Fragmentasi Politik dan Risiko Elektoral

Jakarta – Kemelut Partai Demokrat memasuki babak baru. Kepengurusan versi Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang ditolak oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun aksi saling gugat antara Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan kubu Moeldoko bakal berlanjut.
Haru biru partai biru belum sepenuhnya berakhir, kini sayup-sayup terdengar wacana KLB Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Nyaris semua parpol mengalami konflik serupa, seperti Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan sebagainya. Hanya saja, kadar dan kedok serta manifestasinya yang berbeda.

Meskipun konflik telah inheren dalam dinamika kepartaian sejak lama, namun mitigasi risiko mesti dipikirkan agar efek sampingnya tidak terlampaui destruktif. Korelasi antara konflik internal partai politik (parpol) dengan resiko elektoral layak ditimbang.

Terus Berulang

Salah satu faktor yang memicu terus berulangnya konflik parpol adalah residu dari suksesi kepemimpinan partai yang menyisakan ‘luka’. Idealnya ketua umum definitif perlu memastikan soliditas internal terjaga pasca kontestasi. Jika tidak, maka akan timbul turbulensi dan kontra dari unsur yang merasa teralienasi di parpol.

Di sisi lain, kita kerap mendengar kritikan dari internal terhadap gaya kepemimpinan parpol dengan dalih macam-macam. Dari soal kinerja pimpinan partai (elektoral) hingga kegerahan atas praktik familisme politik, oligarki, dan labeling serupa.

Intinya, sudah lazim suatu organ kekuasaan sarat dengan intrik dan pertarungan kepentingan. Hal itu sejalan dengan pendekatan Lasswellian: who gets what, when, how (siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya).

Sulit dipungkiri, geliat aspirasi dan kompleksitas kepentingan berbagai faksi di organ parpol sangat variatif dan dinamis. Inilah tantangan bagi pemimpin parpol guna menjaga keseimbangan orkestra demokrasi internal sesuai corak kepartaian.

Fragmentasi

Tarik-menarik kepentingan di parpol yang konfliktual galibnya berujung fragmentasi politik. Wujudnya tercermin pada organ parpol induk, kemudian mengalami perpecahan menjadi sel-sel politik yang bersifat otonom.

Fenomena fragmentasi politik adalah implikasi dari pelembagaan demokrasi dan manajemen konflik partai yang masih rapuh. Tak sedikit fragmentasi internal partai bermuara pada keluarnya figur ikonik beserta gerbongnya hingga menelurkan parpol baru.

Fragmentasi politik suatu parpol kemungkinan bisa bersifat prospektif sekaligus retrospektif dari segi nalar elektoral. Partai induk dan partai sempalan sama-sama tumbuh berkembang, atau kedua-duanya tersingkir. Bisa juga satunya berkembang dan lainnya hilang dan terlempar.

Berkaca dari Sejarah

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) masa Orde Baru terjadi gesekan antara kubu Soerjadi dengan Megawati Soekarnoputri. Rezim Orba pun lengser, lahirlah PDI Perjuangan yang merupakan transformasi dari PDI Pro-Mega. Pemilu 1999, PDI Perjuangan meraih suara fantastis sebesar 33,74%. Dalam perjalanan politiknya, PDI Perjuangan bukan berarti tanpa ketegangan.

Sejumlah elite partai banteng yang berselisih paham, lalu membuat partai baru. Yakni Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) pimpinan Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) pimpinan Laksamana Sukardi dan Roy BB Janis. Namun PNBK dan PDP gagal menembus ambang batas parlemen. Pada pemilu 2004, suara PDI Perjuangan sempat menurun, hanya 18,5% persen. Tapi kini, PDI Perjuangan kembali menjadi jawara.

Partai Golkar juga demikian. Beberapa elite Golkar keluar pasca kontestasi internal dan berselisih jalan. Edi Sudrajat mencetus Partai Keadilan dan Persatuan (PKP), Tutut Soeharto mendeklarasikan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, Wiranto merintis Partai Hanura, Surya Paloh membentuk Partai NasDem dan Tommy Soeharto menginisiasi Partai Berkarya.

PKPB, PKP (kini PKPI) tidak seberuntung parpol baru seperti Gerindra dengan raihan suara 4,46 persen, juga Hanura sebesar 3,77 persen pada pemilu 2009. Pun NasDem, meraup suara 6,72% walaupun kontestan baru pada Pemilu 2014.

Survival Partai Golkar relatif stabil meskipun sempat dirundung gejolak lagi antara kubu Aburizal Bakrie dengan Agung Laksono, untungnya berakhir rekonsiliasi. Pada Pemilu 2004, Golkar mendulang suara 21,58 persen, tapi pada pemilu-pemilu berikutnya menurun.

Mimpi buruk bagi Partai Berkarya, gagal pada Pemilu 2019. Kini Berkarya mengalami perpecahan antara kubu Tommy dengan Muchdi PR. Hanura juga pernah diterpa konflik internal antara kubu Oesman Sapta dengan Daryatmo. Pemilu 2019 menjadi titik nadir bagi Hanura, tersingkir dari Senayan.

Ketika musim reformasi bersemi, PPP pun mengalami keretakan, lahirlah Partai Bintang Reformasi (PBR) walau tidak berumur panjang. Guncangan PPP terjadi lagi saat kisruh antara kubu Romahurmuziy dengan Djan Faridz, namun berakhir islah. Pekerjaan besar bagi PPP agar bangkit di tengah suaranya yang terus anjlok.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga terbelah, hingga terbentuk Partai Gelora Indonesia pimpinan Anis Matta, mantan Presiden PKS. Sementara PBB terus terjun bebas. Kalau dulu PBB didera konflik internal antara Yusril Ihza Mahendra dengan kubu Hartono Mardjono, kini bergulir Partai Masyumi ‘Reborn’, maka jalan PBB menduduki parlemen kian terjal.

Konflik internal parpol pun menerjang PAN. Walhasil, tumbuh Partai Matahari Bangsa (PMB) pimpinan Imam Addaruqutni, kendati akhirnya terbenam. Kisah lama terbitnya ‘dua matahari’ kembali berulang dengan kemunculan Partai Ummat besutan Amien Rais sebagai imbas dari gonjang ganjing PAN.

Demikian pula PKB, terjadi disharmoni antara kubu Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur maupun PKB Gus Dur versus Matori Abdul Jalil. Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) pimpinan H. Choirul Anam adalah produk dari disintegrasi internal PKB. Pemilu 2009, suara PKB menurun, hanya 4,94 persen suara ketimbang pemilu sebelumnya di atas angka 10 persen. PKNU pun berakhir layu. PKB kembali bangkit pada pemilu berikutnya.

Jauh sebelum konflik Partai Demokrat belakangan ini, dulu sempat berselisih jalan di internal partai. Sys NS kemudian membentuk Partai NKRI, dan Ventje Rumangkang menggawangi Partai Barisan Nasional. Demokrat adalah kisah tentang kelahiran, kebangkitan, kejayaan lalu kemerosotan. Sekalipun pemain baru pada pemilu 2004, Demokrat meraih suara 7,45 persen, meroket pada pemilu 2009 sebesar 26,4 persen. Pemilu 2014, suara Demokrat turun drastis, 10,19 persen, lalu terjun ke angka 7,77 persen pada Pemilu 2019.

Sebagai catatan, elektabilitas parpol dipengaruhi oleh multi-faktorial. Hal ini tak lepas dari kepemimpinan dan ketokohan yang atraktif, jaringan yang mengakar, kinerja partai, kapabilitas kader, modal yang besar, diferensiasi platform dan program disertai strategi komunikasi politik yang canggih. Namun serpihan fakta tergerusnya suara parpol akibat fragmentasi politik internal adalah preseden politik dan alarm elektoral yang tak bisa diremehkan.

Dengan demikian, parpol perlu memperkuat pelembagaan demokrasi, revitalisasi ideologi, kaderisasi dan manajemen konflik partai. Dialektika internal tetap dirawat, namun lokusnya digeser ke dalam kontestasi gagasan programatik dan pendewasaan politik. Ketika parpol konsisten mengartikulasikan kepentingan publik, maka berkah elektoral menjadi keniscayaan.

 

 

Mawardin Sidik

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: detik(dot)com
Sumber foto: Ari Saputra

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *