Survei Charta Politika: Kepercayaan terhadap KPK Makin Turun, Disalip Polri

Jakarta – Charta Politika Indonesia merilis survei tingkat kepercayaan terhadap lembaga tinggi negara. Hasilnya, kepercayaan kepada Presiden paling tinggi, diikuti TNI dan Polri.

Survei ini dilakukan selama 29 November-6 Desember 2021. Total responden sebanyak 1.200 usia 17 tahun ke atas atau memenuhi syarat pemilihan. Survei ini dilakukan metode wawancara tatap muka dan margin of error sekitar +-2,83% pada tingkat kepercayaan 95%.

Pada survei ini disajikan pertanyaan kepada responden sebagai berikut:

Menurut pendapat Bapak/Ibu/Saudara di antara lembaga tinggi negara di bawah ini, apakah Bapak/Ibu/Saudara sangat percaya, cukup percaya, tidak percaya, atau tidak percaya sama sekali?

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan kepercayaan tertinggi adalah kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Nomor dua, diikuti TNI.

“Nomor satu paling tinggi itu di Presiden, jadi kalau mau dijumlahkan 77,8. Sekitar 74,6 persen tingkat kepercayaan yang kedua, ini selalu adu balap salip-menyalip antara Presiden dan TNI pasca reformasi, TNI di tingkat kedua 76,3 persen,” kata Yunarto dalam rilis survei secara virtual, Senin (20/12/2021).

Posisi ketiga adalah institusi Polri. Yunarto menyebut pada posisi keempat adalah kepercayaan terhadap KPK.

“Ketiga ada Polri dengan angka 66,8 persen. Dan kemudian diikuti, agak bersaing dengan KPK, tapi ini pola yang saya pikir cukup menarik,” katanya.

Yunarto menyebut, sebelum revisi UU KPK, biasanya tingkap kepercayaan kepada KPK ada di posisi 3 besar. Akan tetapi, kata Yunarto, kepercayaan kepada KPK kini disalip oleh Polri.

“Kalau kita lakukan survei ini beberapa tahun yang lalu, terutama sebelum revisi UU KPK, biasanya KPK ini selalu nomor 2 atau nomor 3, bersaing dengan TNI dan kalau kita lihat sekarang, bahkan di beberapa lembaga survei lain dan beberapa temuan memang Polri berhasil menyalip KPK,” ucap dia.

Yunarto tidak bisa memastikan apakah turunnya kepercayaan responden kepada KPK apakah adanya revisi UU KPK dan beberapa peristiwa yang terjadi di KPK akhir-akhir ini. Namun demikian, kata Yunarto, kepercayaan kepada KPK belakangan ini semakin menurun dan disalip Polri.

“Saya pikir ini menarik kalau kita membahas secara khusus apakah ada kaitannya dengan UU KPK, apakah ada kaitannya dengan misalnya beberapa peristiwa yang terjadi belakangan termasuk adanya Dewas KPK. Tetapi yang jelas bahwa belakangan KPK memang semakin menurun, bahkan disalip oleh Polri,” tutur dia.

DPR-DPD Paling Buncit

Yunarto kemudian menyoroti kepercayaan responden kepada parlemen. Dia mengatakan kepercayaan DPR dan DPD seharusnya tak berada di posisi paling bawah karena mewakili rakyat ataupun daerah.

“Catatan paling penting adalah ketika dua lembaga dalam triaspolitika yang harusnya kita harapkan menjadi wakil rakyat dalam kunci pengawasan ternyata di bawah posisi paling buncit, baik yang mewakili daerah atau yang mewakili rakyat, DPR dalam hal ini,” ujar Yunarto.

Berikut tingkat kepercayaan pada lembaga tinggi negara:
1. Presiden: 6,8% sangat percaya, 77,8 cukup percaya, 7,1 kurang percaya
2. TNI: 7,4% sangat percaya, 76,3% cukup percaya, 4,11% kurang percaya
3. Polri: 5,8% sangat percaya, 66,8% cukup percaya, 17,6% kurang percaya
4. KPK: 6% sangat percaya, 54,3% cukup percaya, 18,4% kurang percaya
5. MK: 2,8 sangat percaya, 59,3% cukup percaya, 16,6% kurang percaya
6. Kejagung: 2,7% sangat percaya, 58,6% cukup percaya, 12,9% kurang percaya
7. MA: 2% sangat percaya, 58,3% cukup percaya, 19,4% kurang percaya
8. MPR: 1,8% sangat percaya, 56,8% cukup percaya, 12,8% kurang percaya
9. DPR: 1,3% sangat percaya, 56,3% cukup percaya, 6,7% kurang percaya
10. DPD: 2,3% sangat percaya, 56,1% cukup percaya, 20,2% kurang percaya

Lisye Sri Rahayu – detikNews
Foto: Ari Saputra/detikcom
Sumber: https://bit.ly/3mgKpxa

Rilis Survei Nasional Refleksi Akhir Tahun 2021 : Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum di Masa Pandemi

Refleksi Akhir Tahun 2021 : Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum di Masa Pandemi

Survei dilakukan pada tanggal 29 November – 6 Desember 2021 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 1200 responden, yang tersebar di 34 Provinsi. Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ±(2.83%) pada tingkat kepercayaan 95%

Pada survei ini juga menyajikan tren dari data hasil survei yang diperoleh pada survei lapangan periode 20-27 Februari 2020 dan 12 -20 Juli 2021, serta data hasil survei menggunakan telepon yang dilakukan pada periode 1-8 Mei 2020, 6-13 Juni 2020, 6-12 Juli 2020, 26-29 Januari 2021, 24-28 Februari 2021, dan 20-24 Maret 2021 untuk melihat dinamika perubahan persepsi publik selama masa pandemi Covid-19.

Klik link untuk mengunduh:

2021_Rilis Survei_ChartaPolitika_Des

2021_Materi Rilis Survei_Des

Pakar: Pencitraan di Medsos yang Tak Sejalan dengan Kerja Nyata Bisa Jadi Bumerang untuk Capres Potensial

JAKARTA, KOMPAS.com – Analis politik Charta Politika Yunarto Wijaya menilai bahwa tren politikus berbondong-bondong membuat konten di media sosial tak selamanya berdampak baik bagi reputasinya.

Ia menjelaskan, fenomena “main medsos” sebetulnya jadi kebutuhan para politikus kiwari demi menggaet simpati dari kalangan muda yang diprediksi bakal mendominasi suara pada pemilu mendatang.

“Tapi harus dilihat begini. Medsos itu hanya untuk mengamplifikasi ruang berdialog atas apa yang mereka kerjakan di lapangan. Kerja utama mereka tetap kerja di darat,” ujar Yunarto kepada Kompas.com, Selasa (14/12/2021).

“Mereka (pemilih muda) adalah pemilih yang cukup cerdas untuk membandingkan apa yang tampil di YouTube dan di dunia nyata. Kalau kesenjangan itu terlalu besar, itu bisa menjadi bumerang,” tambahnya.

Sebaliknya, politikus yang terlihat mampu menampilkan citra yang selaras dan sama baiknya antara media sosial di lapangan, diprediksi akan meraup untung berlipat dari segi elektabilitas.

“Jadi, mereka baru dikatakan punya ‘produk’ ketika mereka memang sudah terjun ke lapangan, bertemu dengan masyarakat, lalu diamplifikasi dan berdialog (dengan netizen) melalui ruang medsos,” jelas Yunarto.

“Bukan hanya melalui sebuah postingan foto dan video saja. Kalau itu yang terjadi maka produknya juga akan kosong. Content creator saja pada terjun ke lapangan,” lanjutnya.

Fenomene politikus “main medsos” memang bukan baru tahun ini terjadi, melainkan sudah sejak sebelumnya.

Namun, tren ini semakin terasa ketika nama-nama yang dikaitkan sebagai capres potensial 2024 mulai menggunakan medsosnya secara lebih optimal, sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Menggunakan platform YouTube pribadi masing-masing, keduanya mulai rutin membuat konten-konten terkait kerja dan gagasannya.

Penulis : Vitorio Mantalean
Editor : Diamanty Meiliana
Foto : KOMPAS.com/Devina Halim