Pilkada Serentak 2020, Pandemokrasi, Partisipasi Pemilih

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) 2020 yang digelar secara serentak telah usai. Tapi badai pandemi virus corona (covid-19) belum berlalu. Itulah sebabnya pergelaran politik elektoral sebanyak 270 daerah itu bergelayut antara harapan dan kecemasan.

Sebagai catatan, perhelatan Pilkada 2020 itu meliputi 9 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub), 224 Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup), serta 37 Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwakot). Pilkada serentak tahun 2020 merupakan lanjutan dari tiga tahap pilkada serentak sebelumnya pada tahun 2015, 2017, dan 2018.

Kita menyaksikan turbin demokrasi lokal tetap berputar. Mesin-mesin politik juga bekerja. Realitas mencekam akibat pandemi menjadi pertimbangan utama terkait metode pelaksanaan kampanye. Pola kampanye di arena demokrasi perlahan mulai bergeser, dari kebiasaan mobilisasi massa besar-besaran menjadi pertemuan berskala terbatas.

Seturut hal itu, pihak penyelenggara, kontestan dan partisipan ditekankan agar menaati protokol kesehatan. Sebab, pesta demokrasi tidak sekadar mewadahi kedaulatan rakyat, tapi juga harus memerhatikan keselamatan rakyat.

Rakyat telah memberikan mandat pada pemimpin mereka di daerah-daerah dalam proses yang konstitutif. Kekosongan kekuasaan (vacuum of power) dari aspek penyelenggaraan pemerintahan terhindarkan. Apalagi penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi memerlukan pemimpin daerah yang legitimated, responsif sekaligus proaktif. Saat yang sama, stabilitas politik dan pelayanan publik akan terus berjalan. Dan, demokrasi sebagai rezim, kata Claude Lefort, memang menyaratkan institusionalisasi dan proteksi melalui hukum.

Pesta demokrasi lokal 2020 memang sebuah kekecualian. Imunitas demokrasi benar-benar diuji daya tahannya dalam lubang hitam pandemi. Isu kesehatan publik (public health) jelas tak boleh diabaikan. Lahirlah pandemokrasi, sebuah terminologi yang menggambarkan realitas ironik dari demokrasi pada masa pandemi.

Konsekuensi dari “new normal” politik itu, para calon kepala daerah dituntut lebih canggih dalam berkampanye baik secara online maupun offline untuk mempersuasi publik. Kabar baiknya, partisipasi pemilih justru meningkat. Dikatakan kabar baik karena salah satu parameter keberhasilan pelaksanaan Pilkada 2020 dapat ditinjau dari angka partisipasi pemilih.

 

Partisipasi Pemilih

Salah satu indikator keberhasilan praktik demokrasi dalam konteks pilkada adalah seberapa besar tingkat partisipasi warga menggunakan hak-hak politik (political rights) untuk memilih kandidatnya di kotak suara. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 sebesar 75,83%. Angka itu cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari pilkada 2015 dengan tingkat partisipasi sebesar 69,02 %. Angka partisipasi pemilih pada pilkada 2020 itu nyaris mendekati target nasional (77,5%). Target itu dipandang realistis mengingat situasi darurat pandemi.

Melihat partisipasi pemilih pada pilkada 2020 yang dianggap sukses, maka demokrasi bisa dikatakan berjalan baik. Karena itu, apresiasi layak kita arahkan kepada penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, Satgas Anti-Covid, aparat keamanan, media massa dan partisipasi warga. Peran paslon, partai politik pengusung dan tim kampanye masing-masing kandidat juga memberikan warna tersendiri, meski harus diakui tak ada demokrasi yang hampa masalah. Saluran legalistik pun tersedia, manakala dalam proses Pilkada 2020 ada kalangan yang tidak puas dengan hasilnya, mereka bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Segenap pemangku kepentingan itu telah melakukan ikhtiar sewajarnya untuk mendorong keterlibatan warga dalam proses pilkada. Meskipun pelaksanaan Pilkada 2020 sempat diprasangkai sebagian pihak bahwa partisipasi masyarakat akan meredup, akan tetapi fakta menggambarkan partisipasi warga justru antusias ikut memilih para kandidat sesuai preferensinya.

