Kompetisi Parpol yang Terlupakan

Pemilihan umum presiden dan anggota legislatif yang dilaksanakan secara serentak pada 2019 mendatang akan menjadi tantangan baru bagi partai politik.

Mereka akan menghadapi situasi harus bersaing dan sekaligus harus bekerja sama dengan kompetitornya. Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres), parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno normanya akan bahu-membahu mengomunikasikan kandidatnya masing-masing. Tidak itu saja, parpol normanya juga bertindak secara cermat agar tidak melakukan blunder yang bisa merugikan kandidat mereka, termasuk di dalamnya menahan diri untuk tidak saling menyerang parpol sekoalisi.

Masalahnya, logika pileg justru mensyaratkan parpol harus bersaing satu sama lain untuk meyakinkan basis pemilihnya, memengaruhi pemilih yang belum memutuskan pilihan, ataupun merebut pemilih kompetitornya. Literatur politik menyatakan, ada beberapa pendekatan yang kerap dipergunakan parpol untuk memersuasi pemilih. Dari mulai memainkan kedekatan sosiologis (agama, etnisitas, umur, kelas) hingga mengapungkan isu kebijakan, dari mulai menonjolkan daya tarik partai sebagai organisasi hingga mengedepankan pesona figur. Lebih daripada itu, kerja sama dalam ranah pilpres di atas kertas tak menghasilkan manfaat elektoral yang berimbang dalam konteks pileg. PDI Perjuangan (PDI-P) dan terutama Gerindra diprediksi akan menikmati efek ekor jas (coattail effect) yang besar karena kader mereka menjadi capres atau cawapres. Sosok Ma’ruf Amin mungkin sekali bisa mengalirkan tambahan elektoral bagi PKB atau juga bahkan PPP.

Biaya berkoalisi

Parpol bersedia berhimpun dalam sebuah koalisi pengusung capres-cawapres sekurangnya dilandasi motif mendapatkan portofolio dalam kabinet (office-seeking) atau kesempatan memengaruhi kebijakan publik (policy-seeking). Tiap parpol punya orientasi berbeda-beda, ada yang lebih mengedepankan motif pertama, ada pula yang lebih mengutamakan motif kedua.

Pengutamaan satu dari dua motif ini mengandaikan parpol harus berkompromi dalam konteks pilihan kebijakan (karena harus disesuaikan visi-misi capres-cawapres) dan logisnya tak saling menyingkap kelemahan, kebobrokan, atau perbedaan preferensi sebuah kebijakan. Jika yang pertama berpotensi menjauhkan parpol dengan preferensi basis pemilihnya, yang terakhir berpotensi membuat parpol kian sulit dibedakan dalam upayanya membangun posisi unik di benak pemilih.

Singkatnya, parpol tak dapat optimal mengejar motif meraih suara sebanyak-banyaknya di pileg (vote-seeking). Dengan melihat komposisi kandidat yang berkontestasi (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi), sebagian besar parpol sepertinya lebih mengejar motif office-seeking alih-alih vote-seeking ataupun policy-seeking. Lagi pula, seperti diingatkan Strom dan Muller (1999), parpol memang jarang punya kesempatan mendapatkan hasil optimum dari ketiga motif karena sifatnya yang cenderung trade-off.

Pilihan orientasi itu tentu saja ada konsekuensinya. Parpol yang perolehan suaranya kecil (baik menang maupun kalah dalam konteks pilpres) akan menderita. Daya tawar politiknya menjadi rendah dan pada saat sama harus mengorbankan kepentingan jangka panjangnya, yakni kemampuan berkontestasi dalam pemilu berikutnya. Secara keseluruhan, dapat dikatakan ada biaya politik yang harus ditanggung parpol karena berhimpun dalam koalisi. Biaya politik ini tidak sama besarnya bagi setiap parpol. Sederhananya, semakin jauh spektrum figur dan janji politik capres-cawapres dengan preferensi basis pemilihnya, semakin besar biaya yang harus ditanggungnya.

 

Manuver berkontestasi

Biaya berkoalisi mungkin tak bisa dihindari, tetapi parpol masih mungkin bermanuver agar kepentingan elektoralnya tetap terjaga. Kunci manuvernya terletak pada kemampuan memadukan kerja sama dan kompetisi sekurangnya pada tiga elemen persaingan utama: figur, isu-kebijakan, kelompok sosial. Kontestasi figur terfokus pada capres dan cawapres. Kompetensi, rekam jejak, dan personalitas calon akan jadi konten utama untuk memikat pemilih. Namun, tak selamanya atribut ini jadi acuan pemilih. Terkadang pemilih memilih kandidat yang punya kesamaan sosio-demografis, ideologi, atau identifikasi partisan lainnya dengan dirinya (Marland, 2013).

Ruang manuver sebagian besar parpol adalah memainkan faktor kedua karena faktor pertama jelas dinikmati Gerindra dan PDI-P. Penyematan atribut Sandiaga sebagai representasi santri post-Islamis, misalnya, dapat dibaca sebagai upaya PKS merangkul pemilih Muslim yang merasa tak (lagi) menjadi bagian ormas Islam yang mengakar seperti NU dan Muhammadiyah. Di lain pihak, figur Ma’ruf akan diperebutkan PKB atau PPP untuk mengonsolidasikan basis pemilihnya di kalangan nadhliyin. Ruang manuver lain untuk mengompensasi efek ekor jas adalah dengan mengasongkan figur-figur yang merepresentasikan parpol. Yang sudah biasa adalah mengedepankan figur ketua umum yang sudah dilakukan PKB, PPP, atau Perindo. Rute lain, mengasongkan figur baru seperti dilakukan Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang menyasar segmen pemilih muda.

Bagi parpol yang belum menyiapkan figur tambahan sebagai penguat daya tarik di mata pemilih, strategi generiknya adalah menerapkan jurus meniru dan menambahkan atribut unggulan lain (me too +1) baik menyasar pada pangsa pemilih yang sama atau mengkhususkan diri pada ceruk pemilih tertentu. Apa pun pilihannya, figur itu harus diasosiasikan sebagai “the next leader”. Bingkai inilah yang akan menjadi pengatrol utama dan sekaligus membedakan dengan para pengumpul suara biasa (vote getter). Pilihan figur yang diapungkan harus dipertimbangkan dengan saksama. Pasalnya, ia akan berperan pula sebagai jangkar dalam memajukan janji-janji politik dan juga kelompok sosial yang hendak diasosiasikan. Koherensi ketiganya penting untuk membangun persepsi kredibilitas.

Isu kebijakan yang diusung capres dan cawapres normanya merupakan hasil negosiasi dan kompromi kandidat dengan parpol pengusung. Dalam konteks pilpres, parpol terikat untuk mengampanyekannya secara sendiri-sendiri atau bersama. Namun, dalam konteks pileg, parpol dapat bermanuver dengan melakukan adaptasi, yakni menggunakan isu kebijakan capres-cawapres sebagai konten kampanye, tetapi menambahkan dimensi lain untuk menguatkannya, membuatnya unik, dan disukai target pemilihnya. Pilihan lain sebagai pelengkap, parpol bisa menerapkan strategi konfrontasi atau mengabaikannya agar tak menjadi agenda publik.

Sebagai ilustrasi awal, gagasan ekonomi berbasis umat yang dilontarkan Ma’ruf, dapat diadaptasi parpol pengusung dengan memberikan penonjolan program konkret berbasis sektoral atau berbasis spasial, misalnya. PPP dan PKB jelas memiliki kredibilitas lebih tinggi karena diasosiasikan publik sebagai parpol Islam dibanding parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf lainnya. Meski begitu, ini juga dapat jadi kesempatan baru bagi parpol nasionalis seperti PDI-P, Nasdem, atau bahkan PSI untuk menggeser citranya sehingga dianggap lebih dekat dengan kalangan pemilih Islam. Kuncinya terletak pada kepiawaian menyorongkan program politik yang mengena, tapi tak menghilangkan karakteristik khas masing-masing.

Sebaliknya, bagi parpol koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga seperti Gerindra atau Demokrat, gagasan ekonomi berbasis umat itu dapat dibenturkan dengan gagasan yang berbeda, misalnya dengan gagasan ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila, ekonomi pasar, atau lainnya. Untuk PKS dan PAN, misalnya, strateginya adalah menyingkap kelemahan ekonomi umat versi Ma’ruf dan menawarkan versinya sendiri. Jika ini yang dilakukan, tak terhindarkan PKS dan PAN akan berebut sebagai parpol yang paling kredibel berbicara tentang gagasan tersebut.

Umumnya, parpol cenderung akan memilih isu kebijakan yang dirasakannya punya reputasi baik di benak pemilih (issue ownership) dan isu kebijakan inilah yang akan ia tonjolkan selama kampanye. Masalahnya, efek kepemilikan isu ini akan ternetralisasi jika pemilih menganggapnya sebagai isu kebijakan yang tak penting (Belanger dan Meguid, 2005). Dengan kata lain, kepemilikan isu saja tak cukup untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Untuk mengatasi hal ini, parpol harus saling berkontestasi membangun konteks yang relevan agar isu kebijakan mereka dianggap penting oleh pemilih.

Ruang kontestasi di ranah ini relatif lebar karena parpol umumnya tak punya kepemilikan isu yang kuat. Jikapun ada, seperti dalam kasus PKS dengan solidaritas terhadap Palestina-nya, belum tentu dinilai relevan dalam konteks pileg.

Ruang manuver lain adalah kemauan untuk keluar dari isu kebijakan yang sudah generik dan terkadang berhenti sebagai jargon belaka. Tema-tema seperti utang luar negeri, impor pangan, subsidi energi, ataupun pemberantasan korupsi masuk dalam kategori ini. Sebaliknya, parpol dapat menonjolkan isu-isu keseharian, seperti pendanaan BPJS, penerimaan siswa baru, transportasi daring, dan sekaligus menjadikannya isu yang melekat pada dirinya. Parpol pengusung Prabowo-Sandiaga lebih memiliki peluang mengeksplorasi ini karena sekaligus bisa mengkritisi kinerja pemerintahan petahana. Sebaliknya, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf harus mencari jalan untuk menunjukkan komitmennya pada isu-isu itu dan atau menawarkan solusi baru.

Manuver kontestasi lainnya bersifat lebih agresif, yakni menyingkap wajah ganda parpol. Wajah terbuka parpol adalah apa yang tertuang dalam visi-misi dan program. Wajah lain adalah apa yang disepakati elite parpol dengan aktivis internal parpol bersangkutan (Hammel dkk, 2005). Lebih daripada itu, wajah ganda ini tak saja bisa disingkap dari manifesto parpol, tetapi juga antara pernyataan publik dan keputusan internalnya. Pengabaian hasil ijtima ulama soal cawapres Prabowo merupakan contoh bagaimana strategi ini dimainkan. Untuk itu, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf memang perlu bekerja lebih cerdik, tetapi tetap dalam koridor hukum yang ada.

Ketertautan parpol dengan kelompok sosial tetap relevan dalam menjungkit tingkat elektoral parpol meski harus diakui pengaruhnya tak setinggi sebelumnya karena termediasi faktor figur. Selain tetap mengelaborasi kelompok sosial yang jadi basis pemilih tradisional, parpol dapat mengkreasi dan atau menonjolkan kelompok sosial baru sebagai basis baru. Di Inggris, Partai Konservatif dan Buruh selain konstituen tradisional, juga berupaya menarik kelompok sosial baru, seperti keluarga dan orangtua (Thau, 2017).

Antisipasi

Apapun pilihan manuver kontestasinya, parpol perlu mempertimbangkan dua hal ini. Pertama, kecenderungan perilaku pemilih melakukan split ticket voting. Pada tingkat pertama, split ticket voting terjadi ketika pemilih memilih partai A untuk DPR, tetapi parpol B atau C untuk DPRD. Pada tingkat kedua, split ticket voting terjadi karena mereka memilih pasangan capres-cawapres yang tak diusung parpol yang dipilihnya untuk pileg.

Kedua, agenda laten sesama parpol pengusung. Normanya, apapun pilihan bersaing yang akan dipilih, niscaya harus memperhatikan agenda utama koalisi: memenangkan pasangan capres-cawapres yang diusung. Meski demikian, norma ini dapat dilanggar jika agenda utama sebuah parpol jauh lebih besar dari itu: membesarkan dirinya dengan memanfaatkan momentum pilpres. Mereka tak sungkan menyerang kawan seiring jika itu dianggap sepadan dengan manfaat elektoral yang bisa diraih. Bagi parpol jenis ini, memenangi pilpres hanyalah bonus. Ini berlaku terutama pada parpol yang tak menempatkan kadernya sebagai capres/cawapres atau merasa benefit posisi publik yang ditawarkan kelak tak cukup memadai untuk tujuan-tujuan mereka.

Selamat berkompetisi!

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

(Kompas, 23 Agustus 2018)

 

Foto: hariansinggalang.co.id (https://bit.ly/2YDFfyO)

Pilkada Serentak 2020, Pandemokrasi, Partisipasi Pemilih

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) 2020 yang digelar secara serentak telah usai. Tapi badai pandemi virus corona (covid-19) belum berlalu. Itulah sebabnya pergelaran politik elektoral sebanyak 270 daerah itu bergelayut antara harapan dan kecemasan.

Sebagai catatan, perhelatan Pilkada 2020 itu meliputi 9 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub), 224 Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup), serta 37 Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwakot). Pilkada serentak tahun 2020 merupakan lanjutan dari tiga tahap pilkada serentak sebelumnya pada tahun 2015, 2017, dan 2018.

Kita menyaksikan turbin demokrasi lokal tetap berputar. Mesin-mesin politik juga bekerja. Realitas mencekam akibat pandemi menjadi pertimbangan utama terkait metode pelaksanaan kampanye. Pola kampanye di arena demokrasi perlahan mulai bergeser, dari kebiasaan mobilisasi massa besar-besaran menjadi pertemuan berskala terbatas.

Seturut hal itu, pihak penyelenggara, kontestan dan partisipan ditekankan agar menaati protokol kesehatan. Sebab, pesta demokrasi tidak sekadar mewadahi kedaulatan rakyat, tapi juga harus memerhatikan keselamatan rakyat.

Rakyat telah memberikan mandat pada pemimpin mereka di daerah-daerah dalam proses yang konstitutif. Kekosongan kekuasaan (vacuum of power) dari aspek penyelenggaraan pemerintahan terhindarkan. Apalagi penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi memerlukan pemimpin daerah yang legitimated, responsif sekaligus proaktif. Saat yang sama, stabilitas politik dan pelayanan publik akan terus berjalan. Dan, demokrasi sebagai rezim, kata Claude Lefort, memang menyaratkan institusionalisasi dan proteksi melalui hukum.

Pesta demokrasi lokal 2020 memang sebuah kekecualian. Imunitas demokrasi benar-benar diuji daya tahannya dalam lubang hitam pandemi. Isu kesehatan publik (public health) jelas tak boleh diabaikan. Lahirlah pandemokrasi, sebuah terminologi yang menggambarkan realitas ironik dari demokrasi pada masa pandemi.

Konsekuensi dari “new normal” politik itu, para calon kepala daerah dituntut lebih canggih dalam berkampanye baik secara online maupun offline untuk mempersuasi publik. Kabar baiknya, partisipasi pemilih justru meningkat. Dikatakan kabar baik karena salah satu parameter keberhasilan pelaksanaan Pilkada 2020 dapat ditinjau dari angka partisipasi pemilih.

 

Partisipasi Pemilih

Salah satu indikator keberhasilan praktik demokrasi dalam konteks pilkada adalah seberapa besar tingkat partisipasi warga menggunakan hak-hak politik (political rights) untuk memilih kandidatnya di kotak suara. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 sebesar 75,83%. Angka itu cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari pilkada 2015 dengan tingkat partisipasi sebesar 69,02 %. Angka partisipasi pemilih pada pilkada 2020 itu nyaris mendekati target nasional (77,5%). Target itu dipandang realistis mengingat situasi darurat pandemi.

