Jalan Terjal Konvensi Calon Presiden

Di pentas politik mutakhir, Partai NasDem melontarkan wacana konvensi calon presiden yang rencananya akan digelar pada 2022. Sejumlah pihak merespons positif langkah partai yang dipimpin oleh Surya Paloh itu, tetapi juga muncul reaksi bernada skeptis. Jika konvensi NasDem benar terjadi, tentu membawa angin segar bagi kader terbaik partai maupun figur non-partai untuk berlaga.

Namun, ekspektasi NasDem untuk menggelar konvensi akan dipenuhi jalan terjal. Pasalnya, berdasarkan UU Pemilu bahwa persyaratan untuk mengusung capres dan cawapres 2024 harus memenuhi minimal 20 persen kursi di DPR atau minimal 25 persen suara parpol atau gabungan parpol pada pemilu sebelumnya.

Sementara jumlah perolehan suara NasDem hanya meraup 9,05 persen mengacu pada hasil Pemilihan Legislatif 2019. Artinya, NasDem wajib merajut koalisi dengan partai lain agar terpenuhi ambang batas presidensial (presidential threshold).

Preseden Politik

Dalam pengalaman parpol sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sempat merencanakan konvensi pada 2013, tetapi gagal terselenggara. Dalihnya agak ‘setengah mati’ lantaran terhambat ambang batas presidensial.

Di tengah haru-biru, Partai Demokrat sempat mengadakan konvensi yang diikuti sejumlah kader internal Demokrat dan kandidat eksternal. Sayangnya, gebyar konvensi partai berlambang bintang mercy itu tampak ‘setengah matang’ hingga berujung antiklimaks. Dahlan Iskan yang memenangkan konvensi Demokrat gagal bertarung di pilpres 2014.

Kita juga dapat mengambil pelajaran dari Partai Golkar selaku pionir pertama pergelaran konvensi. Pesertanya secara eksklusif terdiri dari kader teras partai kuning itu, lalu menanglah Wiranto yang dipilih oleh pengurus DPD dan DPP Partai Golkar.

Meskipun Golkar menduduki peringkat pertama (21,58 persen) pada pemilu 2004, namun Wiranto justru kalah telak dalam pilpres. Batu sandungannya terletak pada fragmentasi elite sentral partai yang menyodok bola politik hingga terpantul ke mana-mana. Mesin politik beringin juga terkesan ‘setengah hati’ mendukung capres hasil konvensi.

Konvensi capres ala Indonesia memang tidak semulus tradisi konvensi yang mapan di Amerika Serikat. Di AS, tingkat kemelekatan partai (party-ID) dengan kader ataupun konstituen sangat kuat. Secara otomatis, siapa pun pemenang konvensi, pemangku kepentingan partai akan bergerak solid, tidak setengah-setengah. Mampukah NasDem keluar dari preseden politik itu?

Berkaca pada hasil polling akhir-akhir ini, NasDem memang belum memiliki kader internal sebagai capres kompetitif yang tertangkap layar lembaga survei kredibel. Di sisi lain, Nasdem terhitung perahu yang prospektif bagi tokoh ngetop (non-partai) untuk berlayar meniti pesta demokrasi 2024. Terlepas dari jadi atau tidaknya nantinya, pertimbangan NasDem untuk menghelat konvensi layak diapresiasi.

Hakikat dari konvensi itu membuka diri terhadap siapa pun untuk berpartisipasi dalam menentukan arah biduk republik. Parpol menjadi kawah candradimuka untuk memfasilitasi intensi politik para kader pemimpin nasional dari segala penjuru. Salah satu pintu gerbangnya adalah konvensi. Maka, konvensi capres bisa ditafsir sebagai manifestasi politik restorasi yang digaungkan NasDem dalam satu dekade terakhir.

Sketsa Kandidasi

Konvensi dapat ditilik sebagai bentuk penguatan kelembagaan dan demokratisasi di parpol. Metode seleksi kandidat dalam bingkai demokrasi bertautan dengan empat dimensi utama, seperti digambarkan oleh Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat (2010), yakni partisipasi, representasi, kompetisi, dan daya respons.

Paradoks dalam praktik konvensi tentu ada, namun bukan berarti meluruhkan seluruh konten yang konstruktif dari konvensi. Pilihannya adalah membenahi pelembagaan partai, baik secara struktural maupun kultural dalam rangka mempolakan perilaku, sikap ataupun budaya (Vicky Randall dan Lars Svasan, 2002).

Dalam lensa pendidikan politik, sejatinya gagasan konvensi tergolong wadah untuk mensosialisasikan platform politik, ideologi, program dan kebijakan partai dengan kemasan yang atraktif. Saat yang sama, konvensi berfungsi sebagai arena kontestasi ide-ide para bakal capres. Ruang seleksi kepemimpinan nasional pun akan terbuka lebar, partisipatif, dan terdesentralisasi di organisasi parpol.

Secara umum, penjaringan kandidat presiden selama ini terlampaui sentralistik berdasarkan sabda elite puncak struktur partai. Dalam etalase konvensi, figur kapabel dapat disaring melalui mekanisme yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Ketika konvensi digaungkan kembali oleh NasDem, spekulasi acak dari pihak lain tentu tak terhindarkan.

Dalam perspektif Tevi Troy (2016), sebagian besar konvensi saat ini menjadi peluang iklan partai. Asumsinya, pertunjukan sketsa kandidasi capres akan memantik perhatian khalayak terhadap partai penyelenggara konvensi. Di titik itu, konvensi bukan semata-mata sebagai tujuan, tapi sebagai kanal periklanan, promosi, dan publisitas. Menyitir istilah politisi AS Phineas Taylor Barnum: “all publicity is good publicity”.

Insentif citra partai sangat mungkin terdongkrak manakala capres peserta konvensi mengartikulasikan narasi yang kongruen dengan selera publik. Mereka ibarat duta yang merepresentasikan keunikan identitas beserta simpatisannya yang multi-entitas. Di dalamnya, konvensi berkait-kelindan dengan strategi pemasaran partai untuk memersuasi konstituen.

Seperti pada pemasaran komersil, mengutip Firmanzah (2008), maka pada pemasaran politik juga terdapat produsen (pelaku politik), produk (produk politik: person, party, policy) dan konsumen (electorate).

Jika kita komparasikan dengan praktik kandidasi di AS, perjalanan konvensi di Indonesia masih berliku-liku. Ihwal ini menyangkut soal budaya politik parokial, perkara kelembagaan partai, termasuk tantangan ambang batas presidensial.

Konvensi di AS telah berlaku formal sebagaimana tertuang dalam AD/ART Partai Demokrat maupun Partai Republik. Format penyelenggaraan konvensi pun melewati rute panjang mulai dari pemilihan primer, kaukus, dan konvensi negara bagian.

Lalu pertanyaannya, bagaimana model konvensi yang cocok untuk postur politik Indonesia? Tak bisa dimungkiri, konvensi capres mazhab Indonesia masih bersifat temporer dan ‘trial and error’. Meski begitu, metode konvensi versi AS tidak mesti kita cangkokkan ke dalam tubuh demokrasi Indonesia.

Setiap parpol memiliki tata cara dan skema kandidasi tersendiri untuk menyeleksi capres favorit, termasuk formulasi model konvensi yang sesuai dengan kebutuhan partainya.

Pada akhirnya, konvensi NasDem berada dalam ketegangan idealisme dan realitas politik yang kompleks. Pemilu 2024 masih lama, dan masih tersisa ruang inovasi politik yang cukup untuk menggenjot elektabilitas, dan meraba kehendak publik. Dalam proses kandidasi, hukum menunaikan konvensi tidaklah wajib, melainkan sebuah pilihan semata.

Mawardin
Sumber: Kumparan
Sumber foto: Fitra Andrianto/kumparan

Jokowi: Antara ”Legacy” dan Kutukan Periode Kedua

Tatkala dunia dilanda pandemi Covid-19, Presiden Jokowi seperti bersua dengan ”mitos” kutukan periode kedua.

Berbagai rencana dan ambisi besarnya terhadang, upaya membangun legacy (warisan) seakan menghadapi tembok yang tinggi di depannya.Nyaris dua tahun masa kepresidenan Jokowi pada periode keduanya disibukkan dengan problem memitigasi pandemi. Enam bulan pertama masa yang berat.Survei Charta Politika dan lembaga lain, seperti SMRC dan Indikator Politik, menunjukkan merosotnya penilaian publik terhadap kinerja pemerintah secara umum meski tak serendah pada awal periode pertama. Namun, setelah itu, penilaian publik cenderung membaik walaupun belum mencapai angka approval rating sebelum pandemi Covid-19.

Di sisi lain, meski kondisi ekonomi rumah tangga ataupun nasional masih dinilai buruk, publik masih optimistis terhadap prospek perekonomian satu tahun ke depan. Dapat disimpulkan dalam kondisi pandemi, walau ada gejala peningkatan ketidakpuasan, secara umum tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi-Amin masih positif. Ini jelas sebuah modal politik. Pertanyaannya, apakah ini cukup memadai untuk menghadapi apa yang disebut dengan ”kutukan periode kedua”?

Meneguhkan pijakan

Periode kedua idealnya merupakan sebuah kesempatan besar. Karena tak bisa mencalonkan diri lagi, petahana tak lagi dipusingkan dengan isu bagaimana harus memenangi pemilu berikutnya. Jajaran pemerintahannya pun sudah berpengalaman sehingga lebih mudah membuat kebijakan yang tegas (Abbott dkk, 2020).

Jokowi tampaknya menyadari peluang ini. Tak heran dalam pidato kemenangannya, dia menyebutkan dirinya sudah tanpa beban. Pesan ini mengisyaratkan pada periode kedua, Jokowi akan lebih mengutamakan kebijakan-kebijakan yang sangat mungkin tak populer di mata publik, tapi ia nilai sangat penting, alih-alih mengeksekusi kebijakan yang diinginkan pemilih. Tentu saja, strategi ini tidak kaku. Jokowi bak pendulum, akan berayun untuk mencegah penebalan sentimen negatif terhadap pemerintahannya.Jokowi bak pendulum, akan berayun untuk mencegah penebalan sentimen negatif terhadap pemerintahannya.

Keberanian Jokowi melawan arus tentu tak muncul seketika. Periode pertama pengalaman berharga. Bill Clinton disebut sebagai presiden yang paling mendapat manfaat pengalaman politik pada periode pertamanya dibandingkan pendahulunya (Nelson, 1998). Hal yang mirip juga terjadi pada Jokowi. Gonjang-ganjing politik dan pengalaman menjadi pemerintahan minoritas (baik di DKI maupun awal periode pertama jadi presiden) memberi banyak asupan bagi Jokowi untuk memahami konstelasi politik, pola tingkah elite politik ataupun bisnis, kebiasaan birokrasi ataupun kecenderungan perilaku pemilih.

Dalam hal ini, Jokowi sepertinya menyadari dirinya tak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Lebih dari itu, ia menyadari harus berkompromi lebih dari seharusnya. Transfer politik merupakan keniscayaan. Ini dilakukan dengan cara mengaktivasi perangkat eksekutif. Chaisty dkk (2012) memilah perangkat eksekutif ini dalam lima kategori: kekuasaan agenda politik (kekuasaan legislatif yang diberikan kepada presiden, dekrit), otoritas anggaran (kontrol terhadap belanja publik), manajemen kabinet (pendistribusian kursi menteri), kekuasaan partisan (pengaruh presiden terhadap satu atau lebih partai koalisi), dan institusi informal (kategori lain sesuai konteks tiap negara).

Namun, transfer politik saja tak cukup. Jokowi menginsyafi tak mungkin mencapai semua janji politiknya. Karena itu, ia merelakan sebagian agar kebijakan prioritasnya tetap berjalan.

Dipahami secara berbeda, bisa juga pada periode kedua ini Jokowi lebih ”memanjakan” preferensi politiknya yang berorientasi pada ekonomi dan stabilitas politik meski harus dibayar dengan persepsi kemunduran demokrasi secara umum, terutama di kalangan aktivis HAM dan demokrasi.

Manuver pertamanya yang signifikan dari pemahaman seperti itu adalah dengan melibatkan Prabowo Subianto sebagai anggota kabinetnya. Jokowi memahami sikap politiknya ini akan membuat sebagian pemilihnya uring-uringan. Ia pun memahami para pemilih Prabowo belum tentu berpaling jadi pendukung pemerintah. Namun, ini langkah politik yang diperlukan untuk memastikan tak lagi tersandera DPR seperti terjadi di paruh awal kepresidenannya pada periode pertama, sekaligus antisipasi jika partai-partai pendukung pemerintah ada yang bermanuver.

Pilihan membentuk koalisi besar sejatinya sempat dianggap spekulatif. Penilaian ini terutama becermin dari kegagalan koalisi besar yang dibangun SBY pada periode kedua kepresidenannya.Mitra-mitra koalisinya ketika itu, terutama Golkar dan PKS, justru kerap membombardir pemerintahannya. Koalisi besar yang menyokong pemerintahan Jokowi-Amin di luar dugaan justru punya disiplin koalisi relatif tinggi di parlemen. Dibuktikan dari keberhasilan meloloskan UU Cipta Kerja dan UU Harmoni Peraturan Perpajakan.

Bisa dimitigasi

Meski demikian, tiga tahun ke depan akan tetap jadi sebuah perjalanan sulit bagi Jokowi-Amin. Jokowi akan tetap menghadapi situasi atau tantangan khas pada periode kedua kepresidenan. Nelson (1998) menyebut setidaknya ada tiga faktor yang menghambat petahana bisa lebih berhasil dibandingkan periode pertamanya: warisan masalah dan atau kebijakan pada periode pertama, ketiadaan ”bulan madu” (dengan media dan publik) dan situasi lame duck government.

Berdasarkan kajiannya secara historis dalam kasus kepresidenan di AS, Crockett (2008) mengidentifikasi empat faktor: keangkuhan setelah terpilih, kepenatan personel terutama ketika sekali dihadapkan pada tuntutan pencapaian lebih baik lagi dari periode pertama, ”empty campaign”, dan juga kegagalan kepemimpinan yang antara lain juga bersumber dari sikap politik pada periode pertama. Dari konteks tiga tahun terakhir periode kedua Jokowi, tantangan terbesarnya adalah menghadapi situasi lame duck president.

Menyitir Jhonson (1986), ada berbagai situasi yang dilekatkan dengan istilah ini (lame duck president). Mulanya, istilah ini merujuk pada masa transisi ketika petahana kalah di pemilu, tapi masih tetap menjabat hingga presiden terpilih dilantik.Istilah ini juga dinisbahkan pada masa transisi ketika petahana presiden mengumumkan diri tak mencalonkan lagi untuk periode berikut atau juga tak bisa mencalonkan kembali. Belakangan, istilah ini bahkan dipakai untuk seluruh periode kedua kepresidenan Ronald Reagan.

