Menakar Wacana Poros Partai Islam

Akhir-akhir ini, wacana pembentukan poros partai politik (parpol) Islam kembali mengemuka jelang kontestasi politik 2024. Usulan tersebut mencuat pasca-pertemuan sejumlah elite dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga disambut positif oleh Partai Bulan Bintang (PBB).

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tergolong partai berbasis massa Islam disinyalir akan bergabung dalam Poros Islam. Sedangkan Partai Amanat Nasional (PAN) menolak ikut dengan alasan menghindari politik identitas agama.

Pasalnya, polarisasi politik sebagai residu dari pilpres 2014 dan 2019 belum sepenuhnya pulih total. Alasan senada dikemukakan oleh Partai Gelora. Partai Ummat juga memandang sinis rencana penjajakan ‘blok Islam’ itu.

Bagaimana menakar poros partai bernuansa Islam berkaitan dengan peluang elektoral dalam peta politik nasional?

Variabel PK(S)B

Dalam rilis survei nasional Charta Politika Indonesia (CPI) bertajuk “Evaluasi Kebijakan, Aktivitas Masyarakat dan Peta Politik Triwulan I 2021” menunjukkan, PKS dan PKB masuk posisi lima besar bila pemilu legislatif diselenggarakan ketika survei dilakukan pada 20-24 Maret 2021.

Peringkat atas masih diduduki partai berhaluan nasionalis. Secara berurutan, PDI Perjuangan menempati juara pertama dengan angka 20,7 persen, Partai Gerindra 14,2 persen, PKB 9,7 persen, PKS 8,2 persen, Partai Golkar 7,8 persen.
Sementara PPP berada di posisi buncit (2,2 persen), PAN (1,0 persen), kalah telak dibanding Partai Nasdem sebesar 5,4 persen, disusul Partai Demokrat 4,2 persen. Elektabilitas PBB hanya meraih 0,1 persen, Partai Gelora 0,2 persen, Partai Ummat 0,1 persen.

Tren elektabilitas PKS yang cukup tinggi memungkinkan posisi tawarnya menjadi aktor utama dalam poros Islam jika benar-benar terbentuk. PKS yang bercorak ‘muslim modernis’ itu berpeluang mengusung capres sesuai aspirasi partainya. Sedangkan cawapres dapat diambil dari PKB sebagai rumah politik kaum ‘muslim tradisionalis’. Bisa juga berlaku sebaliknya.

Semua simulasi di atas tergantung perolehan suara pada pemilu 2024. Gambaran yang menarik, kultur politik dan akar rumput kedua parpol (PKS, PKB) ini agak berjarak. Justru di situlah duet modernis-tradisionalis sangat mungkin diformulasikan.
Namun sekadar kehendak intrinsik saja tidak cukup. Sebab figur yang diusung harus memiliki elektabilitas yang menjanjikan. Lebih dari itu, menyaratkan sikap legowo dari semua elite parpol Islam untuk menerima takdir demokrasi yang berlaku.

Lantaran kepentingan yang kerap bersimpang jalan, tak menutup kemungkinan timbul resistensi dari partai Islam lainnya dengan asumsi mereka mendorong capresnya sendiri. Di sini komitmen kolegial dan ruang negosiasi bekerja. Alternatif lain, berkoalisi dengan kalangan eksternal yang prospektif secara elektabilitas.

Paras Poros Islam

Ketika usulan poros Islam mengedepan, kans untuk terwujud tak selalu berjalan mulus, bahkan terkesan usang. Lazimnya sebatas riuh sesaat jelang pemilu. Lagi pula mazhab Islam politik di Indonesia tidak bersifat monolitik. Ekspresi politiknya variatif, kompleks dan beraneka ragam. Perkara real-politik, tentu kepentingan lah yang bermain.

Lapisan elite politik Islam masih berimajinasi terkait romantisme Poros Tengah pada pilpres 1999, di mana Abdurahman Wahid (Gus Dur) berhasil diantar (sekaligus dimakzulkan) oleh koalisi partai Islam menuju kursi presiden RI yang dipilih oleh MPR. Adapun king maker-nya Amien Rais. Jelang pemilu 2014 lalu, dengan aktor yang sama, sempat menghangatkan kembali wacana pembentukan Poros Tengah Jilid II, tapi berakhir kandas.

Peta politik seketika berubah kala itu. Konfigurasi elite parpol Islam bertabrakan afiliasi dalam arena kandidasi pilpres 2014 maupun pesta demokrasi 2019. Sulit dipungkiri, konteks politik mutakhir berbeda dengan euforia awal reformasi yang masih kental dengan semarak politik aliran. Lagi pula, menurut ilmuwan politik Deliar Noer, bahwa mayoritas muslim adalah realitas sosiologis yang belum tentu bisa diwujudkan menjadi mayoritas politik.

Dikotomi partai Islam dan nasionalis sudah mentok. Kasak-kusuk teranyar, sebagian partai Islam malah menolak wacana poros Islam. Politik berkarakter ideologi galibnya terbonsaikan oleh pragmatisme kekuasaan. Parpol di Indonesia, mengacu pada Diamond dan Gunther (2001), kebanyakan berkategori electoralist party. Tujuannya ingin memenangkan pemilu.

Dalam percaturan alot dukung-mendukung capres dan cawapres, sangat relevan meminjam analogi Deng Xiaoping: tak masalah kucing itu berwarna hitam atau putih selama dia bisa menangkap tikus. Jika dimodifikasi, bunyinya “tak masalah kandidat itu berwarna Islam atau nasionalis selama dia bisa memenangkan pemilu dan pilpres”.

Catatan kritisnya, preseden politik partai-partai Islam selama ini yang terkesan ‘setengah hati’ berkoalisi akan dibayangi skeptisisme menyoal manuver elite ke depan. Bukan hanya sekadar minus tokoh simpul pemersatu, tapi juga gap psikologis secara ideologi politik di antara mereka.

Melampaui paras poros Islam, sejatinya yang mendesak adalah apa program yang ditawarkan oleh aktor politik Islam untuk memajukan negeri nan elok ini. Jadi, bukan sekadar soal label atau cover, tapi mengandung ruh dan substansi.

Jalan tengah

Sulit dihindari, manakala tesis politik berbasis agama dikencangkan, tentu memancing timbulnya antitesa dari poros kontra yang secara diametral berhadap-hadapan. Polarisasi pun tak terhindarkan. Aksi dan reaksi seperti itu malah menyeret akrobat politik elite ke dalam kubangan kontestasi simbol religi yang sensitif. Jika dosisnya berlebihan, maka arus bawah akan terbelah.

Fungsi pendidikan politik yang melekat pada parpol seyogyanya berorientasi pengayaan diskursus yang rasional menuju substansialisasi demokrasi. Politisi berlomba-lomba menawarkan program ril guna menyelesaikan hajat hidup publik secara konkret.Pakem pertautan yang selama ini mentradisi, yakni irisan nasionalis-religius, kombinasi ‘hijau’ dan ‘merah’ masih ideal dilirik sebagai jalan tengah.

Dalam konteks kekinian, pemilih rasional, khususnya generasi milenial, isu primordial agama bukanlah parameter utama. Publik justru melirik aspek ekonomi, kinerja partai dan kompetensi figur sebagai acuan dalam menentukan pilihan.

Fakta lain, banyak politisi yang lahir dari rahim organisasi Islam terlibat dalam partai-partai nasionalis seperti PDI-P, Golkar, Gerindra dan sebagainya. Dengan kata lain, kantong suara muslim pun tersedot di partai nasionalis sekuler. Apalagi komposisi kepengurusan diduduki pula oleh kader NU, Muhammadiyah, jaringan pesantren dan lain-lain.

Walhasil, partai nasionalis pun mengibarkan sayap organisasi Islam untuk meraup ceruk suara muslim. Karena itu, bagi elite dan aktivis parpol Islam akan lebih cantik manakala pasar elektoral diperluas jangkauannya. Saat bersamaan, pemimpin parpol Islam semestinya memperjuangkan agenda publik yang lintas agama, suku dan antargolongan.

Alam demokrasi memang menyediakan ruang yang lapang bagi bergulirnya ekspresi politik, tapi persatuan dan kesatuan bangsa yang plural ini mesti dijunjung tinggi. Jika benar cara kelolanya, maka sangat mungkin membawa kemaslahatan bangsa. Jika salah cara pegangnya, menyimpang dari etika politik, maka ketegangan yang memanas akan kembali membakar tungku republik.

Semoga refleksi ini menjadi bahan renungan bagi kita semua.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Kumparan
Sumber foto: anny Kusumawardhani/kumparan

 

 

 

 

 

 

 

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *