E-Voting di Pemilu 2024, Yunarto Wijaya: Bisakah Lebih Mudah dan Murah?

MENTERI Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Jhonny G Plate mengusulkan pemungutan suara Pemilu 2024 dilakukan secara e-voting. Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, mengatakan usulan itu bisa terpenuhi asalkan KPU telah melalui beberapa prasyarat.

Yang pertama, kata Yunarto, e-voting pemilu 2024 harus dipastikan tidak melanggar hukum prinsip pemilu. Artinya, kerahasiaan data jharus dijaga.

“Jangan sampai membuat adanya potensi kecurangan menjadi lebih terjadi dan apakah perangkat infrastruktur nya sudah siap atau tidak?,” ungkap Yunarto kepada Media Indonesia, Minggu (27/3),

Kemudian, Yunarto menegaskan dengan adanya e-voting jangan sampai partisipasi masyarakat menurun lantaran ketidaksiapan infrastruktur dan sistim e-voting.

“Terakhir, harus dipastikan juga e-voting ini tujuan awalnya untuk membuat pemilu lebih mudah dan murah. Apakah bisa dipastikan bisa lebih murah dan mudah? Niatnya bisa mengecilkan logistik, apakah bisa?,” tegasnya.

“Jika 3 syarat ini blm terpenuhi, artinya belum saatnya kita melakukan pemilu e-voting,” tambahnya.

Yunarto pun membeberkan sejauh ini belum ada pihak yang melakukan riset terkait e-voting pada pemilu di Indonesia. Soal internet di Tanah Air sendiri yang belum merata, tentu bakal jadi kendala.

“Saya berharap ide ini ketika digulirkan disertai riset dan simulasi dan hitung-hitungan yang menjelaskan bahwa ini akan memudahkan dan lebih mudah,” harapnya.

Yunarto pun mengusulkan agar sistim e-voting ini segera dibuatkan payung hukum yang kuat. Sejauh ini, kata Yunarto, baru ada penjelasaan mengenai sirekap atau penghitungan oleh elektronik bukan pemilihan secara elektronik.

(OL-6)
sumber : Mediaindonesia.com
foto : MI/TOSIANI

Memastikan Perhelatan Pemilu 2024

Era pandemi memang belum berakhir total. Tetapi situasi terkini, Indonesia sedang memasuki masa transisi dari pandemi ke endemi. Kondisi faktual Covid-19 yang relatif terkendali berarti hajatan Pemilu 2024 harus tetap digelar sesuai mandat konstitusi.

Pengalaman Pilkada 2020 lalu menjadi acuan untuk memproyeksikan Pemilu 2024 sesuai kompleksitas tantangan mutakhir. Tak ada yang menyangka, tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 tergolong signifikan, bahkan melampaui partisipasi Pilkada 2015. Padahal, gempuran kasus harian Covid-19 sedang melonjak naik saat itu.

Pilkada Serentak 2020 merefleksikan bahwa keberlanjutan estafet kepemimpinan daerah tetap berputar normal (di tengah pandemi Covid-19) melalui mekanisme yang demokratis dan konstitusional. Bahwa ada kelemahan dalam praktiknya di lapangan, tidak berarti menegasikan seluruh unsur positif dalam “pandemokrasi” (demokrasi masa pandemi).

Preseden politik itu sebagai cermin bahwa dalih segelintir elite yang mengusulkan tunda Pemilu 2024 atas nama Covid-19 maupun alasan ekonomi kurang sahih. Yang utama, protokol kesehatan diberlakukan secara ketat. Keselamatan publik diutamakan. Praktisnya, lapangan kerja baru justru akan terbuka lebar melalui rangkaian aktivitas kepemiluan.

Secara fundamental, penyelenggaraan Pemilu bukan hanya sekadar manifestasi kedaulatan rakyat, tetapi juga harus menjamin kesehatan publik, kesejahteraan masyarakat dan keamanan seluruh warga negara. Oleh karena itu, kran kasak-kusuk penundaan Pemilu seyogianya ditutup agar terhindar dari turbulensi dan polarisasi. Di sini meniscayakan kesadaran elite politik dan organisasi sosietal agar menjaga prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi.

Lebih daripada itu, kita mesti mendengar aspirasi rakyat sebagai rukun utama dalam ritual berdemokrasi. Tatkala sejumlah pejabat publik mengedarkan opini, bahwa gagasan penundaan Pemilu didasari oleh kemauan warga, patut dikuantifikasi. Untuk menguji klaim itu, kita perlu mengukur suara opini publik secara saintifik, juga dapat dipertanggung jawabkan secara metodologis. Kesenjangan naratif antara elite dan publik mesti dijembatani melalui jajak pendapat.

Sebagaimana diketahui, wacana penundaan Pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden pernah terdengar sebelumnya (akhir 2019, awal 2021). Terhadap daur ulang wacana itu, hasil survei Indikator Politik (6–11 Desember 2021) menemukan mayoritas responden mengatakan pergantian kepemimpinan melalui Pemilu 2024 harus tetap dilaksanakan meski masih dalam situasi pandemi.

Hasil survei Charta Politika (29 November – 6 Desember 2021) juga menemukan, sebagian besar responden menyatakan tidak setuju dengan isu penundaan Pemilu 2024 menjadi 2027. Data survei Charta Politika (2022) pun menunjukkan mayoritas masyarakat menginginkan pemilu tetap digelar pada 2024.

Dalam rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) bertajuk “Sikap Publik terhadap Penundaan Pemilu dan Masa Jabatan Presiden” (waktu survei 25 Februari – 1 Maret 2022), bahwa di kalangan warga yang mementingkan demokrasi, penolakan terhadap penundaan Pemilu lebih tinggi. Di kalangan yang mementingkan ekonomi sekalipun, mayoritas menolak Pemilu ditunda.

Berdasarkan temuan LSI itu, penundaan Pemilu ditolak oleh mayoritas warga, khususnya yang tahu dengan wacana tersebut. Mayoritas menolak usulan ini meskipun karena alasan ekonomi, pandemi Covid-19, atau pemindahan ibukota. Menurut mayoritas warga, masa jabatan Presiden Jokowi harus berakhir pada 2024 sesuai konstitusi.

Pencetus tunda Pemilu yang berposisi diametrikal dengan aspirasi publik, bukan hanya riskan, tetapi juga kontraproduktif bagi agenda konsolidasi demokrasi. Ketika PDI-P sebagai partai utama pendukung pemerintah menentang gagasan tunda Pemilu, tentu saja melegakan. Presiden Jokowi juga telah berulang kali menolak ide kontroversial yang masih menggelinding itu.

Dalam konteks peta politik di DPR RI, partai pendukung tunda Pemilu 2024 (PKB, PAN, Partai Golkar) masih kalah jauh jumlah kursinya, dibanding kubu yang menolak penundaan Pemilu (PDI-P, Partai Gerindra, Partai NasDem, PKS, Partai Demokrat, PPP). Peliknya, isu penundaan Pemilu itu acapkali berkumandang dari momen ke momen.

Dus, sikap partai-partai penghuni Senayan, baik yang pro maupun kontra penundaan Pemilu, bisa dikatakan “sementara”. Sebab, kita tidak tahu persis ujung kisahnya nanti. Kalau mau aman bagi PKB, PAN, dan Golkar, agar terhindar dari stigma minor, lebih baik “ijtihad politik” sebelumnya ditinjau ulang. Begitu juga PDI-P, Gerindra, NasDem, PKS, Demokrat dan PPP, agar tetap konsisten dengan sikapnya.

Masalahnya, jika jadwal Pemilu 2024 diundur, maka pejabat eksekutif dan legislatif akan ditambah durasi kekuasaannya. Konsekuensinya, hak-hak politik warga untuk memilih dan dipilih sesuai kalender politik akan mengalami reduksi dan terbonsaikan. Karena itu, kekuatan prodemokrasi mesti menjadi agensi moral dan katalisator wacana publik untuk memastikan perhelatan Pemilu 2024.

Dalam konstelasi politik teranyar, pemerintah, DPR dan KPU sudah menegaskan bahwa Pemilu akan dilaksanakan pada tanggal 14 Februari 2024. Pernyataan Ketua DPR Puan Maharani belakangan ini yang memastikan perhelatan Pemilu 2024 tentu layak diapresiasi. Sikap Puan Maharani segendang sepenarian dengan suara sebagian besar masyarakat. Inilah momentum bagi DPR secara institusional untuk meraih kembali kepercayaan publik (public trust).

Di sisi lain, ada anggapan yang bergulir bahwa mungkin saja akrobat politik parlemen berubah seketika, manakala tergalang lobi-lobi senyap di belakang layar. Kendati hampir mustahil terjadi penundaan Pemilu 2024, mengingat resistensi publik yang terus menggumpal. Meski begitu, drama politik tetap saja diprasangkai belum berakhir.

Dengan demikian, demi performansi wajah parlemen, pilihan yang surplus faedah dan minus mudharat, yakni ikuti kehendak rakyat. Taati konstitusi, patuhi proses demokrasi elektoral secara regular dan periodik. Dengan sendirinya lembaga perwakilan itu dapat memperoleh kredit poin yang positif dari masyarakat. Begitu juga pemerintah, agar sekiranya mengeluarkan pernyataan resmi yang tegas, supaya kontroversi dan polemik sebulan terakhir ini tidak berlarut-larut.

Seturut itu, sinergi antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengatasi pandemi dan memulihkan ekonomi harus tetap menjadi titik fokus. Semua elite bangsa, parpol, dan masyarakat harus memastikan (bukan sikap sementara lagi), bahwa Pemilu tetap diselenggarakan pada 2024. Dan, menunda hanyalah perkara kesia-siaan belaka. Titik!

 

Mawardin,
peneliti Charta Politika Indonesia
Sumber: Kumparan, 23 Maret 2022
Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Mengakhiri Gaduh Tunda Pemilu

Meskipun gelombang Omicron masih menerjang Korea Selatan, pemilihan umum presiden negara itu tetap terselenggara pada Maret 2022. Hasilnya, calon presiden dari Partai Kekuatan Rakyat yang notabene oposisi-konservatif, Yoon Suk-yeol, mengalahkan pesaingnya yang berhaluan liberal, yaitu Lee Jae-myun dari Partai Demokrat yang berkuasa.

Di tengah kecemasan mondial akibat Covid-19, alih-alih menunda pelaksanaan Pemilu, justru Korea Selatan berhasil menggelar suksesi kepemimpinan nasional. Plus dan minusnya tentu menyertai proses sirkulasi elite kekuasaan itu. Pesta demokrasi dalam situasi normal saja mengandung kealpaan, apalagi dalam konteks ‘new normal’.

Dengan demikian, bukan berarti pandemi Covid-19 kemudian diletakkan sebagai faktor penghalang Pemilu. Itulah potret untuk mengurai kegaduhan politik Indonesia termutakhir seputar wacana penundaan pemilu. Gagasan kontroversial itu diusulkan oleh sejumlah ketua umum partai politik yang sudah jelas jejak digitalnya.

Mereka melontarkan sederet dalih, mulai dari pemulihan ekonomi akibat pandemi, besarnya biaya Pemilu hingga eskalasi konflik antara Rusia versus Ukraina. Kalau dalihnya dihubungkan dengan kasus Covid-19, justru mencerminkan inkonsistensi logis. Buktinya, Pilkada Serentak 2020 tetap terlaksana melalui penegakan protokol kesehatan.

Kalaupun alasannya soal ekonomi, justru hajatan Pemilu dapat membuka kesempatan kerja di tengah ironi kesempitan. Gairah pelaku usaha, iklim investasi dan bisnis akan bangkit dengan segala efek menetesnya ke arus bawah.

Sejarah kepemiluan pasca reformasi juga mencatat, kendati terjadi krisis moneter 1998, Pemilu 1999 tetap diadakan. Begitu pula resesi ekonomi global 2008, Indonesia tetap menggelar Pemilu 2009. Belanja logistic kampanye, industri periklanan, insentif petugas, dan kewirausahaan politik di pentas demokrasi akan berdampak konstruktif bagi pertumbuhan ekonomi.

Substansinya, kesehatan publik terlindungi disertai perhelatan Pemilu yang berintegritas. Karena itu, otoritas Pemilu dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi secara inovatif untuk menghemat skema anggaran. Para penyelenggara Pemilu dan pihakpihak terkait perlu mendiskusikan metode yang efektif dan efisien demi terwujudnya demokrasi berkualitas.

Kalaupun gaya kampanye berbasis mobilisasi massa, maka protokol kesehatan harus diperhatikan oleh segenap pemangku kepentingan. Cara mencoblos sebisa mungkin diatur sesederhana mungkin lewat digitalisasi Pemilu. Jadi, lokus persoalannya adalah bagaimana mengelola segi teknikalitas Pemilu, bukan mengundurkan jadwalnya.

Begitu pula konflik Rusia dan Ukraina, tidak begitu berimplikasi serius terhadap konstelasi politik domestik. Secara geografis dan geopolitik, jarak spasial Indonesia dengan kawasan Eropa
sangat jauh. Lagi pula Pemilu dijadwalkan pada 2024, sementara instabilitas politik Rusia-Ukraina mustahil abadi. Artinya, ide menunda Pemilu justru bentuk irasionalitas politik.

Dengan demikian, ritual pemilu 2024 menjadi pilihan yang tepat dan logis. Kondisi aktual Indonesia jauh dari bencana serentak lokal-nasional dan darurat perang. Fokusnya adalah menjalankan tahapan-tahapan menuju Pemilu mendatang. Saat yang sama, peningkatan sektor ekonomi dan pengendalian stabilitas politik.

Data survei Charta Politika (29 November—6 Desember 2021) menunjukkan, mayoritas responden menyatakan setuju dengan penyelenggaraan Pileg-Pilpres dan Pilkada pada 2024. Sedangkan isu penundaan Pemilu 2024 menjadi 2027, sebagian besar responden menyatakan tidak setuju.

Hampir semua temuan lembaga survei lain juga memperlihatkan hasil yang sama. Rilis survei teranyar dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA (waktu riset 23 Februari—3 Maret 2022), mayoritas masyarakat di berbagai segmen menolak penundaan Pemilu.

Pemilu 2024 merupakan wahana untuk melanjutkan estafet kepemimpinan secara reguler sesuai kalender konstitusi. Jokowi pun menolak perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan Pemilu, termasuk partainya, PDI Perjuangan. Meski begitu, manuver liar sebagian faksi politik di lingkungan istana perlu diantisipasi agar terhindar dari ‘jebakan batman’.

Dalam konteks itulah, komitmen konstitusional Presiden Jokowi bisa saja digoyang oleh aktor politik tertentu yang kontrareformasi. Jangan lupa, tren opini publik lebih menyetujui perhelatan Pemilu 2024. Jika penundaan Pemilu terus dipaksakan, tanpa alasan yang kuat, terang dan solid,
maka prahara politik berpotensi meledak.

Praktik demokrasi di negara-negara lain telah memberikan pelajaran bagaimana mengadakan Pemilu di tengah pandemi, antara lain Korea Selatan. Apa yang dianggap sebagai kelemahan menyangkut pesta demokrasi di Negeri Ginseng itu, kita pelajari. Selanjutnya, tata kelola penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti diperbaiki, baik secara konseptual maupun teknis.

 

 

Mawardin,
Peneliti Charta Politika Indonesia
foto: (Istimewa)

Artikel opini ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 16 Maret 2022

Charta Politika Sebut Ganjar Unggul Capres di Jawa Timur dan Lampung

JawaPos.com–Lembaga survei Charta Politika meluncurkan hasil survei. Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo unggul sebagai calon presiden di Jawa Timur dan Lampung.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan, para responden diberikan pertanyaan: Jika pemilihan presiden diadakan sekarang, siapa yang akan Bapak/Ibu/Saudara pilih sebagai presiden di antara nama-nama berikut ini.

”Pada simulasi 10 nama calon presiden, Ganjar Pranowo 24,9 persen mendapatkan elektabilitas tertinggi di Jawa Timur, sedangkan di urutan kedua Prabowo Subianto 16,4 persen, dan sebanyak 15,1 persen masyarakat memilih Anies Baswedan,” kata Yunarto Wijaya seperti dilansir dari Antara, Rabu (16/3).

Selain itu, Ganjar Pranowo juga unggul di Provinsi Lampung dengan elektabilitas mencapai 27,1 persen, Prabowo Subianto 26,8 persen di urutan kedua, dan Anies Baswedan 19,1 persen urutan ketiga.

”Namun di Jawa Barat, Ganjar Pranowo memperoleh 12 persen. Artinya mampu menyaingi tiga kandidat lain seperti Prabowo Subianto 24.0 persen, Ridwan Kamil 20,9 persen, lalu Anies Baswedan 18 persen,” papar Yunarto.

Riset preferensi sosial dan politik masyarakat dilakukan di tiga provinsi yaitu Lampung 27 Januari–2 Februari dan Jawa Timur serta Jawa Barat 3–9 Februari 2022. Survei itu menggunakan metode multistage random sampling pada tingkat kepercayaan 95 persen secara tatap muka melalui kuisioner terstruktur.

Jumlah sampel di Jawa Timur sebanyak 1.210 responden, Lampung 800 responden, dan Jawa Barat 1.200 responden. Sementara, margin of error di Jawa Timur kurang lebih 2,82 persen, Lampung kurang lebih 3,46 persen, dan Jawa Barat 2,83 persen.

 

 

Editor : Latu Ratri Mubyarsah
Reporter : Antara
Foto : Genta Mawangi/Antara
Sumber : Jawa Pos

Survei Charta: Ganjar Ungguli Prabowo di Lampung-Jatim tapi Kalah di Jabar

Jakarta – Lembaga survei Charta Politika merilis hasil survei elektabilitas bakal capres 2024 di Provinsi Lampung, Jawa Barat (Jabar), dan Jawa Timur (Jatim). Hasilnya, elektabilitas Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto bersaing sengit.
Survei digelar pada 27 Januari-2 Februari 2022 di wilayah Lampung. Sementara di wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur dilakukan pada 3-9 Februari 2022.

Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menyebut elektabilitas Ganjar Pranowo tertinggi di Lampung dengan suara sebesar 27,1 persen. Sedangkan di Jawa Timur sebesar 24,9 persen.

“Pada simulasi 10 nama calon presiden, Ganjar Pranowo 24,9 persen mendapatkan elektabilitas tertinggi di Jawa Timur, sedangkan di urutan kedua ada Prabowo Subianto 16,4 persen, sementara sebanyak 15,1 persen masyarakat memilih Anies Baswedan,” kata Yunarto Wijaya dalam keterangan tertulis, Rabu (16/3/2022).

“Selain itu, Ganjar Pranowo juga unggul di Provinsi Lampung dengan elektabilitas mencapai 27,1 persen, sementara Prabowo Subianto 26,8 persen di urutan kedua dan Anies Baswedan 19,1 persen pada urutan ketiga,” tambahnya.

Yunarto melanjutkan, dalam simulasi 10 nama, elektabilitas Prabowo Subianto menempati posisi paling atas dengan perolehan suara sebesar 24,0 persen di wilayah Jawa Barat. Sementara Ridwan Kamil menyusul di urutan kedua dengan jumlah suara sebesar 20,9 persen dan Anies Baswedan sebesar 18 persen.

“Dalam simulasi 10 nama, Prabowo Subianto mendapatkan elektabilitas tertinggi bila dibandingkan nama lainnya, selanjutnya ada Ridwan Kamil yang merupakan Gubernur Jawa Barat,” ucapnya.

“Sementara Anies Baswedan dan Ganjar Pranowo berada di posisi ketiga dan keempat,” imbuhnya.

Provinsi Lampung
Ganjar Pranowo 27,1%
Prabowo Subianto 26,8%
Anies Baswedan 19,1%
Sandiaga S Uno 6,6%
Ridwan Kamil 2,5%

Provinsi Jawa Barat
Prabowo Subianto 24,0%
Ridwan Kamil 20,9%
Anies Baswedan 18,0%
Ganjar Pranowo 12,0%
Sandiaga S Uno 3,4%

Provinsi Jawa Timur
Ganjar Pranowo 24,9%
Prabowo Subianto 16,4%
Anies Baswedan 15,1%
Khofifah Indar Parawansa 13,1%
Puan Maharani 4,0%

(fca/fas)

 

Firda Cynthia Anggrainy – detikNews
Foto : Dok. detikcom

Charta Politika: Ganjar Pranowo Unggul Survei Pilpres di Lampung dan Jawa Timur

LEMBAGA survei Charta Politika menyebut bahwa Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengungguli Prabowo Subianto hingga Anies Baswedan di Lampung dan Jawa Timur.

Hasil survey keluar usai Charta Politika melakukan riset Preferensi Sosial dan Politik Masyarakat di tiga provinsi, yaitu Lampung, Jawa Timur, dan Jawa Barat. Hasilnya, Ganjar memimpin dalam 10 nama calon Presiden RI.

Adapun wawancara dilakukan kepada responden Lampung mulai 27 Januari-2 Februari 2022, sementara untuk Jawa Timur dan Jawa Barat di 3-9 Februari 2022.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengemukakan para responden diberi pertanyaan, seperti ‘Jika pemilihan presiden diadakan sekarang, siapa yang akan Bapak/Ibu/Saudara pilih sebagai Presiden di antara nama-nama berikut ini?’.

Maka, Ganjar pun melesat jauh di atas Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.

“Pada simulasi 10 nama calon Presiden, Ganjar Pranowo 24.9 persen mendapatkan elektabilitas tertinggi di Jawa Timur, sedangkan di urutan kedua ada Prabowo Subianto 16.4 persen, sementara sebanyak 15.1 persen masyarakat memilih Anies Baswedan,” tutur Yunarto.

Hal serupa juga terjadi di Lampung, nama Ganjar memimpin sebagai calon presiden RI pilihan masyarakat.

Elektabilitas Ganjar mencapai 27,1 persen, sementara Prabowo Subianto 26,8 persen di urutan kedua dan Anies Baswedan 19,1 persen pada urutan ketiga.

“Namun di Jawa Barat, Ganjar Pranowo memperoleh 12 persen. Artinya mampu menyaingi tiga kandidat lain seperti Prabowo Subianto 24.0 persen, Ridwan Kamil 20.9 persen, lalu Anies Baswedan 18 persen,” ungkapnya.

Sekadar informasi, Survei Preferensi Sosial dan Politik Masyarakat menggunakan metode multistage random sampling pada tingkat kepercayaan 95 persen secara tatap muka melalui kuisioner terstruktur yang digelar di tiga provinsi, Jawa Timur, Lampung, dan Jawa Barat.

Jumlah sampel di Jawa Timur sebanyak 1.210 Responden, Lampung 800 responden, dan Jawa Barat 1.200 responden. Sementara, margin of error di Jawa Timur kurang lebih 2.82 persen, Lampung kurang lebih 3.46 persen, dan Jawa Barat 2.83 persen. (Ant/OL-13)

 

(Ant/OL-13)
Sumber foto: MI/M Irfan
Sumber : mediaindonesia.com

Survei Charta Politika: PDI-P Masih Unggul di Jatim dan Lampung, Gerindra di Jabar

JAKARTA, KOMPAS.com – Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) masih unggul di Provinsi Jawa Timur dan Lampung berdasarkan hasil survei terbaru Charta Politika Indonesia. Sementara itu Partai Gerindra tetap meraja di Provinsi Jawa Barat.

Charta Politika melakukan “Survei Preferensi Sosial dan Politik Masyarakat Tahun 2022” di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Lampung yang dirilis pada Rabu (16/3/2022). Salah satunya terkait dengan elektabilitas partai politik.

Survei ini dilakukan di Provinsi Lampung pada 27 Januari-2 Februari 2020. Sementara di Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur, survei digelar pada 3-9 Februari 2022.

Survei melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan protokol kesehatan yang ketat.

Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) pada tingkat kepercayaan 95%.

Margin of error untuk survei di Jawa Timur sebesar +/- 2.82%. Lalu di Lampung +/- 3.46%, dan di Jawa Barat +/- 2.83%.

Pada Pileg 2019, partai politik pemenang pemilu di Lampung adalah PDI-P. Kemudian disusul oleh Partai Demokrat dan Golkar.

Namun berdasarkan survei Charta Politika ini, Demokrat kini turun cukup signifikan di Lampung. Demokrat kini berada di posisi ke-4 pilihan responden, dikalahkan oleh Partai Gerindra dan Partai Golkar.

Sementara itu, partai yang unggul di Jawa Timur masih sama dengan hasil Pileg 2019 untuk posisi pertama hingga ketiga. PDI-P berada di urutan teratas, lalu disusul PKB dan Gerindra.