Pilkada 2020 telah memberikan saham terhadap peningkatan indeks demokrasi Indonesia. Van Deth (2001) menyatakan bahwa partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Dalam konteks hak-hak politik, perwujudan terpentingnya adalah tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pilkada. Kendati begitu, penyelenggaraan pilkada kali ini pun mengandung aib politik yang mesti diatasi untuk memproyeksikan hajatan politik yang berkeadaban untuk masa-masa mendatang.

Salah satu persoalan yang perlu mendapat atensi khusus adalah masalah kekerasan dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam kontestasi elektoral. Mengacu pada Laporan Kontras bertajuk “Catatan Kritis atas Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020”, antara lain dikatakan bahwa cara-cara kekerasan masih kerap digunakan baik untuk mengintimidasi kelompok berseberangan dalam Pilkada maupun untuk menekan warga untuk memilih calon-calon tertentu.

Dalam logika elektoral, pertarungan strategi antar paslon, partai pengusung dan pendukung beserta tim kampanye adalah sebuah keniscayaan sepanjang dilakoni dengan cara-cara demokratis, sesuai koridor hukum dan sewajarnya. Namun, fakta ironik masih adanya sebagian pihak yang memainkan isu SARA, khususnya politisasi etnis dan agama, terlebih disertai kekerasan adalah cermin politik purba yang destruktif.

Mobilisasi faksi politik etno-religius yang berhaluan garis keras dapat menajamkan perpecahan antar sesama anak bangsa, bahkan merusak tatanan demokrasi. Politisasi SARA yang cenderung mengeksploitasi kebencian demi elektabilitas bisa memperlebar jarak-psikologis dalam relasi keseharian antar warga. Ketahanan nasional terancam mengalami pengeroposan bilamana politik SARA dibiarkan tanpa adanya pencegahan dan penindakan serius dari aparat berwenang.

Dengan demikian, partisipasi pemilih yang cukup tinggi dalam pilkada 2020 mesti dibarengi dengan kesadaran penuh dari elite untuk menjunjung tinggi integritas demokrasi. Harapan yang besar bagi paslon yang terpilih untuk mengembalikan ruang publik menjadi sehat, tanpa penyebaran virus kebencian dan bercak-bercak darah. Polarisasi politik dan fragmentasi sosial yang terbentuk selama kampanye saatnya dinormalisasikan kembali.

Kepala daerah terpilih juga mesti berkomitmen bahwa mereka bukan sekadar pemimpin untuk pemilihnya saja, atau melayani golongan tertentu saja, tapi pemimpin untuk semua warga tanpa berlaku diskriminatif. Legitimasi yang kuat dari rakyat mesti dijaga. Dukungan pemilih yang mengantarkan aktor-aktor politik lokal menjadi pemimpin daerah adalah modal yang sangat mendasar untuk memajukan kabupaten, kota dan provinsinya kelak.

Tantangan masa kini dan masa mendatang adalah bagaimana memastikan adanya sinergi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk menuntaskan penanganan Covid-19 sekaligus pemulihan ekonomi. Begitu pula masyarakat, diharapkan partisipasi aktifnya untuk mengawal pemimpin terpilih, mengutamakan kolaborasi dan kerjasama konstruktif. Dengan begitu, pilkada tidak sekadar ritual sirkulasi elite semata, tapi menjadi kenduri demokrasi lokal yang melahirkan kepala daerah visioner dalam lanskap otonomi daerah. Semoga.

 

 

Mawardin, peneliti Charta Politika Indonesia

Foto: Aditya Irawan (Getty Images)

 

Isu Reshuffle Menguat, Risma-Sandiaga Uno Dinilai Berpotensi Kuat Masuk Kabinet

Jakarta – Isu santer reshuffle semakin mengemuka usai Presiden Jokowi melakukan rapat tertutup bersama Wapres Ma’ruf Amin. Siapa saja nama-nama yang akan masuk kabinet Jokowi?
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya mengamati kemungkinan sejumlah opsi yang mungkin terjadi dalam reshuffle kali ini. Ia menilai kursi Menteri Sosial (Mensos) dan Menteri Kelautan dan Perikanan (Menteri KP) tentunya akan diisi oleh wajah baru.

“Pertama sudah pasti pos yang absolut sudah diganti. Pos dari Menteri KKP dengan pos dari Mensos. Pertanyaannya adalah yang menarik apakah akan berasal dari partai yang sama atau tidak,” ujar Yunarto saat dihubungi, Senin (21/12/2020).

Yunarto menyebut potensi reshuffle dapat menimpa kementerian lain, seperti Menteri Kesehatan, Menteri Perdagangan, Menteri Agama, hingga Menteri Pariwisata. Sebab, ia menyebut menteri tersebut cenderung dianggap kontroversial oleh publik.

“Nah posisi menteri-menteri lain kan sering dianggap kontroversial kan seperti, atau dianggap cukup lemah ya seperti menteri perdagangan, lalu kemudian menteri kesehatan, ya itu, atau menteri agama. Nah itu menteri-menteri yang menurut saya cukup rentan untuk bisa saja dilakukan reshuffle,” kata Yunarto.

“Tapi tetap dugaan saya ada di wilayah itu, Mendag atau Menteri apa lagi tadi, Menteri Pariwisata misalnya. Dan menteri, apa tadi, Menkes. Nah itu yang mungkin,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Yunarto menduga akan muncul penambahan kursi wakil menteri. Ia menilai hal itu akan dapat terjadi di ranah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

“Saya duga akan ada penambahan wamen juga di pos tertentu sebagai bentuk penguatan. Contoh misalnya di menteri pendidikan banyak kritik tapi di sisi lain orang melihat potensi Nadiem juga cukup bagus tapi butuh waktu lebih lama dan butuh backup dari orang yang dianggap lebih senior atau berlatar belakang politik kuat ya,” tuturnya.

Sementara untuk posisi Menteri KP, Yunarto menilai akan sangat masuk akal jika Wamenhan Wahyu Sakti Trenggono mengisi posisi itu. Terlebih, Trenggono juga dianggap memiliki kedekatan dengan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto.

“Jadi prediksi Mas Trenggono yang banyak disebutkan namanya belakangan akan menjadi Menteri KKP sangat masuk akal untuk ditempatkan di situ karena selain dia bisa dianggap profesional, tapi di sisi lain juga memiliki kedekatan dengan Prabowo. Jadi mungkin saja ada restu juga dari prabowo untuk menggantikan kader Gerindra di situ,” katanya.

Lebih lanjut Sandiaga Uno juga disebut bisa masuk ke kabinet Jokowi menempati posisi Menteri Pariwisata. Sebab, Sandiaga Uno berasal dari Partai Gerindra serta dinilai memiliki modal politik yang kuat.

“Kader pengganti Gerindra saya pikir suka atau tidak, yang populer, punya latar belakang pengusaha atau profesional seperti saya bilang, kekuatan modal politik punya, Sandiaga Uno sebetulnya. Entah dia bisa ditempatkan di pos ekonomi misalnya pos ya g membutuhkan apa ya kreativitas dan kemampuan manajerial baik seperti Menparekraf misalnya,” ujar Yunarto.

Selain itu, Yunarto melihat Wamen BUMN Budi G Sadikin dan Kartika Wirjoatmodjo memiliki kinerja baik. Menurutnya, ada potensi salah satu dari mereka bisa menempati kursi menteri.

“Lalu saya menduga nama besar Tiko dan Budi Sadikin membuat salah satunya bisa menempati pos menteri. Tapi saya nggak tahu. Yang beredar menkes, seperti kita tahu ya,” tuturnya.

Kemudian, nama Mendag ke-28 RI, Lutfi dan Kadin Rosan Roeslani disebut berpotensi masuk menjadi Menteri Perdagangan. Terlebih, kedua nama itu juga sudah dikenal baik oleh publik.

“Ada nama-nama besar seperti Rosan atau Lutfi misalnya, yang kita kemarin sempat membantu Jokowi tapi nama besarnya sebagai Kadin gitu kan dan sebagai pengusaha cukup dikenal baik termasuk oleh jaringan politik,” ujarnya.

Dihubungi secara terpisah, pengamat politik dari UIN, Adi Prayitno menilai Jokowi akan me-reshuffle menteri lain selain Mensos dan Menteri KP. Khususnya menteri yang berkaitan langsung dengan penanganan serta dampak pandemi COVID-19.

“Kalau prediksi umum kan mereka adalah menteri-menteri yang berkait langsung dengan penanganan dan dampak Corona, kesehatan, tim ekonomi, terus pendidikan, sama ketenagakerjaan. Empat kementerian ini yang sering mendapat sorotan perbincangan,” ungkap Adi.

Adi bahkan menduga Jokowi berpotensi melakukan reshuffle terhadap menteri yang berasal dari kalangan profesional. Menurutnya, hal ini dilakukan guna mengurangi konflik internal di antara para parpol koalisi.

“Saya sih menduga, kalau mau cari aman, terutama tentang stabilitas politik. Yang mesti di-reshuffle adalah menteri yang tidak punya backup politik atau mereka yang tidak mempunyai afiliasi dari parpol tertentu. Jadi itu yang paling aman dan paling nyaman lah untuk dilakukan reshuffle. Untuk kurangi konflik internal,” tuturnya.

 

 

Rahel Narda Chaterine – detikNews

Foto: Kabinet Indonesia Maju (BPMI Setpres)

Press Release Quick Count Charta Politika 9 Desember 2020

 
Press Release Quick Count Charta Politika Jakarta, 9 Desember 2020 

 
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2020 telah selesai dilakukan di 270 wilayah, dengan rincian: 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. 

 
Pada gelaran Pilkada Serentak 2020 ini, Charta Politika Indonesia melakukan penghitungan cepat (quick count) di 5 provinsi (Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah), 2 Kabupaten (Tanah Bumbu dan Minahasa Utara), serta 4 kota (Kota Medan, Kota Tangerang Selatan, Kota Surakarta dan Kota Surabaya). Proses sampling dilakukan secara acak menggunakan metode Stratified Cluster Sampling, dengan margin of error sebesar +/- 1 persen dengan tingkat kepercayaan 99%.  
 
Klik tautan untuk mengunduh: 20201209_Rilis Quick Count

Menjaga Marwah Pemilu

Pemilu merupakan ruang bersama bagi warga untuk menentukan siapa yang akan menjalankan pemerintahan. Ini dengan pengandaian yang terpilih adalah kandidat yang berkualitas. Implisitnya, pemilu juga medium untuk perawatan mereka yang tidak kompeten atau orang yang bermasalah di arena kekuasaan.

Faktanya, pemilu masih menjadi instrumen yang rapuh. Kandidat (orang atau parpol) yang berkualitas tak selalu jadi pemenang pemilu. Bahkan, untuk jadi kontestan pun, mereka tak bisa atau tak bersedia. Hal ini penyebab beberapa petahana yang tidak bekerja atau bahkan bermasalah justru peluang peluang besar terpilih kembali.

Dalam situasi seperti itu, pemilu terdegradasi. Ia bersaing jadi ranah kompetisi untuk memilih kandidat yang lebih sedikit buruknya dari pilihan yang tersedia. Atau, dalam situasi berbeda, pemilu merupakan ruang berkontestasi ”dari dan untuk” politik elit. Elite politik di sini diimplementasikan oleh para politikus, tetapi juga pemilik modal yang juga terjun langsung menjadi politikus melalui proksi-proksinya.

Menerima situasi seperti ini tentu saja ada harganya. Risiko merosotnya legitimasi pemerintah yang terpilih terpilih memudarnya keyakinan terhadap pelaksanaan demokrasi atau bahkan terhadap prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri. Risiko ini perlu dimitigasi. Penguatan pemilu menjadi keniscayaan.

Penguatan pemilu bersoal tentang pengondisian yang bisa mendorong perbaikan iklim kepemiluan. Acuannya pada norma-norma standar yang sudah diterima secara global: bebas dan adil. Atau, dalam istilah Norris (2013), integritas pemilu (electoral integrity).

Jika dirumuskan dengan kalimat berbeda, pemilu harus didesain dengan semangat menghadirkan persamaan dalam kesempatan, kemungkinan, dan juga dalam memanfaatkan berbagai sarana. Pemilu tak hanya harus bebas, tetapi juga mengandaikan adanya kesetaraan dalam memanfaatkan kebebasan tersebut.

Pembatas

Penguatan pemilu bukan perkara mudah. Ini setidaknya karena ada kondisi yang jadi pembatas keputusannya secara optimal. Kondisi itu, pertama, ada pada tataran konsepsional, yaitu pendefinisian kandidat berkualitas. Kandidat berkualitas yang diinginkan dengan asumsi memiliki kompetensi, integritas, dan motivasi kuat untuk melayani publik. Ketika terpilih, kandidat ini diharapkan bekerja untuk meningkatkan pemilih hidup pemilih: lebih aman, merasa jadi warga yang berdaya dan lebih sejahtera.

Masalahnya, interpretasi terhadap kandidat berkualitas (dan juga kinerja yang diinginkan) sangat variatif, mengetahui berbagai faktor sekaligus, seperti preferensi ideologi, informasi kelengkapan, dan faktor kontekstual. Seperti diingatkan Murray (2005), kriteria kriteria berkualitas merupakan sesuatu yang masih dikontestasikan.

Teori ilmu politik, studi empiris pemilu, parpol, dan pemilih memiliki kriteria berbeda-beda tentang ini. Dua yang disebut terakhir, menurut Murray, cenderung bias karena banyak menggunakan indikator subyektif. Dalam pemilu konteks serentak 2019, kriteria kualitas yang digunakan sebagai penjulukan bersifat peyoratif seperti terwakili melalui ungkapan Amien Rais tentang ”partai Allah” versus ”partai setan”.

Pembatas berikutnya adalah kampanye. Pemilu tanpa kampanye ibarat memakai baju tanpa memakai celana. Kampanye adalah kesempatan untuk dapat informasi yang relevan untuk membantu pemilih membuat pilihan (Bartels, 1996). Masalahnya, intensitas kampanye itu krusial. Pemilih yang kurang informasi cenderung memilih kandidat yang intensitas kampanyenya tinggi (Blais dkk, 2009).

Persepsi pemilih terhadap informasi dari kampanye juga berbeda. Studi McCain dan Lawson (2005) menunjukkan, aliran informasi dari media kampanye yang intens pada berbagai segmen pemilih menurut status ekonomi tidak banyak mengubah informasi dan bahkan ada tendensi justru kian melebar.

Terkait itu, Achen dan Bartels (2016) mengingatkan, pemilih juga kerap menggunakan identitas sosialnya dan melakukan rasionalisasi agar isu kebijakan yang didukungnya sesuai bias partisannya. Kandidat juga berpeluang memanipulasi pesan tentang kebijakan dan personalitasnya demi terpilih.

Karena itu, kampanye bukan indikator yang baik untuk menilai kualitas kandidat (Markussen dan Tyran 2017; Bowler dkk, 2019). Dan, meski kampanye akurat sebagai sarana efektif pemilih, sebagian kandidat melihat sogokan jauh lebih efektif (Cruzz dkk, 2019).

Kondisi ketiga terkait inkoherensi sistem pemerintahan, sistem parpol, dan sistem pemilu. Ini pula yang terjadi di Indonesia. Ada ketidaksesuaian antara sistem pemerintahan presidensial (tetapi rasa parlementer) dan sistem multipartai yang ekstrem, serta sistem pemilu yang proporsional terbuka.

Dari diskursus politik, pokok soalnya adalah tarik-menarik pengawasan sistem presidensial atau mempertahankan representasi politik yang beragam sesuai kebinekaan masyarakat Indonesia. Ada upaya melakukan kombinasi yang bisa melentingkan keunggulan dari tiap sistem. Akan tetapi, dalam praktiknya sering kali justru mengafirmasi kelemahan-kelemahannya.

Inkoherensi itu terkait dengan pembatas berikutnya: penataan politik, termasuk pemilu, tak terjadi di ruang kosong. Para pihak berkontestasi agar sistem dan regulasi yang ada menguntungkan mereka dalam melakoni kompetisi politik. Tak heran, ada sebagian elit yang memiliki motivasi untuk menghambat bahkan membajak pemilu karena dapat mengurangi atau melempar mereka dari arena kekuasaan politik. Secara pribadi sebagai petahana, politik elit juga memiliki motivasi untuk memanfaatkan politiknya itu ke keluarga atau kerabatnya.

Polemik batas ambang batas. Dan presiden serta ukuran dapil, misalnya, dapat diterapkan dalam konteks ini. Bahkan, sebagian elit lain melihat momen pemilu sebagai instrumen untuk mengubah pemilu secara signifikan. Dalam kasus Indonesia, dari pemilihan langsung menjadi tak langsung.

Agenda minimal

Kondisi pembatas menjadi pengingat penguatan bahwa pemilu memiliki ruang lingkup yang semata-mata peraturan regulasi dan manajemen pemilu belaka. Dan, prosesnya nyaris mustahil dilakukan secara menyeluruh. Terlebih, kepemiluan Indonesia berada dalam situasi ”serba nanggung”. Secara total, tidak ada pemilu yang terjadi pada pemilu yang bersifat substantif di era Orde Baru, tetapi juga sulit menyatakan pelaksanaan pemilu sudah mencapai titik yang tepat dari integritas pemilu.

Seturut situasi ini, agenda pemilu setidaknya diarahkan untuk membangun situasi kondusif bagi terwujudnya persamaan bagi tiap anggota masyarakat untuk dipilih dan memilih. Dengan semangat ini, setidaknya ada empat agenda minimal yang perlu dipromosikan sekaligus didesakkan kepada para pembentuk UU.

Agenda minimal paling dasar, mendorong demokrasi di dalam parpol. Ini tidak mencakup proses kepemimpinan, tetapi juga penetapan caleg, capres-cawapres, calon kepala daerah dan wakilnya, penyusunan manifesto politik, dan penentuan siapa akan berkoalisi. Poin pentingnya, keseluruhan proses ini mengandaikan pelibatan anggota parpol secara langsung atau melalui berjenjang.

Demokrasi internal baru dapat dilakukan jika bersifat mandatori. Misal saja, ditetapkan sebagai bagian dari persyaratan parpol menjadi peserta pemilu. Peluang elite partai mengakali ketentuan ini terbuka, tetapi secara logis ini akan merugikan partai secara keseluruhannya. Pemilih akan membedakan mana partai yang lebih demokratis dan yang kurang demokratis.

Proses demokrasi juga dianggap sebagai pemilik uang atau para ”kutu loncat”. Karena itu, perlu dipersiapkan prosedur penangkal. Dalam konteks pencalonan anggota DPR (D), misalnya, diberlakukan ketentuan baru bisa dicalonkan jika seseorang sudah tiga tahun menjadi anggota partai.

Tak kalah penting, ruang kontestasi perlu tetap dijaga. Pada tingkat pilpres, semangat dasar pemilu serentak ialah menguatkan sistem presidensial demi terwujudnya pemerintahan yang efektif. Namun, persyaratan pencalonan capres-cawapres harus direndahkan agar muncul beberapa calon pemilih yang mempunyai pilihan, sekaligus menghindari polarisasi yang involutif. Pada level pileg, ambang batas tetap terjaga. Ini untuk memastikan proses penyederhanaan partai tak dipaksakan secara brutal ke arah sistem dua partai atau dua setengah partai.

Agenda minimal kedua terkait daya tarik jabatan publik. Meski ruang politik perlu terus dibuka, daya tariknya perlu diwajarkan. Mengikuti Besley (2015), daya tarik yang bermasalah ketika orang-orang lebih termotivasi karena gaji dan ”pendapatan ekstra” yang bisa didapat dalam melayani publik. Normalisasi dilakukan dengan membuat politisi terpilih sulit menyalahgunakan pengaruh, mengomoditisasi perizinan, dan juga melakukan praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Normalisasi ini, antara lain, dengan melebarkan transparansi dari hak warga untuk tahu, diberi mandat untuk menerapkan keterbukaan, termasuk dalam proses penyusunan kebijakan yang berarti pula menjalankan pemerintahan terbuka (open government).

Yang terakhir fokusnya bukan pada akuntabilitas, melainkan mendorong partisipasi publik dalam operasi dan mengelola masalah dalam menjalankan pemerintahan. Ini mengandaikan adanya berbagi data yang hampir bersifat real-time , komunikasi yang bersifat banyak , pengumpulan data yang bisa diekstrak melalui portal, adanya platform untuk melakukan kolaborasi, dan untuk membangun interaksi warga dengan pemerintah (Halberstam, 2015).

Dengan pemerintahan terbuka , pemerintahan akan semakin akuntabel. Terlebih jika ini diikuti penguatan dengan kelembagaan komisi negara, seperti KPK, Ombudsman RI, KPPU, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, dan Komnas HAM.

Agenda minimum berikutnya terkait reformasi politik. Dalam hal dana kampanye, pengaturan harus lebih luas lagi mencakup: (a) sumbangan dari individu pemilik, direksi atau karyawan perusahaan harus diperhitungkan sebagai bagian dari bagian dari korporasi; (b) adanya larangan sumbangan yang berasal dari korporasi yang pemilik atau direksinya sedang dalam proses hukum dan atau sedang menjalani kehidupan; (c) adanya pagu pengeluaran pengeluaran yang dibolehkan; (d) adanya audit forensik keuangan terhadap laporan dana kampanye.

Pada tataran parpol, setidaknya perlu ada pembatasan sumbangan operasional partai dari ketua umum atau pengurus terasnya dan larangan korporasi memberikan sumbangan politik ke lebih dari satu parpol. Ini dibarengi penguatan sanksi berupa pembatalan kepesertaan dan larangan mengikuti pemilu pada periode berikutnya (bagi individu dan partai) dan memperberat hukuman pidana dan perdata (bagi penyumbang).

