Jalan Terjal Konvensi Calon Presiden
Di pentas politik mutakhir, Partai NasDem melontarkan wacana konvensi calon presiden yang rencananya akan digelar pada 2022. Sejumlah pihak merespons positif langkah partai yang dipimpin oleh Surya Paloh itu, tetapi juga muncul reaksi bernada skeptis. Jika konvensi NasDem benar terjadi, tentu membawa angin segar bagi kader terbaik partai maupun figur non-partai untuk berlaga.
Namun, ekspektasi NasDem untuk menggelar konvensi akan dipenuhi jalan terjal. Pasalnya, berdasarkan UU Pemilu bahwa persyaratan untuk mengusung capres dan cawapres 2024 harus memenuhi minimal 20 persen kursi di DPR atau minimal 25 persen suara parpol atau gabungan parpol pada pemilu sebelumnya.
Sementara jumlah perolehan suara NasDem hanya meraup 9,05 persen mengacu pada hasil Pemilihan Legislatif 2019. Artinya, NasDem wajib merajut koalisi dengan partai lain agar terpenuhi ambang batas presidensial (presidential threshold).
Preseden Politik
Dalam pengalaman parpol sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sempat merencanakan konvensi pada 2013, tetapi gagal terselenggara. Dalihnya agak ‘setengah mati’ lantaran terhambat ambang batas presidensial.
Di tengah haru-biru, Partai Demokrat sempat mengadakan konvensi yang diikuti sejumlah kader internal Demokrat dan kandidat eksternal. Sayangnya, gebyar konvensi partai berlambang bintang mercy itu tampak ‘setengah matang’ hingga berujung antiklimaks. Dahlan Iskan yang memenangkan konvensi Demokrat gagal bertarung di pilpres 2014.
Kita juga dapat mengambil pelajaran dari Partai Golkar selaku pionir pertama pergelaran konvensi. Pesertanya secara eksklusif terdiri dari kader teras partai kuning itu, lalu menanglah Wiranto yang dipilih oleh pengurus DPD dan DPP Partai Golkar.
Meskipun Golkar menduduki peringkat pertama (21,58 persen) pada pemilu 2004, namun Wiranto justru kalah telak dalam pilpres. Batu sandungannya terletak pada fragmentasi elite sentral partai yang menyodok bola politik hingga terpantul ke mana-mana. Mesin politik beringin juga terkesan ‘setengah hati’ mendukung capres hasil konvensi.
Konvensi capres ala Indonesia memang tidak semulus tradisi konvensi yang mapan di Amerika Serikat. Di AS, tingkat kemelekatan partai (party-ID) dengan kader ataupun konstituen sangat kuat. Secara otomatis, siapa pun pemenang konvensi, pemangku kepentingan partai akan bergerak solid, tidak setengah-setengah. Mampukah NasDem keluar dari preseden politik itu?
Berkaca pada hasil polling akhir-akhir ini, NasDem memang belum memiliki kader internal sebagai capres kompetitif yang tertangkap layar lembaga survei kredibel. Di sisi lain, Nasdem terhitung perahu yang prospektif bagi tokoh ngetop (non-partai) untuk berlayar meniti pesta demokrasi 2024. Terlepas dari jadi atau tidaknya nantinya, pertimbangan NasDem untuk menghelat konvensi layak diapresiasi.
Hakikat dari konvensi itu membuka diri terhadap siapa pun untuk berpartisipasi dalam menentukan arah biduk republik. Parpol menjadi kawah candradimuka untuk memfasilitasi intensi politik para kader pemimpin nasional dari segala penjuru. Salah satu pintu gerbangnya adalah konvensi. Maka, konvensi capres bisa ditafsir sebagai manifestasi politik restorasi yang digaungkan NasDem dalam satu dekade terakhir.
Sketsa Kandidasi
Konvensi dapat ditilik sebagai bentuk penguatan kelembagaan dan demokratisasi di parpol. Metode seleksi kandidat dalam bingkai demokrasi bertautan dengan empat dimensi utama, seperti digambarkan oleh Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat (2010), yakni partisipasi, representasi, kompetisi, dan daya respons.
Paradoks dalam praktik konvensi tentu ada, namun bukan berarti meluruhkan seluruh konten yang konstruktif dari konvensi. Pilihannya adalah membenahi pelembagaan partai, baik secara struktural maupun kultural dalam rangka mempolakan perilaku, sikap ataupun budaya (Vicky Randall dan Lars Svasan, 2002).
Dalam lensa pendidikan politik, sejatinya gagasan konvensi tergolong wadah untuk mensosialisasikan platform politik, ideologi, program dan kebijakan partai dengan kemasan yang atraktif. Saat yang sama, konvensi berfungsi sebagai arena kontestasi ide-ide para bakal capres. Ruang seleksi kepemimpinan nasional pun akan terbuka lebar, partisipatif, dan terdesentralisasi di organisasi parpol.
Secara umum, penjaringan kandidat presiden selama ini terlampaui sentralistik berdasarkan sabda elite puncak struktur partai. Dalam etalase konvensi, figur kapabel dapat disaring melalui mekanisme yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Ketika konvensi digaungkan kembali oleh NasDem, spekulasi acak dari pihak lain tentu tak terhindarkan.
Dalam perspektif Tevi Troy (2016), sebagian besar konvensi saat ini menjadi peluang iklan partai. Asumsinya, pertunjukan sketsa kandidasi capres akan memantik perhatian khalayak terhadap partai penyelenggara konvensi. Di titik itu, konvensi bukan semata-mata sebagai tujuan, tapi sebagai kanal periklanan, promosi, dan publisitas. Menyitir istilah politisi AS Phineas Taylor Barnum: “all publicity is good publicity”.
Insentif citra partai sangat mungkin terdongkrak manakala capres peserta konvensi mengartikulasikan narasi yang kongruen dengan selera publik. Mereka ibarat duta yang merepresentasikan keunikan identitas beserta simpatisannya yang multi-entitas. Di dalamnya, konvensi berkait-kelindan dengan strategi pemasaran partai untuk memersuasi konstituen.
Seperti pada pemasaran komersil, mengutip Firmanzah (2008), maka pada pemasaran politik juga terdapat produsen (pelaku politik), produk (produk politik: person, party, policy) dan konsumen (electorate).
Jika kita komparasikan dengan praktik kandidasi di AS, perjalanan konvensi di Indonesia masih berliku-liku. Ihwal ini menyangkut soal budaya politik parokial, perkara kelembagaan partai, termasuk tantangan ambang batas presidensial.
Konvensi di AS telah berlaku formal sebagaimana tertuang dalam AD/ART Partai Demokrat maupun Partai Republik. Format penyelenggaraan konvensi pun melewati rute panjang mulai dari pemilihan primer, kaukus, dan konvensi negara bagian.
Lalu pertanyaannya, bagaimana model konvensi yang cocok untuk postur politik Indonesia? Tak bisa dimungkiri, konvensi capres mazhab Indonesia masih bersifat temporer dan ‘trial and error’. Meski begitu, metode konvensi versi AS tidak mesti kita cangkokkan ke dalam tubuh demokrasi Indonesia.
Setiap parpol memiliki tata cara dan skema kandidasi tersendiri untuk menyeleksi capres favorit, termasuk formulasi model konvensi yang sesuai dengan kebutuhan partainya.
Pada akhirnya, konvensi NasDem berada dalam ketegangan idealisme dan realitas politik yang kompleks. Pemilu 2024 masih lama, dan masih tersisa ruang inovasi politik yang cukup untuk menggenjot elektabilitas, dan meraba kehendak publik. Dalam proses kandidasi, hukum menunaikan konvensi tidaklah wajib, melainkan sebuah pilihan semata.
Mawardin
Sumber: Kumparan
Sumber foto: Fitra Andrianto/kumparan
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!