PDI-P bisa mempertahankan menjadi partai paling unggul di Jatim, setelah berhasil mengalahkan PKB yang menjadi pemenang di Pemilu 2014.

Sama seperti Jatim, urutan elektabilitas parpol di Jawa Barat belum berubah. Gerindra tetap mendapat suara terbanyak, lalu di posisi kedua dan ketiga adalah PDI-P dan PKS.

Berikut rincian hasil survei elektabilitas partai politik:

Lampung
PDI-P: 29,8%
Gerindra: 16,6%
Golkar: 10,3%
Demokrat: 4,5%
PKS: 4,5%
PKB: 4,1%
NasDem: 2,9%
PAN: 1%
PPP: 1%
Perindo: 0,6%
Hanura: 0,4%
PKPI: 0,1%
Garuda: 0,1%
TT/TJ: 24,1%

Jawa Timur
PDI-P: 28,5%
PKB: 25%
Gerindra: 9,8%
Golkar: 5%
Demokrat: 3,4%
PPP: 3,2%
NasDem: 2,7%
PAN: 2,1%
PKS: 0,8%
PBB: 0,3%
PKPI: 0,1%
Hanura: 0,1%
TT/TJ: 18,8%

Jawa Barat
Gerindra: 21,3%
PDI-P: 18,2%
PKS: 9,1%
Golkar: 9%
PKB: 6,2%
Demokrat: 4,3%
NasDem: 2,7%
PPP: 2,1%
PAN: 1,7%
Perindo: 1%
Hanura: 0,7%
Garuda: 0,7%
PBB: 0,4%
Gelora: 0,3%
PSI: 0,2%
Partai Ummat: 0,1%
Berkarya: 0,1%
TT/TJ: 22,1%

 

Penulis : Elza Astari Retaduari
Editor : Elza Astari Retaduari
Sumber : Kompas.com
Foto : KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO

 

Rilis Survei Preferensi Sosial dan Politik Masyarakat di Provinsi Lampung, Jawa Barat dan Jawa Timur Tahun 2022

Rilis Survei Charta Politika Indonesia kali ini mencoba membaca perilaku dan pilihan masyarakat terkait :
1. Kepuasan publik terhadap kinerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi
2. Pengetahuan Pelaksanaan Pemilu 2024 dan Wacana Penundaan Pemilu
3. Elektabilitas pemilihan Gubernur, Presiden dan Partai Politik.

Survei di Provinsi Lampung dilakukan pada tanggal 27 Januari – 2 Februari 2022, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Jawa Timur pada tanggal 3 – 9 Februari 2022.

Survei dilakukan melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur dengan protokol kesehatan yang ketat. Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) pada tingkat kepercayaan 95%.

 

Klik tautan untuk mengunduh:

202203_Rilis Survei Jawa Timur_

202203_Rilis Survei Jawa Barat_

202203_Rilis Survei Lampung_

Evaluasi Kritis DPR dan Partai Politik

Dalam catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), tidak ada prestasi menonjol dari kinerja legislasi DPR pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2021-2022 lalu. Pasalnya, selama masa sidang tersebut, DPR hanya menuntaskan dua rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, meski ada tujuh RUU kumulatif terbuka yang disahkan menjadi undang-undang.

Jauh sebelum sorotan Formappi itu, potret buram penghuni lembaga parlemen, khususnya di masa pandemi bukan cerita baru. Masih segar dalam ingatan kita, keganjilan sejumlah politikus Senayan yang meminta fasilitas hotel berbintang untuk isolasi mandiri. Sementara mayoritas rakyat dibiarkan merana, sudah kena Covid-19, tertimpa krisis ekonomi pula.

Sederet aib politik juga terjadi di parlemen lokal. Sebut saja kehebohan DPRD yang menganggarkan sekitar Rp 1,1 miliar untuk pembelian atribut dan pakaian dinas. Di tempat lain, ada pula rencana pengadaan baju dinas anggota DPRD bermerek Louis Vuitton seharga Rp 675 juta. Ulah politisi itu tentu mencoreng citra lembaga perwakilan.

Evaluasi kritis dan kontrol rakyat terhadap DPR/DPRD tentu sangat wajar, sebab eksistensi anggota parlemen berangkat dari mandat rakyat, makanya dinamakan “Wakil Rakyat”. Itulah yang menjelaskan betapa kebuntuan demokrasi agak tertolong berkat kekuatan opini media sosial yang digalang masyarakat sipil, terutama kelas menengah terdidik.

Tindakan pejabat yang lupa akan esensi sebagai wakil rakyat, tentu saja melukai rasa keadilan sosial. John Rawls (1995) dalam A Theory of Justice telah mengingatkan bahwa keadilan sebagai sebuah kejujuran (justice as fairness). Rakyat kecil mesti diprioritaskan dalam distribusi kekayaan (resources). Keadilan berdasar atas kedalaman moral-etik (reasonable) yang melampaui akal budi praktis-instrumental orang per orang (instrumental rationality).

Antipati publik akan mengemuka bila politikus terkesan hanya datang kepada rakyat saat lapar kekuasaan, namun konstituen terlupakan. Dinamika berdemokrasi yang terlampaui standar, lantas menelurkan semata kebisingan politik (political noise) daripada suara rakyat (political voice). Jika publik diibaratkan sebagai dokter, maka kita tetap senantiasa menginjeksi kritikan keras kepada elite agar kekuasaan dibingkai dengan moral. Dennis F Thompson (1987) dalam Political Ethics and Public Office senantiasa mengingatkan urgensi etika dalam politik.

Untuk menghukum politisi yang terkesan bekerja part-time, publik berkewajiban menggugat mereka, baik sanksi moral maupun politik. Dalam konteks ini, sanksi politik tentu mengikuti mekanisme demokratis dan konstitusional. Memang demokrasi butuh kesabaran revolusioner, menanti sesuatu antara kecewa dan harapan.

Kebebasan sebagai berkah reformasi yang diaksentuasi dalam partisipasi politik hendaknya berjalan paralel dengan terbukanya akses keadilan. Sejurus itu, parpol sebagai sarana rekrutmen pejabat publik harus direformasi dari sisi kelembagaan, kesisteman, aktor, dan budaya politik. Kaderisasi berjenjang, rekrutmen dan seleksi kandidat, serta pakta integritas patut direvitalisasi untuk mencetak politisi bermutu dan berkompeten. Larry Diamond dan Richard Gunther (2001) sudah jelas mengatakan, agar parpol merekrut kader berkualitas.

Saat yang sama, parpol sejatinya berfungsi merekatkan sumbu kepentingan rakyat dengan pejabat publik. Kesempitan hidup pada masa pandemi saatnya menjadi kesempatan untuk mengartikulasikan hajat rakyat secara azali. Kita menaruh harapan kepada parpol untuk mereformasi diri agar lebih fungsional. Parpol yang reformis akan berbanding lurus dengan membaiknya performa DPR.

Di sisi lain, setiap jajak pendapat yang digelar hampir semua lembaga survei, kepercayaan publik kepada parpol acapkali bertengger di titik nadir. Maka tak heran, identifikasi kemelekatan pemilih terhadap tokoh (figure ID) jauh lebih kuat daripada identitas partai (party ID). Meski begitu, prasangka overdosis kepada parpol, DPR, apalagi anti-demokrasi, jelas kekeliruan berpikir dan kesia-siaan belaka.

Parpol menciptakan demokrasi modern dan demokrasi modern tidak dapat terbayangkan tanpa keterkaitannya dengan partai. (Elmer E. Schattsscheneider, 1942). Demokrasi secara alami menghendaki adanya lembaga perwakilan. (Robert Dahl, 1989). Maka pilihannya adalah bagaimana membenahi wajah parpol agar tidak menjadi benalu demokrasi.

Richard Katz dan Peter Mair (1994) membagi tiga wajah parpol, yaitu: party on the ground (partai di tataran akar rumput); party in central office (partai dalam arti lembaga/organisasi pusat); party in public office (partai dalam bentuk utusan yang menduduki posisi di lembaga pemerintahan dan parlemen).

Di tataran akar rumput, kader organisasi partai mesti mendengar nada arus bawah yang bernada getir. Baik buruknya wajah parpol tergantung seberapa jauh kepedulian anggota dan kadernya menjawab kebutuhan masyarakat. Penampakan kader di ruang publik harus menunjukkan keteladanan, berciri artikulatif, sembari menjalankan pendidikan politik.  

Begitu pula kader yang menjadi perwakilan partai di lembaga pemerintahan dan parlemen selaiknya bersikap negarawan. Jangan sampai tersandera oleh jebakan oligarkis, terlebih untuk perburuan rente semata. Secara totalitas, pejabat pemerintahan, terutama di jajaran kabinet dan parlemen hendaknya menjadi problem solver (bukan problem maker). 

Bila revolusi mental ditransformasikan ke dalam perilaku internal organisasi partai, mentalitas diubah dari gaya dilayani menjadi pelayan. Tuna rasa beralih ke agenda-kerja politik solidaritas bela rasa. Kebiasaan bertindak sensasional berganti ke politik substantif untuk meletakkan kemanusiaan sebagai agenda teleologis berdemokrasi. Jika belum berubah juga, maka sungguh astaga!

Demokrasi senantiasa menawarkan harapan di tengah kompleksitas kekinian dan kedisinian. Pemilu secara periodik adalah manifestasi kedaulatan rakyat untuk menyalakan politik harapan agar citra DPR dan parpol terangkat. Rakyat sungguh berdaulat untuk mengangkat ataupun menyingkirkan utusannya di lembaga perwakilan.

Dus, mari kita perbanyak kader politik andalan yang benar-benar kapabel dan berintegritas. Publik mesti mencatat dan menandai jejak rekam politikus, siapa yang bekerja part-time dan siapa yang berkomitmen full-time untuk bangsa dan negara berdasarkan indikator yang terukur. Ketika pemilu tiba, di situlah pengadilan rakyat bekerja, siapa yang didepak dan siapa yang diberi mandat. Selamat berhati-hati.

 

Mawardin,
Peneliti Charta Politika Indonesia
Sumber: Kumparan, 14 Maret 2022 (https://bit.ly/3MSXaJW)
Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

Cak Imin-Zulhas Dinilai Tak Punya Alasan Kuat Usul Perpanjang Jabatan Jokowi

Jakarta – Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menilai usulan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memiliki alasan yang kuat. Yunarto mengutarakan sejumlah catatan kritis terkait usulan tersebut.
Yunarto menyoroti alasan di balik usulan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ketum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang berbeda. Dia lantas mempertanyakan bagaimana alasan yang masih berbeda-beda itu justru digunakan untuk membuka satu kotak pandora: pembatasan masa kekuasaan yang dijamin konstitusi.

“Belum ada alasan yang kuat di antara ketum ini, kesatuan alasan untuk kemudian membuka kotak pandora bernama pembatasan masa kekuasaan, yang sangat esensial dalam demokrasi,” kata Yunarto Wijaya kepada wartawan, Jumat (25/2/2022).

“Bayangkan, sederhana saja, Zulhas dan Cak Imin sudah menggunakan alasan yang berbeda. Satu perang Ukraina dengan Rusia, lalu yang satu lebih menekankan terkait pandemi. Lalu bagaimana mungkin alasan yang juga masih berbeda-beda digunakan untuk sesuatu yang paling esensial dari demokrasi, yaitu pembatasan masa kekuasaan dan harus mengamandemen konstitusi,” lanjutnya.

Seperti diketahui, aspirasi perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat setelah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin memberi usul agar Pemilu 2024 ditunda 1-2 tahun. Alasannya, Pemilu 2024 berpotensi mengganggu momentum perbaikan ekonomi Indonesia.

Lulusan S2 manajemen Universitas Indonesia itu heran terhadap alasan pemulihan ekonomi tersebut. Dia menyebut semua negara di dunia pun tengah berjuang memulihkan ekonominya, tetapi tak ada yang melakukan perpanjangan kekuasaan.

Menurutnya, penundaan pemilu setidaknya lantaran permasalahan teknis yang diundur hanya hitungan bulan, bukan untuk memperpanjang masa jabatan kekuasaan.

“Pertanyaan yang harus ditanya juga adalah, ketika alasan pandemi yang digunakan, misalnya, atau pemulihan ekonomi yang masih berjalan pada masa pandemi, negara lain kan di dunia juga mengalami ini. Semua negara mengalami situasi pandemi dan juga sedang melakukan proses pemulihan ekonomi, tapi tidak ada satu pun negara yang setahu saya melakukan perpanjangan kekuasaan,” katanya.

“Penundaan pemilu hanya dilakukan dalam hitungan teknis. Hitungan bulan, tanggal, tapi bukan dalam konteks perpanjangan kekuasaan,” imbuhnya.

Dia menyebut berbagai hasil survei menunjukkan mayoritas responden memilih menolak penundaan pemilu. Lantas, dia mempertanyakan suara siapa yang diklaim para ketum partai itu.

“Semua lembaga survei mengatakan masih lebih banyak yang menolak untuk penundaan pemilu. Kan jadi pertanyaan, lalu suara siapakah yang diklaim para ketum partai. Kalau hanya didasarkan pada subjektivitas mereka ya pada akhirnya tuduhan mengenai oligarki ini kan seperti menjadi benar, gitu, kan,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menduga usulan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut membawa kepentingan segelintir elite politik untuk memperpanjang kekuasaannya, baik di bangku-bangku kementerian maupun di Senayan. Sebab, ujarnya, apabila pilpres ditunda, akan mempengaruhi jadwal pileg.

“Dan jangan-jangan kemudian akan muncul tuduhan bahwa mereka punya kepentingan juga untuk memperpanjang kekuasaannya. Memperpanjang kekuasaan sebagai menterikah atau misalnya memperpanjang kekuasaan anggota-anggota DPR sebagai bagian dari partai,” katanya.

“Karena kan kita tahu pilpres yang ditunda ini akan menjadi pileg yang ditunda yang menguntungkan mereka juga,” sambung dia.

Yunarto kemudian menyinggung pernyataan Jokowi yang selama ini menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden. Menurutnya, selama Jokowi belum mengeluarkan pernyataan baru, tak salah jika masyarakat melihat bahwa elite yang mengusulkan itu dinilai menjerumuskan Jokowi.

“Catatan kritis keempat, yang bisa kita pegang kan adalah statement Pak Jokowi terakhir terkait isu ini jelas menolak dan mengatakan yang mengutarakan isu ini menjerumuskan dirinya. Selama belum ada statement baru Pak Jokowi, ya, jangan salahkan juga kalau kemudian sebagian masyarakat mengatakan bahwa yang mengutarakan kalimat ini orang yang menjerumuskan Jokowi juga,” katanya.

 

Firda Cynthia Anggrainy – detikNews
Sumber foto: Ari Saputra/detikcom
Sumber berita: https://bit.ly/35sRkxM