Konflik Partai Politik dalam Lintasan Sejarah

Konflik partai politik di Indonesia merupakan fenomena klasik sejak orde lama dan orde baru. Pada era reformasi sekarang, kemelut parpol pun masih dipertontonkan oleh sekelompok elite. Kasus paling mutakhir adalah Partai Demokrat, terjebak dalam arus konfliktual yang menambah daftar panjang gonjang ganjing parpol di Tanah Air.

Agak jauh ke belakang, nasib serupa dialami Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Termasuk parpol-parpol baru yang bersemai pasca Pemilu 1999. Dari kisruh intra partai, melahirkan faksionalisasi hingga pendirian partai baru. Ada yang masih eksis, tapi ada pula partai baru yang redup bahkan lenyap.

Pada masa pergerakan dan orde lama, tak sedikit partai mengalami konflik internal. Sarekat Islam (SI) berpecah ke dalam dua blok: SI merah dan SI putih. SI merah belakangan menjadi PKI. SI putih bermetamorfosa menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Baik PKI maupun PSII penuh pasang surut akibat faksionalisme yang eksis di dalamnya.

Begitu juga PNI, terpecah beberapa faksi, lalu lahirlah Partai Indonesia (Partindo) dan PNI-Baru. Partai Sosialis pun mengalami pengeroposan internal. Ada Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan Syahrir dan Front Demokrasi Rakyat (FDR) versi Amir Syarifuddin. Partai Masyumi juga terbelah pasca keluarnya NU.

Ketika rezim Orba berkuasa, goncangan internal pun mendera PPP dan PDI. Intervensi penguasa Orba dalam suksesi kepemimpinan parpol juga menuai sorotan. PPP dibelah, yakni kubu Mintaredja dengan Djaelani Naro. PDI dipecah, antara kubu Soerjadi dengan kubu Megawati Soekarnoputri. Reformasi pun datang, tapi kisah lama konflik internal parpol masih berulang.

Konflik internal PPP pada fase selanjutnya melahirkan Partai Bintang Reformasi (PBR) di bawah kepemimpinan Zainuddin MZ, kemudian Bursah Zarnubi. Belakangan PPP juga pernah dirundung kisruh antara kubu Romahurmuziy dengan Djan Faridz.

Konflik internal PDI Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri melahirkan Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) pimpinan Eros Djarot, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) versi Laksamana Sukardi dan versi Roy BB Janis.

Partai Golkar pun tak luput dari konflik internal. Adapun Partai Karya Peduli Bangsa, Partai Gerindra, Partai Hanura, Partai Nasdem dan Partai Berkarya sesungguhnya turunan dari gejolak internal Golkar. Belakangan Partai Golkar sempat bersengketa kepengurusan antara kubu Aburizal Bakrie dengan kubu Agung Laksono.

Partai Berkarya terhitung masih anyar, terjadi dualisme pula, antara kubu Tommy Soeharto dengan kubu Muchdi PR. Sebelumnya menimpa Partai Hanura, yang diketuai Oesman Sapta berhadapan dengan versi Daryatmo.

Konflik internal PAN pernah melahirkan Partai Ummat yang didirikan oleh Amien Rais sebagai reaksi bernada protes terhadap kepemimpinan Zulkifli Hasan. Sebelumnya Partai Matahari Bangsa (PMB) sempat terbit sebagai efek dari konflik PAN.

PKB juga mengalami gesekan antara Muhaimin Iskandar dengan Gus Dur. Juga PKB Gus Dur versus Matori Abdul Jalil. Dari perselisihan intra partai itu, sempat muncul Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Bahkan Partai Demokrat, jauh sebelum prahara saat ini, sempat lahir Partai NKRI yang diprakarsai oleh mantan petinggi Demokrat, yakni Sys NS.

Soliditas PKS yang selama ini kuat pun terbelah, hingga lahir Partai Gelora Indonesia yang didirikan oleh mantan petinggi PKS, yakni Anis Matta dan Fahri Hamzah. PBB yang disebut sebagai pewaris Masyumi pimpinan Yusril Ihza Mahendra kian merosot lantaran bergulir Partai Masyumi ‘Reborn’.

Manajemen Partai

Dalam lintasan sejarah sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa konflik parpol baik internal maupun eksternal memiliki motif dan pola yang berangkat dari silang pendapat maupun pendapatan (sumber daya ekonomi-politik). Konflik internal kerap terjadi karena perbedaan perspektif tokoh-tokoh partai dalam menafsir isu strategis maupun kebijakan tertentu.

Jelang momen pilpres, perbedaan sikap di antara elite partai mengenai capres/cawapres yang diusung, bisa memicu pertikaian internal. Yang paling rawan adalah benturan antar pemuka partai yang tergiring dalam tarik ulur kepentingan pasca pemilihan pucuk pimpinan parpol.

Sementara itu, konflik eksternal berkaitan dengan fragmentasi sikap elite dalam konteks pola relasi partai dengan penguasa. Perbedaan-perbedaan yang timbul dari aktor utama partai dalam merespon dinamika internal dan eksternal, umumnya menimbulkan keretakan, hingga sebagian kelompok menelurkan partai sempalan.

Lemahnya ideologi sebagai perekat anggota partai menjadi penyebab mendasar terjadinya konflik parpol. Sebagian besar parpol cenderung menggiring loyalitas anggotanya berbasis figur-sentris, bukan politik nilai dan ideologi. Itulah yang disebut oleh Thomas Carothers (2006) mengenai partai di Indonesia yang sangat leader-centric.

Faktor lain adalah problem tata kelola partai. Sulit disangkal, manajemen kepemimpinan partai saat ini sebagian mengarah pada privatisasi partai disertai watak oligarkis. Mengacu pada Jeffrey A. Winters (2011), oligarki terbagi dua dimensi.

Pertama, oligarki memiliki dasar kekuasaan – kekayaan material – yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Kedua, oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas.

Dalam konteks inilah, parpol membutuhkan figur yang berkomitmen memperkuat kelembagaan partai, berbasis profesional-teknokratik, bukan kultus individu. Manajemen partai perlu menghadirkan prinsip-prinsip meritokrasi, moralitas politik, keterbukaan dan cita rasa inklusif.

Partai-partai politik harus dikembalikan esensinya sebagai institusi publik dan jangkar konsolidasi demokrasi. Saat yang sama, parpol mesti mengarus-utamakan ideologi, platform perjuangan, kaderisasi dan khususnya rekrutmen politik yang bersifat meritokratik.

Bila politik dilakoni tanpa internalisasi ideologi bagi anggota partai, maka hasrat kuasa lah yang dominan. Padahal ideologi adalah landasan perjuangan bagi para kader yang diterjemahkan ke dalam visi-misi, agenda programatik dan strategi partai dalam mewujudkan cita-citanya.

Lagi-lagi real-politik tidak sesederhana itu. Ungkapan klasik Harold Lasswell “who gets what and how” masih berlaku. Ideologi sebagai perekat organisasi politik belum sepenuhnya melekat pada aktor politik. Yang berkecambah justru aliansi leviathan, saling memangsa satu sama lain.

Resolusi Konflik

Dalam kasus Partai Demokrat, resolusi konflik parpol kian kompleks lantaran figur di luar partai, Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan) didaulat menjadi ketua umum lewat Kongres Luar Biasa (KLB). Pasca KLB, kini Partai Demokrat terbelah menjadi dua kepengurusan, yakni kubu Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan kubu Moeldoko.

Idealnya, langkah resolusi konflik parpol dilakukan melalui mekanisme internal sesuai UU Parpol, dibawa ke Mahkamah Partai. Sesepuh pendiri partai yang berintegritas bersama tokoh independen yang diterima semua pihak bisa menjadi mediator resolusi konflik dengan skema “win-win solution”.

Bila tak ada titik kompromi, kedua kubu beradu kekuatan hukum di pengadilan. Tentu saja proses ini melelahkan, sebab tak tertutup kemungkinan upaya yuridis berlanjut ke Mahkamah Agung lewat kasasi sebagai palagan terakhir.

Jalan tengah selanjutnya bagi Partai Demokrat adalah mengadakan rekonsiliasi, berdamai dan kompromi. Itu pun menyaratkan sikap lapang dada dan posisi setara dari kedua kubu, lalu menegosiasikan titik temu kepentingan multi-pihak.

Perlu kedewasaan berdemokrasi untuk menyelesaikan konflik internal partai. Publik juga membutuhkan pendidikan politik dari elite parpol. Sebagai pembelajaran, memperbaiki pola komunikasi di lingkup elite maupun antar elite dengan massa adalah kunci.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

 

Sumber foto: Dok Charta Politika

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *