Refleksi demokrasi dari Pemilu hingga Pilkada

Jakarta (ANTARA) – Reformasi di Indonesia telah berlangsung lebih dari dua dekade. Semangat reformasi yang dimulai pada tahun 1998 bertujuan untuk mewujudkan demokrasi sejati, pemerintahan yang bersih, transparan, dan berkeadilan.

Demokrasi yang menjadi buah reformasi dapat terlihat jelas dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Akan tetapi, realitas pelaksanaan demokrasi kita hari ini masih jauh dari idealisme reformasi.

Sejak reformasi bergulir, sudah enam kali Indonesia menyelenggarakan pemilu legislatif dan lima kali pemilihan presiden secara langsung. Namun, kualitas demokrasi kita justru semakin memprihatinkan.

Secara administratif, pemilu memang mengalami peningkatan prosedural, tetapi secara substansi dan moral mengalami kemunduran. Praktik politik uang dan transaksi politik di balik layar semakin marak, mencemari esensi demokrasi itu sendiri. Hal ini juga terlihat jelas dalam penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran ini terjadi. Pertama, kaderisasi partai politik yang tidak berjalan efektif. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran politik dan demokrasi justru terjebak dalam pragmatisme politik semata. Akibatnya, para calon pemimpin yang diajukan ke publik tidak benar-benar melewati proses kaderisasi yang matang.

Kedua, fenomena “mahar politik” yang semakin lazim. Calon-calon kepala daerah harus menyediakan dana besar untuk mendapatkan rekomendasi partai. Kondisi ini membuka peluang luas bagi korupsi dan politik uang dalam berbagai bentuknya.

Praktik politik uang ini semakin diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan rendahnya integritas penyelenggara pemilu. Masih hangat di benak masyarakat kita, pada Pemilihan Presiden 2024, institusi penting seperti Mahkamah Konstitusi (MK) juga ikut dipolitisasi.

Putusan MK terkait perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden memperlihatkan bagaimana kepentingan politik dan kekeluargaan dapat dengan mudah mempengaruhi institusi yang seharusnya independen dan netral. Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa demokrasi Indonesia masih sangat rentan terhadap intervensi politik kekuasaan.

Kondisi serupa juga terjadi pada tingkat lokal melalui pelaksanaan pilkada. Di berbagai daerah, fenomena dinasti politik tumbuh subur, di mana kekuasaan politik diwariskan secara turun-temurun di lingkungan keluarga tertentu. Praktik ini bertentangan langsung dengan prinsip meritokrasi dan demokrasi substantif yang menjadi esensi reformasi. Selain itu, politisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam mendukung calon tertentu juga semakin memperparah kondisi demokrasi lokal.

Fakta lain yang memperjelas persoalan demokrasi lokal adalah banyaknya gugatan sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Lebih dari separuh daerah di Indonesia menghadapi sengketa pilkada yang diajukan ke MK pada pilkada 2024.

Meski tidak semua gugatan memiliki bukti kuat, tetapi tingginya angka gugatan ini jelas menunjukkan adanya persoalan serius dalam pelaksanaan pilkada. Berbagai putusan MK seperti Pemungutan Suara Ulang (PSU) hingga diskualifikasi calon menjadi bukti nyata adanya pelanggaran yang sistematis dan berulang dalam demokrasi elektoral.

Namun, realitas menunjukkan bahwa putusan MK seperti PSU tidak selalu efektif dalam memberikan efek jera. PSU sering dimanfaatkan oleh kandidat yang sudah memiliki keunggulan untuk kembali melakukan kecurangan dengan lebih rapi dan terorganisir.

Kandidat yang sebelumnya menang dalam jarak suara besar memiliki keuntungan berupa infrastruktur politik, sumber daya finansial, dan jaringan relawan yang solid. Hal ini tercermin dari banyaknya hasil PSU yang kembali digugat ke MK. Contoh nyata yang bisa diamati adalah kasus pilkada di Kabupaten Barito Utara, yang menjadi bukti kegagalan PSU dalam memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggaran demokrasi.

Menghadapi berbagai permasalahan tersebut, bangsa ini perlu kembali membangun kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Momentum memperingati reformasi harus menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan kembali perjalanan demokrasi kita.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki regulasi terkait pemilu dan pilkada secara menyeluruh. Banyaknya gugatan serta berbagai fakta pelanggaran yang terjadi harus menjadi momentum korektif untuk memperbaiki sistem hukum pemilu agar lebih tegas, jelas, dan efektif dalam mencegah berbagai pelanggaran.

Selain regulasi, lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus diperbaiki sejak proses rekrutmen. Perekrutan penyelenggara pemilu harus benar-benar independen dan terbebas dari pengaruh partai politik, agar lembaga tersebut mampu bekerja secara netral dan profesional. Independensi penyelenggara pemilu menjadi kunci utama terciptanya demokrasi yang sehat.

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga perlu mempertegas kembali perannya dalam menjaga integritas demokrasi Indonesia. MK harus mampu menghasilkan putusan yang memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran demokrasi. Selama ini, putusan seperti PSU hanya menjadi ritual yang mengulang kembali kecurangan dengan cara yang lebih terselubung dan efektif.

Terakhir, partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi harus diperkuat. Demokrasi yang substansial adalah demokrasi yang mampu melibatkan masyarakat secara aktif, bukan hanya saat pemilu dan pilkada berlangsung, tetapi dalam seluruh proses kebijakan publik dan pemerintahan. Pendidikan politik dan sosialisasi demokrasi harus terus dilakukan secara masif agar kesadaran politik masyarakat meningkat.

Dengan berbagai upaya tersebut, cita-cita luhur reformasi untuk mewujudkan demokrasi substantif, bersih, dan partisipatif dapat tercapai.

Reformasi tidak boleh berhenti sebagai slogan kosong. Kita harus terus memperjuangkan reformasi demi demokrasi Indonesia yang lebih baik, transparan, dan adil.

Hanya dengan kesungguhan dan kerja keras bersama, demokrasi sejati sebagai amanat reformasi dapat kita wujudkan sepenuhnya.

Aco Ardiansyah Andi Patingari
Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Antaranews.com
Foto: ANTARA/HO-Rilis.

Demokrasi semu di balik PSU

PSU seharusnya menjadi mekanisme korektif. Sayangnya, tanpa diskualifikasi Paslon yang terbukti melanggar, PSU malah jadi jalan tengah yang menyesatkan

Jakarta (ANTARA) – Bayangkan sebuah pertandingan ulang yang dimenangkan oleh tim yang sama, di lapangan yang sama, dengan wasit yang sama, dan penonton yang sudah tahu hasil akhirnya.

Itulah kira-kira gambaran dari pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini mulai menjamur di sejumlah daerah. Alih-alih menjadi solusi atas sengketa demokrasi, PSU justru menjadi ruang legal yang menjustifikasi kecurangan secara lebih rapi dan mahal.

Mahkamah Konstitusi tentu bukan tanpa alasan ketika menjatuhkan putusan PSU kepada beberapa daerah. Dalam banyak kasus, ditemukan pelanggaran administratif atau tindakan yang dianggap memengaruhi hasil pemilu.

Namun, problem muncul ketika PSU dilaksanakan tanpa mendiskualifikasi pasangan calon (Paslon) yang sebelumnya terbukti telah diuntungkan oleh pelanggaran tersebut. Maka, PSU tak ubahnya hanya menjadi kosmetik demokrasi, ritual pengulangan yang hasilnya sudah bisa ditebak.

Paslon yang sebelumnya menang dengan selisih suara yang cukup besar, ketika diperintahkan untuk mengulang pemungutan suara di beberapa TPS atau bahkan semua TPS, sudah pasti diuntungkan. Mereka memiliki keunggulan infrastruktur: tim pemenangan yang siap tempur, kantong suara yang sudah terpetakan, strategi yang sudah teruji, dan yang tak kalah penting, psikologis dan kepercayaan masyarakat yang cenderung masih loyal terhadap pilihan sebelumnya.

Sebaliknya, Paslon yang sebelumnya mengalami kekalahan cenderung menjadi lebih tidak maksimal dalam menghadapi PSU. Selain karena potensi kekalahan masih besar, ada keragu-raguan yang melemahkan semangat perlawanan. Mereka dihadapkan pada dilema: mengeluarkan biaya politik baru dengan risiko hasil yang sama, atau menarik diri secara perlahan.

Hal paling mencolok dari PSU adalah melonjaknya ongkos atau biaya politik. Dalam kondisi normal, biaya kampanye saja sudah cukup tinggi, apalagi saat PSU. Semua proses politik diulang dengan tekanan yang lebih besar. Paslon yang sebelumnya menang akan berupaya mempertahankan kemenangan dengan segala cara, termasuk meningkatkan intensitas politik uang.

Paslon di urutan teratas tentu tidak ingin kehilangan hasil sebelumnya, sedangkan Paslon yang tertinggal akan mengerahkan semua sumber daya untuk mengejar ketertinggalan, apa lagi jika jarak kekalahan sebelumnya sangatlah tipis atau sedikit. Maka, terjadilah inflasi politik uang –suara rakyat makin murah secara moral, tapi makin mahal secara finansial.

Menurut data Mahkamah Konstitusi, setidaknya terdapat 24 daerah yang diperintahkan untuk menggelar PSU akibat sengketa hasil Pilkada 2024. Rentang waktu pelaksanaannya bervariasi, mulai dari 30 hingga 180 hari sejak putusan dibacakan pada 24 Februari 2025.

Dari 10 daerah yang telah melaksanakan PSU, setidaknya tujuh hasil PSU telah kembali digugat ke MK dengan berbagai dugaan kecurangan, mulai dari administrasi hingga dugaan politik uang kembali terjadi. Ini memperlihatkan bahwa PSU belum menyelesaikan persoalan substantif, justru menambah konflik baru dan memperkuat kecenderungan pragmatisme politik.

Putusan MK atas gugatan hasil PSU pada Kabupaten Barito Utara menjadi salah satu cerminan buruk demokrasi. Praktik money politic atau politik uang telah terbukti meningkat hingga berkali-kali lipat dibanding pemilu regular sebelumnya, dimana disebutkan bahwa setiap pemilih bahkan memperoleh politik uang sebesar 16 juta, dan mencapai 64 juta per KK.

Hal itu disebabkan antara lain karena ketidakinginan antara kedua Paslon tersebut dikalahkan oleh masing-masing lawannya sehingga berbagai cara dan upaya telah dilakukan. Belum lagi jumlah TPS yang sedikit sehingga membuat “target pembelian suara” lebih terfokus dan efisien.

Kemudian bagi Paslon yang terkena diskualifikasi oleh MK, bukan berarti pertarungan usai. Dalam beberapa kasus, mereka mengalihkan dukungan kepada kerabat, loyalis, atau kandidat bayangan untuk tetap bertarung. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan tetap bisa dijaga melalui sirkulasi semu dan manipulatif.

Untuk itu, dana politik yang digelontorkan pun semakin besar. Mereka tidak hanya ingin menang, tapi ingin membuktikan bahwa diskualifikasi tidak membuat mereka tersingkir. PSU bagi mereka adalah panggung balas dendam dan pemulihan maruah politik.

Tak kalah mengkhawatirkan adalah kondisi masyarakat yang makin permisif terhadap politik uang. Pada pilkada regular saja, banyak warga enggan datang ke TPS jika tidak mendapat uang saku. Bahkan ada yang terang-terangan menolak memilih tanpa “imbalan”. Apalagi pada proses pelaksanaan PSU dimana sebelumnya masyarakat telah merasakan bagaimana dan berapa besaran yang telah diberikan oleh masing-masing pasangan calon.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa pemilu telah tereduksi menjadi momen transaksi, bukan partisipasi. Dalam PSU, suasana ini justru lebih pekat, karena ini hanya menjadi pengulangan agenda dengan Paslon yang sama dan cara-cara yang sama, bahkan beberapa daerah memiliki cakupan wilayah kecil dan tensi politik tinggi.

PSU seharusnya menjadi mekanisme korektif. Sayangnya, tanpa diskualifikasi Paslon yang terbukti melanggar, PSU malah jadi jalan tengah yang menyesatkan. Publik bisa saja menangkap pesan bahwa “kecurangan yang rapi” akan tetap dapat diakomodasi oleh sistem.

Jika kecurangan hanya dibalas dengan PSU yang peluangnya tetap menguntungkan Paslon yang sebelumnya curang, maka sistem memberikan pelajaran bahwa curang itu tak mengapa, asal cermat dan tak terlalu vulgar.

Padahal, demokrasi bukan hanya soal prosedur, tapi juga moral. Ketika PSU justru meneguhkan dominasi modal, menguatkan praktik transaksional, dan mempertahankan elite lama dengan wajah baru, maka yang kita bangun bukanlah demokrasi, melainkan demokrasi semu.

Sudah saatnya Mahkamah Konstitusi bertindak lebih tegas. PSU harus ditempatkan sebagai instrumen korektif yang bermakna, bukan sekadar repetisi. Diskualifikasi seharusnya menjadi opsi utama dalam kasus pelanggaran serius. Jika tidak, kita hanya mengulang pemilu, tapi tak pernah memperbaiki demokrasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi atas hasil pelaksanaan PSU di Kabupaten Barito Utara tentu menjadi satu putusan yang menggembirakan bagi demokrasi kita dimana kedua Paslon terbukti melakukan money politic dan didiskualifikasi. Namun ini juga sekaligus menjadi momok bagi putusan MK sebelumnya yang ternyata pada pelaksanaan PSU atas perintah putusan justeru kedua Paslon melakukan money politic yang jauh lebih buruk.

Oleh karena itu, tidak hanya pada putusan MK yang harus diperkuat dan diperketat, tetapi juga pelaksanaan Pilkada baik dari sisi penyelenggara (dalam hal ini KPU), pengawasnya (dalam hal ini BAWASLU), dan seluruh jajarannya mesti dievaluasi secara menyeluruh agar ke depan dapat menghadirkan demokrasi partisipatif yang lebih baik.

Aco Ardiansyah Andi Patingari
Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Antaranews.com

Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: PDI-P Tetap di Luar Koalisi Pemerintah

JAKARTA, KOMPAS — Perjumpaan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri memunculkan isu soal bergabungnya PDI-P ke koalisi partai politik pendukung pemerintahan Prabowo. Kolaborasi kedua belah pihak untuk memperkuat pemerintahan dimungkinkan. Namun, partai berlambang banteng itu disebut akan tetap berada di luar koalisi.

Pertemuan Prabowo dan Megawati berlangsung di kediaman pribadi Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (7/4/2025) malam. Keduanya berbincang secara empat mata selama lebih kurang 1,5 jam.

”Kami tidak secara langsung mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua pemimpin tersebut. Tetapi, dari beberapa hal pembicaraan itu, kami dapatkan bahwa pembicaraan itu pertama dimaksudkan untuk bersilaturahmi di momen Lebaran ini,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Ahmad Muzani di kompleks Gedung DPR, Jakarta, Rabu (9/4/2025).

Meskipun tujuan utamanya bersilaturahmi, perbincangan ihwal situasi politik terkini antara kedua tokoh tidak terelakkan. Pasalnya, Prabowo dan Megawati sama-sama menduduki jabatan ketua umum partai. Ditambah lagi, PDI-P yang dipimpin Megawati menjadi satu-satunya partai yang sejauh ini berada di luar koalisi pemerintahan.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU 

”Ibu Megawati mengharapkan agar masa kepresidenan Pak Prabowo yang telah dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024 bisa efektif untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, jika dianggap perlu silakan menggunakan PDI-P sebagai instrumen yang juga bisa digunakan untuk memperkuat pemerintahan, tetapi tidak dalam posisi koalisi,” ujar Muzani merespons pertanyaan soal bergabungnya PDI-P ke koalisi pemerintah.

Meski PDI-P tetap memutuskan di luar koalisi, Presiden Prabowo, menurut Muzani, melihat pertemuan dengan Megawati sebagai sesuatu yang positif bagi kehidupan bangsa dan negara, termasuk bagi pemerintahan yang dipimpinnya. Prabowo pun disebut bersyukur atas tetap adanya dukungan dari Megawati dan PDI-P meski partai pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 itu memutuskan untuk tetap berada di luar pemerintahan.

”Tentu saja (dukungan) ini bagian dari upaya untuk memperkokoh posisi pemerintahan,” ujarnya.

Selain itu, menurut Ketua MPR ini, silaturahmi sesama pemimpin akan ditanggapi positif oleh masyarakat. Ia beranggapan rakyat menginginkan agar para pemimpinnya bersatu. Momen Lebaran menjadi waktu yang tepat.

Dokumentasi Gerindra

Dalam masa-masa sulit, lanjut Muzani, persatuan sesama pemimpin menjadi penting. Situasi tak gampang telah berkali-kali dihadapi negeri ini. Akan tetapi, berkali-kali pula segenap anak bangsa bebas dari perpecahan karena mengutamakan kebersamaan dan kerukunan.

”Karena itu, diharapkan ini bisa menjadi bagian dari upaya yang menguatkan persatuan, kebersamaan, kerukunan, dan kegotongroyongan di antara kita,” kata Muzani.

Pertemuan dadakan

Sementara itu, politisi PDI-P, Muhammad Guntur Romli, menyampaikan, pertemuan antara Megawati dan Prabowo banyak membicarakan hal-hal pribadi. Itu terjadi mengingat keduanya adalah kawan baik yang sudah lama bersahabat.

Tak dimungkiri, lanjut Guntur, pertemuan terjadi begitu mendadak. Hanya, perencanaannya telah berlangsung sejak lama. Kesibukan kedua sosok pemimpin itulah yang membuat pertemuan tak kunjung terlaksana.

”Ibu Megawati dalam banyak kesempatan sering mengatakan, beliau merasa tidak punya hambatan untuk terus melakukan komunikasi dan silaturahmi dengan Presiden Prabowo meski posisi politik PDI-P saat ini masih berada di luar pemerintahan,” katanya.

Sepanjang pertemuan, Megawati dan Prabowo berdiskusi soal sejumlah masalah global, seperti perang dagang AS dan China, konflik Israel dengan negara-negara Arab, perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Laut China Selatan, dan pemanasan global. Isu-isu itu juga bisa berdampak langsung bagi seluruh masyarakat.

KOMPAS/RADITYA HELABUM

Sebagai sesama pemimpin partai politik, ujar Guntur, kedua sosok itu juga membahas persoalan-persoalan strategis nasional.

Secara khusus, pembahasannya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan dan kesejahteraan dalam bingkai negara hukum Pancasila.

”Terakhir, Presiden Prabowo dan Ibu Megawati berkomitmen untuk terus menjalin komunikasi dan koordinasi, terutama jika menyangkut kepentingan-kepentingan strategis nasional dan internasional yang akan berdampak pada nasib rakyat dan masa depan bangsa serta negara Indonesia,” katanya.

Sehubungan dengan perjumpaannya dengan Megawati, Prabowo urung memberikan respons. Pertanyaan ihwal isi pertemuan dilayangkan wartawan seusai ia menghadiri acara bertajuk Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional yang diadakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Selasa (8/4/2025) kemarin.

”Oke, maaf lahir batin,” ucap Presiden sembari melambaikan tangan kepada wartawan ketika ditanyai persoalan itu.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, pertemuan antara Prabowo dan Megawati memang tinggal menunggu waktu. Itu karena sejarah hubungan politik antara kedua belah pihak yang panjang dan tanpa konflik. Jika ketegangan antara PDI-P dan Gerindra terjadi pada Pilpres 2024, hal itu tak terjadi di antara Prabowo dan Megawati.

Berlangsungnya pertemuan secara tertutup, lanjut Yunarto, mengindikasikan agenda itu memang terjadi secara mendadak. Boleh jadi, kemungkinan substansi pertemuan juga urung diperbincangkan sebelumnya.

”Pertemuan tertutup dan cenderung ditutupi oleh para elite politik ini juga mengindikasikan bahwa isu yang dibahas secara politik adalah isu yang sensitif, sulit untuk langsung dibuka di hadapan publik,” ujar Yunarto.

Penulis: Nino Citra Anugrahanto
Editor: A. Ponco Anggoro
Penyelaras Bahasa: Nanik Dwiastuti