Menyoal Gender dalam Politik
Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah bagi demokrasi di Tanah Air. Baik kekerasan secara tidak langsung, lebih lagi kekerasan yang melibatkan fisik, selain berdampak kepada kondisi mental dan kerugian lainnya, praktek politik yang demikian tentu saja akan semakin menurunkan kualitas demokrasi kita.
Terkait erat dengan persoalan gender di dalam politik, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 menjadi ruang yang perlu dievaluasi bersama. Pada proses pilkada yang lalu, tidak sedikit kaum perempuan yang mendapatkan perlakuan minor. Terlepas apakah itu adalah bagian dari strategi politik, komoditisasi perempuan yang abai terhadap nilai, akan menjadi pembenaran bagi kecenderungan praktek-praktek serupa berikutnya.
Di tengah upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan pemerintahan, kesadaran gender rupanya belum inheren dalam laku politik. Doktrin dan nalar patriarki masih menyisakan pondasi kuat di dalam politik kontestasi. Memperkuat politik maskulin dan bapakisme, hingga menggeser ruang dan kedudukan perempuan ke titik terpinggir subordinasi.
Kesenjangan gender dalam kontestasi politik mengakibatkan asa demokrasi berkesetaraan mengalami tantangan serius. Ada beberapa kasus kekerasan berbasis gender yang perlu mendapat perhatian dalam konteks politik praktis. Di antaranya isu pelecehan seksual terhadap kandidat perempuan dalam Pilkada Serentak 2020.
Kekerasan berbasis gender
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut adanya beberapa praktek diskriminasi terhadap perempuan pada Pilkada 2020. Pertama, pada Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Kota Ternate, disebutkan oleh ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) dari salah satu partai politik bahwa Kota Ternate harus dipimpin oleh seorang laki-laki. Kedua, Tangerang Selatan, pelecehan dilakukan terhadap salah satu pasangan calon melalui penyebaran foto pribadi secara tidak pantas.
Selain laporan KontraS, isu gender juga terjadi di Pilkada Bima, yaitu dalam bentuk ungkapan seksis yang menautkan status janda kepada salah satu Calon Bupati. Kasus serupa juga terjadi pada Pilwalkot Depok dalam bentuk pelecehan seksual secara verbal yang dialami oleh calon Wakil Walikota perempuan, yang justru pelaku pelecehan berasal dari rival politiknya.
Dari beberapa contoh kasus di atas, tergambar bahwa kekerasan berbasis gender bisa berupa pendiskreditan terhadap perempuan. Dibangun citra perempuan tidak mampu menjadi pemimpin. Itulah budaya patriarki ‘rules of the father’ yang bekerja di wilayah politik melalui penempatan dominasi laki-laki secara hegemonik.
Sebagai komoditas politik, perempuan distigmatisasi sebagai objek seksual. Pelabelan negatif diarahkan kepada rata-rata politisi perempuan berstatus janda. Komoditas diproduksi, kemudian dilakukan bully. Maka tidak heran jika kemudian muncul pelecehan seksual terhadap calon kepala daerah atau politisi perempuan dalam segala kontennya terutama di media sosial.
Perlakuan diskriminasi dan pelecehan ternyata tidak hanya dilakukan oleh lawan politik yang tengah berkontestasi. Bahkan tidak sedikit warga sosial media (netizen) yang juga melakukan body shaming, berkomentar miring tentang wujud atau bentuk fisik dengan tujuan mempermalukan. Pada wilayah terutama di media sosial, bahasa menjadi instrumen untuk hegemoni terhadap wacana, dengan menjadikan perempuan sebagai objek untuk dikomodifikasi.
Praktik diskriminasi terhadap perempuan sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan. Semarak ungkapan seksis membuat demokrasi tidak berciri substantif. Mestinya aktor politik fokus pada kontestasi gagasan programatik, menunjukkan performa positif, bukan melempar guyonan yang berbau pelecehan.
Di dalam kntestasi politik, mengerahkan seluruh sumber daya dan strategi adalah wajar. Namun jika dijalankan dengan cara yang menjadikan kaum perempuan sebagai korban diskriminasi dan pelecehan seksual, tentu setiap politisi siapapun dia, harus berfikir lebih keras lagi untuk menggunakan cara dan strategi yang lebih beradab.
Politik sensitif gender
Strategi politik dengan menjadikan sisi seksualitas dan kelemahan perempuan sebagai komoditas tentu perlu dihindari. Pengetahuan dan kesadaran terhadap kesetaraan gender perlu diperkuat di masyarakat. Penting bagi peserta dan penyelenggara pemilu untuk memperhatikan isu-isu politik yang melibatkan gender.
Keadilan terhadap perempuan telah tertuang di dalam konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). Sebagai wujud pengakuan terhadap perempuan di seluruh dunia, tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional (International Woman’s Day).
Demokrasi dan politik kita dengan segala gagasan berikut prakteknya harus mulai memposisikan perempuan pada kedudukannya yang terhormat dan mulia. Kita tidak boleh lagi hanya berharap kepada peingkatan partisipasi perempuan baik di dalam politik maupun jabatan publik, kita harus dudukkan eksistensi kaum perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai bagian dari pertimbangan-pertimbangan pembangunan nasional; politik, sosial, ekonomi, dan budaya.
Anne Phillips (1999) dalam “Engendering Democracy” berpandangan bahwa perlu dilakukan genderisasi terhadap ruang pribadi, ruang domestik dan ranah publik secara bersamaan. Hari ini, alam demokrasi memberikan ruang bagi siapa pun untuk tampil, laki-laki ataupun perempuan. Pengarusutamaan gender harus diimbangi dengan perilaku kelembagaan dan sosial di seluruh aspek dan tingkatan struktur sosial-politik di Indonesia. Siapapun sebagai warga negara Indonesia dan memenuhi syarat, bisa dan berhak menjabat sebagai bupati, walikota, gubernur, anggota legislatif, menteri, bahkan presiden.
Partisipasi dalam ruang demokrasi perlu menghadirkan paradigma politik yang berwawasan gender, menjamin kesetaraan bagi semua warga negara tanpa ketimpangan yang diskriminatif. Setiap partai politik harus mendukung kader perempuannya untuk berkader dan menjalankan tanggung jawab politik, sekaligus melindungi mereka dari kecenderungan komodifikasi politik yang melibatkan kehormatan perempuan.
Lebih dari itu, segenap stakeholders politik mesti dilibatkan, termasuk insan pers agar mengedepankan jurnalisme yang berperspektif gender. Begitu juga keterlibatan ormas dan civitas akademika diharapkan menjadi agen pencerahan tentang nilai-nilai kesetaraan, dan tentu saja dukungan pemerintah agar mewujudkan kebijakan yang berkeadilan gender.
Mawardin
Peneliti Charta Politika Indonesia
Sumber foto: infopublik.id
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!