Dalam kasus Jokowi, terminologi ini merujuk pada kondisi ketika parpol, parlemen, media, (sebagian) anggota kabinet, hingga staf pendukung kepresidenan sudah lebih sibuk dengan urusan Pilpres 2024. Ini semacam situasi ”pemilu yang kepagian”.Di satu sisi, orientasi pada pemilu berikutnya hal lumrah dan karena itu tak terelak. Namun, situasi ini akan jadi batu sandungan bagi pemerintahan Jokowi manakala bertemu tiga kondisi, yaitu koalisi pendukungnya retak atau disiplin koalisinya mengendur, anggota kabinetnya sibuk bermanuver, dan staf pendukungnya sudah siap-siap cari ”perahu” berikutnya.

Dampak ”pemilu kepagian” tak dapat ditolak, tapi bukan berarti tak bisa dimitigasi. Caranya, pertama, menata ulang dari sisi personel. Menilik tingkat kepuasan yang cenderung menurun, Jokowi bisa memainkan kartu perombakan kabinet. Meski transfer politik berupa alokasi kursi menteri harus tetap diberikan kepada partai pengusung, Jokowi perlu membangun negosiasi untuk mendapat orang-orang terbaik dari tiap-tiap partai itu. Jika diperlukan, ada tambahan transfer politik lain (seperti kepala badan) untuk mengompensasi pilihan pada figur-figur tertentu dari partai-partai itu.

Jokowi bisa mengisi posisi wakil menteri (wamen) yang saat ini banyak dikosongkan di sejumlah kementerian. Wamen-wamen ini dipersiapkan untuk mendukung kerja menteri dan juga sekaligus bersiap jika menteri itu mengundurkan diri dan atau ditarik oleh parpolnya.

Sebagai pelengkap, Jokowi perlu mempertimbangkan melakukan penyegaran di kalangan staf pendukungnya, termasuk di badan-badan ad hoc yang dibentuknya. Terutama sekali pada figur-figur yang menjadi beban dan atau yang tak lagi sepenuh hati bekerja untuk pemerintahan Jokowi karena satu dan lain alasan. Kehadiran figur baru merupakan sebuah peluang menghadirkan ide atau terobosan baru. Sebab, figur baru relatif tak terkena sindrom kelelahan politik dan atau menjadi keras kepala sebagai akumulasi pengalaman selama tujuh tahun kepresidenan Jokowi.

Jokowi juga perlu segera menyiapkan personel untuk mengisi 271 posisi kepala daerah yang akan kosong pada 2022 dan 2023 karena adanya pemberlakuan pilkada serentak di 2024. Posisi pejabat kepala daerah penting agar dekonsentrasi dan tugas perbantuan tetap terlaksana dan pelayanan publik dan pembangunan di daerah terus berjalan. Dalam hal ini, Jokowi perlu memastikan komando ada di tangannya agar tak terkesan ada dualisme loyalitas. Namun, di saat yang sama, pengisian ini perlu memperhatikan kepatutan politik agar tak terjadi resistensi terhadap para pejabat kepala daerah ini.

Kedua, Jokowi perlu menyegerakan regulasi prioritas agar selesai di 2022. Jika tidak, Jokowi akan kesulitan karena pada 2023 parlemen akan lebih sibuk ”mengurus” Pemilu 2024 atau koalisi sudah retak. Dalam situasi seperti itu, upaya meloloskan kebijakan dan regulasi akan jauh lebih sulit dan atau lebih mahal secara politik.

Selain terkait investasi dan infrastruktur yang jadi prioritasnya, Jokowi perlu mempertimbangkan untuk menyiapkan undang-undang sapu jagat (omnibus law) untuk mempercepat reformasi birokrasi. Termasuk menata ulang lembaga-lembaga tambahan negara, seperti Ombudsman, KPPU, KIP, KPU, Komnas HAM, Komisi Yudisial, dan KPK, yang saat ini bekerja terpisah-pisah. Yang tak kalah penting, menyiapkan payung hukum baru bagi para pejabat kepala daerah. Jika tidak, akan terjadi situasi menyerupai lame duck government di level daerah. Implikasinya akan banyak dan jika tak diantisipasi berpotensi jadi penghadang agenda prioritas pemerintahan Jokowi-Amin.

Ketiga, memelihara modal politik. Pasalnya, situasi ”pemilu kepagian” berpotensi menggerus reputasi Jokowi. Pola pemberitaan cenderung mengadopsi pendekatan ”pacuan kuda”. Fokus media akan lebih ke arah kandidat potensial ketimbang Jokowi ataupun pemerintahannya.  Terkait itu, aksi komunikasi para kandidat sangat mungkin membuat pesona Jokowi tergerus. Ini hal yang serius karena tingkat kepuasaan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi selama ini antara lain juga tertopang adanya sikap partisan publik dan juga pesona individual Jokowi.

Selain memastikan kinerja ekonomi, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan mitigasi Covid-19 secara lebih komprehensif ketimbang sebelumnya. Meski kini sudah relatif terkendali, situasi ke depan masih samar-samar. Kemandekan percepatan vaksinasi di AS, lonjakan kasus di Singapura dan kemudian di Eropa, mengindikasikan situasi terkendali bisa dengan cepat berbalik 180 derajat.

Jika kondisi pandemi kembali memburuk dengan cepat, pemerintahan Jokowi akan menghadapi tekanan yang lebih besar apabila memilih kebijakan pembatasan sosial yang lebih ketat. Pasalnya, temuan survei Charta Politika ataupun Indikator Politik, umpamanya, menunjukkan pergeseran preferensi pemilih. Kini, dukungan terhadap kebijakan pembatasan sosial seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak lagi sekuat enam bulan di awal pandemi.

Pada saat yang sama, pemerintahan Jokowi belum menemukan resep jitu untuk mendorong pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat. Pelaksanaan vaksinasi pun masih timpang antarprovinsi. Akibatnya, pemerintah juga kesulitan mendorong vaksinasi ketiga (booster) seandainya pun stok vaksin tersedia.

Dengan kata lain, pemerintahan Jokowi akan menghadapi problem lama, tapi baru: ingin cepat bergeser dari situasi pandemi ke endemi, tapi tak cukup kapasitas dan sumber daya untuk melakukannya. Situasi ini bak orang pelari cepat, tapi satu kakinya membawa beban nan berat.

Modal politik lainnya bersumber dari kemauan politik Jokowi untuk minimal mempertahankan defisit demokrasi tak terus membesar. Ini penting untuk dicermati karena permisivitas publik ada batasnya. Jika ambang batas ini dilalui, publik bisa terpicu oleh satu-dua peristiwa ketidakadilan sosial, diskriminasi, ataupun sentimen keagamaan.

Modal politik menjadi mata uang yang berharga tidak saja untuk mengarungi dinamika politik tiga tahun ke depan yang kompleks dan ambigu, tetapi juga untuk setidaknya menyamai keberhasilan pada periode pertama.

Sebagai presiden, Jokowi niscaya punya ambisi untuk dikenang keberhasilan-keberhasilannya yang monumental (legacy). Ini hal yang wajar dalam politik. Yang perlu dicermati, narasi legacy memang bisa digaungkan sejak sekarang. Namun, seiring waktu, narasi itu berpotensi dimaknai secara terbelah (diterima sebagian, ditolak sebagian) dan atau dimaknai secara berlawanan.

Punya legacy itu satu hal, tapi bagaimana hal itu dinilai merupakan hal yang berbeda. Karena itu, Jokowi seyogianya juga memperhatikan suasana kebatinan masyarakat dan tidak hanya berfokus pada legacy di bidang pencapaian fisik belaka.

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Melampaui Polarisasi

Perbincangan publik tentang bahaya polarisasi politik mengalir di mana-mana. Pertandingan dua figur utama – Jokowi versus Prabowo – selama dua momentum Pemilihan Presiden (2014 dan 2019) menyisakan kesenjangan psikologis (psychological gap) antarkedua blok politik itu. Secara diametrikal, elite dan massa terpolarisasi hingga melahirkan ekstremitas konflik politik yang masih terasa hawanya saat ini.

Dalam lensa yang berbeda, apakah ada “blessing in disguise” (berkat terselubung) dari tekstur politik bipolar, dan bagaimana mengelola polarisasi politik sekaligus melampaui itu semua?  

Partisipasi politik

Sejumlah pakar menemukan polarisasi justru meningkatkan partisipasi politik. Riset Elizabeth N.Simasa dan Adam L.Ozerb (2021) dengan menggunakan data siklus pemilu 2010-2018 di Amerika Serikat, menggambarkan bahwa gairah pemilih didorong oleh polarisasi politik. Namun keikutsertaan pemilih termotivasi kuat lantaran ingin menjegal kandidat tertentu. Maka, seperti dicatat Shanto Iyengar dan Masha Krupenkin (2018), menyerang lawan lebih mengemuka daripada membincang platform dan kualifikasi kandidat selama kampanye pemilu US.

Setali tiga uang dengan pilpres 2014 di Indonesia, kubu-kubu politik yang berseberangan saling menegasikan rival politik secara brutal. Gegap-gempita isu komunis, asing-aseng, khilafah hingga politik takfiri lebih menggema daripada percaturan gagasan maupun perdebatan mazhab ekonomi-politik para kandidat. Di ranah media sosial, stok narasi mengalami amplifikasi yang membelah netizen partisan dalam relasi antagonistik. Ketenangan apolitis seketika berubah menjadi ketegangan politis.

Pola kampanye jelang pilpres 2019 juga tidak banyak berubah. “Asal Bukan Jokowi” atau “Asal Bukan Prabowo” cenderung lebih pekat daripada menyoroti kinerja calon petahana ataupun membedah platform politik calon penantang. Eksaminasi program dan eksplorasi haluan kebijakan pembangunan para kandidat tertindis oleh ekstasi pengultusan individu.

Di sisi lain, pengutuban antara kubu pro dan anti kebijakan pemerintahan Jokowi selama tujuh tahun terakhir memang mengerucut. Ihwal itu menunjukkan kanalisasi hak-hak sosial politik warga negara tersalurkan. Gelembung perhatian segenap elemen bangsa terhadap politik kian kritis sebagai “berkat terselubung” dari polarisasi. Dalam derajat tertentu, polarisasi ibarat motor yang menggerakkan warga dari apatisme ke aktivisme politik.

Bagi publik, polarisasi mengayunkan langkah mereka untuk menyelidiki serba-serbi calon pemimpin. Para kandidat pun terpacu untuk menentukan positioning politik sesuai preferensi pemilih. Setelah pesta demokrasi, warga negara pun tetap antusias mengontrol kinerja pejabat publik terpilih. Praktis, polarisasi politik tidak selalu mengedarkan rupa-rupa banalitas, justru partisipasi publik akan tergalang untuk menciptakan diskursus publik yang meriah.

Pada pemilu 2024 mendatang, kesadaran berdemokrasi para kontestan harus mulai beranjak dari ketegangan afektif-emosional menuju ketegangan kognitif yang berciri dialogis dalam semarak pertarungan agenda programatik. Muaranya, kenaikan partisipasi politik bukan hanya bersifat kuantitatif, tapi juga kualitatif. Partisipasi politik tidak lagi sekadar prosedural, tapi juga substantif untuk mendesakkan tuntutan perubahan. Dengan cara itu, partisipasi yang terdongkrak dalam polarisasi menuai berkah demokrasi.

Untuk mencegah polarisasi dari ajang kanibalisasi politik, sejumlah politisi demagog yang gemar mengeksploitasi politisasi agama harus dilawan oleh kekuatan kelas menengah terdidik dan masyarakat sipil terkonsolidasi. Saat yang sama, pemilih memberikan sanksi politik melalui bilik suara kepada siapa pun yang berintrik kotor untuk memecah-belah bangsa.