Melihat partisipasi pemilih pada pilkada 2020 yang dianggap sukses, maka demokrasi bisa dikatakan berjalan baik. Karena itu, apresiasi layak kita arahkan kepada penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, Satgas Anti-Covid, aparat keamanan, media massa dan partisipasi warga. Peran paslon, partai politik pengusung dan tim kampanye masing-masing kandidat juga memberikan warna tersendiri, meski harus diakui tak ada demokrasi yang hampa masalah. Saluran legalistik pun tersedia, manakala dalam proses Pilkada 2020 ada kalangan yang tidak puas dengan hasilnya, mereka bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Segenap pemangku kepentingan itu telah melakukan ikhtiar sewajarnya untuk mendorong keterlibatan warga dalam proses pilkada. Meskipun pelaksanaan Pilkada 2020 sempat diprasangkai sebagian pihak bahwa partisipasi masyarakat akan meredup, akan tetapi fakta menggambarkan partisipasi warga justru antusias ikut memilih para kandidat sesuai preferensinya.

Pilkada 2020 telah memberikan saham terhadap peningkatan indeks demokrasi Indonesia. Van Deth (2001) menyatakan bahwa partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Dalam konteks hak-hak politik, perwujudan terpentingnya adalah tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pilkada. Kendati begitu, penyelenggaraan pilkada kali ini pun mengandung aib politik yang mesti diatasi untuk memproyeksikan hajatan politik yang berkeadaban untuk masa-masa mendatang.

Salah satu persoalan yang perlu mendapat atensi khusus adalah masalah kekerasan dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam kontestasi elektoral. Mengacu pada Laporan Kontras bertajuk “Catatan Kritis atas Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020”, antara lain dikatakan bahwa cara-cara kekerasan masih kerap digunakan baik untuk mengintimidasi kelompok berseberangan dalam Pilkada maupun untuk menekan warga untuk memilih calon-calon tertentu.

Dalam logika elektoral, pertarungan strategi antar paslon, partai pengusung dan pendukung beserta tim kampanye adalah sebuah keniscayaan sepanjang dilakoni dengan cara-cara demokratis, sesuai koridor hukum dan sewajarnya. Namun, fakta ironik masih adanya sebagian pihak yang memainkan isu SARA, khususnya politisasi etnis dan agama, terlebih disertai kekerasan adalah cermin politik purba yang destruktif.

Mobilisasi faksi politik etno-religius yang berhaluan garis keras dapat menajamkan perpecahan antar sesama anak bangsa, bahkan merusak tatanan demokrasi. Politisasi SARA yang cenderung mengeksploitasi kebencian demi elektabilitas bisa memperlebar jarak-psikologis dalam relasi keseharian antar warga. Ketahanan nasional terancam mengalami pengeroposan bilamana politik SARA dibiarkan tanpa adanya pencegahan dan penindakan serius dari aparat berwenang.

Dengan demikian, partisipasi pemilih yang cukup tinggi dalam pilkada 2020 mesti dibarengi dengan kesadaran penuh dari elite untuk menjunjung tinggi integritas demokrasi. Harapan yang besar bagi paslon yang terpilih untuk mengembalikan ruang publik menjadi sehat, tanpa penyebaran virus kebencian dan bercak-bercak darah. Polarisasi politik dan fragmentasi sosial yang terbentuk selama kampanye saatnya dinormalisasikan kembali.

Kepala daerah terpilih juga mesti berkomitmen bahwa mereka bukan sekadar pemimpin untuk pemilihnya saja, atau melayani golongan tertentu saja, tapi pemimpin untuk semua warga tanpa berlaku diskriminatif. Legitimasi yang kuat dari rakyat mesti dijaga. Dukungan pemilih yang mengantarkan aktor-aktor politik lokal menjadi pemimpin daerah adalah modal yang sangat mendasar untuk memajukan kabupaten, kota dan provinsinya kelak.

Tantangan masa kini dan masa mendatang adalah bagaimana memastikan adanya sinergi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk menuntaskan penanganan Covid-19 sekaligus pemulihan ekonomi. Begitu pula masyarakat, diharapkan partisipasi aktifnya untuk mengawal pemimpin terpilih, mengutamakan kolaborasi dan kerjasama konstruktif. Dengan begitu, pilkada tidak sekadar ritual sirkulasi elite semata, tapi menjadi kenduri demokrasi lokal yang melahirkan kepala daerah visioner dalam lanskap otonomi daerah. Semoga.

 

 

Mawardin, peneliti Charta Politika Indonesia

Foto: Aditya Irawan (Getty Images)

 

Menjaga Marwah Pemilu

Pemilu merupakan ruang bersama bagi warga untuk menentukan siapa yang akan menjalankan pemerintahan. Ini dengan pengandaian yang terpilih adalah kandidat yang berkualitas. Implisitnya, pemilu juga medium untuk perawatan mereka yang tidak kompeten atau orang yang bermasalah di arena kekuasaan.

Faktanya, pemilu masih menjadi instrumen yang rapuh. Kandidat (orang atau parpol) yang berkualitas tak selalu jadi pemenang pemilu. Bahkan, untuk jadi kontestan pun, mereka tak bisa atau tak bersedia. Hal ini penyebab beberapa petahana yang tidak bekerja atau bahkan bermasalah justru peluang peluang besar terpilih kembali.

Dalam situasi seperti itu, pemilu terdegradasi. Ia bersaing jadi ranah kompetisi untuk memilih kandidat yang lebih sedikit buruknya dari pilihan yang tersedia. Atau, dalam situasi berbeda, pemilu merupakan ruang berkontestasi ”dari dan untuk” politik elit. Elite politik di sini diimplementasikan oleh para politikus, tetapi juga pemilik modal yang juga terjun langsung menjadi politikus melalui proksi-proksinya.

Menerima situasi seperti ini tentu saja ada harganya. Risiko merosotnya legitimasi pemerintah yang terpilih terpilih memudarnya keyakinan terhadap pelaksanaan demokrasi atau bahkan terhadap prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Risiko ini perlu dimitigasi. Penguatan pemilu menjadi keniscayaan.

Penguatan pemilu bersoal tentang pengondisian yang bisa mendorong perbaikan iklim kepemiluan. Acuannya pada norma-norma standar yang sudah diterima secara global: bebas dan adil. Atau, dalam istilah Norris (2013), integritas pemilu (electoral integrity).

Jika dirumuskan dengan kalimat berbeda, pemilu harus didesain dengan semangat menghadirkan persamaan dalam kesempatan, kemungkinan, dan juga dalam memanfaatkan berbagai sarana. Pemilu tak hanya harus bebas, tetapi juga mengandaikan adanya kesetaraan dalam memanfaatkan kebebasan tersebut.

Pembatas

Penguatan pemilu bukan perkara mudah. Ini setidaknya karena ada kondisi yang jadi pembatas keputusannya secara optimal. Kondisi itu, pertama, ada pada tataran konsepsional, yaitu pendefinisian kandidat berkualitas. Kandidat berkualitas yang diinginkan dengan asumsi memiliki kompetensi, integritas, dan motivasi kuat untuk melayani publik. Ketika terpilih, kandidat ini diharapkan bekerja untuk meningkatkan pemilih hidup pemilih: lebih aman, merasa jadi warga yang berdaya dan lebih sejahtera.

Masalahnya, interpretasi terhadap kandidat berkualitas (dan juga kinerja yang diinginkan) sangat variatif, mengetahui berbagai faktor sekaligus, seperti preferensi ideologi, informasi kelengkapan, dan faktor kontekstual. Seperti diingatkan Murray (2005), kriteria kriteria berkualitas merupakan sesuatu yang masih dikontestasikan.

Teori ilmu politik, studi empiris pemilu, parpol, dan pemilih memiliki kriteria berbeda-beda tentang ini. Dua yang disebut terakhir, menurut Murray, cenderung bias karena banyak menggunakan indikator subyektif. Dalam pemilu konteks serentak 2019, kriteria kualitas yang digunakan sebagai penjulukan bersifat peyoratif seperti terwakili melalui ungkapan Amien Rais tentang ”partai Allah” versus ”partai setan”.

Pembatas berikutnya adalah kampanye. Pemilu tanpa kampanye ibarat memakai baju tanpa memakai celana. Kampanye adalah kesempatan untuk dapat informasi yang relevan untuk membantu pemilih membuat pilihan (Bartels, 1996). Masalahnya, intensitas kampanye itu krusial. Pemilih yang kurang informasi cenderung memilih kandidat yang intensitas kampanyenya tinggi (Blais dkk, 2009).

Persepsi pemilih terhadap informasi dari kampanye juga berbeda. Studi McCain dan Lawson (2005) menunjukkan, aliran informasi dari media kampanye yang intens pada berbagai segmen pemilih menurut status ekonomi tidak banyak mengubah informasi dan bahkan ada tendensi justru kian melebar.

Terkait itu, Achen dan Bartels (2016) mengingatkan, pemilih juga kerap menggunakan identitas sosialnya dan melakukan rasionalisasi agar isu kebijakan yang didukungnya sesuai bias partisannya. Kandidat juga berpeluang memanipulasi pesan tentang kebijakan dan personalitasnya demi terpilih.

Karena itu, kampanye bukan indikator yang baik untuk menilai kualitas kandidat (Markussen dan Tyran 2017; Bowler dkk, 2019). Dan, meski kampanye akurat sebagai sarana efektif pemilih, sebagian kandidat melihat sogokan jauh lebih efektif (Cruzz dkk, 2019).

Kondisi ketiga terkait inkoherensi sistem pemerintahan, sistem parpol, dan sistem pemilu. Ini pula yang terjadi di Indonesia. Ada ketidaksesuaian antara sistem pemerintahan presidensial (tetapi rasa parlementer) dan sistem multipartai yang ekstrem, serta sistem pemilu yang proporsional terbuka.

Dari diskursus politik, pokok soalnya adalah tarik-menarik pengawasan sistem presidensial atau mempertahankan representasi politik yang beragam sesuai kebinekaan masyarakat Indonesia. Ada upaya melakukan kombinasi yang bisa melentingkan keunggulan dari tiap sistem. Akan tetapi, dalam praktiknya sering kali justru mengafirmasi kelemahan-kelemahannya.

Inkoherensi itu terkait dengan pembatas berikutnya: penataan politik, termasuk pemilu, tak terjadi di ruang kosong. Para pihak berkontestasi agar sistem dan regulasi yang ada menguntungkan mereka dalam melakoni kompetisi politik. Tak heran, ada sebagian elit yang memiliki motivasi untuk menghambat bahkan membajak pemilu karena dapat mengurangi atau melempar mereka dari arena kekuasaan politik. Secara pribadi sebagai petahana, politik elit juga memiliki motivasi untuk memanfaatkan politiknya itu ke keluarga atau kerabatnya.

Polemik batas ambang batas. Dan presiden serta ukuran dapil, misalnya, dapat diterapkan dalam konteks ini. Bahkan, sebagian elit lain melihat momen pemilu sebagai instrumen untuk mengubah pemilu secara signifikan. Dalam kasus Indonesia, dari pemilihan langsung menjadi tak langsung.

Agenda minimal

Kondisi pembatas menjadi pengingat penguatan bahwa pemilu memiliki ruang lingkup yang semata-mata peraturan regulasi dan manajemen pemilu belaka. Dan, prosesnya nyaris mustahil dilakukan secara menyeluruh. Terlebih, kepemiluan Indonesia berada dalam situasi ”serba nanggung”. Secara total, tidak ada pemilu yang terjadi pada pemilu yang bersifat substantif di era Orde Baru, tetapi juga sulit menyatakan pelaksanaan pemilu sudah mencapai titik yang tepat dari integritas pemilu.

Seturut situasi ini, agenda pemilu setidaknya diarahkan untuk membangun situasi kondusif bagi terwujudnya persamaan bagi tiap anggota masyarakat untuk dipilih dan memilih. Dengan semangat ini, setidaknya ada empat agenda minimal yang perlu dipromosikan sekaligus didesakkan kepada para pembentuk UU.

Agenda minimal paling dasar, mendorong demokrasi di dalam parpol. Ini tidak mencakup proses kepemimpinan, tetapi juga penetapan caleg, capres-cawapres, calon kepala daerah dan wakilnya, penyusunan manifesto politik, dan penentuan siapa akan berkoalisi. Poin pentingnya, keseluruhan proses ini mengandaikan pelibatan anggota parpol secara langsung atau melalui berjenjang.

Demokrasi internal baru dapat dilakukan jika bersifat mandatori. Misal saja, ditetapkan sebagai bagian dari persyaratan parpol menjadi peserta pemilu. Peluang elite partai mengakali ketentuan ini terbuka, tetapi secara logis ini akan merugikan partai secara keseluruhannya. Pemilih akan membedakan mana partai yang lebih demokratis dan yang kurang demokratis.

Proses demokrasi juga dianggap sebagai pemilik uang atau para ”kutu loncat”. Karena itu, perlu dipersiapkan prosedur penangkal. Dalam konteks pencalonan anggota DPR (D), misalnya, diberlakukan ketentuan baru bisa dicalonkan jika seseorang sudah tiga tahun menjadi anggota partai.

Tak kalah penting, ruang kontestasi perlu tetap dijaga. Pada tingkat pilpres, semangat dasar pemilu serentak ialah menguatkan sistem presidensial demi terwujudnya pemerintahan yang efektif. Namun, persyaratan pencalonan capres-cawapres harus direndahkan agar muncul beberapa calon pemilih yang mempunyai pilihan, sekaligus menghindari polarisasi yang involutif. Pada level pileg, ambang batas tetap terjaga. Ini untuk memastikan proses penyederhanaan partai tak dipaksakan secara brutal ke arah sistem dua partai atau dua setengah partai.

Agenda minimal kedua terkait daya tarik jabatan publik. Meski ruang politik perlu terus dibuka, daya tariknya perlu diwajarkan. Mengikuti Besley (2015), daya tarik yang bermasalah ketika orang-orang lebih termotivasi karena gaji dan ”pendapatan ekstra” yang bisa didapat dalam melayani publik. Normalisasi dilakukan dengan membuat politisi terpilih sulit menyalahgunakan pengaruh, mengomoditisasi perizinan, dan juga melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Normalisasi ini, antara lain, dengan melebarkan transparansi dari hak warga untuk tahu, diberi mandat untuk menerapkan keterbukaan, termasuk dalam proses penyusunan kebijakan yang berarti pula menjalankan pemerintahan terbuka (open government).

Yang terakhir fokusnya bukan pada akuntabilitas, melainkan mendorong partisipasi publik dalam operasi dan mengelola masalah dalam menjalankan pemerintahan. Ini mengandaikan adanya berbagi data yang hampir bersifat real-time , komunikasi yang bersifat banyak , pengumpulan data yang bisa diekstrak melalui portal, adanya platform untuk melakukan kolaborasi, dan untuk membangun interaksi warga dengan pemerintah (Halberstam, 2015).

Dengan pemerintahan terbuka , pemerintahan akan semakin akuntabel. Terlebih jika ini diikuti penguatan dengan kelembagaan komisi negara, seperti KPK, Ombudsman RI, KPPU, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan Komnas HAM.

Agenda minimum berikutnya terkait reformasi politik. Dalam hal dana kampanye, pengaturan harus lebih luas lagi mencakup: (a) sumbangan dari individu pemilik, direksi atau karyawan perusahaan harus diperhitungkan sebagai bagian dari bagian dari korporasi; (b) adanya larangan sumbangan yang berasal dari korporasi yang pemilik atau direksinya sedang dalam proses hukum dan atau sedang menjalani kehidupan; (c) adanya pagu pengeluaran pengeluaran yang dibolehkan; (d) adanya audit forensik keuangan terhadap laporan dana kampanye.

Pada tataran parpol, setidaknya perlu ada pembatasan sumbangan operasional partai dari ketua umum atau pengurus terasnya dan larangan korporasi memberikan sumbangan politik ke lebih dari satu parpol. Ini dibarengi penguatan sanksi berupa pembatalan kepesertaan dan larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya (bagi individu dan partai) dan memperberat hukuman pidana dan perdata (bagi penyumbang).

