Mengakhiri Gaduh Tunda Pemilu

Meskipun gelombang Omicron masih menerjang Korea Selatan, pemilihan umum presiden negara itu tetap terselenggara pada Maret 2022. Hasilnya, calon presiden dari Partai Kekuatan Rakyat yang notabene oposisi-konservatif, Yoon Suk-yeol, mengalahkan pesaingnya yang berhaluan liberal, yaitu Lee Jae-myun dari Partai Demokrat yang berkuasa.

Di tengah kecemasan mondial akibat Covid-19, alih-alih menunda pelaksanaan Pemilu, justru Korea Selatan berhasil menggelar suksesi kepemimpinan nasional. Plus dan minusnya tentu menyertai proses sirkulasi elite kekuasaan itu. Pesta demokrasi dalam situasi normal saja mengandung kealpaan, apalagi dalam konteks ‘new normal’.

Dengan demikian, bukan berarti pandemi Covid-19 kemudian diletakkan sebagai faktor penghalang Pemilu. Itulah potret untuk mengurai kegaduhan politik Indonesia termutakhir seputar wacana penundaan pemilu. Gagasan kontroversial itu diusulkan oleh sejumlah ketua umum partai politik yang sudah jelas jejak digitalnya.

Mereka melontarkan sederet dalih, mulai dari pemulihan ekonomi akibat pandemi, besarnya biaya Pemilu hingga eskalasi konflik antara Rusia versus Ukraina. Kalau dalihnya dihubungkan dengan kasus Covid-19, justru mencerminkan inkonsistensi logis. Buktinya, Pilkada Serentak 2020 tetap terlaksana melalui penegakan protokol kesehatan.

Kalaupun alasannya soal ekonomi, justru hajatan Pemilu dapat membuka kesempatan kerja di tengah ironi kesempitan. Gairah pelaku usaha, iklim investasi dan bisnis akan bangkit dengan segala efek menetesnya ke arus bawah.

Sejarah kepemiluan pasca reformasi juga mencatat, kendati terjadi krisis moneter 1998, Pemilu 1999 tetap diadakan. Begitu pula resesi ekonomi global 2008, Indonesia tetap menggelar Pemilu 2009. Belanja logistic kampanye, industri periklanan, insentif petugas, dan kewirausahaan politik di pentas demokrasi akan berdampak konstruktif bagi pertumbuhan ekonomi.

Substansinya, kesehatan publik terlindungi disertai perhelatan Pemilu yang berintegritas. Karena itu, otoritas Pemilu dapat memanfaatkan kecanggihan teknologi secara inovatif untuk menghemat skema anggaran. Para penyelenggara Pemilu dan pihakpihak terkait perlu mendiskusikan metode yang efektif dan efisien demi terwujudnya demokrasi berkualitas.

Kalaupun gaya kampanye berbasis mobilisasi massa, maka protokol kesehatan harus diperhatikan oleh segenap pemangku kepentingan. Cara mencoblos sebisa mungkin diatur sesederhana mungkin lewat digitalisasi Pemilu. Jadi, lokus persoalannya adalah bagaimana mengelola segi teknikalitas Pemilu, bukan mengundurkan jadwalnya.

Begitu pula konflik Rusia dan Ukraina, tidak begitu berimplikasi serius terhadap konstelasi politik domestik. Secara geografis dan geopolitik, jarak spasial Indonesia dengan kawasan Eropa
sangat jauh. Lagi pula Pemilu dijadwalkan pada 2024, sementara instabilitas politik Rusia-Ukraina mustahil abadi. Artinya, ide menunda Pemilu justru bentuk irasionalitas politik.

Dengan demikian, ritual pemilu 2024 menjadi pilihan yang tepat dan logis. Kondisi aktual Indonesia jauh dari bencana serentak lokal-nasional dan darurat perang. Fokusnya adalah menjalankan tahapan-tahapan menuju Pemilu mendatang. Saat yang sama, peningkatan sektor ekonomi dan pengendalian stabilitas politik.

Data survei Charta Politika (29 November—6 Desember 2021) menunjukkan, mayoritas responden menyatakan setuju dengan penyelenggaraan Pileg-Pilpres dan Pilkada pada 2024. Sedangkan isu penundaan Pemilu 2024 menjadi 2027, sebagian besar responden menyatakan tidak setuju.

Hampir semua temuan lembaga survei lain juga memperlihatkan hasil yang sama. Rilis survei teranyar dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA (waktu riset 23 Februari—3 Maret 2022), mayoritas masyarakat di berbagai segmen menolak penundaan Pemilu.

Pemilu 2024 merupakan wahana untuk melanjutkan estafet kepemimpinan secara reguler sesuai kalender konstitusi. Jokowi pun menolak perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan Pemilu, termasuk partainya, PDI Perjuangan. Meski begitu, manuver liar sebagian faksi politik di lingkungan istana perlu diantisipasi agar terhindar dari ‘jebakan batman’.

Dalam konteks itulah, komitmen konstitusional Presiden Jokowi bisa saja digoyang oleh aktor politik tertentu yang kontrareformasi. Jangan lupa, tren opini publik lebih menyetujui perhelatan Pemilu 2024. Jika penundaan Pemilu terus dipaksakan, tanpa alasan yang kuat, terang dan solid,
maka prahara politik berpotensi meledak.

Praktik demokrasi di negara-negara lain telah memberikan pelajaran bagaimana mengadakan Pemilu di tengah pandemi, antara lain Korea Selatan. Apa yang dianggap sebagai kelemahan menyangkut pesta demokrasi di Negeri Ginseng itu, kita pelajari. Selanjutnya, tata kelola penyelenggaraan Pemilu 2024 nanti diperbaiki, baik secara konseptual maupun teknis.

 

 

Mawardin,
Peneliti Charta Politika Indonesia
foto: (Istimewa)

Artikel opini ini dimuat di Harian Bisnis Indonesia, 16 Maret 2022

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *