Evaluasi Kritis DPR dan Partai Politik

Dalam catatan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), tidak ada prestasi menonjol dari kinerja legislasi DPR pada Masa Sidang III Tahun Sidang 2021-2022 lalu. Pasalnya, selama masa sidang tersebut, DPR hanya menuntaskan dua rancangan undang-undang yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas, meski ada tujuh RUU kumulatif terbuka yang disahkan menjadi undang-undang.

Jauh sebelum sorotan Formappi itu, potret buram penghuni lembaga parlemen, khususnya di masa pandemi bukan cerita baru. Masih segar dalam ingatan kita, keganjilan sejumlah politikus Senayan yang meminta fasilitas hotel berbintang untuk isolasi mandiri. Sementara mayoritas rakyat dibiarkan merana, sudah kena Covid-19, tertimpa krisis ekonomi pula.

Sederet aib politik juga terjadi di parlemen lokal. Sebut saja kehebohan DPRD yang menganggarkan sekitar Rp 1,1 miliar untuk pembelian atribut dan pakaian dinas. Di tempat lain, ada pula rencana pengadaan baju dinas anggota DPRD bermerek Louis Vuitton seharga Rp 675 juta. Ulah politisi itu tentu mencoreng citra lembaga perwakilan.

Evaluasi kritis dan kontrol rakyat terhadap DPR/DPRD tentu sangat wajar, sebab eksistensi anggota parlemen berangkat dari mandat rakyat, makanya dinamakan “Wakil Rakyat”. Itulah yang menjelaskan betapa kebuntuan demokrasi agak tertolong berkat kekuatan opini media sosial yang digalang masyarakat sipil, terutama kelas menengah terdidik.

Tindakan pejabat yang lupa akan esensi sebagai wakil rakyat, tentu saja melukai rasa keadilan sosial. John Rawls (1995) dalam A Theory of Justice telah mengingatkan bahwa keadilan sebagai sebuah kejujuran (justice as fairness). Rakyat kecil mesti diprioritaskan dalam distribusi kekayaan (resources). Keadilan berdasar atas kedalaman moral-etik (reasonable) yang melampaui akal budi praktis-instrumental orang per orang (instrumental rationality).

Antipati publik akan mengemuka bila politikus terkesan hanya datang kepada rakyat saat lapar kekuasaan, namun konstituen terlupakan. Dinamika berdemokrasi yang terlampaui standar, lantas menelurkan semata kebisingan politik (political noise) daripada suara rakyat (political voice). Jika publik diibaratkan sebagai dokter, maka kita tetap senantiasa menginjeksi kritikan keras kepada elite agar kekuasaan dibingkai dengan moral. Dennis F Thompson (1987) dalam Political Ethics and Public Office senantiasa mengingatkan urgensi etika dalam politik.

Untuk menghukum politisi yang terkesan bekerja part-time, publik berkewajiban menggugat mereka, baik sanksi moral maupun politik. Dalam konteks ini, sanksi politik tentu mengikuti mekanisme demokratis dan konstitusional. Memang demokrasi butuh kesabaran revolusioner, menanti sesuatu antara kecewa dan harapan.

Kebebasan sebagai berkah reformasi yang diaksentuasi dalam partisipasi politik hendaknya berjalan paralel dengan terbukanya akses keadilan. Sejurus itu, parpol sebagai sarana rekrutmen pejabat publik harus direformasi dari sisi kelembagaan, kesisteman, aktor, dan budaya politik. Kaderisasi berjenjang, rekrutmen dan seleksi kandidat, serta pakta integritas patut direvitalisasi untuk mencetak politisi bermutu dan berkompeten. Larry Diamond dan Richard Gunther (2001) sudah jelas mengatakan, agar parpol merekrut kader berkualitas.

Saat yang sama, parpol sejatinya berfungsi merekatkan sumbu kepentingan rakyat dengan pejabat publik. Kesempitan hidup pada masa pandemi saatnya menjadi kesempatan untuk mengartikulasikan hajat rakyat secara azali. Kita menaruh harapan kepada parpol untuk mereformasi diri agar lebih fungsional. Parpol yang reformis akan berbanding lurus dengan membaiknya performa DPR.

Di sisi lain, setiap jajak pendapat yang digelar hampir semua lembaga survei, kepercayaan publik kepada parpol acapkali bertengger di titik nadir. Maka tak heran, identifikasi kemelekatan pemilih terhadap tokoh (figure ID) jauh lebih kuat daripada identitas partai (party ID). Meski begitu, prasangka overdosis kepada parpol, DPR, apalagi anti-demokrasi, jelas kekeliruan berpikir dan kesia-siaan belaka.

Parpol menciptakan demokrasi modern dan demokrasi modern tidak dapat terbayangkan tanpa keterkaitannya dengan partai. (Elmer E. Schattsscheneider, 1942). Demokrasi secara alami menghendaki adanya lembaga perwakilan. (Robert Dahl, 1989). Maka pilihannya adalah bagaimana membenahi wajah parpol agar tidak menjadi benalu demokrasi.

Richard Katz dan Peter Mair (1994) membagi tiga wajah parpol, yaitu: party on the ground (partai di tataran akar rumput); party in central office (partai dalam arti lembaga/organisasi pusat); party in public office (partai dalam bentuk utusan yang menduduki posisi di lembaga pemerintahan dan parlemen).

Di tataran akar rumput, kader organisasi partai mesti mendengar nada arus bawah yang bernada getir. Baik buruknya wajah parpol tergantung seberapa jauh kepedulian anggota dan kadernya menjawab kebutuhan masyarakat. Penampakan kader di ruang publik harus menunjukkan keteladanan, berciri artikulatif, sembari menjalankan pendidikan politik.  

Begitu pula kader yang menjadi perwakilan partai di lembaga pemerintahan dan parlemen selaiknya bersikap negarawan. Jangan sampai tersandera oleh jebakan oligarkis, terlebih untuk perburuan rente semata. Secara totalitas, pejabat pemerintahan, terutama di jajaran kabinet dan parlemen hendaknya menjadi problem solver (bukan problem maker). 

Bila revolusi mental ditransformasikan ke dalam perilaku internal organisasi partai, mentalitas diubah dari gaya dilayani menjadi pelayan. Tuna rasa beralih ke agenda-kerja politik solidaritas bela rasa. Kebiasaan bertindak sensasional berganti ke politik substantif untuk meletakkan kemanusiaan sebagai agenda teleologis berdemokrasi. Jika belum berubah juga, maka sungguh astaga!

Demokrasi senantiasa menawarkan harapan di tengah kompleksitas kekinian dan kedisinian. Pemilu secara periodik adalah manifestasi kedaulatan rakyat untuk menyalakan politik harapan agar citra DPR dan parpol terangkat. Rakyat sungguh berdaulat untuk mengangkat ataupun menyingkirkan utusannya di lembaga perwakilan.

Dus, mari kita perbanyak kader politik andalan yang benar-benar kapabel dan berintegritas. Publik mesti mencatat dan menandai jejak rekam politikus, siapa yang bekerja part-time dan siapa yang berkomitmen full-time untuk bangsa dan negara berdasarkan indikator yang terukur. Ketika pemilu tiba, di situlah pengadilan rakyat bekerja, siapa yang didepak dan siapa yang diberi mandat. Selamat berhati-hati.

 

Mawardin,
Peneliti Charta Politika Indonesia
Sumber: Kumparan, 14 Maret 2022 (https://bit.ly/3MSXaJW)
Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan

1 reply
  1. philosopher
    philosopher says:

    Mengomentari hal yang bukan menjadi tanggung jawab kita rasanya sangat melelahkan. Terlebih bila tidak mampu memberikan perubahan, terkadang keterbatasan spirit seseorang dalam menempuh jalan berpikir kritis berhadapan dengan idealis pikiranya sendiri

    Reply

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *