasDem lolos dari ujian ini? Waktu yang akan menjawabnya.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun ke 70 untuk Bang Surya. Semoga diberi umur panjang dan kekuatan untuk terus berkhidmat merestorasi Indonesia. Sampai kepada impian, bahwa setiap anak-anak di Indonesia dari Sabang sampai Merauke punya kesempatan sama untuk bercita-cita menjadi guru, dokter, insinyur, bahkan menjadi seorang presiden. Tuhan memberkati!

 

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Kolom Opini Media Indonesian Hal 6 Jumat, 16 Juli 2021

 

 

Partai Baru, Matematika dan Mati-matian Politik

SUHU politik nasional kembali menghangat dengan aneka manuver elite dan partai politik (parpol) dalam menyongsong Pemilu 2024. Partai-partai baru pun bermunculan memenuhi lapak demokrasi. Di sisi lain, pandemi Covid-19 semakin mengganas.

Kontestasi elektoral masa mendatang akan dijepit oleh korona sekaligus gelombang krisis. Tentu kehadiran parpol baru belakangan ini cukup mengejutkan. Dalam situasi normal saja, betapa sulitnya menjaga stamina politik bagi parpol baru. Apalagi dalam suasana new normal, tentu mereka akan dihadapkan beban berlipat ganda.

Kompleksitas situasi ini penting digambarkan sebagai peringatan dini bahwa peta jalan menuju kontestasi Pemilu 2024 dipenuhi ketidakpastian. Jika merujuk pada matematika sebagai ilmu pasti, sederet data politik kuantitatif terkini bisa menjadi panduan bagi pemain baru untuk mengelola ketidakpastian itu, setidaknya meminimalkan risiko.

Faktor Pemicu

Sampai akhir Juni 2021, tercatat lebih dari sepuluh partai baru bermunculan. Ada parpol yang sudah berstatus badan hukum, ada juga yang belum memperoleh pengesahan, mungkin juga sedang mengurus legalitasnya dari Kementerian Hukum dan HAM.

Partai-partai baru tersebut adalah Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (UKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Hijau Indonesia, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Kita juga disuguhi kemunculan Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1945, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Demokrasi Rakyat Indonesia Sejahtera (PDRIS), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Nusantara, dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).

Banyak faktor yang menyebabkan parpol baru berkecambah setiap menjelang pemilu. Ada partai baru yang didirikan sebagai implikasi dari konflik internal yang membelit partai lamanya. Lalu, sejumlah partai baru yang menggunakan simbol agama, nasionalis, dan ”campuran” nasionalis-religius sebagai refleksi keberagaman masyarakat Indonesia tak henti mencoba peruntungan.

Kedatangan partai baru terkadang dipengaruhi oleh romantisme terhadap kekuatan politik tertentu yang berkibar pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Kembang kempis parpol baru tak pernah sepi pula dari sekadar gaya-gayaan dan kegenitan politisi musiman. Praktisnya, parpol adalah wadah kanalisasi hasrat kuasa elite untuk bergulat di gelanggang demokrasi melalui pemilu.

Semakin Kompetitif

Berdasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, parpol baru yang diperbolehkan mengikuti pemilu haruslah memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan kepengurusan 50 persen kecamatan. Sulit dimungkiri, persyaratan untuk lolos verifikasi faktual di KPU agar menjadi peserta Pemilu 2024 bukanlah perkara gampang.

Di tengah persepsi publik terhadap parpol yang bernada minor, parpol dituntut untuk membangun infrastruktur kepengurusan di tingkat pusat dan daerah. Semuanya membutuhkan jaringan massa yang mengakar, dana yang memadai untuk operasional partai, dan ketokohan yang kuat untuk merebut perhatian audiens.

Jika parpol baru telah memenuhi syarat-syarat administratif sebagai kontestan, pekerjaan rumah selanjutnya, seberapa besar peluangnya untuk menaklukkan ambang batas parlemen 4 persen. Paling mungkin, parpol baru membidik suara swing voters (pemilih mengambang) dan undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan). Juga menggerus basis konstituen partai lama.

Namun, tak mudah juga mengubah pemilih. Lagi pula, partai-partai lama akan terus bergerak merawat konstituen agar tidak terjadi migrasi suara ke kutub lain. Karena itu, selain tokoh atraktif yang punya magnet elektoral, partai baru mesti mengemas diferensiasi dan distingsi program, gairah organisasi, dan jejaring aktor yang menawarkan kebaruan.

Becermin pada hasil Pemilu 2019, tidak ada satu pun parpol baru yang lolos ke Senayan. Partai Perindo hanya mampu meraup 2,67 persen suara; Partai Berkarya memperoleh 2,09 persen; PSI meraih 1,89 persen; dan Partai Garuda hanya 0,50 persen. Bahkan, parpol lama seperti Partai Hanura terdepak dari DPR pada Pemilu 2019. Nasib serupa juga dialami PBB sejak Pemilu 2009 hingga 2019, gagal menembus ambang batas parlemen. Demikian pula PKPI, belum sekali pun lolos ke Senayan dari Pemilu 1999 hingga 2019.

Pelajaran Berharga

Parpol baru tetap berpeluang untuk meraih dukungan publik. Kalau kita menggeser jarum sejarah partai baru di kepemiluan, Partai Nasdem sukses menduduki kursi Senayan dengan 6,7 persen suara pada Pemilu 2014. Mundur ke belakang lagi, pada Pemilu 2009, parpol baru seperti Gerindra berhasil mendapatkan 4,5 persen suara, termasuk Hanura. Tapi, ironisnya Hanura gagal mempertahankan kursi Senayan pada Pemilu 2019.

Jauh melintasi waktu, Partai Demokrat ibarat ”bayi ajaib” pada Pemilu 2004, sukses mendulang 7,4 persen suara. Pada Pemilu 1999, terdapat tiga parpol baru yang bertengger pada posisi moncer, yakni PDIP (33,74 persen), PKB (12,61 persen), dan PAN (7,12 persen).

Potret keberhasilan sejumlah parpol baru mewartakan signifikansi variabel tokoh. Misalkan Nasdem yang mengandalkan Surya Paloh dan Gerindra yang identik dengan Prabowo Subianto. Pun Demokrat yang diasosiasikan dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Hanura yang bertumpu pada Wiranto. Begitu pula PDIP dengan karisma Megawati Soekarnoputri, PKB berkat ketokohan Gus Dur, dan PAN lewat pengaruh Amien Rais.

Di negara-negara lain, ada beberapa kisah sukses parpol baru yang patut dipelajari. Di Prancis, misalnya, kemenangan Partai La Republique en Marche (LREM) berhasil menyabet kursi di parlemen pada Pemilu 2017. Bahkan, pimpinan LREM Emmanuel Macron meraih posisi sebagai presiden Prancis.

Aktivis politik Indonesia juga dapat menyerap energi keberhasilan Partai Demosisto di Hongkong yang dipelopori generasi milenial seperti Joshua Wong dan Nathan Law. Partai yang kesohor dengan ”Gerakan Payung” itu mengikuti Pemilu 2016 dan mampu unjuk gigi sebagai simpul kekuatan politik militan di Parlemen Hongkong.

Mampukah parpol baru di tanah air memodifikasi dan mengadaptasikan jejak kemenangan LREM dan Demosisto sesuai dengan konteks politik elektoral di Indonesia? Namun, melihat matematika elektoral kekinian, parpol baru tidak boleh setengah hati bertarung, tapi harus mati-matian politik.

 

 

Mawardin Sidik

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Jawa Pos
Sumber foto: Jawa Pos

Ruang Seleksi Kepemimpinan 2024

Dalam beberapa pekan terakhir terjadi eskalasi penyebutan nama para kandidat Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.

Pemantiknya adalah rilis survei dan juga opini para pengamat maupun politisi. Eskalasi dari survei berasal dari ramainya rilis hasil survei baik dari lembaga survei yang namanya sudah dikenal maupun yang baru belakangan muncul. Atensi publik dan media tak jauh dari soal tingkat keterkenalan dan elektabilitas kandidat secara perorangan.

Di sisi lain, pengamat dan politisi juga mulai melempar wacana mengenai format pasangan. Yang menarik, ada dua kategori kandidat yang ternyata masih sering disebut bahkan kadang ditonjolkan: ketua umum parpol dan politisi kawakan, yaitu politisi yang pada 2024 nanti sudah berusia minimal 70 tahun.

Membatasi Seleksi

Di satu sisi, pemunculan nama-nama ketua umum (ketum) parpol itu merupakan hal lumrah. Normatifnya, setiap parpol niscaya memajukan kader terbaiknya. Dan, asumsi yang digunakan: posisi ketum adalah penghargaan yang diberikan kepada kader terbaik partai.

Kecenderungan seperti ini lebih terasa lagi terjadi di parpol yang bertipe partai figur. Pemunculan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Prabowo Subianto, contohnya. Partai Demokrat dan Partai Gerindra merupakan contoh partai figur yang personal, personalistik dan juga personalis.

Partai personal adalah partai yang bertumpu pada karisma pendirinya yang sekaligus memfasiltasi penyediaan sumber daya secara patronistik (Calisse, 2015). Mirip dengan itu, partai personalistik adalah partai yang sengaja didirikan untuk memenuhi ambisi politik pendirinya (Gunther dan Diamond, 2003). Partai personalis adalah yang ditandai pemusatan pada pemimpin partai, sekaligus dengan kapasitas organisasi kepartaian yang minimum atau dilemahkan (Kostadinova dan Levitt, 2014).

Pemunculan nama Muhaimin Iskandar atau Puan Maharani dan juga Megawati konsekuensi logis ketika partai massa bertransformasi jadi partai personalis. Mengikuti Kostadinova dan Levitt, dalam konteks kepemimpinan, PKB adalah partai personalis yang tak bertumpu pada karisma pemimpin, tetapi lebih keterampilan politik Muhaimin dalam menancapkan pengaruhnya di PKB.

Sebaliknya, PDI Perjuangan (PDI-P) menjadi partai personalis karena kombinasi karisma dan keterampilan politik Megawati mendominasi struktur partai. Tapi, pemunculan nama ketum tak melulu berasal dari partai figur. Nama Airlangga Hartarto, umpamanya, harus dibaca sebagai strategi politik secara kelembagaan. Mengikuti tipologi Kostadinova dan Levitt, Golkar merupakan partai yang terinstitusionalisasi. Kekuatan utamanya pada kapasitas organisasi, bukan daya tarik ketua partai.

Terlepas dari tipe partai, pemunculan beberapa nama ketum parpol memiliki motif yang cenderung berkelidan. Kebutuhan meningkatkan awareness (Muhaimin, Airlangga, Puan) ataupun melentingkan elektabilitas (Prabowo, AHY) bertemu dengan kebutuhan membangun daya tawar politik maupun mengonsolidasikan partai. Pada saat yang sama, pemunculan politisi kawakan sesuatu yang di luar ekspektasi banyak kalangan.

Sebelumnya, ada semacam asa Pilpres 2019 akan jadi ajang terakhir bagi politisi generasi baby boomer (kelahiran 1946 hingga 1964). Harapan ini berpotensi kandas. Setidaknya, karena dua hal. Pertama, politisi dari silent generation (lahir sebelum 1946) rupanya masih bisa berkontestasi dan punya kans untuk menang. Keterpilihan Biden (lahir 1942) ataupun Ma’ruf Amin (lahir 1943) seakan jadi justifikasi usia lanjut tak selalu jadi penghambat dari sisi elektoral.

Kedua, dalam konteks Indonesia, penyebutan nama para politisi kawakan menjadi lebih menggema ketika dikaitkan dengan wacana presiden boleh tiga periode. Jika wacana ini bisa lolos di MPR-DPR, tak hanya Joko Widodo (Jokowi) yang berpeluang. Susilo Bambang Yudhoyono/SBY (lahir 1949) disebut-sebut akan jadi lawan paling sepadan dengan Jokowi.

Tak hanya itu, Jusuf Kalla (lahir 1942) juga dinilai punya peluang besar menjadi wapres untuk ketiga kalinya.

Diapungkannya kembali pasangan Megawati-Prabowo yang pernah berpasangan di Pilpres 2009 menunjukkan politisi kawakan masih diperhitungkan punya kans memenangi kontestasi. Terlebih, faktualnya, politisi kawakan punya posisi sangat strategis dalam menentukan kandidat yang kelak akan diusung partai mereka. Megawati dan Prabowo adalah ketum parpol, SBY ketua dewan pembina di Partai Demokrat. Bahkan, meski tak punya posisi strategis, Kalla diyakini masih punya pengaruh dalam skala tertentu di Golkar.

Namun, di sisi lain, pewacanaan ketum dan politisi kawakan secara dini dan masif juga dapat dimaknai sebagai upaya membatasi proses seleksi calon pemimpin di 2024. Dalam hal ini, proses seleksi hendak dibatasi pada satu calon saja, setidaknya di tingkat internal tiap partai. Ini bagian dari politik simbol untuk mengingatkan kader partai itu untuk tak melakukan manuver. Juga jadi pesan politik pada kandidat di luar partai bahwa kesempatan mereka diusung hanya maksimal sebagai pendamping.

Selain pewacanaan, upaya membatasi proses seleksi juga dilakukan dengan cara mendorong agar Pilpres 2024 nanti hanya diikuti dua pasang kandidat sebagaimana Pilpres 2014 dan 2019. Salah satu caranya dengan tetap mempertahankan ambang batas presiden (presidential threshold) yang ada saat ini. Beriringan dengan itu, ada upaya mendorong terbentuknya koalisi sejak dini dengan alasan klasik seperti mewujudkan koalisi permanen, mengefisienkan pemilu dan mendorong terbentuknya pemerintahan yang kuat.

Memilih kalah

Meski begitu, peluang bukan sama sekali tertutup bagi kandidat non-ketum parpol. Sejumlah partai menengah dan kecil belum bersikap atau membuka pintu bagi calon dari internal atau eksternal partai. Nasdem malah mengambil langkah berani ‘mencuri panggung’ dengan gagasan konvensi. Meski bukan ide baru, gagasan ini secara telak antitesis dari upaya membatasi proses seleksi itu. Adalah tantangan buat Nasdem untuk membuktikan konvensi yang akan dijalankannya tak berakhir anti-klimaks seperti pernah terjadi pada Demokrat.

Yang tak kalah penting, pilpres masih sekitar dua tahun lebih. Politisi yang sekadar kader biasa atau yang tak berpartai (kepala daerah, pemuka agama, selebritas hingga unsur TNI/Polri) masih punya peluang diusung. Politik Indonesia cukup dinamis, segala kemungkinan masih cukup terbuka. Asumsinya, pada saatnya parpol akan bersikap rasional. Pada akhirnya, mereka akan melihat tren elektabilitas. Kandidat yang berpotensi menang akan didukung.

Problemnya, asumsi itu bisa saja terlanggar. Setidaknya, ada tiga faktor yang bisa jadi penyebabnya. Pertama, parpol percaya kalkulasinya sendiri. Dalam hal ini, parpol tetap mendukung ketum partainya sendiri yang tren elektabilitasnya rendah atau stagnan. Mereka berkeyakinan hasil survei masih bisa berbalik seiring proses kampanye. Kalkulasi ini bukan sekadar ilusi. Setidaknya, Pilpres 2014 dan 2019 menunjukkan peluang mengejar kandidat yang semula diprediksi bisa menang dengan margin besar nyaris bisa dilakukan.

Contoh keberhasilan kuda hitam memenangi kontestasi politik cukup banyak. Ini umpamanya dilakukan Donald Trump ketika mengalahkan Hillary Clinton di pilpres AS 2016 lalu. Dalam konteks pilkada, hal serupa pernah dilakukan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2008, Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko pada Pilkada Jawa Tengah 2013, Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012 atau juga Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilgub DKI Jakarta 2017, untuk menyebut beberapa contoh.

Kedua, parpol secara sadar memilih strategi ‘bunuh diri elektoral’. Maksudnya, parpol sengaja tetap mengusung ketum partai meski sudah berkalkulasi akan kalah. Yang dikejar adalah efek ekor jas (Coat-Tail Effect) dari pencalonan itu. Dalam hal ini, pilpres hanyalah agenda tambahan untuk mendukung agenda utama: pemilu legislatif (pileg). Ini bisa jadi pilihan menarik karena meyakini koalisi permanen tak akan terwujud sebagaimana terjadi di pilpres 2019 lalu. Kesempatan meraih posisi menteri di kabinet tetap akan terbuka, terlebih jika meraih kursi yang signifikan di DPR.

Masih terkait itu, ketiga, ada upaya pengendalian risiko. (Ketum) partai berupaya mencegah kerugian lebih besar. Dalam hal ini, parpol bersikeras mencalonkan ketumnya sendiri daripada mengusung kader partainya yang secara elektoral lebih besar peluangnya untuk menang. Pilihan ini dilakukan karena elite parpol memprediksi adanya potensi kerusakan reputasi organisasi yang fatal jika kader itu justru memenangi pilpres. Sebab, kader itu diduga bisa atau terpaksa membuat kebijakan-kebijakan yang berlawanan dengan garis politik parpol. Selain itu, ketum sangat mungkin punya prediksi bahwa kader biasa itu bisa saja kemudian terdorong mengambil alih kepemimpinan partai setelah terpilih menjadi presiden atau wakil presiden.

Harus berkoalisi

Timbul pertanyaan, apakah sikap parpol untuk tak realistis tadi bisa dieksekusi? Jika ambang batas presiden tak diturunkan, hanya PDI-P yang bisa. Mereka bisa mencalonkan diri secara mandiri karena jumlah kursi di DPR lebih dari batasan minimal 20 persen, persisnya 22,26 persen. Artinya, partai-partai figur lain yang bersikeras ngotot mencalonkan ketumnya sendiri harus berkoalisi. Perkoalisian akan membuka pintu bagi calon dari kalangan bukan ketum, baik sebagai capres atau cawapres.

Tak hanya itu, kemungkinan adanya lebih dari dua pasangan kandidat masih cukup terbuka. Ini artinya lebih besar lagi peluang bagi kandidat non-ketum parpol untuk ‘manggung’. Seperti ini ilustrasinya. Katakanlah PDI-P dan Gerindra berkoalisi (36 persen), minimal masih ada dua slot pasangan tersedia.

Misal saja ada koalisi, sebut saja Anak Bangsa (Nasdem, PKS dan PPP yang totalnya sekitar 22 persen kursi di DPR) dan koalisi demokrasi (Demokrat, PKB dan PAN, sekitar 27 persen). Masih ada Golkar yang bisa bergabung dengan salah satu dari tiga koalisi tersebut atau membelah dua koalisi terakhir.

Alternatif lain, tetapi jauh lebih sulit, adalah Golkar memastikan dukungan dari parpol non parlemen. Golkar bisa melakukan ini jika memiliki kandidat yang kompetitif, selain tetap memajukan Airlangga Hartanto sebagai cawapres, misalnya. Dus, ini akan menjadi ruang bagi kandidat non-ketum untuk tampil dalam pentas Pilpres 2024 nanti.

Seturut uraian di atas, upaya menyempitkan jalur bagi tampilnya kandidat non-elite (baca: ketum parpol) akan berhadapan dengan realitas politik (persyaratan pencalonan). Pada saat yang sama, kandidat-kandidat non-ketum justru makin giat bermanuver untuk melentingkan elektabilitasnya. Ini jelas menimbulkan gangguan psikologis politik bagi para ketum parpol.

Tidak jaminan

Pesan utama tulisan ini sederhana saja: peluang kompetisi politik harus lebih terbuka. Ketum parpol dan yang bukan ketum parpol seyogianya memiliki kesempatan yang relatif sama untuk dicalonkan. Dalam sistem presidensial, parpol normanya akan mencari kandidat terbaik dan tentunya yang paling mungkin untuk menang. Ini berbeda dengan sistem parlementer di mana ketua partailah yang diajukan sebagai kandidat menjadi perdana menteri.

Meski demikian, harus diakui, tak ada jaminan kita akan mendapatkan kandidat terbaik, sungguhpun peluang pencalonan menjadi lebih terbuka. Seperti diingatkan Pakulski (2013), di era pemusatan kepada pemimpin, kontestasinya lebih terarah pada citra ketimbang kebijakan atau ideologi. Ini tak lepas dari peran besar media massa. Kandidat yang memiliki keterkenalan dan elektabilitas tinggi tidak menjamin memiliki kompetensi yang tinggi juga.

Lebih pada itu, Pakulski juga mengingatkan kemungkinan terjadinya apa yang ia sebut sebagai kevakuman kepemimpinan. Ini bukan karena tak ada pemimpin yang tersedia untuk dipilih melainkan tak adanya calon-calon pemimpin yang berkualitas.

Dalam situasi seperti ini, panggung politik hanya akan diisi oleh para calon pemimpin medioker. Tipe pemimpin seperti ini, kata Pakulski, cenderung oportunis, demagog dan menghamba pada kemenangan ketimbang kesetiaan pada (ideologi) partai. Ini jelas menimbulkan kerapuhan bagi demokrasi.

Akhirnya setiap kekuasaan selalu punya virusnya sendiri. Salah satunya apa yang disebut Musella (2018) dengan istilah hukum besi kepemimpinan. Intinya, ketika memegang tampuk kekuasaan, figur yang demokratis dan berkualitas pun tak tertutup kemungkinan untuk terus tergoda mempertahankan kekuasaannya atau memperluas kekuasaannya. Yang terakhir ini dapat saja terjadi pada kandidat non-ketum. Setelah terpilih, mereka dengan satu atau lain alasan, dapat saja tergoda untuk merebut kepemimpinan partai yang mengusungnya. Ini jelas akan mengganggu jalannya pemerintahan.

Kita tentu berharap akan mendapatkan pemimpin terbaik pada 2024 nanti. Tapi, juga perlu menyiapkan diri untuk mendapatkan pemimpin dengan kualitas medioker saja. Karena itu, pekerjaan rumah kita yang utama adalah penguatan kelembagaan demokrasi. Kita perlu, umpamanya, memastikan check and balances berjalan, demokratisasi internal di parpol terlembagakan dan juga terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

 

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Kompas, 23 Juni 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Restorasi Bumi dan Geliat Politik Hijau

Awal tahun 2021, banjir serentak menerjang Jakarta hingga Kalimantan Selatan. Banyak pula daerah di Jawa Barat sampai Jawa Timur terendam banjir. Akhir maret, NTT dan NTB juga disapu banjir bandang. Kerugian materiil, korban nyawa, kerusakan fasilitas publik hingga lumpuhnya denyut nadi ekonomi sangat terasa akibat banjir.

Dalam konteks ini, kita mesti hijrah paradigmatik, dari sekadar mindset ‘bencana alam’ semata menuju haluan politik ekologis. Banjir merupakan konsekuensi logis dari perilaku manusia yang tidak ramah terhadap alam. Maka alam pun ‘marah’ pada manusia.

Ketika daya resapan air menipis, pembalakan liar (illegal logging) dan semarak deforestasi, banjir tinggal menunggu waktu. Bukan hanya banjir, tapi juga resesi ekologis-klimatologis dalam skala masif. Polusi udara dan suhu panas bumi kian menyengat. Penumpukan sampah di laut dan sungai hingga kabut asap yang tak terkontrol.

Tanah longsor dan kekeringan pun memasuki stadium berat. Itulah imbas dari eksploitasi sumber daya alam (SDA) yang melewati ambang batas. Semua itu adalah implikasi dari kebijakan pembangunan yang meminggirkan keselamatan ekosistem dan hilangnya sense of crisis.

Kuncinya memang restore our earth (pulihkan bumi kita). Itulah relevansi tema Hari Bumi (Earth Day) tahun ini yang diperingati pada setiap tanggal 22 April. Hari Bumi pertama kali berkumandang sejak 1970 sebagai tonggak gerakan lingkungan modern. Restorasi bumi yang bersahutan dengan geliat politik hijau menjadi topik hangat belakangan ini.

Parpol dan Isu Lingkungan

Dalam senjakala bumi terkini, dibutuhkan kesadaran publik dan advokasi ekologis melalui formulasi kebijakan membumi sebagai tapak berpijak. Bukan hanya tanggung jawab negara, tapi juga masyarakat sipil. Bahkan partai politik (parpol) harus didesak keberpihakannya pada penguatan agenda lingkungan hidup, pro bumi (planetary obligation).

Sejumlah parpol mulai bergeliat memerhatikan urgensi politik hijau. Sekurang-kurangnya, PDI-Perjuangan melalui Gerakan Penghijauan dan Gerakan Membersihkan Sungai yang wajib dilakukan oleh seluruh anggota partai. PKB juga membingkai narasi lingkungan dengan meneguhkan diri sebagai ‘partai hijau’.

Belakangan Partai Gelora Indonesia tergerak menjadikan isu lingkungan sebagai agenda perjuangan. Tentu saja kita berharap bukan hanya sekadar berhenti sebatas jargon belaka, namun perlu follow-up dan konkretisasi agenda.

Di sisi lain, lahir pula parpol yang secara spesifik mengusung agenda politik lingkungan hidup. Itulah partai hijau. Connelly dan Smith (2003) menyebutnya environmental politics atau green politics. Tanah gembur demokrasi di Indonesia sangat memungkinkan tumbuhnya partai hijau, meski tantangan elektoralnya sangat besar.

Setiap parpol sebenarnya memiliki platform politik lingkungan, setidaknya termuat dalam dokumen visi-misinya. Tapi manajemen lingkungan yang lebih progresif, fokus dan jangka panjang belum menjadi arus utama. Program lingkungan sekadar terselip di bidang ekonomi dalam visi-misi partai, galibnya tercermin pada ungkapan membangun perekonomian berwawasan lingkungan dan seterusnya.

Keminusan itulah yang barangkali ingin dijawab kemudian diisi oleh partai hijau. Manifesto utama yang diangkat adalah transformasi isu pokok lingkungan hidup dalam birokrasi dan pemerintahan.

Dalam sejarah perjalanan pemilu pasca orde baru, pernah hadir partai beraroma lingkungan di Indonesia. Ada “Partai Hijau” yang bermunculan pada tahun 1998 dan 2012, ditopang oleh Walhi dan Sarekat Hijau Indonesia. Saat ini, partai hijau tampil lagi. Lalu bagaimana prospeknya?

Prospek Partai Hijau

Partai Hijau Indonesia (PHI) yang didirikan sejak 5 Juni 2012 gagal menjadi parpol peserta pemilu 2014, mengingat syarat yang ekstra-ketat. Belum lagi dana kerja-kerja politik teramat mahal. Kini, PHI hadir kembali mencoba berikhtiar untuk mengikuti palagan elektoral 2024. Kongres perdana secara virtual telah digelar di Jakarta pada tanggal 7 Maret lalu.

Sebuah ijtihad politik yang patut diapresiasi. Perjuangan politik bukan hanya sekadar mengibarkan bendera LSM, tapi mengubah dari dalam lewat parpol. Indonesia yang bersih, adil dan lestari yang diusung Partai Hijau tentu atraktif. PHI dengan penuh gairah akan menegakkan prinsip-prinsip politik hijau, seperti kearifan ekologis, keadilan sosial, demokrasi partisipatoris, tanpa kekerasan, keberlanjutan dan penghargaan terhadap keberagaman.

Momentum krisis lingkungan, langit yang memerah dan perubahan iklim dapat menjadi lampu hijau kebangkitan politik hijau. Tapi problemnya, daya kognisi pemilih yang belum memadai dan sengkarut persoalan ekonomi menyebabkan atensi terhadap lingkungan terabaikan.

Namun demikian, manakala pola sosialisasi secara kontinyu disertai pendekatan yang tepat sasaran, maka urgensi isu lingkungan akan menembus jendela otak pemilih. Syaratnya produk politik itu dikemas secara canggih dan terkoneksi dengan aspek sosial yang meliputi pemberdayaan komunitas lokal pengelola SDA, masyarakat hutan adat dan sejenisnya.

Berkaca dari Luar Negeri

Mari sejenak kita tengok kiprah green politics di luar negeri. Sebut saja Partai Hijau Jerman yang sudah tampil sejak 1980-an. Pada pemilu 2019, partai itu mampu mendulang 20 persen suara. Puncaknya, blok partai-partai Hijau di Prancis, Inggris dan negara-negara lain merayakan capaian elektoral dalam pemilu 2019 yang menjadi simpul kekuatan politik strategis di Parlemen Eropa. Sebuah perolehan besar dalam suasana perubahan iklim yang menuai sorotan.

Sedangkan Partai The Australian Greens di Australia turut mengisi kursi parlemen di negeri kangguru itu sejak 1996. Fenomena itu kontras dengan konstelasi politik Amerika Serikat, di mana kandidat presiden dari Partai Hijau hanya meraup 1-3 persen suara. Kisah sukses Partai Hijau tersebut, bisakah diduplikasi di Indonesia?

Pertanyaan itu hanya bisa dijawab oleh publik, seberapa signifikan narasi lingkungan menarik perhatian pemilih. Salah satu branding isu yang dapat diarus-utamakan dalam kampanye politik adalah linkage antara ekonomi dengan lingkungan hidup. Parpol bermazhab green politics mesti merumuskan solusi secara komprehensif apa dan bagaimana strategi menyeimbangkan kelestarian alam dengan kebutuhan ekonomi.

Namun demikian, partai-partai yang memenangkan pemilu di banyak negara bermain pada ‘produk’ ekonomi yang lebih populis. Meskipun dampaknya bisa memanaskan tungku republik, malah jualan politik identitas terhitung cukup menggoda dari segi magnet elektoral. Pandangan Doyle dan McEachern (2008) juga menopang asumsi umum bahwa parpol konvensional dan pemerintah dianggap lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi.

Tantangan kian bertambah di tengah angka ambang batas parlemen yang tinggi. Parpol baru yang bertarung pada pemilu 2019 pun tersingkir, termasuk partai kecil lainnya, gagal menembus ambang batas 4 persen. Pada akhirnya, gerakan politik Partai Hijau tetap menarik kita ikuti perkembangannya ke depan, sejauh mana daya tahan idealisme di tengah struktur sosial politik Indonesia yang berbau kartelisasi oligarkis.

Meski begitu, jika benar-benar berhasil mengikuti Pemilu 2024, maka kehadiran Partai Hijau, setidaknya–memperkaya menu politik bagi masyarakat. Selanjutnya tergantung publik (pemilih). Dan biarkan sejarah yang menjawab. Ketika kesadaran kolektif politik lingkungan hidup mengkristal, maka bukan sesuatu yang mustahil geliat politik hijau turut menyegarkan suhu udara politik di Tanah Air.

 

 

Mawardin Sidik

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Kumparan
Sumber foto: Aditya Pradana Putra/ANTARA FOTO

Fragmentasi Politik dan Risiko Elektoral

Jakarta – Kemelut Partai Demokrat memasuki babak baru. Kepengurusan versi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang ditolak oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun aksi saling gugat antara Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan kubu Moeldoko bakal berlanjut.
Haru biru partai biru belum sepenuhnya berakhir, kini sayup-sayup terdengar wacana KLB Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Nyaris semua parpol mengalami konflik serupa, seperti Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan sebagainya. Hanya saja, kadar dan kedok serta manifestasinya yang berbeda.

Meskipun konflik telah inheren dalam dinamika kepartaian sejak lama, namun mitigasi risiko mesti dipikirkan agar efek sampingnya tidak terlampaui destruktif. Korelasi antara konflik internal partai politik (parpol) dengan resiko elektoral layak ditimbang.

Terus Berulang

Salah satu faktor yang memicu terus berulangnya konflik parpol adalah residu dari suksesi kepemimpinan partai yang menyisakan ‘luka’. Idealnya ketua umum definitif perlu memastikan soliditas internal terjaga pasca kontestasi. Jika tidak, maka akan timbul turbulensi dan kontra dari unsur yang merasa teralienasi di parpol.

Di sisi lain, kita kerap mendengar kritikan dari internal terhadap gaya kepemimpinan parpol dengan dalih macam-macam. Dari soal kinerja pimpinan partai (elektoral) hingga kegerahan atas praktik familisme politik, oligarki, dan labeling serupa.

Intinya, sudah lazim suatu organ kekuasaan sarat dengan intrik dan pertarungan kepentingan. Hal itu sejalan dengan pendekatan Lasswellian: who gets what, when, how (siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya).

Sulit dipungkiri, geliat aspirasi dan kompleksitas kepentingan berbagai faksi di organ parpol sangat variatif dan dinamis. Inilah tantangan bagi pemimpin parpol guna menjaga keseimbangan orkestra demokrasi internal sesuai corak kepartaian.

Fragmentasi

Tarik-menarik kepentingan di parpol yang konfliktual galibnya berujung fragmentasi politik. Wujudnya tercermin pada organ parpol induk, kemudian mengalami perpecahan menjadi sel-sel politik yang bersifat otonom.

Fenomena fragmentasi politik adalah implikasi dari pelembagaan demokrasi dan manajemen konflik partai yang masih rapuh. Tak sedikit fragmentasi internal partai bermuara pada keluarnya figur ikonik beserta gerbongnya hingga menelurkan parpol baru.

Fragmentasi politik suatu parpol kemungkinan bisa bersifat prospektif sekaligus retrospektif dari segi nalar elektoral. Partai induk dan partai sempalan sama-sama tumbuh berkembang, atau kedua-duanya tersingkir. Bisa juga satunya berkembang dan lainnya hilang dan terlempar.

Berkaca dari Sejarah

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) masa Orde Baru terjadi gesekan antara kubu Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri. Rezim Orba pun lengser, lahirlah PDI Perjuangan yang merupakan transformasi dari PDI Pro-Mega. Pemilu 1999, PDI Perjuangan meraih suara fantastis sebesar 33,74%. Dalam perjalanan politiknya, PDI Perjuangan bukan berarti tanpa ketegangan.

Sejumlah elite partai banteng yang berselisih paham, lalu membuat partai baru. Yakni Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) pimpinan Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) pimpinan Laksamana Sukardi dan Roy BB Janis. Namun PNBK dan PDP gagal menembus ambang batas parlemen. Pada pemilu 2004, suara PDI Perjuangan sempat menurun, hanya 18,5% persen. Tapi kini, PDI Perjuangan kembali menjadi jawara.

Partai Golkar juga demikian. Beberapa elite Golkar keluar pasca kontestasi internal dan berselisih jalan. Edi Sudrajat mencetus Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), Tutut Soeharto mendeklarasikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, Wiranto merintis Partai Hanura, Surya Paloh membentuk Partai NasDem dan Tommy Soeharto menginisiasi Partai Berkarya.

PKPB, PKP (kini PKPI) tidak seberuntung parpol baru seperti Gerindra dengan raihan suara 4,46 persen, juga Hanura sebesar 3,77 persen pada pemilu 2009. Pun NasDem, meraup suara 6,72% walaupun kontestan baru pada Pemilu 2014.

Survival Partai Golkar relatif stabil meskipun sempat dirundung gejolak lagi antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono, untungnya berakhir rekonsiliasi. Pada Pemilu 2004, Golkar mendulang suara 21,58 persen, tapi pada pemilu-pemilu berikutnya menurun.

Mimpi buruk bagi Partai Berkarya, gagal pada Pemilu 2019. Kini Berkarya mengalami perpecahan antara kubu Tommy dengan Muchdi PR. Hanura juga pernah diterpa konflik internal antara kubu Oesman Sapta dengan Daryatmo. Pemilu 2019 menjadi titik nadir bagi Hanura, tersingkir dari Senayan.

Ketika musim reformasi bersemi, PPP pun mengalami keretakan, lahirlah Partai Bintang Reformasi (PBR) walau tidak berumur panjang. Guncangan PPP terjadi lagi saat kisruh antara kubu Romahurmuziy dengan Djan Faridz, namun berakhir islah. Pekerjaan besar bagi PPP agar bangkit di tengah suaranya yang terus anjlok.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga terbelah, hingga terbentuk Partai Gelora Indonesia pimpinan Anis Matta, mantan Presiden PKS. Sementara PBB terus terjun bebas. Kalau dulu PBB didera konflik internal antara Yusril Ihza Mahendra dengan kubu Hartono Mardjono, kini bergulir Partai Masyumi ‘Reborn’, maka jalan PBB menduduki parlemen kian terjal.

Konflik internal parpol pun menerjang PAN. Walhasil, tumbuh Partai Matahari Bangsa (PMB) pimpinan Imam Addaruqutni, kendati akhirnya terbenam. Kisah lama terbitnya ‘dua matahari’ kembali berulang dengan kemunculan Partai Ummat besutan Amien Rais sebagai imbas dari gonjang ganjing PAN.

Demikian pula PKB, terjadi disharmoni antara kubu Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur maupun PKB Gus Dur versus Matori Abdul Jalil. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) pimpinan H. Choirul Anam adalah produk dari disintegrasi internal PKB. Pemilu 2009, suara PKB menurun, hanya 4,94 persen suara ketimbang pemilu sebelumnya di atas angka 10 persen. PKNU pun berakhir layu. PKB kembali bangkit pada pemilu berikutnya.

Jauh sebelum konflik Partai Demokrat belakangan ini, dulu sempat berselisih jalan di internal partai. Sys NS kemudian membentuk Partai NKRI, dan Ventje Rumangkang menggawangi Partai Barisan Nasional. Demokrat adalah kisah tentang kelahiran, kebangkitan, kejayaan lalu kemerosotan. Sekalipun pemain baru pada pemilu 2004, Demokrat meraih suara 7,45 persen, meroket pada pemilu 2009 sebesar 26,4 persen. Pemilu 2014, suara Demokrat turun drastis, 10,19 persen, lalu terjun ke angka 7,77 persen pada Pemilu 2019.

Sebagai catatan, elektabilitas parpol dipengaruhi oleh multi-faktorial. Hal ini tak lepas dari kepemimpinan dan ketokohan yang atraktif, jaringan yang mengakar, kinerja partai, kapabilitas kader, modal yang besar, diferensiasi platform dan program disertai strategi komunikasi politik yang canggih. Namun serpihan fakta tergerusnya suara parpol akibat fragmentasi politik internal adalah preseden politik dan alarm elektoral yang tak bisa diremehkan.

Dengan demikian, parpol perlu memperkuat pelembagaan demokrasi, revitalisasi ideologi, kaderisasi dan manajemen konflik partai. Dialektika internal tetap dirawat, namun lokusnya digeser ke dalam kontestasi gagasan programatik dan pendewasaan politik. Ketika parpol konsisten mengartikulasikan kepentingan publik, maka berkah elektoral menjadi keniscayaan.

 

 

Mawardin Sidik

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: detik(dot)com
Sumber foto: Ari Saputra

Mengobati Disfungsi Partai Politik

Ibarat lagu lama yang diputar ulang, konflik internal partai politik (parpol) kerap melekat dalam dinamika kepartaian kita. Belum usai prahara yang menerjang Partai Demokrat pasca Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, kini muncul suara lamat-lamat wacana KLB PKB.

Jika jarum sejarah diputar ke belakang – sejak orde lama, orde baru hingga era reformasi – nyaris semua parpol mengalami nasib serupa.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sebagian parpol masih mengalami disfungsi. Penyakit amoeba politik, konflik dan fragmentasi politik tetap bermutasi.

Riwayat yang jamak kita dengar adalah faksi-faksi tertentu di parpol yang merasa tidak terakomodasi, lantas berselisih jalan dengan pimpinan teras partai. Keseimbangan menjadi terganggu, apalagi melibatkan campur tangan unsur luar partai, tentu gonjang ganjing internal kian membara.

Di sisi lain, tata kelola partai kurang tanggap terhadap geliat demokratisasi internal. Kanalisasi demokrasi partai terkadang tersumbat lantaran “orang-orang kuat” di partai yang cenderung menghambat gerak vertikal kader-kader potensial.

Suksesi kepemimpinan partai pada level DPD dan DPC di daerah-daerah, kerap terdengar “diintervensi” pula oleh lingkaran elite pusat. Inilah yang disebut oleh para pakar sebagai kekuatan oligarki yang mencengkram parpol.

Merujuk Jeffrey Winters (2011), dimensi pertama, oligarki memiliki dasar kekuasaan – kekayaan material – yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Kedua, oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas.

Dalam batas tertentu, terjadilah apa yang dikatakan Slater (2004) sebagai demokrasi kolusif (collusive democracy). Hal itu saling menopang dan bertemu dengan ulasan Robison dan Hadiz (2004) menyoal pembajakan oligarki dalam demokrasi dan parpol di Indonesia.

Respons kader internal terhadap gaya kepemimpinan parpol juga beragam. Ada parpol yang menerapkan gaya kepemimpinan figur-sentris, aristokratik, sistem komando, bahkan familisme politik.

Tapi ada pula gaya kepemimpinan parpol yang egalitarian, demokratik dan teknokratik. Sementara partai berbasis Islam, ada yang bersifat tradisionalis, modernis bahkan konservatif.

Dalam kasus maraknya konflik intra parpol memperlihatkan sebuah paradoks. Polemik yang mengedepan justru bercorak elitis, membelakangi hajat hidup publik. Elite terperangkap dalam kesibukan mengatasi gejolak internalnya sendiri.

Gontok-gontokan antar elite merepresentasikan gejala impotensi ideologi dan pudarnya politik nilai. Arah politik pun mengalami disorientasi. Padahal ideologi dan platform bisa menjadi perekat antar anggota, kader dan pengurus partai.

Kehendak untuk memperjuangkan cita-cita politik bersama, terhalang lantaran disandera oleh elite yang menyulap parpol seperti pasar, transaksi jabatan.

Akibatnya, saling serang untuk merebut mahkota kepengurusan partai begitu menonjol. Seturut itu, elite-elite yang bertikai saling mengantagoniskan satu sama lain. Bongkar-membongkar aib politik terus memantik kegaduhan.

Jika lakon politik ‘gila’ masih diadopsi oleh elite, maka tak salah seorang penyair kawakan dari Inggris, Alexander Pope menyebut: “party is the madness of many for the gain of a few (partai itu kegilaan banyak orang untuk kepentingan sedikit orang)”.

Disfungsi Parpol

Kalau ditelisik secara mendasar, parpol sejatinya terlahir sebagai pilar demokrasi untuk menghubungkan kehendak publik dengan negara. Signifikansi keberadaan parpol terletak pada fungsinya sebagai sarana pendidikan politik, komunikasi politik, rekrutmen, artikulasi politik, dan sarana pengatur konflik.

Perseteruan intra partai dewasa ini mencerminkan gejala disfungsi parpol yang akut. Ironisnya, mekanisme penyelesaian konflik internal sesuai UU Parpol belum sepenuhnya konsisten dilaksanakan oleh kubu-kubu yang bertikai. Maka tak heran, persepsi publik terhadap parpol masih buruk, terutama di mata kawula muda.

Saking buruknya citra parpol maupun politisi, merujuk hasil survei Indikator Politik pada 4-10 Maret 2021 lalu, menunjukkan bahwa mayoritas 64.7% anak muda menilai partai politik atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat.

Reaksi publik bernada minor dari kalangan muda maupun publik secara umum, mesti disambut dengan lapang, lalu membenahi diri, sesegera mungkin menjalankan muhasabah politik.

Kemelut tingkat elite menunjukkan kemandekan demokrasi dan kebuntuan komunikasi. Konflik yang terus berulang harus menjadi refleksi-kritis bagi parpol agar mereformasi diri.

Dalam rangka reformasi parpol, sekolah kepemimpinan dan think-tank partai perlu diberdayakan sebagai wahana kaderisasi. Pemimpin parpol sebaiknya membumikan komunikasi yang persuasif, responsif dan akomodatif terhadap aspirasi kader dan cita-cita kolektif partai.

Begitu pula rekrutmen politik, prinsip-prinsip meritokrasi diarus-utamakan. Dinamika internal parpol pun terisi dengan terobosan gagasan programatik, bertautan dengan seni berpolitik yang berciri artikulatif untuk memajukan bangsa dan negara.

Konflik Fungsional

Untuk memahami sisi lain dari konflik parpol, kita bisa mengadopsi kategorisasi Allen C. Amason (Firmanzah, 2011) yang membagi konflik ke dalam dua hal, yakni konflik fungsional dan konflik disfungsional.

Konflik fungsional, dalam pandangan Amason, adalah konflik yang memberikan ruang dinamika dan tukar menukar ide dan gagasan. Dalam jenis ini, konflik menghasilkan hal-hal positif seperti keputusan yang semakin berkualitas dan masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk berperan serta.

Sementara konflik disfungsional, menurut Amason, merupakan konflik yang berakibat pada hal-hal negatif seperti perang dan kehancuran. Biasanya jenis konflik ini tidak terkait dengan tugas dan pekerjaan, tetapi sudah masuk ke wilayah personal dan individu. Sehingga kritik kepada suatu institusi dianggap sebagai serangan kepada individu.

Pihak mana pun tentu ingin mengelola dan mengolah kekisruhan menjadi konflik fungsional ketimbang konflik disfungsional. Jika ingin berdampak konstruktif, konflik parpol mesti digeser lokusnya ke kontestasi ide dan politik nilai. Pengalokasian nilai dalam masyarakat, seperti kata David Easton.

Dalam proses pengambilan keputusan partai, mesti melibatkan semua unsur maupun spektrum pemikiran, menyaratkan partisipasi secara setara dan deliberatif. Begitulah indahnya berdemokrasi. Banyak kepala, berlimpah pula pikiran dan pandangan yang bergelayut.

Kritik itu vitamin. Menanggapi kritisisme kader bukan dengan pendekatan koersif, apalagi depak-mendepak, melainkan persuasif. Sekalipun terasa pahit, namun sungguh menyehatkan manakala organ parpol menampung dialektika ide-ide kritis. Harapannya, keputusan partai menyangkut agenda publik bermutu tinggi.

Sementara itu, konflik yang berlarut-larut bisa mengakibatkan saling serang antar individu dan faksionalisasi yang kontraproduktif di dalam tubuh parpol. Jika sudah masuk ke wilayah pribadi, maka urusannya bukan lagi soal seni memajukan organisasi, tapi tetek bengek daging dan tulang kekuasaan.

Penyakit disfungsi harus segera diobati. Suka atau tidak, parpol tetap dibutuhkan sebagai pilar demokrasi.

 

 

Mawardin Sidik

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Geotimes.id (https://bit.ly/2R9wA6P)
Sumber foto: Geotimes.id

Menakar Wacana Poros Partai Islam

Akhir-akhir ini, wacana pembentukan poros partai politik (parpol) Islam kembali mengemuka jelang kontestasi politik 2024. Usulan tersebut mencuat pasca-pertemuan sejumlah elite dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga disambut positif oleh Partai Bulan Bintang (PBB).

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tergolong partai berbasis massa Islam disinyalir akan bergabung dalam Poros Islam. Sedangkan Partai Amanat Nasional (PAN) menolak ikut dengan alasan menghindari politik identitas agama.

Pasalnya, polarisasi politik sebagai residu dari pilpres 2014 dan 2019 belum sepenuhnya pulih total. Alasan senada dikemukakan oleh Partai Gelora. Partai Ummat juga memandang sinis rencana penjajakan ‘blok Islam’ itu.

Bagaimana menakar poros partai bernuansa Islam berkaitan dengan peluang elektoral dalam peta politik nasional?

Variabel PK(S)B

Dalam rilis survei nasional Charta Politika Indonesia (CPI) bertajuk “Evaluasi Kebijakan, Aktivitas Masyarakat dan Peta Politik Triwulan I 2021” menunjukkan, PKS dan PKB masuk posisi lima besar bila pemilu legislatif diselenggarakan ketika survei dilakukan pada 20-24 Maret 2021.

Peringkat atas masih diduduki partai berhaluan nasionalis. Secara berurutan, PDI Perjuangan menempati juara pertama dengan angka 20,7 persen, Partai Gerindra 14,2 persen, PKB 9,7 persen, PKS 8,2 persen, Partai Golkar 7,8 persen.
Sementara PPP berada di posisi buncit (2,2 persen), PAN (1,0 persen), kalah telak dibanding Partai Nasdem sebesar 5,4 persen, disusul Partai Demokrat 4,2 persen. Elektabilitas PBB hanya meraih 0,1 persen, Partai Gelora 0,2 persen, Partai Ummat 0,1 persen.

Tren elektabilitas PKS yang cukup tinggi memungkinkan posisi tawarnya menjadi aktor utama dalam poros Islam jika benar-benar terbentuk. PKS yang bercorak ‘muslim modernis’ itu berpeluang mengusung capres sesuai aspirasi partainya. Sedangkan cawapres dapat diambil dari PKB sebagai rumah politik kaum ‘muslim tradisionalis’. Bisa juga berlaku sebaliknya.

Semua simulasi di atas tergantung perolehan suara pada pemilu 2024. Gambaran yang menarik, kultur politik dan akar rumput kedua parpol (PKS, PKB) ini agak berjarak. Justru di situlah duet modernis-tradisionalis sangat mungkin diformulasikan.
Namun sekadar kehendak intrinsik saja tidak cukup. Sebab figur yang diusung harus memiliki elektabilitas yang menjanjikan. Lebih dari itu, menyaratkan sikap legowo dari semua elite parpol Islam untuk menerima takdir demokrasi yang berlaku.

Lantaran kepentingan yang kerap bersimpang jalan, tak menutup kemungkinan timbul resistensi dari partai Islam lainnya dengan asumsi mereka mendorong capresnya sendiri. Di sini komitmen kolegial dan ruang negosiasi bekerja. Alternatif lain, berkoalisi dengan kalangan eksternal yang prospektif secara elektabilitas.

Paras Poros Islam

Ketika usulan poros Islam mengedepan, kans untuk terwujud tak selalu berjalan mulus, bahkan terkesan usang. Lazimnya sebatas riuh sesaat jelang pemilu. Lagi pula mazhab Islam politik di Indonesia tidak bersifat monolitik. Ekspresi politiknya variatif, kompleks dan beraneka ragam. Perkara real-politik, tentu kepentingan lah yang bermain.

Lapisan elite politik Islam masih berimajinasi terkait romantisme Poros Tengah pada pilpres 1999, di mana Abdurahman Wahid (Gus Dur) berhasil diantar (sekaligus dimakzulkan) oleh koalisi partai Islam menuju kursi presiden RI yang dipilih oleh MPR. Adapun king maker-nya Amien Rais. Jelang pemilu 2014 lalu, dengan aktor yang sama, sempat menghangatkan kembali wacana pembentukan Poros Tengah Jilid II, tapi berakhir kandas.

Peta politik seketika berubah kala itu. Konfigurasi elite parpol Islam bertabrakan afiliasi dalam arena kandidasi pilpres 2014 maupun pesta demokrasi 2019. Sulit dipungkiri, konteks politik mutakhir berbeda dengan euforia awal reformasi yang masih kental dengan semarak politik aliran. Lagi pula, menurut ilmuwan politik Deliar Noer, bahwa mayoritas muslim adalah realitas sosiologis yang belum tentu bisa diwujudkan menjadi mayoritas politik.

Dikotomi partai Islam dan nasionalis sudah mentok. Kasak-kusuk teranyar, sebagian partai Islam malah menolak wacana poros Islam. Politik berkarakter ideologi galibnya terbonsaikan oleh pragmatisme kekuasaan. Parpol di Indonesia, mengacu pada Diamond dan Gunther (2001), kebanyakan berkategori electoralist party. Tujuannya ingin memenangkan pemilu.

Dalam percaturan alot dukung-mendukung capres dan cawapres, sangat relevan meminjam analogi Deng Xiaoping: tak masalah kucing itu berwarna hitam atau putih selama dia bisa menangkap tikus. Jika dimodifikasi, bunyinya “tak masalah kandidat itu berwarna Islam atau nasionalis selama dia bisa memenangkan pemilu dan pilpres”.

Catatan kritisnya, preseden politik partai-partai Islam selama ini yang terkesan ‘setengah hati’ berkoalisi akan dibayangi skeptisisme menyoal manuver elite ke depan. Bukan hanya sekadar minus tokoh simpul pemersatu, tapi juga gap psikologis secara ideologi politik di antara mereka.

Melampaui paras poros Islam, sejatinya yang mendesak adalah apa program yang ditawarkan oleh aktor politik Islam untuk memajukan negeri nan elok ini. Jadi, bukan sekadar soal label atau cover, tapi mengandung ruh dan substansi.

Jalan tengah

Sulit dihindari, manakala tesis politik berbasis agama dikencangkan, tentu memancing timbulnya antitesa dari poros kontra yang secara diametral berhadap-hadapan. Polarisasi pun tak terhindarkan. Aksi dan reaksi seperti itu malah menyeret akrobat politik elite ke dalam kubangan kontestasi simbol religi yang sensitif. Jika dosisnya berlebihan, maka arus bawah akan terbelah.

Fungsi pendidikan politik yang melekat pada parpol seyogyanya berorientasi pengayaan diskursus yang rasional menuju substansialisasi demokrasi. Politisi berlomba-lomba menawarkan program ril guna menyelesaikan hajat hidup publik secara konkret.Pakem pertautan yang selama ini mentradisi, yakni irisan nasionalis-religius, kombinasi ‘hijau’ dan ‘merah’ masih ideal dilirik sebagai jalan tengah.

Dalam konteks kekinian, pemilih rasional, khususnya generasi milenial, isu primordial agama bukanlah parameter utama. Publik justru melirik aspek ekonomi, kinerja partai dan kompetensi figur sebagai acuan dalam menentukan pilihan.

Fakta lain, banyak politisi yang lahir dari rahim organisasi Islam terlibat dalam partai-partai nasionalis seperti PDI-P, Golkar, Gerindra dan sebagainya. Dengan kata lain, kantong suara muslim pun tersedot di partai nasionalis sekuler. Apalagi komposisi kepengurusan diduduki pula oleh kader NU, Muhammadiyah, jaringan pesantren dan lain-lain.

Walhasil, partai nasionalis pun mengibarkan sayap organisasi Islam untuk meraup ceruk suara muslim. Karena itu, bagi elite dan aktivis parpol Islam akan lebih cantik manakala pasar elektoral diperluas jangkauannya. Saat bersamaan, pemimpin parpol Islam semestinya memperjuangkan agenda publik yang lintas agama, suku dan antargolongan.

Alam demokrasi memang menyediakan ruang yang lapang bagi bergulirnya ekspresi politik, tapi persatuan dan kesatuan bangsa yang plural ini mesti dijunjung tinggi. Jika benar cara kelolanya, maka sangat mungkin membawa kemaslahatan bangsa. Jika salah cara pegangnya, menyimpang dari etika politik, maka ketegangan yang memanas akan kembali membakar tungku republik.

Semoga refleksi ini menjadi bahan renungan bagi kita semua.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Kumparan
Sumber foto: anny Kusumawardhani/kumparan

 

 

 

 

 

 

 

 

Konflik Partai Politik dalam Lintasan Sejarah

Konflik partai politik di Indonesia merupakan fenomena klasik sejak orde lama dan orde baru. Pada era reformasi sekarang, kemelut parpol pun masih dipertontonkan oleh sekelompok elite. Kasus paling mutakhir adalah Partai Demokrat, terjebak dalam arus konfliktual yang menambah daftar panjang gonjang ganjing parpol di Tanah Air.

Agak jauh ke belakang, nasib serupa dialami Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Termasuk parpol-parpol baru yang bersemai pasca Pemilu 1999. Dari kisruh intra partai, melahirkan faksionalisasi hingga pendirian partai baru. Ada yang masih eksis, tapi ada pula partai baru yang redup bahkan lenyap.

Pada masa pergerakan dan orde lama, tak sedikit partai mengalami konflik internal. Sarekat Islam (SI) berpecah ke dalam dua blok: SI merah dan SI putih. SI merah belakangan menjadi PKI. SI putih bermetamorfosa menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Baik PKI maupun PSII penuh pasang surut akibat faksionalisme yang eksis di dalamnya.

Begitu juga PNI, terpecah beberapa faksi, lalu lahirlah Partai Indonesia (Partindo) dan PNI-Baru. Partai Sosialis pun mengalami pengeroposan internal. Ada Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir dan Front Demokrasi Rakyat (FDR) versi Amir Syarifuddin. Partai Masyumi juga terbelah pasca keluarnya NU.

Ketika rezim Orba berkuasa, goncangan internal pun mendera PPP dan PDI. Intervensi penguasa Orba dalam suksesi kepemimpinan parpol juga menuai sorotan. PPP dibelah, yakni kubu Mintaredja dengan Djaelani Naro. PDI dipecah, antara kubu Soerjadi dengan kubu Megawati Soekarnoputri. Reformasi pun datang, tapi kisah lama konflik internal parpol masih berulang.

Konflik internal PPP pada fase selanjutnya melahirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) di bawah kepemimpinan Zainuddin MZ, kemudian Bursah Zarnubi. Belakangan PPP juga pernah dirundung kisruh antara kubu Romahurmuziy dengan Djan Faridz.

Konflik internal PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri melahirkan Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) pimpinan Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) versi Laksamana Sukardi dan versi Roy BB Janis.

Partai Golkar pun tak luput dari konflik internal. Adapun Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Nasdem dan Partai Berkarya sesungguhnya turunan dari gejolak internal Golkar. Belakangan Partai Golkar sempat bersengketa kepengurusan antara kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono.

Partai Berkarya terhitung masih anyar, terjadi dualisme pula, antara kubu Tommy Soeharto dengan kubu Muchdi PR. Sebelumnya menimpa Partai Hanura, yang diketuai Oesman Sapta berhadapan dengan versi Daryatmo.

Konflik internal PAN pernah melahirkan Partai Ummat yang didirikan oleh Amien Rais sebagai reaksi bernada protes terhadap kepemimpinan Zulkifli Hasan. Sebelumnya Partai Matahari Bangsa (PMB) sempat terbit sebagai efek dari konflik PAN.

PKB juga mengalami gesekan antara Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur. Juga PKB Gus Dur versus Matori Abdul Jalil. Dari perselisihan intra partai itu, sempat muncul Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Bahkan Partai Demokrat, jauh sebelum prahara saat ini, sempat lahir Partai NKRI yang diprakarsai oleh mantan petinggi Demokrat, yakni Sys NS.

Soliditas PKS yang selama ini kuat pun terbelah, hingga lahir Partai Gelora Indonesia yang didirikan oleh mantan petinggi PKS, yakni Anis Matta dan Fahri Hamzah. PBB yang disebut sebagai pewaris Masyumi pimpinan Yusril Ihza Mahendra kian merosot lantaran bergulir Partai Masyumi ‘Reborn’.

Manajemen Partai

Dalam lintasan sejarah sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa konflik parpol baik internal maupun eksternal memiliki motif dan pola yang berangkat dari silang pendapat maupun pendapatan (sumber daya ekonomi-politik). Konflik internal kerap terjadi karena perbedaan perspektif tokoh-tokoh partai dalam menafsir isu strategis maupun kebijakan tertentu.

Jelang momen pilpres, perbedaan sikap di antara elite partai mengenai capres/cawapres yang diusung, bisa memicu pertikaian internal. Yang paling rawan adalah benturan antar pemuka partai yang tergiring dalam tarik ulur kepentingan pasca pemilihan pucuk pimpinan parpol.

Sementara itu, konflik eksternal berkaitan dengan fragmentasi sikap elite dalam konteks pola relasi partai dengan penguasa. Perbedaan-perbedaan yang timbul dari aktor utama partai dalam merespon dinamika internal dan eksternal, umumnya menimbulkan keretakan, hingga sebagian kelompok menelurkan partai sempalan.

Lemahnya ideologi sebagai perekat anggota partai menjadi penyebab mendasar terjadinya konflik parpol. Sebagian besar parpol cenderung menggiring loyalitas anggotanya berbasis figur-sentris, bukan politik nilai dan ideologi. Itulah yang disebut oleh Thomas Carothers (2006) mengenai partai di Indonesia yang sangat leader-centric.

Faktor lain adalah problem tata kelola partai. Sulit disangkal, manajemen kepemimpinan partai saat ini sebagian mengarah pada privatisasi partai disertai watak oligarkis. Mengacu pada Jeffrey A. Winters (2011), oligarki terbagi dua dimensi.

Pertama, oligarki memiliki dasar kekuasaan – kekayaan material – yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Kedua, oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas.

Dalam konteks inilah, parpol membutuhkan figur yang berkomitmen memperkuat kelembagaan partai, berbasis profesional-teknokratik, bukan kultus individu. Manajemen partai perlu menghadirkan prinsip-prinsip meritokrasi, moralitas politik, keterbukaan dan cita rasa inklusif.

Partai-partai politik harus dikembalikan esensinya sebagai institusi publik dan jangkar konsolidasi demokrasi. Saat yang sama, parpol mesti mengarus-utamakan ideologi, platform perjuangan, kaderisasi dan khususnya rekrutmen politik yang bersifat meritokratik.

Bila politik dilakoni tanpa internalisasi ideologi bagi anggota partai, maka hasrat kuasa lah yang dominan. Padahal ideologi adalah landasan perjuangan bagi para kader yang diterjemahkan ke dalam visi-misi, agenda programatik dan strategi partai dalam mewujudkan cita-citanya.

Lagi-lagi real-politik tidak sesederhana itu. Ungkapan klasik Harold Lasswell “who gets what and how” masih berlaku. Ideologi sebagai perekat organisasi politik belum sepenuhnya melekat pada aktor politik. Yang berkecambah justru aliansi leviathan, saling memangsa satu sama lain.

Resolusi Konflik

Dalam kasus Partai Demokrat, resolusi konflik parpol kian kompleks lantaran figur di luar partai, Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) didaulat menjadi ketua umum lewat Kongres Luar Biasa (KLB). Pasca KLB, kini Partai Demokrat terbelah menjadi dua kepengurusan, yakni kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kubu Moeldoko.

Idealnya, langkah resolusi konflik parpol dilakukan melalui mekanisme internal sesuai UU Parpol, dibawa ke Mahkamah Partai. Sesepuh pendiri partai yang berintegritas bersama tokoh independen yang diterima semua pihak bisa menjadi mediator resolusi konflik dengan skema “win-win solution”.

Bila tak ada titik kompromi, kedua kubu beradu kekuatan hukum di pengadilan. Tentu saja proses ini melelahkan, sebab tak tertutup kemungkinan upaya yuridis berlanjut ke Mahkamah Agung lewat kasasi sebagai palagan terakhir.

Jalan tengah selanjutnya bagi Partai Demokrat adalah mengadakan rekonsiliasi, berdamai dan kompromi. Itu pun menyaratkan sikap lapang dada dan posisi setara dari kedua kubu, lalu menegosiasikan titik temu kepentingan multi-pihak.

Perlu kedewasaan berdemokrasi untuk menyelesaikan konflik internal partai. Publik juga membutuhkan pendidikan politik dari elite parpol. Sebagai pembelajaran, memperbaiki pola komunikasi di lingkup elite maupun antar elite dengan massa adalah kunci.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

 

Sumber foto: Dok Charta Politika

Menyoal Gender dalam Politik

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah bagi demokrasi di Tanah Air. Baik kekerasan secara tidak langsung, lebih lagi kekerasan yang melibatkan fisik, selain berdampak kepada kondisi mental dan kerugian lainnya, praktek politik yang demikian tentu saja akan semakin menurunkan kualitas demokrasi kita.

Terkait erat dengan persoalan gender di dalam politik, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 menjadi ruang yang perlu dievaluasi bersama. Pada proses pilkada yang lalu, tidak sedikit kaum perempuan yang mendapatkan perlakuan minor. Terlepas apakah itu adalah bagian dari strategi politik, komoditisasi perempuan yang abai terhadap nilai, akan menjadi pembenaran bagi kecenderungan praktek-praktek serupa berikutnya.

Di tengah upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan pemerintahan, kesadaran gender rupanya belum inheren dalam laku politik.  Doktrin dan nalar patriarki masih menyisakan pondasi kuat di dalam politik kontestasi. Memperkuat politik maskulin dan bapakisme, hingga menggeser ruang dan kedudukan perempuan ke titik terpinggir subordinasi.

Kesenjangan gender dalam kontestasi politik mengakibatkan asa demokrasi berkesetaraan mengalami tantangan serius. Ada beberapa kasus kekerasan berbasis gender yang perlu mendapat perhatian dalam konteks politik praktis. Di antaranya isu pelecehan seksual terhadap kandidat perempuan dalam Pilkada Serentak 2020.

Kekerasan berbasis gender

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut adanya beberapa praktek diskriminasi terhadap perempuan pada Pilkada 2020. Pertama, pada Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Kota Ternate, disebutkan oleh ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) dari salah satu partai politik bahwa Kota Ternate harus dipimpin oleh seorang laki-laki. Kedua, Tangerang Selatan, pelecehan dilakukan terhadap salah satu pasangan calon melalui penyebaran foto pribadi secara tidak pantas.

Selain laporan KontraS, isu gender juga terjadi di Pilkada Bima, yaitu dalam bentuk ungkapan seksis yang menautkan status janda kepada salah satu Calon Bupati. Kasus serupa juga terjadi pada Pilwalkot Depok dalam bentuk pelecehan seksual secara verbal yang dialami oleh calon Wakil Walikota perempuan, yang justru pelaku pelecehan berasal dari rival politiknya.

Dari beberapa contoh kasus di atas, tergambar bahwa kekerasan berbasis gender bisa berupa pendiskreditan terhadap perempuan. Dibangun citra perempuan tidak mampu menjadi pemimpin. Itulah budaya patriarki ‘rules of the father’ yang bekerja di wilayah politik melalui penempatan dominasi laki-laki secara hegemonik.

Sebagai komoditas politik, perempuan distigmatisasi sebagai objek seksual. Pelabelan negatif diarahkan kepada rata-rata politisi perempuan berstatus janda. Komoditas diproduksi, kemudian dilakukan bully. Maka tidak heran jika kemudian muncul pelecehan seksual terhadap calon kepala daerah atau politisi perempuan dalam segala kontennya terutama di media sosial.

Perlakuan diskriminasi dan pelecehan ternyata tidak hanya dilakukan oleh lawan politik yang tengah berkontestasi. Bahkan tidak sedikit warga sosial media (netizen) yang juga melakukan body shaming, berkomentar miring tentang wujud atau bentuk fisik dengan tujuan mempermalukan. Pada wilayah terutama di media sosial, bahasa menjadi instrumen untuk hegemoni terhadap wacana, dengan menjadikan perempuan sebagai objek untuk dikomodifikasi.

Praktik diskriminasi terhadap perempuan sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan. Semarak ungkapan seksis membuat demokrasi tidak berciri substantif. Mestinya aktor politik fokus pada kontestasi gagasan programatik, menunjukkan performa positif, bukan melempar guyonan yang berbau pelecehan.

Di dalam kntestasi politik, mengerahkan seluruh sumber daya dan strategi adalah wajar. Namun jika dijalankan dengan cara yang menjadikan kaum perempuan sebagai korban diskriminasi dan pelecehan seksual, tentu setiap politisi siapapun dia, harus berfikir lebih keras lagi untuk menggunakan cara dan strategi yang lebih beradab.

Politik sensitif gender

Strategi politik dengan menjadikan sisi seksualitas dan kelemahan perempuan sebagai komoditas tentu perlu dihindari. Pengetahuan dan kesadaran terhadap kesetaraan gender perlu diperkuat di masyarakat. Penting bagi peserta dan penyelenggara pemilu untuk memperhatikan isu-isu politik yang melibatkan gender.

Keadilan terhadap perempuan telah tertuang di dalam konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). Sebagai wujud pengakuan terhadap perempuan di seluruh dunia, tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional (International Woman’s Day).

Demokrasi dan politik kita dengan segala gagasan berikut prakteknya harus mulai memposisikan perempuan pada kedudukannya yang terhormat dan mulia. Kita tidak boleh lagi hanya berharap kepada peingkatan partisipasi perempuan baik di dalam politik maupun jabatan publik, kita harus dudukkan eksistensi kaum perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai bagian dari pertimbangan-pertimbangan pembangunan nasional; politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Anne Phillips (1999) dalam “Engendering Democracy” berpandangan bahwa perlu dilakukan genderisasi terhadap ruang pribadi, ruang domestik dan ranah publik secara bersamaan. Hari ini, alam demokrasi memberikan ruang bagi siapa pun untuk tampil, laki-laki ataupun perempuan. Pengarusutamaan gender harus diimbangi dengan perilaku kelembagaan dan sosial di seluruh aspek dan tingkatan struktur sosial-politik di Indonesia. Siapapun sebagai warga negara Indonesia dan memenuhi syarat, bisa dan berhak menjabat sebagai bupati, walikota, gubernur, anggota legislatif, menteri, bahkan presiden.

Partisipasi dalam ruang demokrasi perlu menghadirkan paradigma politik yang berwawasan gender, menjamin kesetaraan bagi semua warga negara tanpa ketimpangan yang diskriminatif. Setiap partai politik harus mendukung kader perempuannya untuk berkader dan menjalankan tanggung jawab politik, sekaligus melindungi mereka dari kecenderungan komodifikasi politik yang melibatkan kehormatan perempuan.

Lebih dari itu, segenap stakeholders politik mesti dilibatkan, termasuk insan pers agar mengedepankan jurnalisme yang berperspektif gender. Begitu juga keterlibatan ormas dan civitas akademika diharapkan menjadi agen pencerahan tentang nilai-nilai kesetaraan, dan tentu saja dukungan pemerintah agar mewujudkan kebijakan yang berkeadilan gender.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

 

Sumber foto: infopublik.id

Kualitas Kampanye Pilpres

Tak terasa fase kampanye Pilpres 2019 akan memasuki sesi debat ketiga.

Dalam kampanye politik, ajang debat menjadi salah satu momen yang paling ditunggu. Dari sisi pemilih, debat bermanfaat untuk mengetahui posisi isu-kebijakan dan personalitas para kandidat. Namun, konstelasi pascadebat tak boleh diabaikan, jika tak bisa dibilang sama pentingnya.

Pasalnya, pascadebat, terpaan informasi tentang (konten) debat terus berlanjut dengan segala variasinya. Secara umum, kandidat yang dapat peliputan negatif cenderung juga dinilai negatif oleh pemilih (Fredkin dkk, 2008). Selain di media massa, terpaan debat pilpres juga berlangsung lewat percakapan, umumnya dengan orang-orang yang sepreferensi. Dengan kata lain, pembicaraan pascadebat lebih bersifat meneguhkan predisposisi pada kandidat yang disukainya (Cho dan Ha, 2012).

Dalam konteks Pilpres 2019, terpaan informasi tentang jalan debat kedua pilpres berlangsung seru, terutama di medsos. Kedua kubu sama-sama memberi penonjolan pada apa yang mereka anggap kelemahan kompetitor, misalnya tecermin pada tagar #jokowibohonglagi atau #prabowogagapunicorn. Hal ini diimbuhi upaya mengembangkan rasionalisasi dan atau apologi atas penampilan dan pernyataan kandidat yang dijagokan. Terkadang, interpretasi yang dikembangkan cukup melebar dari realitas dalam debat itu sendiri. Lebih penting dari itu, kedua pihak sama-sama mendaku capres jagoan mereka sebagai pemenang.

Keseruan percakapan pascadebat berakhir menandai upaya setiap kubu untuk mengubah lanskap persaingan. Pasalnya, merujuk dua survei terakhir Charta Politika (Oktober 2018 dan Januari 2019), elektabilitas Jokowi-Amin ataupun Prabowo- Sandi relatif stagnan. Kedua kubu butuh satu lentingan kecil untuk menjaga jarak aman (dalam kasus pasangan 01) atau mengatasi ketertinggalannya (untuk kasus pasangan 02). Sebab, meski rentang elektabilitasnya cukup lebar (53 persen-35 persen), potensi perubahannya masih sangat terbuka.

Terlebih, pada setiap kandidat ada sekitar 12 persen pemilih yang mengaku belum mantap dengan pilihannya dan 12 persen pemilih merahasiakan pilihan atau belum menentukan pilihan. Karena itu, kedua kubu masih akan terus menggencarkan beragam taktik, tak terkecuali berharap atau mendorong kompetitornya tergelincir akibat perkataan atau tindakannya sendiri.

Walau seru, tak berarti pasti menarik. Bagi sebagian kalangan, Pilpres 2019 kurang gereget karena seperti pertarungan ulangan Pilpres 2014. Bukan semata karena capresnya sama, melainkan juga dalam segi, termasuk kontennya, banyak yang hanya salinan dan atau sekadar perluasan pilpres sebelumnya. Pilpres 2019 kian tak menarik karena kombinasi sejumlah faktor: dibanjiri hoaks, diriuhkan tarung wacana tak penting; diramaikan lontaran yang bersifat soundbites alih-alih paparan isu kebijakan yang argumentatif; diwarnai rebutan simbolik agama dan ulama, tapi tak satu pun yang secara nyata menunjukkan komitmen memajukan ekonomi umat; serta disesaki kecenderungan kandidat yang lebih senang mengirimkan sinyal membingungkan tentang posisinya pada sejumlah isu krusial.

Pesan negatif mendominasi. Meski barangkali dimaksudkan untuk mempersuasi swing voters, pesan-pesan negatif nyatanya lebih efektif mengkristalisasikan predisposisi pemilih yang sudah tak suka pada satu kandidat tertentu (Klein dan Ahluwalia, 2005). Dengan kata lain, pesan negatif (termasuk hoaks) lebih berperan dalam mengkristalkan opini. Kristalisasi opini terbentuk manakala kontennya dinilai sangat penting atau ekstrem (misal: hoaks tentang kaitan Jokowi dengan PKI) dan bersua dengan belief yang sudah tertanam sebelumnya di benak pemilih. Kian kuat aliran informasi tentang hoaks, kian kuat ketaksukaan pemilih pada kandidat yang bukan preferensinya. Kian terkristalisasi opini seseorang, kian sulit baginya mengubah opini (Sciarini dan Kriesi, 2003).

Polarisasi persaingan juga mendorong pemilih bersedia mengubah pandangannya terhadap satu isu agar sejalan dengan posisi isu yang dianut kandidat yang didukung. Ini memang tak terelakkan manakala preferensi pemilih kepada individu lebih kuat daripada preferensinya pada isu kebijakan (Abramowitz, 1978).

Tanpa tawaran program yang lebih subtantif dan atau jika tak ada kejadian luar biasa, tingkat elektoral 01 dan 02 akan terus stagnan. Dalam situasi seperti ini, dinamika elektoral sangat mungkin ditentukan “operasi darat” memperebutkan suara pemilih pragmatis yang mempertimbangkan pemberian kandidat (uang, bahan pokok, dan barang lain) sebagai acuan memilih. Seturut uraian di atas, mengemuka penilaian yang menyebutkan kampanye Pilpres 2019 cenderung berakhir tanpa peningkatan kualitas. Penyebutan kualitas kampanye mengasumsikan (aktivitas) kampanye jadi juru pandu utama dalam memilih.

Cakupan kualitas

Pendekatan yang optimistis menilai proses kampanye (diskursus, retorika kandidat, peliputan media, atensi pada faktor-faktor jangka pendek selama kampanye dan lainnya) memiliki daya persuasi untuk memengaruhi pemilih dalam menilai isu kebijakan yang ditawarkan kandidat. Ini tak berarti menegasi arti penting evaluasi yang dilakukan pemilih terhadap kinerja petahana (retrospektif). Kampanye jadi ruang bagi pemilih untuk mempertimbangkan berbagai kebijakan alternatif yang diajukan para kandidat (Maisel, West dan Clifton, 2007).

Kampanye pemilu disebut berkualitas jika deliberatif, informatif, mengutamakan isu kebijakan daripada citra personalitas dan juga digenapi diskursus mendalam, bukannya meramaikan hal remeh-temeh. Pemilih diandaikan berpartisipasi dan terlibat. Kampanye yang baik ditandai adanya perubahan belief pemilih (Gardner, 2009). Lebih dari itu, kampanye berkualitas ditandai adanya keselarasan isu-isu kebijakan yang dianggap penting antara kandidat dan pemilih. Dan, ini ditandai adanya dukungan pemilih seperti terlihat pada hasil pemilu (Buchanan, 1999).

Cakupan kualitas kampanye seperti itu merupakan gambaran ideal dan kiranya perlu direlaksasi agar lebih membumi. Pertama, sejak beberapa waktu berkembang tren kampanye permanen. Hal ini membuat distingsi antara predisposisi pemilih yang terbentuk pada masa prapemilu dan predisposisi yang terbentuk selama fase kampanye jadi kurang relevan. Dalam kasus Pilpres 2019 (pendukung) Jokowi ataupun (pendukung) Prabowo sejak pasca-Pilpres 2014 sudah aktif melakukan persuasi ke publik. Seiring kian terbentuknya prioritas pembangunan, kubu Jokowi banyak mengedepankan capaian-capain di sektor infrastruktur. Secara lebih khusus, berbagai aktivitas Jokowi seperti hendak menguatkan citra merakyatnya. Sebaliknya, kubu pendukung Prabowo selain aktif beretorika soal kegagalan pembangunan di era Jokowi juga terus memainkan isu-isu khusus, seperti ancaman dominasi China di Indonesia, kebangkitan PKI, dan pendakuan Islam di Indonesia tengah terancam.

Kedua, pilihan berdasarkan evaluasi terhadap personalitas kandidat tak harus dianggap cara memilih yang buruk sepanjang didasarkan pada informasi yang memadai. Dalam kasus Pilpres 2019, identitas personal kedua capres dipergunjingkan lebih karena keterbatasan informasi yang tersedia (contohnya soal keislaman Prabowo) dan atau karena aliran informasi bohong (contohnya isu Jokowi terlibat PKI).

Ketiga, kualitas kampanye tidak dengan sendirinya dapat disebut buruk jika keterlibatan dan partisipasi pemilih bersifat minimal. Kualitas kampanye baru dapat dibilang buruk manakala pemilu tak punya peluang untuk berpartisipasi atau terlibat dalam berbagai aktivitas kampanye, termasuk mengajukan pertanyaan dan beroleh respons dari kandidat. Atau sebaliknya, pemilih aktif tapi utamanya melakukan persekusi dan atau pemaksaan terhadap pemilih yang tak sebarisan dengan dirinya.

Dalam kasus Pilpres 2019, partisipasi pemilih, khususnya di kalangan pemilih partisan, dapat dikatakan tinggi, terlebih di medsos dan media percakapan. Di kubu Prabowo ada kelompok emak-emak, di kubu Jokowi ada kelompok yang sudah eksis pada 2014 (misalnya Seknas dan Projo), tetapi ada pula banyak yang baru tapi tak satu pun cukup menonjol dalam peliputan di media. Yang merisaukan, ruang dialog langsung antara pemilih dan para capres relatif minim. Ajang pertemuan tatap muka atau blusukan lebih banyak diwarnai komunikasi satu arah dan atau terkesan diatur untuk kepentingan pemberitaan belaka. Selain itu, insiden-insiden persekusi, seperti pencopotan kaus atau penghadangan, terjadi di beberapa tempat. Pada saat bersamaan, kekerasan verbal, baik melalui penjulukan (cebong, kampret, dungu, contohnya) atau bentuk lain (doa, puisi, postingan di medsos) kian menjadi keseharian.

Keempat, kualitas kampanye tak selalu berarti berlangsungnya proses persuasi, tapi minimal mengandaikan kecukupan informasi. Persuasi mengandaikan adanya perubahan belief– nya. Misalnya, ada pemilih mengubah predisposisinya soal utang. Jika awalnya berpendirian utang Indonesia masih wajar, sikapnya berubah jadi antiutang dan menganggap utang Indonesia berlebihan setelah diterpa retorika, pemberitaan, dan pembicaraan di grup Whatsapp yang dilakukan kubu Prabowo.

Sebaliknya, kampanye sudah bisa dinilai berkualitas jika pemilih bisa mengetahui proposal yang cukup rinci mengenai gagasan dari setiap kandidat. Misal saja soal bagaimana restorasi toleransi yang ditawarkan pasangan 01 atau melestarikan keragaman warisan budaya yang diajukan pasangan 02. Selain itu juga jika ada keseimbangan informasi (sekurangnya menjelaskan persamaan dan perbedaan) tentang “ekonomi Pancasila” atau reforma agraria yang sama-sama dilontarkan kedua pasangan. Terkait itu, kecukupan informasi juga ditandai minimnya kabar bohong.

Karena itu pula, sebuah kampanye pemilu dapat disebut tak berkualitas manakala terjadi defisiensi informasi. Ini karena aktor utama dalam kampanye (kandidat, media, dan pemilih) memiliki insentif berbeda dan juga didukung faktor situasi tertentu sehingga tak memainkan peran yang diharapkan (Buchanan, 1999). Kandidat diandaikan menginformasikan posisinya terkait isu-kebijakan, termasuk di dalamnya solusi yang ia tawarkan. Namun, misalnya, hasrat “yang penting menang” dapat membuat ia memilih fokus menonjolkan isu-isu tertentu saja yang sangat boleh jadi populer tapi tidak termasuk agenda nasional yang prioritas dan seyogianya didiskursuskan dalam kampanye. Dalam hal ini, kandidat sengaja menghindari pembahasan yang dinilainya “sulit” dan atau bisa menempatkannya pada posisi tidak menguntungkan di mata pemilih.

Media diandaikan jadi ruang bagi pemilih mempelajari kandidat. Meski demikian, media punya insentif untuk mengabaikan fungsi ini karena punya pertimbangan ekonomi, seperti rating (TV), click bait (daring), dan oplah (cetak). Dus, yang sering diberitakan lebih ke soal-soal kontroversial, konflik, atau berbau drama layaknya opera sabun. Situasinya jadi lebih rumit untuk medsos karena pemilih berperan ganda, produsen dan konsumen informasi sekaligus.

Pekerjaan rumah

Pemilih diandaikan memberikan atensi yang penuh pada aliran informasi dan diskursus yang disampaikan kandidat ataupun media. Masalahnya, pemilih kerap mengembangkan seleksi atensi dan atau seleksi informasi. Ia memilih informasi yang hanya sesuai predisposisi yang sudah dimiliki sebelumnya. Pemilih tak mau bersikap terbuka karena berbagai alasan sekaligus. Pemilih yang orientasinya “pokoknya menang” atau “pokoknya kandidat yang tak disukai harus kalah” juga punya insentif untuk mengacaukan aliran informasi. Salah satunya membuat dan atau mendistribusikan hoaks, ancaman, mendiskriminasi pemilih yang tak sepaham dengan dirinya atau juga mempraktikkan politik uang.

Insentif yang dirasakan ketiga aktor itu berbeda-beda, bergantung pada konteks persaingan yang tengah berlangsung (adanya kepentingan kelompok penekan, resesi ekonomi, atau lainnya). Ini diimbuhi dinamika yang terjadi karena adanya interaksi di antara aktor. Kandidat, misalnya, bisa saja memilih mengedepankan soundbites daripada memaparkan isu kebijakan secara komprehensif dalam upaya mendapat atensi dan peliputan dari media.

Dengan mengacu cakupan kualitas di atas, sangat wajar jika berbagai pihak menilai kampanye Pilpres 2019 tak berkualitas. Namun, penting pula menyimak peringatan Gardner (2009). Menurut dia, kritik terhadap kampanye pemilu lebih sering terjadi karena melihat masalahnya hanya pada arena kampanye. Padahal, apa yang terjadi selama kampanye merupakan praktik pengulangan belaka dari komunikasi politik sehari-hari. Dengan kata lain, jika sehari-hari kita sudah “akrab” dengan kabar bohong, sangatlah masuk akal jika arena kampanye juga disesaki hal yang sama. Jika demikian halnya, kita jelas punya pekerjaan rumah yang jauh lebih besar dari sekadar mereformasi kampanye pilpres.

 

 

Yunarto Wijaya 

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Kompas, 12 Maret 2019

 

Foto: FOTO/Hafidz Mubarak A (https://bit.ly/36vR2nq)