Kampanye pemilu 2019 di Indonesia mendorong polarisasi berbasis agama dalam perilaku memilih (Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, 2019). Dalam dinamika kepartaian di Indonesia, agama memang sah dan konstitusional sebagai asas partai politik, misalnya, tapi perwajahan agama di ruang publik mesti dijunjung tinggi sebagai jangkar kebangsaan dan sumber etika politik.

Jika agama ditunggangi elite sebagai instrumen mobilisasi dan justifikasi kepentingan parsial, maka universalitas agama akan mengalami reduksi ke titik partikular. Gejala privatisasi agama dalam politik elektoral tentu berdampak kontraproduktif bagi obyektifikasi ide. Itulah sebabnya Jose Casanova (2012) dalam Rethinking Public Religions, menelurkan tesis “de-privatisasi agama”. Di sini, pemuka agama dapat mengambil peran transformatif – meminjam istilah Nurcholis Madjid – sebagai tangki penampungan moral.

Chaos politik dalam gelanggang demokrasi elektoral tidak lahir dari ruang hampa. Akrobat elite yang memainkan kampanye hitam, fitnah, ujaran kebencian (hate speech), pelintiran kebencian (hate spin), hoax, disinformasi, dan asasinasi politik adalah hulu dari kekacauan. Rakyat tidak boleh dikorbankan demi libido kekuasaan elite tunamoral. Politisi mesti menengok kembali spirit respublika sebagai nalar kolektif.  

Nalar respublika

Secara praksis, elite lintas partai politik sepatutnya membangun pola komunikasi politik yang lebih inklusif, diskursif, dan persuasif, bukan agresif, eksklusif, dan represif. Elite politik yang masih bergumul dalam tempurung politik sektarianisme akan tergilas oleh zaman. Pilihan etisnya adalah mengarungi cakrawala politik adiluhung berlandaskan nalar respublika.

Landasan filosofis respublika merupakan bintang pemandu (leitstar) dinamis bagi semua warga negara untuk memenangkan kepentingan umum daripada kepentingan sempit. Publik tidak saling menekan saklar kebencian dan intimidasi simbolik di media sosial. Pemilih membingkai percakapan secara dialektis di kanal publik, bukan terjebak dalam opium kekerasan, apalagi saling membumihanguskan.

Spirit respublika yang dimekarkan terdiri dari ketulusan untuk mengakui eksistensi orang lain dengan segala latar belakang sosio-antropologisnya. Aktor partai politik berlaku sebagai garda terdepan untuk merasionalisasi ruang publik. Dengan begitu, seni berdemokrasi yang berhimpun imajinasi kolektif untuk memajukan republik menemukan saluran yang segar.

Dus, polarisasi politik bukan diledakkan untuk memancing amarah komunal, tapi pertukaran makna yang beralaskan akal sehat (common sense). Kritik dari oposan memang bebas di alam demokrasi, tapi garis demarkasinya haruslah murni untuk menguliti substansi kebijakan, bukan menyerang martabat individu. Begitu pula pemerintah, segala macam kritik sepahit apapun adalah keniscayaan demokratik untuk memperkaya narasi kebangsaan.

Hasilnya, polarisasi politik akan berbuah secara asimetrik terhadap penegakan demokrasi substansial. Semua lapisan penikmat politik selayaknya meletakkan kebinekaan sebagai teleologis berdemokrasi. Untuk itu, elite beserta kader partai politik dapat mengkhidmati Pancasila sebagai sumber mata air ideologis respublika Indonesia. Dari basis itulah, polarisasi politik diharapkan bisa dikelola oleh pemimpin politik beserta segenap pemangku kepentingan untuk merayakan kompetisi elektoral 2024 mendatang dalam bingkai demokrasi yang beradab.

Mawardin; Peneliti Charta Politika Indonesia

Opini Kompas, 28 Oktober 2021

Ilustrasi: Didie SW