Agenda minimum terakhir, meningkatkan persamaan pemanfaatan sarana (berkampanye). Pokok krusialnya mengatur media massa dan media sosial. Media massa cetak ataupun elektronik boleh berpihak, tetapi harus dikenai ketentuan menyampaikan informasi keterbukaan tentang keberpihakan dan disertai adanya pembatasan jumlah konten yang boleh dimuat/disiarkan.

Pemanfaatan ruang nonpolitik (seperti acara hiburan, infotainment, ataupun acara keagamaan) harus dilarang. Media publik, seperti TVRI, RRI, dan kantor berita Antara, harus dioptimalkan perannya untuk meningkatkan visibilitas seluruh kontestan. Perlu ada badan khusus ad hoc yang melibatkan jurnalis independen senior, akademisi, dan peserta pemilu sebagai pengawas.

Untuk medsos, pokok pentingnya adalah mencegah medium ini sebagai sarana pendistribusian hoaks. Kerja sama dengan pemilik aplikasi dibutuhkan agar akun dan konten hoaks bisa segera dihilangkan. Meski demikian, sebuah rangkaian pesan yang menyibak rekam jejak, mengevaluasi kelayakan program, mempertanyakan agenda tersembunyi dan afiliasi politik/bisnis dan sejenisnya harus diperbolehkan. Prinsipnya: kampanye negatif yes, hoaks no!

Ketentuan ini harus diikuti pada tataran kewajiban para bagi calon memberikan informasi keterbukaan mengenai dirinya, afiliasi bisnis dan politik keuangan, dan juga agenda politik yang mau dilakukan seandainya terpilih. Informasi ini harus tersedia dan terbuka untuk diakses. Juga dapat ditambahkan oleh publik setelah ada verifikasi. Calon yang tak bersedia dengan sendirinya dinyatakan gugur.

Di luar empat agenda minimum itu, perhatian harus diberikan kepada manajemen pemilu. Proses pendaftaran pemilih, perekrutan tenaga TPS, penentuan dapil, proses penghitungan suara, dan pengumuman hasil harus melibatkan publik dengan pendekatan open government. Dengan cara ini, selain lebih efisien dari sisi biaya dan waktu, penyelenggaraan pemilu juga akuntabel dan partisipatif.

Singkatnya, krisis pemilu harus mengikuti pembenahan sektor-sektor di luar kepemiluan itu sendiri, terutama meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, serta ruang lingkup berusaha yang mudah dan adil, dan pendidikan kewargaan. Pemilu adalah sebuah instrumen demokrasi yang rentan dan tidak diharapkan bak ”kotak ajaib” bagi terwujudnya demokrasi politik, apalagi demokrasi sosial.

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia.

 

Defisit Demokrasi di Tahun Pemilu

Di pengujung 2019, sebagian dari kita cemas dengan masa depan demokrasi. Sebelumnya, di awal tahun, sebagian kita cemas dengan prospek pemilu (serentak).

Ketika pemilu serentak 2019 berakhir, rasa lega terasa. Seperti ada beban berat di pundak yang telah terangkat. Publik mengapresiasi. Mengacu pada beberapa hasil survei, mayoritas responden menilai pemilu telah berlangsung jurdil. Meski demikian, penyelenggaraan pemilu serentak ini bukan tanpa masalah. .

Dari sederet indikator pemilu berkualitas, beberapa di antaranya perlu mendapat perhatian seksama. Pertama, pemilu serentak 2019 mempertegas bahwa penyelenggaraan pemilu di era reformasi masih terus mencari bentuk. Kesan trial and error tak terhindarkan. Aturan mainnya tidak saja terus berubah dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, tetapi juga ditandai adanya ketidakpastian hukum. Yang terakhir ini contohnya antara lain aturan soal narapidana (napi) korupsi menjadi caleg, persyaratan pencalonan DPD, dan juga proses verifikasi partai peserta pemilu.

Kedua, penyelenggaraan Pemilu 2019 juga mempertegas kegagalan dalam membenahi sejumlah masalah yang sudah menahun, antara lain kesemrawutan penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), praktik politik uang yang marak tetapi sangat sedikit yang bisa diproses lebih lanjut. Juga soal posisi media massa yang selalu diperdebatkan, tetapi tak juga ada solusi yang diterima di kalangan pemangku kepentingan.

Ketiga, pemilu serentak juga menyibak persoalan ihwal manajemen pemilu. Salah satunya terkait tenaga pelaksana penyelenggara pemilu di akar rumput. Ada problem serius terkait proses perekrutan yang selama ini terabaikan. Besarnya jumlah tenaga lapangan yang meninggal saat menjalankan tugas tidak saja ”kurang hitung” dalam soal implikasi pemilu serentak, tetapi juga karena tata laksana perekrutan tak seketat di tingkatan kota. Belum lagi masalah netralitas pelaksana pemilu di tingkatan ini karena sebagian terafiliasi parpol atau jadi pendukung salah satu pasangan capres-cawapres.

Keempat, resolusi konflik sengketa pemilu kali ini jauh lebih buruk. Lebih dari sebelumnya, pengerahan aksi massa cenderung menjadi instrumen untuk melakukan tekanan politik, alih-alih berupaya mendapat keadilan pemilu. Hal ini pada gilirannya membuka ruang bagi pihak tertentu untuk memantik kerusuhan yang untungnya berhasil diredam sebelum menjadi lebih tak terkendali.

Kelima, meski baru bersifat ”insiden”, manuver Gerindra ”memuluskan” sejumlah caleg seperti Mulan Jameela dan Sugiono masuk DPR perlu dapat perhatian. Selain soal keadilan; praktik ini ke depannya bisa jadi modus baru. Dalam hal ini, caleg tidak lagi akan terfokus pada kompetisi untuk mendapatkan suara terbanyak, tapi pada bagaimana kemampuan mereka melobi DPP sebagai faktor penentu utama. Selain berpotensi melahirkan modus transaksional baru, kondisi ini juga bisa dianggap ”mengakali” pemilih yang merasa suaranya menjadi mubazir.

Keenam, pemilu serentak juga mengonfirmasi kecemasan lain yang selama ini kurang mendapat ruang dalam diskursus publik, yaitu pemilu serentak membuat pileg seperti dilupakan. Pemilih tak terlalu peduli dalam memilih partai atau caleg. Mereka cenderung tak memperhatikan dengan baik apa agenda politik yang dijanjikan parpol atau caleg. Tak ada kebutuhan untuk tahu rekam jejaknya. Dalam kasus DPD, bahkan tak sedikit pemilih tak tahu siapa saja calonnya dan siapa yang layak dipertimbangkan untuk dipilih. Ibarat konser musik, pileg hanya band pembuka belaka.

Ketujuh, ambang batas pencalonan capres-cawapres yang tinggi secara tak langsung sebenarnya melucuti semangat dasar di balik usulan pemilu serentak. Dari sisi efisiensi, dua paslon sangat tepat karena menghindari kemungkinan adanya pemilihan putaran kedua. Namun, dari sisi pemilih, situasinya berbeda.

Pilihan terbatas membuat pemilih terpaksa menerapkan strategi ”diskon”. Secara sadar, pemilih mengabaikan situasi bahwa preferensi kebijakan dia sebenarnya relatif berjarak dengan kandidat yang dipilihnya. Sebagian pemilih, umpamanya, tetap memilih pasangan 01 walaupun dari sisi janji kampanye terkait BPJS dia merasa lebih dekat yang ditawarkan 02. Atau mengabaikan fakta bahwa mereka sebenarnya tak suka dengan pendamping pasangan yang dipilihnya. Ini secara figuratif terwakili dari ungkapan; ”Saya pilih Sandi, bukan Prabowo” atau ”Saya pilih Jokowi, bukan Kiai Ma’ruf”. Pilihan lain, jadi golput.

Defisit demokrasi

Dengan melakukan diskon preferensi, pemilih telah berkorban rasa dan mungkin pula harga diri. Tetapi, pasca-pilpres, sebagian pemilih dihadapkan pada situasi yang terasa ganjil: Prabowo bergabung ke Kabinet Indonesia Maju. Fenomena ini melahirkan kelakar yang terwakili melalui penjulukan seperti ”pilpres rasa Pemilihan ketua RT”. Tapi, pada saat bersamaan, polarisasi di masyarakat terus berlanjut dan cenderung kian mengkristal. Situasi ini secara telak menggugurkan dalih bahwa bergabungnya Prabowo bentuk pengejawantahan prinsip kegotongroyongan dan atau kebersamaan.

Dan, yang lebih ”menakjubkan”, munculnya berbagai gagasan yang jika dipadatkan tak lain dari upaya mempereteli pemilu langsung. Berbagai gagasan yang terlontar pada intinya ingin mengembalikan pemilihan ke MPR (presiden) dan DPRD (kepala daerah) serta memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode. Mempereteli sesuatu yang dinilai baik tidak saja membingungkan, tetapi juga membangkitkan rasa cemas. Bagaimana tidak, pelaksanaan pemilu jadi penopang indikator kebebasan Indonesia sebagaimana tecermin, umpamanya, pada indeks kebebasan yang dirilis Freedom House. Menurut indeks ini, pelaksanaan pemilu di Indonesia skornya 2 (bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tidak bebas (7) pada periode 2013-2019.

Meski “baru sebatas wacana, gerakan mempereteli pemilu merupakan sesuatu hal yang terlalu serius untuk diabaikan. Dalam hal ini, esensi pemilu sebagai sebuah persamaan peluang memilih dan dipilih hendak dibatasi jadi ruang elite belaka. Maksudnya, pemilu dijarah jadi sekadar ruang bagi elite memilih pemerintahan untuk mereka sendiri dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Dengan begitu, gagasan mempereteli pemilu karena itu harus dipahami sebagai upaya sistematis membangun diskriminasi politik dengan mengatasnamakan efisiensi, gotong royong, atau bahkan mungkin dengan dalih ”demokrasi Pancasila”. Diskriminasi menghasilkan rasa cemas, rasa kekurangan, dan frustrasi sosial. Sebab, ruang bagi masyarakat kebanyakan untuk mendorong terwujudnya persamaan sosial menjadi semakin terbatas dari sebelumnya.

Gagasan mempereteli pemilu langsung bukanlah ide baru. Sebagaimana gagasan menerapkan Piagam Jakarta, gagasan ini sudah beberapa kali dilambungkan. Bahkan, dalam kasus’pilkada, sudah pernah dieksekusi jadi perundang-undangan sebelum akhimya dipatahkan kembali dengan keluarnya perppu di masa akhir pemerintahan SBY. Argumentasi tak pernah berubah: pemilihan langsung itu liberal dan karena itu tak sesuai Pancasila. Ini biasanya diimbuhi argumentasi tambahan seperti: mahal dan lebih banyak mudaratnya. Di sebagian kalangan, pemilu langsung juga dianggap penghinaan. Bagi mereka, prinsip one man one vote cederai prinsip keahlian. ”Bagaimana mungkin suara seorang ulama sama nilainya dengan suara seorang tukang becak” jadi contoh tipikal pembela gagasan pemilu tak langsung dari kalangan ini.

Satu paket dengan itu, juga mencuat gagasan mengembalikan kekuasaan politik ke MPR. Argumennya sebangun meski tidak sama. Bagi pendukung gagasan ini, MPR perwujudan pasal keempat Pancasila; mencerminkan prinsip mufakat dan kegotongroyongan. Sebagaimana tecermin di Orde Baru dan juga Orde Lama, MPR-lah yang memberikan ruang berbagai kalangan duduk sebagai wakil rakyat tanpa dipilih. Mereka ditunjuk dengan mengasumsikan hak istimewa yang melekat di organisasi tertentu atau bahkan mungkin nantinya figur tertentu.

Menariknya, argumen menghidupkan MPR dan mempereteli pemilu mempertemukan dua golongan yang biasanya berseberangan: kalangan yang mengaku diri Pancasilais sejati dan golongan Islam konservatif. Keduanya sama-sama tak bahagia dengan praktik demokrasi saat ini yang mereka nilai terlalu kebarat-baratan (baca: liberal). Ketaksukaan pada sesuatu yang berbau Barat bukanlah tren baru. Sejak beberapa waktu lalu, ada kecenderungan menolak atau menetralisasi nilai-nilai demokrasi liberal: kebebasan, kesetaraan, dan kontrol atas kekuasaan.

Mengacu pada indeks Freedom House, misalnya, sejak 2014 komponen kebebasan sipil Indonesia konsisten skornya 4 (sebagian bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tak bebas (7). Survei SMRC (Mei-Juni 2019) mengoniirmasi hal yang sebangun: perasaan takut berekspresi juga meningkat tajam. Survei LSI (September 2019) mengonfirmasi kecenderungan intoleransi juga meningkat. Dalam literatur politik, situasi ini disebut illiberal democracy. Istilah ini secara karikatural bermakna ‘pemilu yes, nilai-nilai demokrasi liberal no’. Singkatnya, demokrasi di negeri ini hendak kembali dibonsai. Dan, jalan itu sangat mungkin terjadi. Sebagaimana diingatkan Foa dan Mounk (2017), proses konsolidasi demokrasi bukanlah jalan satu arah ke depan. Terbuka peluang untuk stagnan dan atau mundur. Dekonsolidasi terjadi ketika publik mulai tak percaya pada aturan main yang dihadap-hadapkannya dengan kehendak rakyat; ketika daya tahan aturan main demokrasi melemah dan warga mulai tertarik ide otoritarian.

Dalam kasus Indonesia, penggerak utama dekonsolidasi adalah elite politik. Berkat medsos, gagasan ini dipompakan sedemikian rupa sehingga sebagian masyarakat memberikan toleransi dan bahkan mendukung terjadinya pembatasan kebebasan seperti ditunjukkan ketika pemerintah dengan santainya memblokir situs dan mematikan akses internet. Sebagian masyarakat berdiam diri atau malah menganjurkan diskriminasi sebagaimana pada kasus sulitnya membangun rumah ibadah, pilih kasih penggunaan pasal karet terkait penghinaan tokoh politik atau penodaan agama.

Sebagai catatan, pertama, tindakan membatasi kebebasan atau perlakuan diskriminatif tak hanya dilakukan aparatur pemerintah, tapi juga kelompok-kelompok sipil. Kedua, praktik yang cenderung membatasi dan atau melanggar aturan main demokrasi terutama diarahkan ke anggota masyarakat biasa. Ini berbeda dengan pola dalam sistem otoritarian kompetitif di mana pemerintah yang berkuasa cenderung melakukan pembatasan, persekusi, kriminalisasi, manipulasi, dan sejenisnya kepada pihak oposisi (Levitsky dan Way, 2002).

Singkatnya, kebebasan sipil kita mengalami kemerosotan dan ini sepertinya ingin digenapkan dengan juga membonsai pemilu. Yang terakhir ini, meski baru sebatas gagasan, sudah lebih dari cukup memicu rasa cemas. Sikap Jokowi dan juga Partai Demokrat yang belakangan menegaskan posisinya membela pemilu langsung tak dengan sendirinya mempupus rasa cemas itu. Pasalnya, apa yang terjadi selama 2019 ini menunjukkan bahwa elite politik bisa melakukan apa pun yang dalam perkiraan normal tak akan berani mereka lakukan. Secara khusus, ada semacam trauma sosial setelah UU KPK direvisi dan janji Jokowi untuk mengeluarkan perppu tentang revisi UU KPK tak jadi dilaksanakan.

Apakah dengan demikian demokrasi kita dalam bahaya? Mengikuti Erdmann (2011), saat ini kita tengah mengalami penurunan kualitas demokrasi. Kita mungkin saja terus berada dalam situasi ini. Tetapi, seperti diingatkannya, kemungkinan secara perlahan masuk fase hibridisasi (kombinasi otoritarian dan demokrasi) atau gerak cepat menuju pemutusan dari demokrasi juga terbuka. Dalam hal ini, peringatan Alexander dan Wezel (2017) penting diperhatikan. Menurut mereka, dekonsolidasi demokrasi punya peluang besar ketika polarisasi kelas menajam dan marjinalisasi masyarakat bawah terus berlanjut. Dalam konteks Indonesia, persepsi dominasi asing/aseng jadi bahan bakar yang efektif membangun sentimen negatif terhadap kondisi ekonomi secara umum.

Ini ditambah dengan kuatnya persepsi bahwa ekonomi dan dunia usaha cenderung melemah dan harga-harga makin mahal, termasuk juga yang terakhir soal kenaikan iuran BPJS yang dinilai terlalu memberatkan peserta. Kepahitan ekonomi memungkinkan publik berpaling dan mengadopsi gagasan otoritarian atau sekurang-kurangnya menerima situasi jika nyatanya harus menjalani realitas ”diet demokrasi”.

Belum berakhir

Sekali lagi. demokrasi kita tengah defisit. Para penyokong degradasi demokrasi sepertinya beranggapan kurva demokrasi bisa sedikit diturunkan demi mencapai stabilitas yang diasumsikan akan membantu percepatan investasi yang dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian. Asumsinya, demokrasi dapat dinaikkan kembali kualitasnya jika kondisi ekonomi sudah memungkinkan. Padahal, ada kemungkinan, gerak balik itu akan jauh lebih sukar dari yang bisa mereka bayangkan. Terlebih ada sebagian penyokong degradasi demokrasi punya obsesi lebih jauh lagi: menyingkirkan demokrasi secara penuh.

Di titik ini mencuat sebuah kesadaran: kita kekurangan pembela demokrasi, khususnya di kalangan elite politik sendiri. Meski (pernah) diuntungkan oleh. demokrasi, sebagian elite politik kini merasa demokrasi terlalu menguras sumber dayanya. Tingkat keuntungan berdemokrasi tak lagi menarik. Para elite memilih tak setia pada demokrasi karena ,mereka juga mulai merasa publik sepertinya tak terlalu berkeberatan dengan pemangkasan kebebasan ataupun keketidaksetaraan yang dilanggengkan.

Jelaslah sudah, 2019 mungkin bukanlah tahun terbaik bagi Indonesia dari sisi politik. Tetapi, setidaknya tahun ini memberikan satu tanda penting tentang demokrasi kita. Jika diibaratkan klub sepak bola di liga Inggris, posisinya sudah terperosok di zona degradasi. Tetapi, demokrasi di negeri ini masih punya peluang kembali ke zona aman karena musim kompetisi belum berakhir. Kita tak perlu bermimpi bisa ikut kompetisi tingkat Eropa karena untuk bisa masuk klasemen papan téngah saja sudah bisa dibilang pencapaian yang luar biasa. Jadi, mari selamatkan demokrasi kita. Dan, untuk itu, zona nyaman para elite politik harus diganggu. Tanpa itu, mereka akan berpikir bahwa masyarakat tak ubahnya kerbau yang dicocok hidungnya belaka.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 18 Desember 2019

 

Foto: Antara/Mohammad Ayudha

Tantangan Awal Kabinet

Seperti tagline sebuah iklan permen: ramai rasanya. Harapan sekaligus rasa cemas berkelindan menjadi satu seusai mendengar pengumuman nama-nama menteri dan wakil menteri Kabinet Indonesia Maju.

Perasaan campur-baur ini tak hanya terkait personel yang dipilih, tetapi juga pilihan kebijakan yang hendak dijadikan “panglima” pembangunan.

Benang merah dari perasaan campur-baur ini berhulu pada kesan masih kentalnya aroma politik transaksional (baca: bagi-bagi kursi) dalam proses pembentukan Kabinet Indonesia Maju (KIM). Pengangkatan Wakil
Menteri (Wamen) dari unsur organisasi sukarelawan yang sebelumnya sempat ‘ngambek’ menjadi penanda karikaturalnya. Pun, bergabungnya Gerindra juga perlu ditempatkan pada konteks ini.

Dan, karena itu, tak layak di glorifikasi sebagai wujud sikap kenegarawanan Prabowo ataupun Jokowi, misalnya.

Yang perlu ditempatkan dalam konteksnya, “bagi-bagi kursi” (kabinet) merupakan output dari proses tawar-menawar dalam pembentukan kabinet koalisi. Dalam sistem presidensial multipartai, kabinet koalisi  tak terhindarkan kecuali jika partai pengusung presiden menguasai kursi mayoritas di legislatif dan atau bersedia
menetapkan strategi ad hoc (koalisi temporer) di legislatif (Martinez- Gallardo,2011).

Dalam kasus Pilpres 2019, kabinet koalisi menjadi keniscayaan karena sistem pemilu yang mendorong terbentuknya koalisi sebelum pemilu dilangsungkan. Konsekuensi dari tetap diberlakukannya presidential threshold (bahkan menggunakan basis suara dari pemilu sebelumnya) yang memaksa seorang capres bernegosiasi kekuasaan dengan partai untuk dapat memenuhi prasyarat ambang batas dukungan.

Tawar-menawar dalam pembentukan kabinet koalisi menjadi sesuatu yang bisa dianggap normal jika yang dikedepankan adalah ihwal isu-kebijakan (policy seeker) dan bukan soal jumlah kursi atau posisi dalam kabinet (office seeker).

Seperti dinyatakan Cheibub dkk (2004), politik tawar-menawar perlu dibedakan antara sebagai tujuan akhir dan secara metode. Dalam kasus pembentukan KIM, yang mengemuka ke permukaan sejauh ini lebih terlihat sebagai berburu jabatan publik sebagaimana terlihat dengan jelas pada kasus organisasi sukarelawan yang ‘ngambek’ dan juga banyaknya jumlah wamen yang diangkat tatkala pada kesempatan lain Jokowi berbicara soal kebutuhan melakukan perampingan birokrasi.

Dalam konteks ini, sebaliknya, pilihan pelibatan Gerindra ke dalam KIM cenderung bisa dimengerti meski tak selalu harus dibenarkan secara politik. Tanpa Gerindra, KIM baru mencapai level apa yang disebut dengan istilah ambang batas kemenangan koalisi (minimal winning coalition). Secara teoretik, ambang batas ini memungkinkan partai kecil ‘menyandera’ Presiden (Raile dkk, 2009). Dalam kasus KIM, ancaman itu bukan datang dari partai kecil seperti Partai Persatuan Indonesia (PPP) tetapi partai menengah seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau Nasdem, misalnya. Dus, kehadiran Gerindra dapat dimengerti sebagai sebuah strategi cadangan yang diperlukan. Namun, pilihan ini tentu saja juga punya konsekuensi politis lainnya.

Tantangan eksternal

Singkatnya, proses pembentukan KIM tak cukup diterima meski juga tak mendapat penolakan yang kuat. Ini tak lepas dari modal politik yang dimiliki Jokowi. Mengacu pada survei Litbang Kompas terbaru, 73,3 persen menilai citra dirinya baik. Pada saat awal berkuasa, yang menyatakan baik mencapai 89,9 persen. Meski tinggi, Jokowi perlu mencermati adanya tren penurunan yang konsisten terjadi sejak 1,5 tahun terakhir. Dari sisi kinerja, survei Kompas juga menunjukkan adanya tren penurunan kepuasan, dari 72 persen pada April 2018 menjadi 59 persen pada Oktober 2019 (Kompas, 18/10/2019).

Karena itu, secara eksternal, ada sejumlah tantangan atau pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dan atau ditunjukkan KIM dalam 100 hari pertamanya. Benang merahnya: memulihkan kepercayaan dan atay
menumbuhkan harapan. Pertama, menangani kegundahan pendukungnya sendiri. Bergabungnya Prabowo dan ‘hilangnya’ tradisi yang biasanya menempatkan NU di posisi menteri agama serta Muhammadiyah di menteri pendidikan menjadi pemicu pro dan kontra di sebagian kalangan pendukung Jokowi tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan perppu untuk menganulir revisi UU KPK, belum lagi terkait kontroversi RUU KUHP yang akan ditentukan nasibnya dalam waktu dekat. Di titik ini, dipertahankannya Menkumham petahana tak ubahnya menjadi tamparan telak bagi mereka.

Tantangan kedua terkait radikalisme. KIM perlu menjelaskan strategi penanganannya secara holistik. Dan, ini perlu dimulai dengan membangun tipologi radikalisme dan pendekatan penanganannya seturut tipologi itu. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan bahwa yang sedang ditangani adalah gerakan radikal yang mengedepankan cara-cara kekerasan dan atau punya tujuan mengubah dasar negara, bukannya hendak memberangus ekspresi keberagaman (berjenggot, bercadar, celana cingkrang, dan lainnya) yang berpotensi kian membelah masyarakat secara horizontal.

Senapas dengan itu, tantangan ketiga bagaimana menjelaskan formula kebijakan yang menjadikan investasi sebagai panglima pembangunan. Sekurangnya berkenaan dengan tiga isu-kebijakan berikut ini; (a) potensi pengebirian kebebasan, penerabasan hukum, dan pengabaian HAM; (b) kemungkinan mengorbankan kebutuhan untuk pembiayaan kebijakan sosial (misalnya dana kesehatan) atau keharusan penggunaan dana publik secara lebih berhati-hati (misalnya dana haji); dan (c) memberi keyakinan bahwa aliran dana investasi asing tetap dalam
koridor kepentingan nasional. Dalam artian ini, perlindungan terhadap produk dan industri lokal tetap dikedepankan.

Keempat, KIM memiliki kewajiban utama menegaskan posisi dan komitmennya terkait sejumlah isu-kebijakan yang merupakan warisan dari kabinet sebelumnya. Beberapa di antaranya: keberlangsungan BPJS, penguatan kelembagaan KPK, tidak lanjut RUU yang ditunda penetapannya, dan juga sikapnya terhadap beberapa RUU bermasalah (misalnya UU ITE) maupun RUU yang krusial tetapi terpinggirkan (contohnya RUU Perlindungan Data Pribadi).

Kelima, KIM perlu menjelaskan formulasi kebijakannya untuk menjawab kemungkinan terjadinya resesi/perlambatan pertumbuhan ekonomi di level global melalui penjabaran strategi dari semua kementerian yang
terkait. Hal ini dibutuhkan untuk membangun trust di hadapan investor, pelaku pasar, dan masyarakat yang
cenderung merespons positif atas dipertahankannya Sri Mulyani Indrawati, tetapi bertanya-tanya mengenai munculnya nama kader partai yang memimpin beberapa kementerian bidang ekonomi lainnya.

Tantangan internal

Secara internal tantangan utama yang dihadapi Jokowi selaku nakhoda utama KIM adalah mengelola koalisi. Dalam hal ini, memastikan stabilitas KIM sejauh dimungkinkan, tetapi tetap memperhatikan kinerjanya. Terkait ini, sekurangnya ada empat tantangan yang perlu dikelola dengan cermat.

Pertama, perlakuan yang adil. Parpol yang merasa diperlakukan adil punya kans untuk  sewaktu-waktu keluar dari kabinet (Altman, 2000) atau sekurang-kurangnya mengabaikan disiplin koalisi di tingkatan legislatif. Dari proses pembentukannya, benih-benih ketidakpuasan sudah tertanam di tubuh KIM. Nasdem, misalnya secara tak langsung
sempat mengirimkan sinyal “ketidakbahagiaan”-nya selama proses pembentukan kabinet. Di samping itu, juga perlu digarisbawahi ketidakpuasan NU dan secara lebih implisit kegusaran Muhammadiyah terkait posisi kementerian
yang selama ini selalu diisi kader dari kedua ormas tersebut.

Kedua, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi besaran koalisi. Semakin besar koalisi, semakin mudah menjadi tidak solid. Ketidaksolidan ini akan semakin potensial jika jarak ideologi antarpartai juga cukup bervariasi dan atau sekurang-kurangnya ada perbedaan pilihan terkait satu atau beberapa isu kebijakan. Bergabungnya Gerindra membuat koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi (bertambah) tambun. Ini masih diimbuhi dengan parpol nonkursi di legislatif.

Besarnya partai membuat alokasi distribusi kekuasaan menjadi lebih susah dan atau mahal. Karena itu, semakin mungkin partai merasa diperlakukan tak adil. Situasi akan tambah runyam apabila terbentuk ’pengubuan’ secara internal, seperti munculnya istilah ’kubu Teuku Umar’ dan ‘kubu Gondangdia” yang sempat ramai dibicarakan beberapa waktu lalu.

Ketiga, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi faksionalisasi di internal partai koalisi. Faksionalisasi penting diperhatikan karena bisa memengaruhi kedisiplinan berkoalisi di legislatif. Dalam konteks KIM, potensi gangguan dari faksionalisasi ini terutama bersumber dari partai yang faksionalisasinya kuat seperti Golkar dan dalam derajat yang lebih rendah di PKB maupun PPP.

Keempat, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi kedekatan waktu dengan pemilu. Dan, dalam konteks periode kedua, situasi jadi tambah runyam. Sebab, partai-partai akan lebih kritis mengevaluasi keberadaan mereka dalam koalisi. Jika dinilai biaya politiknya lebih besar daripada manfaat politis maupun ekonominya, partai sangat mungkin menjadi ‘anak nakal’ untuk mempertahankan basis pemilihnya atau malah memilih keluar dari koalisi.

Dihadapkan pada tantangan-tantangan ini, Jokowi perlu menyiapkan strategi antisipasi yang relevan. Yang paling pokok dan perlu dituntaskan di 100 hari pertamanya adalah membangun kesepakatan koalisi yang formal. Pesannya pada sidang kabinet perdana (hanya ada visi presiden-wapres dan kerja kabinet adalah kerja tim) masih bersifat simbolik. Pesan politik tersebut perlu diolah ulang menjadi seperangkat aturan main, indikator kinerja, dan konsekuensi politiknya. Indikator kinerja ini terkait target pencapaian setiap kementerian, baik itu berupa program prioritas maupun program regular.

Indikator ini harus dipublikasikan sejak awal sehingga publik pun bisa memonitor. Transparansi ini juga bermanfaat untuk mengeliminasi potensi ‘drama politik’ yang tidak lucu seperti seolah-olah ’jadi korban’ ketika seorang menteri diganti di tengah jalan karena gagal mencapai target kinerja, misalnya.

Selain itu, kesepakatan koalisi ini juga perlu mengatur mekanisme resolusi konflik yang mungkin terjadi pada tataran antarpartai koalisi. Konflik ini antara lain bisa terjadi karena perbedaan isu-kebijakan tertentu. Bagaimanapun, partai punya batas-batas tertentu untuk tak terlalu jauh dari preferensi pemilih tradisionalnya. Terlalu mahal secara politik jika kesenjangan pada satu-dua isu kebijakan tertentu menyebabkan kabinet terbelah dan atau harus dirombak ulang. Meski demikian, Presiden juga tak perlu sungkan menggunakan sarana perombakan kabinet jika menteri tak unjuk kinerja dan bahkan membentuk ulang koalisi jika soliditasnya sudah begitu buruk atau malah jadi beban secara politik.

Yang tak kalah penting, aturan main di internal kabinet perlu diformalkan dan bahkan diketahui publik. Belajar dari pengalaman kabinet sebelumnya, perlu ada tata laksana antarmenteri koordinator, antara menteri koordinator dan kementerian teknis yang dibawahinya, dan juga antara menteri dan wamen. Pada dua hal pertama yang disebut, isu kuncinya adalah sinergi dan kolaborasi karena kecenderungan ego sektoral masih tinggi dan atau merasa memiliki back up politik lebih kuat. Untuk yang terakhir, isu kuncinya adalah menghindari kemungkinan terjadinya ‘matahari kembar’ di kementerian dan atau kemungkinan terisolasinya salah satu dari mereka (entah menteri atau wamen).

Kesepakatan koalisi barulah pedoman awal. Kunci keberhasilan pengelolaan kabinet koalisi juga sangat dipengaruhi bagaimana Jokowi mengelola perangkat eksekutif yang dimilikinya. Seperti diingatkan Araujo dkk (2008), manajemen koalisi bersifat hari demi hari. Dalam hal ini, presiden dapat melakukan transfer politik (misalnya jabatan publik lainnya atau dukungan di pilkada), transfer finansial (contohnya; pork barrel) ataupun pemberian konsesi politik sebagai alat melakukan tawar-menawar untuk memastikan stabilitas pemerintah. Stabilitas pemerintah itu penting. Meski demikian, sebagai publik, kita perlu memastikan stabilitas itu tak ditebus dengan biaya tinggi, entah itu berupa pemborosan keuangan negara atau pengebirian atas proses demokrasi, misalnya.

 

Oleh: Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

 

 

Foto: ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)

 

Menyoal Kepemimpinan Jokowi

Sering kita mendengar celetukan bernada sinis yang menyebut SBY itu pemimpin politik yang lamban, namun tak jarang pula kita mendengar decak kekaguman yang dengan gamblang mengatakan SBY adalah pemimpin politik yang matang dalam mengambil keputusan. Pola senada kerap kita dengar manakala orang membicarakan para Presiden Indonesia lainnya, dari mulai Soekarno hingga Jokowi.

Lebih daripada itu, kita juga kerap membaca berbagai ulasan yang melakukan pengandaian. Contohnya, “Kalau presidennya saat ini Gus Dur, kelompok minoritas akan dilindungi penuh oleh negara” atau “Kalau saja Jokowi yang jadi presiden sejak 2004 lalu, kesenjangan infrastruktur antarwilayah tak separah saat ini.”

Dan, tak sedikit dari kita, termasuk saya, sering tergoda untuk mengaitkan personalitas pemimpin politik dengan potensi keberhasilan kepemimpinannya. Pernyataan-pernyataan seperti “Kita butuh presiden yang tegas agar Indonesia kembali berjaya” atau “Kita butuh pemimpin yang kuat agar stabilitas terjaga” terdengar akrab di telinga kita, bukan?

Pokok pesan dari ilustrasi di atas adalah, pertama, kita mudah larut dalam simplifikasi dalam menilai kepemimpinan seorang presiden. Untuk sebagian ini bersumber dari preferensi yang terbentuk, dan untuk sebagian lagi karena peran media yang getol melakukan personalisasi nilai politik.

Celakanya, preferensi tersebut bersifat labil. Tak sedikit yang kini mengidolakan atau sekurang-kurangnya mengagumi Jokowi dulunya juga bersikap yang sama terhadap SBY. Persis sebaliknya, ada pula yang awalnya antusias dengan kemunculan Jokowi tetiba merasa rindu pada kepemimpinan ala SBY yang memberi impresi kuat pada keteraturan atau juga kepada Gus Dur yang memberi impresi siap bersikap frontal terhadap para ‘penumpang gelap’ reformasi.

Kedua, personalitas dan gaya kepemimpinan seorang presiden sering kali dibekukan. Dalam hal ini, misalnya, Jokowi kerap diidentikkan dengan pemimpin yang tak tegas atau SBY lekat dengan asosiasi figur yang sabar.

Namun, dalam momen-momen tertentu, Jokowi nyatanya bisa unjuk diri sebagai seorang pemimpin yang (bisa) tegas, pun SBY bisa menunjukkan kegeramannya secara terbuka. Adanya pergeseran sikap sering mengagetkan dan berujung pada satu dari dua kemungkinan berikut ini: menilainya sebagai pencitraan atau menganggapnya sebagai moment of truth: watak asli yang terungkap.

Ketiga, simplifikasi dan pembekuan karakter merupakan konsekuensi logis dari pengabaian terhadap konteks. Studi-studi kepemimpinan politik kontemporer telah menegaskan pentingnya untuk mempertimbangkan konteks. Ini bukan berarti personalitas tak penting. Saya lebih memahami adanya interaksi antara keduanya. Dan, atas dasar inilah saya hendak mendiskusikan kepemimpinan politik Jokowi sebagai presiden.

Lintasan Politik

Konteks yang saya maksud di sini mencakup dua hal: Posisi Jokowi dalam arus utama gagasan politik dan pembangunan, serta posisinya dalam kekuatan politik. Dari sisi gagasan utama politik, Jokowi menawarkan pembaruan. Ia hendak merekonstruksi (politik) pembangunan sekurangnya melalui tiga gagasan.

Pertama, ia mengusung gagasan pembangunan untuk semua, utamanya memberi atensi khusus pada kelompok masyarakat dan atau wilayah yang selama ini relatif terabaikan. Dan, belakangan ini terfokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan pembiayaan lebih untuk pendidikan (KIP) dan kesehatan (KIS). Kedua, ia berkomitmen mereformasi birokrasi. Belakangan, terlihat fokusnya pada kemudahan pada berinvestasi dan berusaha. Ketiga, ia menggaungkan janji lama tentang kedaulatan ekonomi, politik, dan pembangunan kepribadian bangsa (berdikari).

Gagasan tersebut dianggap sebagai sebuah ‘kebaruan’. Ia diterima publik karena mendobrak ‘kesepakatan diam-diam’ di kalangan elite politik bahwa gagasan-gagasan tersebut tak mungkin dilakukan, setidaknya untuk saat ini.
Bagi Jokowi, pemerataan tidak harus menunggu kekuatan ekonomi mencukupi lebih dahulu. Sebaliknya, ia beragumen, pemerataan (infrastruktur fisik) merupakan jalan membangun kekuatan ekonomi.

Bagi Jokowi, birokrasi tak boleh lagi menyandera publik, ia harus benar-benar jadi pelayan publik. Dan, Jokowi menilai pergaulan antarbangsa harus bertumpu pada identitas nasional yang kuat.

Terkait posisinya dalam kekuatan politik di periode pertama, Jokowi adalah bagian dari kelompok politik yang selama 10 tahun terakhir ini menjadi oposisi. Lebih penting dari itu, pemerintahannya merupakan memiliki kekuatan minoritas di ranah legislatif pada awal kekuasaannya.

Dan, sebagai outsider dalam banyak segi, Jokowi tak bisa mengontrol partai yang menyalonkan dirinya (PDIP) dan relasinya dengan partai pendukung masih berupaya menemukan relasi yang tepat. Ini ada kaitannya dengan posisinya yang bukan ketua partai dan sekaligus ini menjadi pembeda dengan tiga presiden sebelumnya (SBY, Megawati, dan Gus Dur).

Sebagai bonus sekaligus beban, Jokowi memiliki pendamping yang sangat lincah bermanuver dan sekaligus memiliki modal sosial politik yang kuat: Jusuf Kalla. Karakter Kalla yang agresif konon menjadi salah satu alasan SBY memilih cawapres lain pada periode keduanya.

Ketika pemerintahan baru seumur jagung, Jokowi dihadapkan rangkaian ‘pukulan ganda’: Keharusan menaikkan harga BBM, kemelut yang mendera KPK, keriuhan di legislatif, ekonomi global yang mengalami pelambatan. Ketiga hal ini juga pernah dialami SBY.

Bedanya, Jokowi tak berkesempatan ikut menikmati dukungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kala itu, harga-harga komoditas unggulan ekspor (seperti sawit, batubara, coklat, dan lainnya) sedang mengalami masa peak-nya di pasar internasional.

Situasi yang paling membedakan dengan pengalaman-pengalaman presiden sebelumnya setidaknya terkait pada tiga hal berikut ini. Pertama, intensitas politik identitas yang begitu tinggi dan pada saat yang bersamaan Jokowi dibingkai sebagai sosok nasionalis abangan. Ini situasi yang bahkan tak dirasakan Megawati ketika menjadi presiden.

Kedua, peran media dan media sosial yang begitu besar terutama dalam mereduksi secara gila-gilaan berbagai persoalan, sehingga terkesan selalu ada solusi mudah untuk tiap persoalan yang dihadapi pemerintah. Ketiga, disrupsi teknologi yang muncul belakangan mengubah lanskap persaingan usaha di dalam negeri, termasuk mulai menguatnya kecenderungan otomotisasi di sektor manufaktur.

Manuver Kepemimpinan

Dihadapkan pada situasi seperti yang diuraikan di atas, di satu sisi, Jokowi menunjukkan kemampuannya beradaptasi dan bersikap fleksibel. Tidak seperti Gus Dur yang semakin nge-gas ketika diserang lawan dan teman-teman politiknya, Jokowi pada beberapa aspek mengambil sikap seperti SBY.

Jokowi mengembangkan politik akomodatif. Meski tak selalu efektif, Jokowi benar-benar memaanfaatkan apa yang disebut Chaisty dkk (2012) dengan istilah “perangkat eksekutif”. Dus, dari mulai mendistribusikan kursi menteri, menyediakan anggaran kementrian, menggelontorkan pork barrel, melakukan pertukaran kebijakan dengan partai koalisi maupun oposisi, hingga pemberian pengaruh dilakoninya.

Namun di sisi lain, Jokowi juga melakukan perubahan gaya berpolitik dengan semangat ‘membongkar’. Representasi terbaiknya terlihat pada pembubaran Petral, divestasi saham Freeport, dan pengalihan operasi ke Pertamina untuk setiap kilang minyak yang sudah habis masa kontrak karyanya dengan korporasi minyak asing. Meski demikian, Jokowi sering kali belum dianggap berhasil dalam hal reforma agraria dan mengakhiri diskriminasi beribadah.

Terkait dengan hal tersebut, di satu sisi, Jokowi tampil sebagai figur yang bersedia mendengar masukan dari berbagai pihak dan siap mengakomodasi kepentingan mereka. Ini tak jarang membuat kebijakan yang sudah dirilis segera ditunda atau dibatalkan. Contoh terbaru soal penundaan soal pengenaan pajak pada penjualan daring. Namun, harus pula ditegaskan, Jokowi dapat dikatakan relatif mandiri dalam pengambilan keputusan.

Dan, hal itu ada kaitannya dengan sikapnya yang bisa juga, sebut saja, kukuh pada pendirian, jika tak mau disebut keras kepala. Ini, umpamanya, pada pendiriannya yang meyakini bahwa pemerataan pembangunan infrastruktur fisik harus diprioritaskan, meski ada biaya dan risiko politik yang ditanggungnya juga tinggi.

Dan, implikasi praktisnya, Jokowi semakin berorientasi pada output alih-alih pada proses yang ditandai adanya konsultasi dan persuasi dengan para pihak yang terkena dampak. Tak heran jika kemudian sebagian kalangan menjulukinya sebagai pemicu bangkitnya era new-developmentalism.

Kesan ini semakin diperkuat karena Jokowi dinilai oleh sebagian kalangan cenderung konservatif pada isu-isu demokrasi, kebebasan dan hukum. Ini bisa dilihat dari mulai soal keberpihakan pada KPK, mangkraknya penyelesaian beberapa kasus HAM masa lalu, kasus Novel Baswedan, isu ‘kriminalisasi’ berbasis UU ITE, RUU KUHP hingga sikap beberapa kementeriannya yang dianggap gemar mengunakan instrumen blokir dan sensor.

Di isu-isu ini, Jokowi menunjukkan posisinya tak banyak beda dengan arus utama politik para elite politik yang sudah lama mentas di panggung nasional. Menariknya, pada isu terbaru seperti menghidupkan kembali GBHN yang didukung banyak elite lama termasuk Megawati sekalipun, Jokowi secara lantang menyatakan posisinya di sisi publik yang menentang ide tersebut.

Sering kali orang juga melihat kebijakan dan pendekatan kepemimpinan jokowi dalam dua wajah output yang berbeda. Sebagai contoh, pertama, Jokowi amat bergairah mendorong berbagai program populis (KIP, KIS, PKH, dan juga berbagai program afirmasi untuk pondok pesantren dan belakangan KIP kuliah, Kartu Prakerja, Kartu Sembako sebagai contoh yang paling visual, dan populer). Namun, di sisi lain, Jokowi seperti terlihat ‘gelagapan’ dalam menyikapi kurang dana yang dialami BPJS.

Kedua, Jokowi bukanlah tipikal pemimpin dengan daya paksa tinggi dan intimidatif. Ia memimpin dengan memberi contoh dengan harapan anak buahnya mengikutinya. Konsekuensinya, sebagian dari bawahannya seringkali memanfaatkan hal ini sebagai ruang gerak untuk bekerja diluar arahan dan komitmen yang disepakati.

Di level atas, kita beberapa kali disuguhi moment kegaduhan internal di kabinet. Di level paling awam, bagaimana kita bisa melihat perilaku pengawalan mobil sebagian menteri di jalanan yang sering kali malah terasa lebih mengganggu dibanding ketika rombongan RI-1 yang sedang melintas.

Keinginan dan Realita

Dari sisi pemasaran politik, gaya kepemimpinan Jokowi di atas tak ayal memantulkan citra yang ambigu dan sekaligus susah diletakkan pada satu kategori tertentu. Di satu sisi, ia hadir sebagai pembaru, tetapi di sisi lain, ia tampil bak elite politik lainnya.

Di satu sisi, Jokowi mendekati kategori apa yang disebut Kaplan dan Kaiser (2006) dengan istilah field general, yakni pemimpin yang punya determinan tinggi pada pencapaian kinerja, tetapi di sisi lain, ia terkesan mendekati kategori one of troops, yakni pemimpin yang mengutamakan kerja sama, memampukan pihak lain dan tak memaksakan kehendak.

Yang sudah pasti, sejauh ini, Jokowi bukanlah pemimpin yang pandai membangun motivasi melalui kata-kata. Jokowi punya hasrat yang kuat mengembangkan kolaborasi tetapi ia berhadapan dengan berbagai penghalang dari mulai ego sektoral hingga persaingan politik.

Jokowi juga menginginkan partisipasi yang luas dalam proses pembangunan, tetapi ia berhadapan dengan tuntutan pencapaian output, mengejar legacy, dan lagi-lagi juga dihadang resistensi di internal birokrasi. Dan, ini memperburuk lagi dengan ulah para pemujanya yang gemar melakukan konfrontasi dan ingin mengeksklusi pihak lain.

Dalam lima tahun ke depan, pergeseran gaya kepemimpinan Jokowi masih mungkin terjadi. Sebab, ia mengenali kemampuan dan keterbatasannya dan juga harapan yang diamanatkan pada dirinya. Yang juga sudah jelas, Jokowi tak berupaya ingin menyenangkan semua orang dan ia menyadari ada risiko yang harus ditanggungnya dengan pilihannya itu.

 

 

Oleh: Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

Foto: Basith Subastian/kumparan

Jokowi, Kabinet, dan Koalisi

Jokowi akan memulai perjalanan pada periode keduanya. Meski menyatakan tak lagi punya beban, kenyataan politiknya sungguh sangat berbeda.

Kompleksibilitas yang dihadapi bukan tak mungkin akan bertambah banyak dibandingkan periode sebelumnya. Indikasi awal sudah terlihat dalam proses pembentukan kabinet. Mengemuka wacana masuknya parpol pendukung Prabowo-Sandi sebagai bagian dari kabinet yang akan dibentuk. Dari pengalaman Pilpres 2004-2014, kebiasaan parpol “pindah kamar” bukan sesuatu yang baru. Golkar, PAN, PKB, misalnya, “pindah kamar” menjadi bagian dari Kabinet Bersatu I Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004. Di 2009 dan 2014, Golkar juga melakukan hal sama meski pada Pemilu 2014 dilakukan di tengah periode (bersama PAN).

Kali ini kemungkinan adanya parpol “pindah kamar” lebih banyak sorotan dan polemik, paling tidak karena dua hal. Pertama, lebih dari sebelumnya, Pilpres 2019 lebih emosional dan (paling) terpolarisasi. Bagi sebagian pemilih dari kedua pasangan, perilaku “pindah kamar” dianggap pengkhianatan. Kedua, fenomena “pindah kamar” dilihat sebagai kegagalan lain
pelaksanaan pemilu serentak. Pasalnya, dalam keputusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK mengandaikan pemilu serentak menjadi jalan bagi terbentuknya koalisi permanen, negosiasi strategis dan jangka panjang, dan Presiden yang tak bergantung DPR.

Pembubaran Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mengusung Jokowi-Amin, dan Koalisi Indonesia Adil-Makmur (KIAM), yang
mengusung Prabowo-Sandi, secara telak membubarkan harapan MK. Pembubaran ini oleh sebagian pihak juga dijadikan pembenaran “kocok ulang” atau setidaknya menandai kemungkinan adanya lagi parpol yang “pindah kamar” sebagaimana terjadi pada periode-periode sebelumnya.

Namun tanpa ada penambahan partai pengusung pun, Jokowi hampir tidak mungkin menggunakan hak prerogatifnya dalam
membentuk kabinet. Ia tetap harus bernegosiasi dan tawar-menawar. Ini tak terelakkan dalam sistem presidensial banyak partai. Pilihan strategi unilateral (mengedepankan hak prerogatif) dalam membentuk kabinet hanya mungkin dilakukan jika presiden punya cara lain secara konstitusional untuk meloloskan berbagai aturan di legislatif atau mampu memveto UU yang dibuat legislatif (Amorin Neto, 2006)

Dilema Presiden

Dalam hal ini, Jokowi berada dalam situsi dilematis. Di satu pihak, kekuatan parpol pengusungnya (KIM) di legislatif kini
sudah mayoritas (60,7 persen). Namun, ini hanya sedikit diatas apa yang disebut Raile dkk (2009) minimal winning coalition. Secara matematika, Jokowi punya “ketergantungan” pada parpol menengah seperti Nasdem (10,3 persen), PKB (10,1 persen), atau bahkan Golkar (14,8 persen), alih-alih partai kecil seperti PPP (3,3). Pergeseran sikap satu dari tiga partai itu dengan mudah menyeret pemerintah dalam posisi kritis di legislatif. Terlebih harus diingat, disiplin anggota partai di legislatif juga rendah.

Di lain pihak menambah jumlah anggota koalisi partai pendukung dalam kabinet juga tak memberi jaminan adanya konsistensi dukungan di DPR. Asumsi adannya partai pemerintah yang diikuti adanya disiplin partai dan disiplin anggota partai di legislatif hanya berlaku di sistem parlementer. Sebagai mana disebut Cheibub dkk (2004), sangat keliru
berasumsi koalisi di kabinet berarti juga berkoalisi di DPR. Situasi itu sudah pernah dialami SBY, pada periode keduanya. Meski membentuk koalisi gemuk, pemerintahannya sering diganjal anggota koalisinnya sendiri di DPR.

Sementara jaminan konsistensi dukungan di DPR masih diragukan, penambahan jumlah anggota koalisi niscaya meningkatkan biaya memerintah. Biaya ini terdiri dari komoditas koalisi (kursi menteri dan anggaran di kementerian) dan alokasi dana untuk pork barrel. Menurut Periera dkk (2006), biaya memerintah ini akan kian tinggi manakala pertama, jumlah anggota koalisi kian banyak. Kedua, rentang ideologi antarparpol pengusung kian lebar. Ketiga, tatkala distribusi kursi menterinya makin tidak proporsional dengan kekuatan parpol tersebut di legislatif.

Dalam kasus Jokowi, dua faktor pertama sudah terpenuhi. Jumlah partai koalisinya saat ini sudah cukup banyak, lima di DPR
dan lima lagi yang non-kursi DPR. Rentang ideologinya juga lebar dari yang nasionalis (PDI-P, Nasdem, Golkar, PSI, Perindo, PKPI, Hanura), berbasis Islam (PKB, PPP, PBB). Faktor ketiga juga terpenuhi jika terjadi penambahan partai pendukung baru di kabinet. Hal ini otomatis akan membuat alokasi buat partai di KIM berkurang, setidaknya tak lagi sebagaimana diekspektasi sebelumnya. Kesengajaan ekspektasi ini tentu saja butuh kompensasi lain.

Dan, sungguhpun berbagai faktor diatas dapat diantisipasi, kemungkinan ketaksolidan di kabinet ataupun legislatif tetap terbuka. Sebagai petahana, Jokowi tak lagi punya periode berikutnya sebagai pemikat dan pengikat parpol pendukung. Ini terkait tarikan Pemilu 2024. Sebagaimana dikatakan Altman (2000), potensi kabinet koalisi pecah kongsi dapat terjadi karena mendekatnya waktu pemilu, selain faktor keragaman ideologi dan perasaan diperlakukan tidak adil. Dalam kasus Indonesia, dorongan melakukan kampanye dini justru kian kuat. Jeda diantara dua pemilu kian dimaknai sebagai ruang kampanye yang lain alias berlangsungnya kampanye permanen.

Meski jadi bagian dari partai yang memerintah, parpol selalu merasa efek elektoralnya tak cukup berarti meski pemerintah dapat dikatakan berhenti menunaikan janji-janji kampanyenya. Karena itu, mereka merasa perlu berancang-ancang sejak dini. Ada kebutuhan memperbaiki perolehan elektoralnya dan sekaligus memperkuat asosiasi dengan capres yang berpotensi memenangi pilpres berikutnya. Atau bahkan menyiapkan kadernya sendiri untuk jadi presiden/wapres berikutnya.

Tarikan ini mengharuskan parpol memperbarui diri, termasuk mengelola ulang pemosisian politiknya. Hal ini sedikit banyak berpotensi membuat parpol pengusung Jokowi akan lebih sering berbeda sikap dengan pemerintah dalam sejumlah isu/kebijakan di DPR. PKB, misalnya, akan siap bersimpangan jalan ketika pemerintag mereka nilai merugikan kepentingan (ekonomi) nahdliyin. Ini pernah terjadi dalam polemik penggunaan cantrang.

Terkait penambahan anggota koalisi dan tarikan 2024, faktor figur menteri juga bisa jadi sumber masalah lain. Dalam
konteks politik simbolik (kehadiran menteri dari kalangan muda) atau sebagai bagian negosiasi dukungan. Jokowi bukan tak mungkin merekrut figur menteri yang (merasa) punya prospek jadi capres atau minimal cawapres di 2024. Kehadiran figur
seperti ini buka tanpa potensi masalah. Skenario terbaiknya, para menteri yang punya prospek di 2024 ini akan tancap gas
unjuk kinerja sebagai modal awal kampanye. Mereka akan jadi ikon baru dan meningkatkan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Skenario terburuknya, menteri tipe ini akan memanfaatkan sumber daya kementeriannya guna menjalankan agenda mereka sendiri. Termasuk menyiapkan strategi keluar dengan memosisikan diri sebagai orang “lurus” atau “terzalimi”.

Manajemen Koalisi

Dihadapkan pada situasi pelik seperti ini, Jokowi bukan tanpa jalan keluar. Kuncinya, kemampuan mengelola koalisi maupun oposisi. Ia perlu mengaktivasi perangkat eksekutif secara tepat. Chaisty dkk (2012) mengelompokkan perangkat eksekutif itu dalam lima kluster: kekuasaan agenda politik (kekuasaan legislatif yang diberikan pada presiden/dekrit), otoritas anggaran (kontrol atas belanja publik) manajemen kabinet (pendistribusian kursi menteri), kekuasaan partisan (pengaruh presiden terhadap satu atau lebih partai koalisi), institusi informal (kategori lain yang sesuai konteks tiap negara).

Perangkat eksekutif ini sumber daya koalisi yang dapat dipertukarkan kepada partai yang memerintah ataupun oposisi.
Manuver parpol pengusung (KIM) ataupun kompetitor (KIAM) juga berkenan dengan ketersedian sumber daya koalisi ini. Manuver yang dikomunikasikan ke publik belum tentu merupakan target sebenarnya. Pada titik ini, manajemen koalisi selayaknya tak berhenti dan dimaknai sebatas transfer politik (terutama bagi- bagi kursi menteri). Jokowi punya opsi perangkat eksekutif lain yang bisa dipertukarkan sebagai ganti dukungan kebijakan atau meloloskan aturan di legislatif.

Pertama manajemen koalisi bersifat harian dan bukan proses sekali jadi. Kursi menteri merupakan investasi sekali waktu.
Menghadapi dinamika politik dari hari ke hari, Jokowi bisa memainkan perangkat eksekutif lain, seperti anggaran kementerian, posisi jabatan publik lain (kepala badan atau jabatan publik lain), dukungan politik (dalam konteks pilkada), dan melakukan konsesi politik. Jika dirasa kabinet mulai “lesu darah” atau mengatasi guncangan dari luar, Jokowi dapat memaikan kartu reshuffle. Patut dipertimbangkan untuk mempercepat pembentukan kabinet baru lewat reshuffle. Pembentukan kabinet dini setidaknya punya dua keuntungan: (a) akselerasi kerja bisa dilakukan tanpa harus menunggu pelantika Oktober, (b) reshuffle dibutuhkan untuk mengatasi situasi kelumpuhan birokrasi atau perlawanan pihak lain karena adanya persepsi menteri di kementerian itu tak akan dipilih lagi.

Kedua, transfer perangkat eksekutif bukanlah tujuan akhir berkoalisi. Ini hanya sarana untuk menciptakan pemerintahaan efektif guna memenuhi janji-janji kampanyenya. Dalam hal ini, jokowi juga bisa memainkan kartu co- extensive, yakni koalisi bersama oposisi di legislatif ketika ada anggota koalisi di kabinet yang justru mengambil posisi berseberangan dengan sikap pemerintah (Cheibub dkk, 2004). Dengan kartu ini, Jokowi bisa punya daya tawar tinggi untuk mendorong konsistensi dukungan parpol koalisinya di kabinet. Partai oposisi yang memainkan kartu ini juga diuntungkan karena bisa menangguk asosiasi terhadap regulasi dan kebijakan tertentu. Dengan kampanye yang tepat, asosiasi yang terbentuk akan memperkuat kredibilitas partai oposisi tersebut sebagai partai yang dapat diandalkan jika kelak menjadi partai yang memerintah.

Ketiga, untuk mempertahankan konsistensi dukungan dari partai koalisinya di kabinet, Jokowi juga bisa memainkan kartu legasinya. Dalam artian ini, efek positif keberhasilan atau kegagalan pembangunan perlu ditransfer ke individu menteri dan
juga parpol, tak semuanya terakumulasi pada sosok presiden. Contoh terbaik, meski tak sepenuhnya sempurna, adalah kiprah Susi Pudjiastuti memerangi pencurian ikan (illegal fishing). Jika menteri dan atau parpol dapat memanfaatkan program pemerintah untuk membangun issue ownership atau menjungkit reputasinya, legasi Jokowi bukan sekedar program, melainkan juga gaya kepemimpinan yang bersifat terbuka dan mendorong orang lain berkembang bersama.

Melampaui negosiasi

Pengelolaan koalisi seperti diurai diatas merupakan situasi normal dalam konteks sistem presidensial banyak partai yang
bertumpu pada kemampuan negosiasi dan tawar-menawar. Pokok terpentingnya, Jokowi ataupun partai tak melakukannya sekedar untuk bagi-bagi kekuasaan dan atau melampaui “batas kelelahan” rata-rata masyarakat terhadap sepak terjang para elite politik.

Karena itu, Jokowi perlu “setia” setidaknya peda sejumlah agenda politik publik yang sekurangnya meliputi dua: kebebasan dan kedaulatan serta perlawanan pada korupsi.

Yang pertama berkaitan dengan unjuk kebijakan dan sikap politik yang memastikan pemerintahannya akan terus melindungi kebebasan berekpresi, tak menggunakan cara top-down untuk menggusur masyarakat dari lahannya atas nama pembangunan.

Yang kedua, pemerintah perlu unjuk sikap memastikan akan memerangi setiap upaya terorganisasi untuk membonsai KPK, dan memperkuat pengawasan secara institusional, baik meliputi organ pegawasan internal di birokrasi maupun memfasilitasi komisi negara seperti KPK, Ombudsman, KPPU, KIP, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dan juga Komnas HAM.

Tanpa unjuk komitmen terhadap nilai-nilai kehidupan yang demokratis dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional, proses negosiasi dan tawar-menawar untuk mewujudkan pemerintahan efektif akan berakhir pada kegagalan. Sebab, di satu pihak, sentimen publik akan merosot dan bahkan berlanjut pada aksi-aksi perlawanan, dari mulai sekedar membuat petisi, mengelar aksi masa, hingga pembangkangan sosial. Di lain pihak, partai pendukung juga akan bersiasat agar tak terkena sentimen negatif yang dapat merusak elektabilitasnya di 2024.

Dan, pada gilirannya ini akan menambah beban pemerintahan. Pilihan yang tersedia tak banyak dan tak mudah, tetapi peluang mendulang keberhasilan selalu terbuka. Dimulai dengan memilih figur menteri yang tak berpotensi jadi duri dalam daging di internal kabinet dan atau terkesan melecehkan rasionalitas dan etika publik.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 13 Agustus 2019

 

Foto dok Merdeka(dot)com

Saat Pilih Menteri, Jokowi Harus Jadi Presiden, Bukan Pemimpin Koalisi

Presiden terpilih Joko Widodo kini sudah disibukkan dengan pengisian susunan menteri untuk kabinet 2019-2024 bersama Ma’ruf Amin. Pertanyaan yang seringkali muncul di ruang publik adalah: siapa saja menteri Jokowi? bagaimana pembagian ‘jatah’ menteri di internal koalisi Jokowi-Ma’ruf? Lalu bagaimana jika Gerindra, Demokrat, dan PAN masuk ke koalisi? Akankah jatah partai yang sejak awal mengusung terpangkas?

Menurut saya, ada baiknya pelantikan kabinet baru Jokowi-Ma’ruf didahului dengan reshuffle kabinet yang digelar sekarang. Mengapa reshuffle kabinet penting dilakukan sekarang? Pertama, untuk memotong potensi terjadinya efek ‘bebek lumpuh’ atau lame duck effect. Apa itu ‘bebek lumpuh’? Efek ini terjadi ketika calon petahana kalah, secara de jure pemerintahan memang masih berjalan, tapi secara de facto pemerintahan sudah kehilangan wibawa sehingga kementerian tidak berjalan efektif. Jadi, dari April hingga Oktober, pemerintahan tidak berjalan dengan optimal. Seperti ‘bebek lumpuh’. Jokowi memang menang, tapi potensi ini masih tetap ada. Kecenderungannya, efek ‘bebek lumpuh’ terjadi di kementerian yang merasa menterinya akan diganti. Jadi pegawai-pegawai kementerian sudah malas-malasan karena tahu bos mereka akan diganti.

Untuk memangkas kemungkinan ini, reshuffle kabinet bisa dilakukan sekarang. Jadi kementerian yang menterinya sudah pasti akan dicopot, ada baiknya diganti dari sekarang, tak harus menunggu bulan Oktober. Lagipula, menurut saya, bagus kalau hingga Agustus sudah ada menteri baru. Artinya, semangat akselerasi yang digaungkan Jokowi saat menyampaikan pidato visi dan misi di Sentul sungguh terlaksana. Pun, menteri baru ini akan terlibat langsung dalam penyusunan anggaran untuk RAPBN 2020. Jadi sungguh menarik kalau kemudian pembentukan kabinet didahului dengan reshuffle kabinet.

Reshuffle menjelang pembentukan juga bisa dijadikan cara untuk memberikan privilege lebih kepada parpol yang mengusung Jokowi sejak awal. Sekaligus, membuktikan kompetensi menteri yang didorong oleh koalisi Jokowi-Ma’ruf. Menurut saya, Jokowi bisa saja menampung kandidat menteri dari lima partai yang sejak awal mendukungnya jika melakukan reshuffle sebelum pembentukan kabinet. Untuk partai baru yang ingin bergabung, toh masih ada waktu bulan Oktober. Lagipula, memasukkan menteri dari parpol pengusungnya sejak awal dengan melakukan reshuffle saat ini bisa menjadi semacam masa percobaan, alias probation. Jadi, Jokowi bisa saja bilang ke partai-partai pengusung: saya kasih bonus 3 bulan, saya kasih jatah dulu. Buktikan di waktu 3 bulan ini. Kalau bagus toh akan dilanjutkan, kalau jelek ya nanti tinggal saya ganti di bulan Oktober saat pelantikan kabinet baru dengan menteri dari kalangan profesional. Kompromi dengan partai pengusung bisa dilakukan saat ini.

Selain itu, soal pengisian kabinet, ada beberapa catatan yang harus diingat oleh Jokowi. Pertama, pengisian kabinet toal aak lain dan tak bukan adalah perdebatan klasik antara jatah menteri dari partai dan non-partai. Saya sepakat bahwa partai pasti harus dapat karena kita tak bisa menafikan bahwa mereka ikut berjuang dalam pemenangan.

Namun, Jokowi harus memastikan bahwa menteri yang didorong oleh partai benar-benar bisa bekerja secara profesional. Misalnya, Jokowi harus memastikan bahwa menteri yang merupakan pejabat teras parpol harus meletakkan jabatannya di partai. Ini toh sudah disampaikan Jokowi di awal pemerintahannya di periode pertama. Seorang menteri tentu harus fokus dan total membantu Presiden.

Catatan kedua, Jokowi harus memastikan bahwa ia tak memberikan cek kosong dalam penentuan kader mana dari sebuah partai yang menjadi menteri. Perlu diingat bahwa logika kepala eksekutif pemerintahan dan logika parpol itu berbeda. Parpol pasti bicara senioritas, siapa yang lebih berkeringat, siapa yang punya jabatan lebih tinggi di partai. Tapi Jokowi harus bicara pengisian kabinet sebagai seorang kepala pemerintahan, bukan sebagai pemimpin koalisi.

Di sinilah makna prerogatif diuji. Artinya, partai harus menyerahkan ke presiden mau ditempatkan di pos mana pun kadernya itu. Partai hanya sebatas memberikan list nama, Jokowi bisa mengembalikan list tersebut kapan pun jika nama yang diberikan dianggap tidak kompeten. Saat memberikan nama, parpol harusnya memberikan argumentasi soal kompetensi, kapabilitas dan rekam jejak, bukan hanya soal senioritas atau apakah ia telah berjuang selama kampanye.

Selain itu, Jokowi juga jangan sampai terjebak dengan istilah menteri milenial atau menteri muda hanya pada tataran simbol. Betul kita butuh darah muda, kaum milenial harus diberikan kesempatan lebih karena merekalah penguasa knowledge di era digital, akan tetapi mereka sungguh perlu diseleksi karena menteri muda perlu memiliki beberapa kemampuan juga untuk duduk di jabatan politik.

Saya khawatir istilah menteri milenial atau menteri muda hanya menjadi ‘gincu’ politik yang malah menjadi beban, bukan aset. Jangan sampai dalam pengisian kabinet, yang penting asal ada yang muda. Sebab, jabatan kementerian itu bukan hanya butuh kemampuan akademik, tapi juga butuh kemampuan organisasi yang baik, komunikasi parlemen yang baik. Jangan sampai hanya jadi ‘gincu’ politik saja.

Catatan lain buat Jokowi, saat menentukan jatah kementerian bagi parpol, ia jangan terjebak dengan logika bahwa partai tertentu harus dapat jatah pos tertentu karena sesuai dengan ideologi atau programnya.

Catatan saya, di Pileg 2019 tidak ada satu partai pun yang memiliki positioning jelas ke isu tertentu. Hampir tak bisa dibedakan program partai nasionalis dan agamis. Jadi sungguh tak tepat mendikotomikan jatah menteri ke partai berdasarkan program, keahlian atau tradisi sebuah partai. Pembagian harus betul-betul didasarkan pada kompetensi sosok yang diajukan, bukan berdasarkan klaim partai untuk mendapatkan pos tertentu.

 

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Foto dok Biro Pers Sekretariat Presiden

 

 

Sumber: Kumparan

Pembelajaran dari Pilpres 2019

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 yang  diajukan pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Resmi sudah, Jokowi-Amin  akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024

Dalam pernyataan persnya, Prabowo menyatakan menghormati keputusan MK.  Meski demikian, ia masih membuka kemungkinan menempuh jalur konstitusional  lain. Di kalangan pendukungnya, reaksinya beragam. Sebagian memilih move
on. Sebagian lagi bergeming. Mereka kukuh dengan pendiriannya bahwa pemenang pilpres melakukan kecurangan.

Narasi curang dipupuk sejak awal masa kampanye dengan rupa-rupa argumen. Narasi curang pula yang jadi pendorong sebagian pendukung 02 melakukan berbagai penolakan hasil pilpres yang berbuntut kerusuhan Mei lalu.

Buah strategi

Keteguhan sikap di sebagian pemilih Prabowo-Sandi adalah implikasi wajar  dan strategi kampanye. Dalam konteks ini, pasangan 02 memanfaatkan betul modal dasar dari luberan Pilpres 2014 dan juga Pilkada DKI 2017. Karena menghadapi petahana mereka juga menyoal kinerja ekonomi. Ini pilihan yang masuk akal. Sebab, di berbagai survei, di bidang inilah tingkat kepuasan pemilih terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla paling rendah diantara bidang-bidang lainnya. Hasilnya, trilogi isu andalan: agama (kriminalisasi ulama dan atau bagian dari PKI), ekonomi (kegagalan dan atau ketakberpihakan di bidang ekonomi), serta etnisitas (dominasi etnis Tionghoa dan atau ancaman aneksasi China)

Trilogi isu ini dipasarkan dengan pendekatan emosional negatif (terutama rasa marah). Menurut Steenbergen dan Ellis (2006), rasa marah hanya terpicu jika mampu menunjukan bahwa politisi yang punya wewenang tak mau dan atau tak mampu menangani masalah yang dipersoalkan. Terutama soal ekonomi dan moralitas. Dalam konteks Pilpres 2019, pendukung Prabowo-Sandi merentangkan tanggung jawab petahana secara luas sehingga setiap hal dan di berbagai bidang yang dianggap keliru ada kesalahan atau bencana selalu berujung :”semua salah Jokowi”.

Sebagian pemilih 02 menginternalisasi trilogi isu dengan cara melakukan rasionalisasi pilihan. Sebagaimana disebut Lodge dan Tober (2007), rasionalisasi itu dilakukan dengan memberikan penilaian lebih kuat (baca: lebih positif) pada isu yang konkruen dengan yang mereka yakini sebelumnya. Sekaitan itu, pemilih juga termotivasi mencari informasi yang  selaras dengan apa yang mereka yakini dan mengabaikan yang tak konkruen dengan apa yang mereka yakini (conformation bias). Dan, menerima tanpa sikap kritis setiap informasi yang konkruen dengan keyakinan yang sudah  ada sebelumnya. Sebaliknya, memeriksa secara cermat dan atau memberi  penilaian secara tak adil pada informasi yang tidak konkruen dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya (disconfirmation bias).

Sebagai konsekuensinya, pemilih yang mempunyai keyakinan kuat terhadap sesuatu hal akan bersikap lebih ekstrem ketika dihadapkan kepada informasi yang bersifat pro dan kontra karena mereka mengabaikan yang tak konkruen dan menerima begitu saja informasi yang selaras dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya (attitude polarization). Pokok pentingnya, rasionalisasi ini lebih kuat terjadi pada orang-orang yang memahami secara mendalam tentang isu-isu politik daripada yang kurang memiliki pengetahuan dan atau penalaran yang canggih tentang isu-isu politik.

Strategi lain yang diterapkan Prabowo-Sandi adalah menggencarkan kampanye negatif. Ini strategi generik dalam setiap pemilu dan kubu Jokowi-Amin juga melakukannya. Kampanye negatif diyakini mampu mendorong pemilih yang sebelumnya lebih condong ke kandidat lawan bergeser preferensinya, minimal jadi golput. Kampanye negatif juga diniatkan memengaruhi swing voters agar punya penilaian negatif terhadap kompetitor. Masalahnya, kampanye negatif tak selalu mendorong pemilih menelusuri informasi lebih lanjut dan atau menurunkan partisipasi pemilih. Temuan Klein dan Ahluwalia (2005), misalnnya, menunjukkan pesan-pesan negatif hanya efektif pada pemilih yang memang sebelumnya tak suka terhadap kandidat yang jadi sasaran pesan negatif itu. Temuan Meffert dkk (2006) juga menunjukkan, pesan-pesan negatif bisa diresepsi dengan cara sebaliknya. Pemilih justru menilai buruk terhadap pesan negatif ini dan atau mendiskon (kredibilitas) pesan- pesan itu.

Meski demikian, pesan negatif bukan berarti tak ada gunanya. Menurut Redlawsk dkk (2010), kegagalan pesan negatif bekerja mempersuasi pemilih lebih dikarenakan tak mencapai apa yang disebutnya sebagai tipping poin affection. Ketika titik kritis untuk melenting ini tercapai, pemilih akan terdorong untuk mengevaluasi ulang preferensinya. Disinilah peran utama kabar bohong yang berperan bak “obat kuat”. Dalam konteks Pilpres 2019, pesan-pesan negatif lebih banyak bermuatan kabar bohong. Intensitasnya tinggi dan perluasan temanya dalam. Derasnya semburan kabar bohong juga buah dari sikap pemilih yang melakukan disconfirmation bias.

Sepanjang pesan itu selaras dengan apa yang mereka yakini dan atau menguntungkan capres mereka, akurasi konten tak lagi dipersoalkan dan karena itu juga dengan cepat dibagikan di berbagai medium komunikasi, terutama medsos dan media percakapan. Tak heran, jika hingga taraf tertentu, kampanye negatif berhasil memengaruhi evaluasi sebagian pemilih atas kandidat capres, terutama Jokowi-Amin. Untuk mencegah pesan negatif dan kabar bohong melampaui titik kritis melenting, Jokowi secara aktif melakukan berbagai aksi simbolik untuk menunjukan dirinya Muslim taat dan juga dekat dengan ulama. Di tingkatan pendukung, pemilihnya juga ikutan memasarkan pendekatan emosional yang negatif. Mulanya, mendorong terbangunnya rasa cemas yang lebih umum (misalnya: adanya ancaman terhadap demokrasi atau kebebasan). Belakangan rasa takut dibangkitkan dengan menonjolkan peran dan agenda dari kelompok terorganisir (HTI, FPI, dan lainnya) yang menjadi bagian pendukung Prabowo-Sandi.

Pada skala tertentu, respon pendukung 01 terhadap serangan opini yang dilancarkan kubu (pendukung) 02 justru mengentalkan keyakinan di sebagian pemilih Prabowo-Sandi bahwa Jokowi dan atau para pendukungnya adalah  “musuh-musuh secara ideologis”. Fakta bahwa cawapres Jokowi seorang ulama dan juga ketua MUI tak menghalangi keyakinan itu. Sebaliknya, sikap pemilih 02 juga meningkatkan eskalasi kemarahan di sebagian pendukung Jokowi-Amin. Setidaknya ada dua isu yang memicu kemarahan ini. Pertama, presentasi diri sebagian kelompok pendukung 02 bahwa merekalah yang  Islam-nya paling benar. Dan, penjulukan kafir atau sesat ke setiap orang atau golongan yang tak sepaham dengan pendirian mereka. Kedua, penjulukan sosial. Persisnya, Jokowi-Amin diidentikan dengan istilah “dungu” dan atau karena butuh nasi bungkus atau uang transpor.

Berbagai kesamaan

Secara umum dapat dikatakan , pemilih 01 dan 02 berbagi kesamaan dalam sejumlah hal. Pertama, mereka sama-sama meyakini telah melakukan pilihan tepat. Mereka meyakini itu karena merasa disarkan informasi akurat dan  argumentasi kuat. Yang mereka abaikan adanya bias preferensi awal yang memengaruhi cara mereka mengolah informasi yang datang belakangan. Berbekal keyakinan ini mereka mulai memiliki kawajiban mulia untuk “meluruskan” pemilih lawan yang dinilainya keliru atau terpedaya. Penolakan dari pemilih kompetitor menstimuli kemarahan baru. Dan, ini menjadi personal sifatnya karena yang kemudian dipersoalkan adalah sikap dari teman, kolega atau kerabat.

Kedua, sebagai lanjutan dari aktivasi merasionalisasi pilihan, sebagian pemilih yang dapat digolongkan sebagai die hard menjelma menjadi pemuja. Mereka menganggap capres pilihannya sang “juru selamat”. Disadari atau tidak, baik Jokowi maupun Prabowo meresonansinya. Sekurangnya mereka melakukan hal itu untuk memastikan dan memelihara dukungan dari para pemilihnya. Terkait ini, para pemuja di kedua kubu sama-sama tak menyukai pemilih kritis yang sekubu dengan mereka, karena pemilih kritis tak sungkan mengkritik capres dan memperolok-olok perilaku para pemuja. Bedanya, pemilih kritis di kubu 01 lebih ekspresif dan terbuka mengumbar kritik dan olok-olok itu, sementara pemilih kritis di 02 lebih sering melakukannya di forum terbatas.

Lebih daripada itu, ketiga, di sebagian pemilih 01 ataupun 02 juga tumbuh semangat “yang penting menang dulu”. Implikasi praktisnya, mereka memaklumi dan bahkan turut memberikan pembenaran atas perilaku capres masing-masing meski secara personal bertentangan dengan standar mereka. Pada tingkat gagasan, mereka juga mengadopsi gagasan capres yang mereka
dukung meski sebelumnya bisa jadi justru beroposisi terhadap kebijakan itu. Perilaku ini yang menjelaskan mengapa sebagian pemilih tiba-tiba terlihat tak konsisten dengan ucapan/sikap yang selama ini ditunjukkan ke orang lain.

Keempat, ada sebagian pemilih dari kedua kubu yang melakukan pemosisian ulang dalam memaknai konstetasi Pilpres 2019. Ini terjadi ketika rasionalisasi atas pilihan mereka mengalami gangguan. Terpaan berbagai informasi dan atau perubahan sikap capres membuat mereka merasa capres yang didukung bukanlah figur tepat untuk dipilih. Tapi untuk berbalik arah
atau golput, mereka juga tak mungkin melakukan karena berbagai alasan. Dalam situasi seperti ini, mereka memosisikan pilpres tidak lagi soal 01 vs 02, tetapi konstetasi nilai-nilai dan atau pertarungan antara kelompok mereka dan kelompok yang diposisikan sebagai musuh. Sebagian pemilih 02, misalnya, belakangan memaknai pilpres sebagai medan pertempuran untuk
membela agama atau ulama. Di kalangan pemilih 01, ada yang meyakini pilpres ini pertaruhan menyangkut masa depan keberagaman dalam beragama atau kebhinekaan dalam berbangsa..

Cara pandang ini menjadi energi baru dan sekaligus perisai ketika menghadapi informasi yang tak konkruen dengan apa yang sebelumnya mereka yakini. Meski berisiko terlalu berlebih-lebihan, transformasi cara pandang ini bisa juga dianggap sebagai sebuah pembajakan ruang kontestasi. Salah satu implikasinya: pergeseran komando. Arahan dan imbauan capres akan diabaikan jika tak sejalan dengan kepentingan (baru) yang mereka yakini sedang diperjuangkan.

Kenormalan baru

Konsekuensi logis dari “pembajakan” ruang kontestasi adalah terbukanya ruang bagi kelompok-kelompok kepentingan politik-ekonomi melakukan manuver politik. Mereka tak saja mendistorsi perhelatan demokrasi, tapi sangat mungkin juga malah menginisiasi berbagai aktivitas yang memungkinkan dilakukannya berbagai tindakan non-demokrasi, seperti kerusuhan dan
pembunuhan. Lebih daripada itu, perkubuan yang mengeras di sebagian pemilih membuat ketegangan politik tak mereda meski pemilu sudah berakhir. Sekurangnya, ada dua sumber yang berpotensi memicu ketegangan ini. Pertama, kolompok pendukung Prabowo yang terorganisasi dan atau tersatukan dengan narasi seputar “membela agama dan atau membela ulama”. Sebagai kelompok kepentingan, pelibatan dalam dinamika politik tak saja berguna untuk mendesakkan agenda politiknya, tetapi bermanfaat sebagai sarana “merawat” dan “mengembangkan” mesin politiknya. Pada titik ini, pertemuan kepentingan dengan para “penumpang gelap” yang punya motif ekonomi atau politik dapat saja terjadi.

Pemicu kedua berasal dari para pemilih 01 dan 02 yang sudah tak merasa terkait dengan pilihannya. Ini terjadi jika pemerintahan Jokowi-Amin mereka nilai sudah terlalu “pragmatis” dan atau membuka ruang bagi berlakunya pembatasan demokrasi. Mereka memang tak mampu secara langsung menggerakkan massa, tetapi mampu memengaruhi pembentukan opini publik, terutama di jalur media massa atau medsos. Pemicu ketiga berasal dari kontestasi di elit politik sendiri. Titik masuknya bisa saja soal komposisi dan atau “jatah” dalam kabinet. Namun, juga bisa karena proyeksi kontestasi Pemilu 2024 yang terlalu dini. yang terakhir ini memicu potensi “ketakdisiplinan”, baik di tubuh kabinet maupun di parlemen.

Dus, tak ada pilihan mudah bagi Jokowi-Amin. Pilihan-pilihan yang terlalu jauh dari daya terima rata-rata pemilih harus dihindari. Pilihan, membentuk kabinet “super pelangi” alias mencakup hampir semua peserta pemilu, misalnya selain tak disukai juga tak menjamin terciptanya kondisi politik yang positif. Tapi, pada saat yang sama, Jokowi perlu menunjukkan
kepemimpinannya dengan berani mengambil keputusan yang tak populer demi memelihara kesatuan dan keberagaman berbangsa maupun dalam konteks untuk melentingkan daya saing bangsa. Singkatnya, keriuhan akan terus terjadi. Dan, inilah kenormalan (baru) dalam perpolitikan di Tanah Air. Selamat mengarunginya.

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 5 Juli 2019

Pilpres 2019: Strategi Lama, Konten Baru

Hampir genap dua bulan kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 resmi bergulir. Alih-alih diramaikan oleh konstetasi gagasan (baca: arah pembangunan dan gagasan), jalannya kampanye saat ini lebih disesaki kampanye negatif dan kabar bohong.

Jika ditilik lebih jauh, kedua pasang kandidat secara umum terkesan seperti terkunci dengan strategi kampanye (pilpres) mereka pada 2014. Bukan hanya pengulangan, bahkan terjadi pendalaman dan perluasan. Jika dipadatkan, kedua kandidat sama-sama berusaha menerapkan emotional branding.

Dalam literatur pemasaran, emotional branding berfokus pada upaya menggugah perasaan dan emosi pemilih. Untuk itu kandidat sebagai brand politik harus mendemonstrasikan pemahamannya terhadap gaya hidup, aspirasi, dan inspirasi pemilih melalui pilihan narasi dan taktik komunikasi yang dilakukannya. Pemilih akan merasa terberdayakan dan terhubung. Dus, pada gilirannya membangun perasaan berkomunitas dan menumbuhkan solidaritas.

Pendalaman dan Perluasan

Pilihan tetap menjalankan strategi lama ini dapat dipahami. Secara makro, tidak terlalu banyak perbedaan yang fundamental tentang posisi kebijakan kunci. Dengan narasi berbeda, Joko Widodo dan Prabowo Subianto sama-sama menawarkan Indonesia yang digdaya, mampu berdikari, peran besar BUMN, pemerataan pembangunan, pengendalian konglomerasi, dan pemihakan kepada rakyat (rentan) miskin dengan beraneka aliran subsidi. Seperti dinyatakan Dean dkk (2015), ketika tidak ada perbedaan ideologi atau visi kebijakan yang terlalu jauh, ruang konstetasi untuk membangun diferensiasi adalah pada tawaran daya tarik emosional yang diajukan

Lebih daripada itu, polarisasi Pilpres 2014 secara bertahap telah membentuk basis pemilih yang kuat. Dalam kasus Prabowo, pemilihnya berproses bersama momen-momen politik sebelum Pilpres 2019. Tidak berlebihan menyatakan bahwa telah tumbuh rasa solidaritas dan satu komunitas dengan militansi tinggi di kalangan basis pemilihnya. Yang menjadi penggerak dan perekatnya bukanlah perioritas figur Prabowo melainkan pada isu-isu yang dimainkan. Persisnya isu-isu terkait politik identitas.

Hal yang sama terjadi pada Jokowi. Pendukungnya pun solid, tetapi belum sampai pada taraf memiliki rasa berkomunitas. Mereka terpilah-pilah dalam berbagai kelompok yang bahkan untuk sebagian punya sikap dan pandangan yang saling berlawanan. Yang jadi perekat dan penggerak mereka adalah figuritas Jokowi.

Pada Pilpres 2019, keduanya masih bertumpu pada hal yang sama: Prabowo dengan isu-isu politik identitasnya dan Jokowi dengan pesona personalitasnya. Untuk memelihara dan mengembangkan basis pemilihnya ini, kedua kandidat menggugah perasaan antusiasme di kalangan pendukungnya. Antusiasme memungkinkan pemilih berada dalam situasi yang dikenalinya dan karenanya mendorong atau menguatkan sikap partisannya (MacKuen dkk, 2007)

Perasaan antusiasme meliputi harapan kebanggaan, dan simpati (Marcus dan MacKuen, 1993). Kubu pendukung Prabowo terutama membangkitkan harapan akan kemenangan. Dan, ini sudah dimulai jauh hari sebelum kampanye resmi pilpres melalui tagar #2019gantipresiden. Ini diikuti dengan beberapa kemenangan pilkada yang kandidatnya juga mengusung tagar yang sama dan yang terpenting menggunakan pendekatan isu yang sama: isu-isu berbasis indentitas, seperti terjadi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatera Utara.

Sebaliknya, antusiasme pendukung Jokowi lebih merupakan respons terhadap harapan yang ditumbuhkan kubu Prabowo. Tagar #Jokowi2periode dan sejenisnya menjadi representasi simbolik kebanggaan pemilih atas pilihan politiknya, sekaligus merupakan wujud kekhawatiran kubu pendukung Jokowi yang mengantisipasi gerakan kampanye dini ini. Seperti dikatakan Just dkk (2007), harapan di satu pihak menumbuhkan kekhawatiran/ketakutan di pihak lain. Secara keseluruhan, terlihat tendensi strategi dasarnya. Kubu pendukung Prabowo tidak bertumpu pada figuritas Prabowo, tetapi pesan simbolik dari tagar #2019gantipresiden yang dimaknai antara lain sebagai kebangkitan Islam (politik) dan “pribumi”. Sebaliknya, kubu pendukung Jokowi bertumpu pada figuritas Jokowi. Dan, ini bisa dipahami karena posisi Jokowi sebagai petahana.

Pada Pilpres 2019, isu-isu politik identitas yang sebelumnya masih abstrak mengalami konkretisasi karena ditautakan dengan peristiwa dan kebijakan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintahan Jokowi. Keberadaan tenaga kerja asing (TKA) asal China, misalnya, dipergunakan untuk mengonkretkan pesan-pesan “bahaya aseng dan asing”.

Begitupun kasus-kasus hukum yang melibatkan sejumlah pemuka agama dimanfaatkan sebagian pendukungnya untuk mengonkretkan pesan-pesan “anti Islam”. Keberadaan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi ternyata tidak juga merontokkan pesan-pesan jenis ini. Selain karena telah ditransformasi menjadi “bela Islam”, Ma’ruf yang notabene ketua Majelis Ulama Indonesia juga di de-“sakralisasi” dengan stigma (mulai dari isu “dimanfaatkan” sampai dengan sikap oportunis untuk mengejar kekuasaan).

Konkretisasi ini di satu pihak merupakan upaya membangkitkan rasa cemas. Perasaan ini akan mendorong pemilih melepaskan sikap partisannya, lebih terbuka untuk menentukan pilihannya. Mereka terdorong untuk mempelajari lebih jauh kandidat meski output-nya tidak selalu harus berganti pilihan (MacKuen dkk, 2007). Dalam studi eksperimentalnya, Lau dkk (2007) menemukan bahwa rasa cemas terbentuk manakala ada perbedaan yang signifikan antara informasi awal yang dimiliki pemilih dan informasi baru yang diterimanya. Perbedaan ini bisa disebabkan faktor kualitas kandidat atau jarak posisi kandidat terhadap sejumlah isu. Namun, mekanisme ini terutama lebih bekerja ketika pemilih mempelajari lebih lanjut kandidat yang jadi preferensinya alih-alih kandidat yang tak diinginkan.

Dengan begitu, dapat dikatakan, konkretisasi isu-isu politik identitas diarahkan untuk mengganggu pemilih Jokowi. Gangguan ini bertujuan mendorong pembelotan pemilih partisan Jokowi alih-alih menyasar swing voters, misalnya. Dan, sebagai penantang, tentu saja bahan bakar utamanya isu-isu ekonomi. Pesimisme, ketidakmampuan, dan ingkar janji tema payungnya.

Di lain pihak, konkretisasi isu-isu politik identitas ini diarahkan untuk menyolidkan pemilihnya. Caranya dengan mentransformasi rasa cemas jadi rasa marah. Ketika pemilih merasa marah, ia tak lagi berhati-hati dalam mengolah informasi dan cenderung membangun stereotyping (Hudi dan Feldman, 2007). Tak heran jika kemudian sodoran penjulukan seperti “Poros Mekah” vs “Poros Beijing” atau “Partai Allah” vs “Partai Setan” begitu disambut karena memudahkan pemilih Prabowo membangun rasionalitas pilihan politik.

Secara keseluruhan, paduan harapan dan kemarahan kian mengkristal karena kerap mereka mendapatkan momentum untuk mengekspresikan aspirasinya dalam bentuk aksi-aksi massa dalam berbagai isu-kebijakan. Setiap ada peristiwa politik akan dikemas sedemikian rupa untuk menunjukkan adanya ancaman luar biasa buat mereka atau cita-cita pendukungnya. Juga dalam bentuk perlindungan dan pembelaan ketika ada simpatisan yang melakukan kekeliruan bicara atau melanggar ketentuan hukum.

Berbeda dengan itu, dari perspektif kubu petahana, mereka menyadari kekuatan utama bersaing ada pada figuritas yang dinilai aset terkuat dan berisiko jika disisihkan. Ini terlihat dari intensitas tindak komunikasinya yang banyak mengeksplorasi atribut personalitas Jokowi (merakyat, ramah, turun ke lapangan/membumi, dan jujur). Jika mengacu pada brand personalitas Aaker (1997), kesemuanya merupakan bagian dari dimensi ketulusan.

Personalitas seperti itu efektif pada Pilpres 2014 karena, pertama, menawarkan kebaruan (antitesis) dari personalitas kepemimpinan ala Susilo Bambang Yudhoyono (militer, gagah, intelek, dan good looking) yang sudah menjadi standar pemimpinan selama hampir 10 tahun terakhir. Dan, kedua, personalitas Prabowo (militer, mapan, tegas dan berani) relatif sebangun dengan personalitas yang ditawarkan SBY.

Pengembangan yang dilakukan pasca-2014 adalah mengedepankan dimensi kegembiraan (berjiwa muda dan bersemangat) dan kompetensi (pekerja keras). Tawaran personalitas tersebut memudahkan pemilih mengidentifikasikan dirinya pada Jokowi dan sebagian kecil lainnya mempersonifikasikan dalam bentuk “kelompok pemuja”. Problemnya, pada Pilpres 2019 ini, Jokowi adalah petahana. Sebagai petahana, kinerjanya pasti dievaluasi dari dua belah pihak: pemilihnya pada 2014 ataupun pemilih yang cenderung ke Prabowo. Tindak komunikasinya yang banyak menonjolkan dimensi baru personalitasnya dengan nge-vlog, ber-sneaker, bermotor besar, dan sejenisnya hanya menguatkan sisi personalitas sebelumnya.

Pemilih membutuhkan kebaruan dan terutama yang berkaitan dengan jabatannya, tetapi pilihannya tidak bisa terlalu ekstrem. Misalnya, menonjolkan atribut Jokowi sebagai figur yang “gagah”. Ini tidak otentik di benak pemilih dan karenanya akan diabaikan atau justru dimaknai secara berlawanan. Sebaliknya, sosok Jokowi yang andal (baca: penguasaan masalah dan responsif), misalnya, lebih sejalan dengan personalitas sebelumnya dan sesuai dengan posisinya sebagai petahana.

Selain itu, kekuatan personalitas Jokowi juga diantisipasi Prabowo dengan menghadirkan sosok Sandiaga Uno sebagai pembanding. Sosok Uno dicitrakan sebagai figur sukses, taat beragama, gaul, good looking, dan juga cerdas. Lebih dari pada itu, Uno sejauh ini mengisi panggung politik lebih banyak. Tidak sekedar untuk “menetralisasi” pesona Jokowi, tetapi juga mengalihkan atensi orang terhadap figuritas Prabowo.

Kubu Jokowi tentu saja menyadari keharusan petahana untuk unjuk kinerja. Pemilih perlu diyakinkan bahwa mereka tidak salah pilih. Kubu Jokowi memilih menggugah rasa bangga atas kemajuan Indonesia dan harapan masa depan yang lebih gemilang ditularkan. Masalahnya, pengomunikasiannya relatif kering. Penyajian lebih banyak menekankan pada angka-angka. Narasinya minim sehingga kurang efektif, terlebih kalangan pemilih yang masih galau.

Lebih daripada itu, kubu Jokowi juga berupaya membangkitkan rasa cemas dengan cara mengulik kembali personalitas dan rekam jejak Prabowo tetapi terutama untuk menunjukkan ketidakcocokan karakter Prabowo dengan posisi presiden, terutama terkait dengan isu kebhinekaan dan masa depan Indonesia. Pilihan tema ini efektif untuk memantapkan hati pemilihnya tetapi belum cukup efektif mengganggu pemilih Prabowo. Sering kali bahkan isu kebhinekaan ini dipelintir menjadi pertarungan antara “Pancasila” vs “agama” yang berpotensi menambah panas tensi dalam masa kampanye.

Titik balik

Meski efektif, pendekatan emosional buka tanpa bahaya. Bahaya pertama menyeruak ketika pengguna brand (baca: pemilih) membangun narasi-narasinya sendiri sedemikian rupa hingga terlalu jauh dari kehendak kandidat. Brand kandidat menjadi tidak otentik ketika mengalami “sakralisasi”. Atau juga jadi tidak relevan bagi kebanyakan pemilih ketika ada sekelompok kecil pemilih mengusung agenda politik sub-kelompoknya sendiri dengan “membajak” brand kandidat.

Sampai titik tertentu, hal ini mungkin masih bisa ditoleransi untuk menjaga “keutuhan” komunitas, memberi ruang ekspresi pada pendukung dan atau untuk menyediakan “vaksin” menghadapi virus-virus kampanye negatif yang dilakukan pihak kompetitor. Meski begitu, situasinya bisa berbeda 180 derajat ketika dinilai “kelebihan dosis”.

Brand politik yang berlebihan dosis akan membuat pemilih lawan yang cemas jadi berbalik marah dan karenanya menguatkan diri pada kandidat yang menjadi preferensinya. Tidak hanya itu, kondisi ini juga akan mendorong sebagian pemilihnya diliputi rasa cemas dan mendorongnya untuk mencari informasi baru tentang kandidat yang menjadi preferensinya.

Selain itu, brand kandidat juga berpotensi mengalami apa yang disebut Thompson dkk (2006) dengan istilah “DoppelgAnger brand image”. Yakni ketika komunitas, organisasi sosial, pemuka informasi, blogger, atau aktivitas politik yang memilih independen dari kedua kubu kandidat membuat narasi-narasi negatif tentang brand kandidat sebagai bentuk perlawanan budaya. Narasi ini tidak sebatas pada nama kandidat, logo, dan tagline, tetapi juga program. Di tangan mereka, brand kandidat dipelesetkan/diparodikan dan direferensikan pada simbol atau makna yang negatif dengan tendensi untuk meremehkan, menghina, menyalahkan, dan sejenisnya.

Brand yang kelebihan dosis ataupun yang dipelesetkan sama-sama mengubah makna brand yang diinginkan kendidat. Efek kerusakannya bisa tak terduga. Di titik ini, kedua kubu perlu mencermati ulang alur emosi yang dimaikannya. Kekeliruan mengantisipasi kedua bahaya tersebut bisa berakibat fatal, terlebih dalam situasi kontestasi yang kian berpolarisasi seperti saat ini.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

 

(Sumber: Kompas Cetak, Selasa 13 November 2018 Halaman 6 *opini*)

Foto dok Charta Politika.