Pilkada Serentak 2020, Pandemokrasi, Partisipasi Pemilih

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) 2020 yang digelar secara serentak telah usai. Tapi badai pandemi virus corona (covid-19) belum berlalu. Itulah sebabnya pergelaran politik elektoral sebanyak 270 daerah itu bergelayut antara harapan dan kecemasan.

Sebagai catatan, perhelatan Pilkada 2020 itu meliputi 9 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub), 224 Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup), serta 37 Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwakot). Pilkada serentak tahun 2020 merupakan lanjutan dari tiga tahap pilkada serentak sebelumnya pada tahun 2015, 2017, dan 2018.

Kita menyaksikan turbin demokrasi lokal tetap berputar. Mesin-mesin politik juga bekerja. Realitas mencekam akibat pandemi menjadi pertimbangan utama terkait metode pelaksanaan kampanye. Pola kampanye di arena demokrasi perlahan mulai bergeser, dari kebiasaan mobilisasi massa besar-besaran menjadi pertemuan berskala terbatas.

Seturut hal itu, pihak penyelenggara, kontestan dan partisipan ditekankan agar menaati protokol kesehatan. Sebab, pesta demokrasi tidak sekadar mewadahi kedaulatan rakyat, tapi juga harus memerhatikan keselamatan rakyat.

Rakyat telah memberikan mandat pada pemimpin mereka di daerah-daerah dalam proses yang konstitutif. Kekosongan kekuasaan (vacuum of power) dari aspek penyelenggaraan pemerintahan terhindarkan. Apalagi penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi memerlukan pemimpin daerah yang legitimated, responsif sekaligus proaktif. Saat yang sama, stabilitas politik dan pelayanan publik akan terus berjalan. Dan, demokrasi sebagai rezim, kata Claude Lefort, memang menyaratkan institusionalisasi dan proteksi melalui hukum.

Pesta demokrasi lokal 2020 memang sebuah kekecualian. Imunitas demokrasi benar-benar diuji daya tahannya dalam lubang hitam pandemi. Isu kesehatan publik (public health) jelas tak boleh diabaikan. Lahirlah pandemokrasi, sebuah terminologi yang menggambarkan realitas ironik dari demokrasi pada masa pandemi.

Konsekuensi dari “new normal” politik itu, para calon kepala daerah dituntut lebih canggih dalam berkampanye baik secara online maupun offline untuk mempersuasi publik. Kabar baiknya, partisipasi pemilih justru meningkat. Dikatakan kabar baik karena salah satu parameter keberhasilan pelaksanaan Pilkada 2020 dapat ditinjau dari angka partisipasi pemilih.

 

Partisipasi Pemilih

Salah satu indikator keberhasilan praktik demokrasi dalam konteks pilkada adalah seberapa besar tingkat partisipasi warga menggunakan hak-hak politik (political rights) untuk memilih kandidatnya di kotak suara. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 sebesar 75,83%. Angka itu cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari pilkada 2015 dengan tingkat partisipasi sebesar 69,02 %. Angka partisipasi pemilih pada pilkada 2020 itu nyaris mendekati target nasional (77,5%). Target itu dipandang realistis mengingat situasi darurat pandemi.

Melihat partisipasi pemilih pada pilkada 2020 yang dianggap sukses, maka demokrasi bisa dikatakan berjalan baik. Karena itu, apresiasi layak kita arahkan kepada penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, Satgas Anti-Covid, aparat keamanan, media massa dan partisipasi warga. Peran paslon, partai politik pengusung dan tim kampanye masing-masing kandidat juga memberikan warna tersendiri, meski harus diakui tak ada demokrasi yang hampa masalah. Saluran legalistik pun tersedia, manakala dalam proses Pilkada 2020 ada kalangan yang tidak puas dengan hasilnya, mereka bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Segenap pemangku kepentingan itu telah melakukan ikhtiar sewajarnya untuk mendorong keterlibatan warga dalam proses pilkada. Meskipun pelaksanaan Pilkada 2020 sempat diprasangkai sebagian pihak bahwa partisipasi masyarakat akan meredup, akan tetapi fakta menggambarkan partisipasi warga justru antusias ikut memilih para kandidat sesuai preferensinya.

Pilkada 2020 telah memberikan saham terhadap peningkatan indeks demokrasi Indonesia. Van Deth (2001) menyatakan bahwa partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Dalam konteks hak-hak politik, perwujudan terpentingnya adalah tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pilkada. Kendati begitu, penyelenggaraan pilkada kali ini pun mengandung aib politik yang mesti diatasi untuk memproyeksikan hajatan politik yang berkeadaban untuk masa-masa mendatang.

Salah satu persoalan yang perlu mendapat atensi khusus adalah masalah kekerasan dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam kontestasi elektoral. Mengacu pada Laporan Kontras bertajuk “Catatan Kritis atas Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020”, antara lain dikatakan bahwa cara-cara kekerasan masih kerap digunakan baik untuk mengintimidasi kelompok berseberangan dalam Pilkada maupun untuk menekan warga untuk memilih calon-calon tertentu.

Dalam logika elektoral, pertarungan strategi antar paslon, partai pengusung dan pendukung beserta tim kampanye adalah sebuah keniscayaan sepanjang dilakoni dengan cara-cara demokratis, sesuai koridor hukum dan sewajarnya. Namun, fakta ironik masih adanya sebagian pihak yang memainkan isu SARA, khususnya politisasi etnis dan agama, terlebih disertai kekerasan adalah cermin politik purba yang destruktif.

Mobilisasi faksi politik etno-religius yang berhaluan garis keras dapat menajamkan perpecahan antar sesama anak bangsa, bahkan merusak tatanan demokrasi. Politisasi SARA yang cenderung mengeksploitasi kebencian demi elektabilitas bisa memperlebar jarak-psikologis dalam relasi keseharian antar warga. Ketahanan nasional terancam mengalami pengeroposan bilamana politik SARA dibiarkan tanpa adanya pencegahan dan penindakan serius dari aparat berwenang.

Dengan demikian, partisipasi pemilih yang cukup tinggi dalam pilkada 2020 mesti dibarengi dengan kesadaran penuh dari elite untuk menjunjung tinggi integritas demokrasi. Harapan yang besar bagi paslon yang terpilih untuk mengembalikan ruang publik menjadi sehat, tanpa penyebaran virus kebencian dan bercak-bercak darah. Polarisasi politik dan fragmentasi sosial yang terbentuk selama kampanye saatnya dinormalisasikan kembali.

Kepala daerah terpilih juga mesti berkomitmen bahwa mereka bukan sekadar pemimpin untuk pemilihnya saja, atau melayani golongan tertentu saja, tapi pemimpin untuk semua warga tanpa berlaku diskriminatif. Legitimasi yang kuat dari rakyat mesti dijaga. Dukungan pemilih yang mengantarkan aktor-aktor politik lokal menjadi pemimpin daerah adalah modal yang sangat mendasar untuk memajukan kabupaten, kota dan provinsinya kelak.

Tantangan masa kini dan masa mendatang adalah bagaimana memastikan adanya sinergi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk menuntaskan penanganan Covid-19 sekaligus pemulihan ekonomi. Begitu pula masyarakat, diharapkan partisipasi aktifnya untuk mengawal pemimpin terpilih, mengutamakan kolaborasi dan kerjasama konstruktif. Dengan begitu, pilkada tidak sekadar ritual sirkulasi elite semata, tapi menjadi kenduri demokrasi lokal yang melahirkan kepala daerah visioner dalam lanskap otonomi daerah. Semoga.

 

 

Mawardin, peneliti Charta Politika Indonesia

Foto: Aditya Irawan (Getty Images)

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *