Sekolah Partai dan Pendidikan Politik

Sehat dan sakitnya tubuh demokrasi sungguh bergantung pada gizi partai politik. Kader politik membutuhkan asupan kompetensi, kapabilitas, dan integritas agar mesin partai bergerak menyempurna sebagai agensi demokrasi. Keriuhan pesta pora demokrasi terkadang meluruhkan fungsi utama parpol sebagai sarana pendidikan politik.

Padahal, pembentukan kader-kader partai yang visioner mensyaratkan vitalitas pendidikan politik. Kaderisasi dan pendidikan politik menjadi satu tarikan napas. Merujuk Abernethy dan Coombe (1965), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terikat tidak bisa dipisahkan). Untuk mencetak kader politik mumpuni, mustahil mengandalkan cara-cara instan, melainkan perlu pendidikan khusus yang berjenjang dan berkelanjutan.

Signifikansi Sekolah Partai

Rekrutmen anggota partai besar-besaran dan ayunan politik massa seyogianya berbanding lurus dengan pendidikan politik yang terukur dan sistemik. Dalam konteks inilah, parpol mesti merevitalisasi sekolah partai sebagai kawah candradimuka bagi pemimpin nasional maupun lokal. Pejabat publik yang bekerja mewakili perwajahan partai memerlukan bekal-bekal keunggulan kognisi dan standar etik.

Sekolah partai menjadi ruang untuk menanamkan ideologi dan platform partai kepada para kader melalui dialektika gagasan, pertukaran makna, training kepemimpinan dan manajemen organisasi. Output-nya yaitu tata kelola politik menjadi profesional, dipenuhi debat alot yang bermutu, jauh dari tradisi konfliktual, apalagi tarung fisik.

Pejabat politik yang sarat prestasi adalah buah ranum yang kita harapkan dari signifikansi sekolah partai. Akal, tubuh, dan nurani politiknya terpancang kokoh dalam penegakan pakta integritas. Konsekuensinya, pejabat yang terjaring skandal korupsi, misalnya, wajib mengundurkan diri. Saat yang sama, pimpinan teras organisasi partai wajib memberikan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu.

Sekolah partai berfungsi sebagai laboratorium para kader agar memahami peta kebijakan agar terhindar dari petaka. Ketika aktivis partai tampil di hadapan publik, narasi yang terlontar mengandung bobot akademik, disertai sikap politik yang terpuji. Kalau masih bergentayangan politisi yang mulutnya berbisa, intriknya beracun, sepantasnya dikirim ke ‘klinik’ sekolah partai.

Setiap partai pasti ingin meraih kemenangan elektoral. Sebab itu, materi yang melingkupi strategi dan taktik politik akan melekat-kuat, namun harus dilapisi dengan internalisasi moral-etik, taat hukum, dan komitmen antikorupsi. Daya kreativitas pengambil kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan pun teraksentuasi di sekolah partai.

Jika api intelektualitas dinyalakan kepada peserta sekolah partai, maka politik dapat menggairahkan partisipasi warga negara, terutama kaum milenial dan perempuan. Partai dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan perguruan tinggi, lembaga think-tank dan NGO (non-governmental organization) untuk memperkaya konten sekolah partai.

Sekadar Perbandingan

Di Korea Selatan, sebuah partai feminis menggembleng khusus perempuan melalui sekolah politik. Materi-materinya seputar keahlian politik, strategi kampanye, termasuk isu-isu hak perempuan. Pendidikan politik yang bermarkas di Seoul ini juga merekrut mantan pejabat pemerintah daerah untuk membimbing aktivis partai dalam rangka menyongsong pemilihan kepala daerah 2022 di negeri ginseng itu.

PDI-Perjuangan, misalnya, sudah jamak menyelenggarakan Sekolah Partai Calon Kepala Daerah, ataupun Sekolah Partai Kepala Daerah pasca terpilih. Hampir semua partai tentu memiliki sekolah serupa dengan corak yang beragam. Untuk partai berlogo banteng itu, marhaenisme dan nasionalisme kerakyatan hendaknya diterjemahkan secara praksis-operasional oleh peserta sekolah partai sebagai ruh perjuangan di pelbagai lahan pengabdian. Begitu juga artikulasi politik dalam bingkai pluralisme terejawantahkan ke dalam sikap, dan perilaku politik.

Menurut Punchada Sirivunnabood (2016) dalam Political Education: The Role of Political Parties in Educating Civil Society on Politics, penyelenggaraan pendidikan politik bagi pemuda tidak boleh sebatas menghafal buku teks atau mendengarkan pembicara tamu atau tokoh politik utama saja, melainkan melibatkan anak-anak muda untuk berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan politik partai dan benar-benar berlatih di lapangan politik, misalnya membantu anggota DPR, mendukung kampanye pemilu, mengunjungi situs-situs politik penting untuk melihat proses operasional politik yang sebenarnya, dan sebagainya. Praktik ini dapat membantu kaum muda untuk memutuskan apakah mereka ingin bekerja di bidang politik atau tidak.

Kehadiran sekolah partai perlahan-lahan ikut membenahi postur organisasi politik. Inisiatif pendidikan politik yang dirintis sejumlah parpol patut diapresiasi. Lebih dari itu, transfer pengetahuan politik sebisa mungkin bersenyawa dengan suasana kebatinan generasi milenial dan pro-kesetaraan gender.

Salah satu sorotan yang menarik perhatian publik adalah beasiswa unik yang ditawarkan PDI-P. Spekulasi acak dari luar terkait bobot politis dari beasiswa itu sulit dimungkiri. Ihwal ini berkait dengan persyaratannya, bahwa tema riset nantinya berkaitan dengan studi banding terhadap kinerja antara Presiden Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kendati begitu, apapun motifnya, skema beasiswa dapat mendukung kajian akademis di partai.

Program pendidikan dalam bentuk beasiswa yang bernaung di bawah parpol sangat lazim di negara demokrasi, seperti Jerman. Misalnya, Friedrich Ebert Stiftung, yayasan pendidikan yang berafiliasi dengan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). Ada juga Friedrich Naumann Stiftung yang berafiliasi dengan Partai Liberal (FDP). Mereka membuka akses bagi intelektual muda ke kampus bonafid, kursus politik dan proyek penelitian.

Partai Golkar berinovasi melalui Golkar Institute yang fokus pada sekolah pemerintahan dan kebijakan publik. Kelahiran Golkar Institute bisa menjadi model konvergensi antara diskursus pemikiran, pewargaan teknokratik dan politik, sehingga proses pembuatan kebijakan berpedoman pada hasil riset. Pendidikan politik Partai Nasdem tergambar dalam Akademi Bela Negara (ABN) dengan jalan restorasi sebagai spirit dan gerakan politik.

Partai Demokrat mendirikan Akademi Taruna Demokrat. PKS sebagai model partai berbasis agama mengadopsi sistem tarbiyah dan liqo‘. Salah satu pendatang baru seperti Partai Gelora juga menyediakan Akademi Manusia Indonesia (AMI), dan Akademi Pemimpin Indonesia (API). Begitu juga sekolah parpol lain dengan ciri khas masing-masing.

Dari sekian variasi sekolah partai itu, titik berat yang urgen adalah memperkuat nalar kebangsaan para politisi. Selain itu, partai-partai politik harus serius menginjeksi materi antikorupsi bagi pengurus partai, caleg, dan calon kepala daerah. Tidak hanya deklarasi antikorupsi yang sifatnya temporer dan seremonial. Tolok ukur keberhasilan “alumni” sekolah partai dapat ditilik dari kiprah dan kontribusinya di tengah-tengah masyarakat.

Momen pemilu 2024 nanti, tidak ada lagi, atau berkurang akrobat politik purbawi yang memecah belah sesama anak bangsa. Ketika citarasa keindonesiaan mengkristal, kesadaran transformatif kader politik mengemuka, terlebih ditopang oleh tempaan sekolah partai, mereka dapat menyegarkan kembali suhu udara politik di Tanah Air yang tercemar oleh polarisasi ekstrem dan gurita korupsi.

 

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia
Foto: dok. Golkar Institute
Sumber: https://bit.ly/3Jf21TW

Survei Charta Politika: 40,3 Persen Responden Belum Tahu Pemilu Digelar 2024

TEMPO.CO, Jakarta – Hasil sigi lembaga survei Charta Politika menunjukkan 40,3 persen dari total 1.200 responden mengaku belum tahu pemilihan umum digelar serentak pada 2024. Dari total 1.200 responden yang diwawancarai, sebanyak 59,7 persen di antaranya atau sebanyak 716 orang memang menyatakan telah mengetahui informasi bahwa pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan kepala daerah akan digelar pada tahun yang sama.

“Namun, sebanyak 484 responden lainnya mengaku belum mengetahui informasi tersebut,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya saat acara peluncuran hasil survei secara virtual di Jakarta, Senin, 20 Desember 2021.

Oleh karena itu Yunarto Wijaya mendorong penyelenggara pemilu untuk menyebarkan informasi terkait dengan pemilu lebih luas kepada masyarakat. “Ini PR (pekerjaan rumah) bagi KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) penyelenggara pemilu,” ujar Yunarto.

Yunarto menuturkan 81,7 persen responden setuju pemilu digelar serentak pada 2024. Namun, 17,3 persen responden lainnya tidak setuju. Menurut Yunarto tingginya jumlah responden yang setuju Pemilu 2024 berbanding terbalik dengan hasil survei menjelang pilkada serentak 2020.

“Ini mungkin berpengaruh pada psikologi orang ketika sekarang merasa Covid-19 sudah mereda, situasi pertemuan online sudah bisa dilakukan, dan tidak berbahaya lagi untuk kumpul pada masa Covid-19, termasuk diselenggarakan pemilu serentak terbesar sepanjang sejarah di Indonesia,” kata dia.

Charta Politika juga menghimpun persepsi publik mengenai wacana menunda pemilu sampai 2027 karena alasan pandemi Covid-19. Mayoritas responden, yaitu 47,6 persen dari 1.200 orang yang diwawancara, tidak setuju pemilu ditunda pada 2027. Namun, ada 20,4 persen responden atau sebanyak 245 orang setuju dengan wacana itu.

Isu pemilu lainnya yang ditanyakan Charta Politika kepada responden perihal wacana perpanjangan masa jabatan presiden sampai tiga periode. Hasil survei memperlihatkan 46,2 persen responden mengetahui wacana perpanjangan itu, sementara 36,4 persen tidak tahu.

Charta Politika mendalami persepsi para responden terkait dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Hasilnya sebanyak 57,9 persen responden tidak setuju terhadap wacana itu, sedangkan 19,8 persen menyatakan setuju.

Reporter: Antara
Editor: Kukuh S. Wibowo
Ilustrasi TPS Pilkada. Dok TEMPO
Sumber: https://bit.ly/3q8EMlE

Charta Politika: Elektabilitas PDIP Masih Tertinggi, Diikuti Gerindra dan Golkar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Selain merilis elektabilitas sejumlah tokoh nasional, Charta Politika Indonesia juga memaparkan hasil survei mengenai elektabilitas sejumlah partai politik.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, mengatakan elektabilitas tertinggi masih dipimpin oleh PDIP.

“PDIP masih paling tinggi 24,9 persen, Gerinda 13,9 persen, dan Golkar 9,4 persen menjadi pilihan teratas responden,” kata Yunarto dalam rilis survei, Senin (20/12/2021).

Berikut ini hasil survei mengenai elektabilitas partai:

1. PDIP 24,9%

2. Gerindra 13,9%

3. Golkar 9,4%

4. PKB 9,4%

5. PKS 6,5%

6. Demokrat 6%

7. NasDem 4,3%

8. PAN 1,8%

9. PPP 0,8%

10. Perindo 0,8%

11. PSI 07%

12. Hanura 04%

13. Partai Ummat 0,3%

14. PBB 0,3%

15. Gelora 0,2%

16. Partai Berkarya 0,1%

17. Partai Garuda 0,1%

Diketahui, survei Charta Politika digelar pada 29 November – 6 Desember 2021 menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden.

Adapun Margin of Error (MoE) survei sebesar ± 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Penulis: Reza Deni
Editor: Arif Fajar Nasucha
Foto:Tribun News
Sumber: https://bit.ly/3H6H1wR