Agenda minimum terakhir, meningkatkan persamaan pemanfaatan sarana (berkampanye). Pokok krusialnya mengatur media massa dan media sosial. Media massa cetak ataupun elektronik boleh berpihak, tetapi harus dikenai ketentuan menyampaikan informasi keterbukaan tentang keberpihakan dan disertai adanya pembatasan jumlah konten yang boleh dimuat/disiarkan.

Pemanfaatan ruang nonpolitik (seperti acara hiburan, infotainment, ataupun acara keagamaan) harus dilarang. Media publik, seperti TVRI, RRI, dan kantor berita Antara, harus dioptimalkan perannya untuk meningkatkan visibilitas seluruh kontestan. Perlu ada badan khusus ad hoc yang melibatkan jurnalis independen senior, akademisi, dan peserta pemilu sebagai pengawas.

Untuk medsos, pokok pentingnya adalah mencegah medium ini sebagai sarana pendistribusian hoaks. Kerja sama dengan pemilik aplikasi dibutuhkan agar akun dan konten hoaks bisa segera dihilangkan. Meski demikian, sebuah rangkaian pesan yang menyibak rekam jejak, mengevaluasi kelayakan program, mempertanyakan agenda tersembunyi dan afiliasi politik/bisnis dan sejenisnya harus diperbolehkan. Prinsipnya: kampanye negatif yes, hoaks no!

Ketentuan ini harus diikuti pada tataran kewajiban para bagi calon memberikan informasi keterbukaan mengenai dirinya, afiliasi bisnis dan politik keuangan, dan juga agenda politik yang mau dilakukan seandainya terpilih. Informasi ini harus tersedia dan terbuka untuk diakses. Juga dapat ditambahkan oleh publik setelah ada verifikasi. Calon yang tak bersedia dengan sendirinya dinyatakan gugur.

Di luar empat agenda minimum itu, perhatian harus diberikan kepada manajemen pemilu. Proses pendaftaran pemilih, perekrutan tenaga TPS, penentuan dapil, proses penghitungan suara, dan pengumuman hasil harus melibatkan publik dengan pendekatan open government. Dengan cara ini, selain lebih efisien dari sisi biaya dan waktu, penyelenggaraan pemilu juga akuntabel dan partisipatif.

Singkatnya, krisis pemilu harus mengikuti pembenahan sektor-sektor di luar kepemiluan itu sendiri, terutama meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, serta ruang lingkup berusaha yang mudah dan adil, dan pendidikan kewargaan. Pemilu adalah sebuah instrumen demokrasi yang rentan dan tidak diharapkan bak ”kotak ajaib” bagi terwujudnya demokrasi politik, apalagi demokrasi sosial.

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia.

 

Rilis Survei Nasional “Trend 3 Bulan Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum Pada Masa Pandemi Covid-19”

Berkaitan dengan situasi pandemi Covid-19, kegiatan survei saat ini dilakukan melalui wawancara telepon.

Sampel sebanyak 2.000 responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang pernah dilakukan oleh Charta Politika Indonesia pada rentang dua tahun terakhir hingga Februari 2020. 

Laporan survei kali ini juga menyajikan beberapa data hasil survei menggunakan telepon yang dilakukan Charta Politika Indonesia pada periode 1 – 8 Mei 2020 dan 6 – 13 Juni 2020, masing masing menggunakan 2.000 responden dengan metode simple random sampling (MoE +2,19%) pada tingkat kepercayaan 95%, untuk melihat dinamika perubahan persepsi publik selama masa pandemi Covid-19. 

Survei yang dilakukan Charta Politika Indonesia secara tatap muka langsung pada 20 – 27 Februari 2020, yang menggunakan 1.200 responden dengan metode multistage random sampling (MoE +2,83%) pada tingkat kepercayaan 95%, juga disertakan sebagai bahan perbandingan persepsi publik sebelum terjadinya pandemi Covid-19.

Rilis Survei Nasional dapat di unduh: 

20200722_Report_Phone Survei FINAL

Rilis Survei Nasional Charta Politika Evaluasi Kinerja Joko Widodo – K.H. Ma’ruf Amin dan Peta Elektoral 2024

Sehubungan dengan dibatalkannya Rilis Survei Nasional Charta Politika Evaluasi Kinerja Joko Widodo – K.H. Ma’ruf Amin dan Peta Elektoral 2024 pada tanggal 15 Maret 2020 dikarenakan wabah virus corona (covid-19).

Dibawah ini terlampir rilis resmi Survei Nasional Charta Politika Indonesia dengan jumlah sampel 1200 responden melalui wawancara tatap muka, periode survei 20 – 27 Februari 2020.

 

RILIS SURNAS_CHARTA POLITIKA

UPH Undang Profesional Milenial Di Career Talk

 

UPH menggelar Career Talk dengan tema ‘Are You Ready for the Disruptive Era?’ dengan menghadirkan para narasumber berpengalaman dari berbagai bidang seperti pendidikan, politik, hingga entertainment, Kampus UPH, Karawaci, Senin 27 Januari 2020. Para pembicara diantaranya Direktur PT Astra Int. Tbk. Paulus Bambang W.S. , Executive Director Charta Politika Indonesia & Co Founder of Asumsi.co Yunarto Wijaya, CEO of Kitong Bisa Foundation & Staff Ahli Presiden Jokowi Billy Mambrasar, TV Host, Mc, Entrprenuer Choky Sitohang, dan Professor dari IPMI International Business School Prof.Roy Sambel bersama dengan Direktur Kemahasiswaan UPH Andry Panjaitan.

 

 

BeritaSatu Photo / Emral Firdiansyah

Defisit Demokrasi di Tahun Pemilu

Di pengujung 2019, sebagian dari kita cemas dengan masa depan demokrasi. Sebelumnya, di awal tahun, sebagian kita cemas dengan prospek pemilu (serentak).

Ketika pemilu serentak 2019 berakhir, rasa lega terasa. Seperti ada beban berat di pundak yang telah terangkat. Publik mengapresiasi. Mengacu pada beberapa hasil survei, mayoritas responden menilai pemilu telah berlangsung jurdil. Meski demikian, penyelenggaraan pemilu serentak ini bukan tanpa masalah. .

Dari sederet indikator pemilu berkualitas, beberapa di antaranya perlu mendapat perhatian seksama. Pertama, pemilu serentak 2019 mempertegas bahwa penyelenggaraan pemilu di era reformasi masih terus mencari bentuk. Kesan trial and error tak terhindarkan. Aturan mainnya tidak saja terus berubah dari satu pemilu ke pemilu berikutnya, tetapi juga ditandai adanya ketidakpastian hukum. Yang terakhir ini contohnya antara lain aturan soal narapidana (napi) korupsi menjadi caleg, persyaratan pencalonan DPD, dan juga proses verifikasi partai peserta pemilu.

Kedua, penyelenggaraan Pemilu 2019 juga mempertegas kegagalan dalam membenahi sejumlah masalah yang sudah menahun, antara lain kesemrawutan penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT), praktik politik uang yang marak tetapi sangat sedikit yang bisa diproses lebih lanjut. Juga soal posisi media massa yang selalu diperdebatkan, tetapi tak juga ada solusi yang diterima di kalangan pemangku kepentingan.

Ketiga, pemilu serentak juga menyibak persoalan ihwal manajemen pemilu. Salah satunya terkait tenaga pelaksana penyelenggara pemilu di akar rumput. Ada problem serius terkait proses perekrutan yang selama ini terabaikan. Besarnya jumlah tenaga lapangan yang meninggal saat menjalankan tugas tidak saja ”kurang hitung” dalam soal implikasi pemilu serentak, tetapi juga karena tata laksana perekrutan tak seketat di tingkatan kota. Belum lagi masalah netralitas pelaksana pemilu di tingkatan ini karena sebagian terafiliasi parpol atau jadi pendukung salah satu pasangan capres-cawapres.

Keempat, resolusi konflik sengketa pemilu kali ini jauh lebih buruk. Lebih dari sebelumnya, pengerahan aksi massa cenderung menjadi instrumen untuk melakukan tekanan politik, alih-alih berupaya mendapat keadilan pemilu. Hal ini pada gilirannya membuka ruang bagi pihak tertentu untuk memantik kerusuhan yang untungnya berhasil diredam sebelum menjadi lebih tak terkendali.

Kelima, meski baru bersifat ”insiden”, manuver Gerindra ”memuluskan” sejumlah caleg seperti Mulan Jameela dan Sugiono masuk DPR perlu dapat perhatian. Selain soal keadilan; praktik ini ke depannya bisa jadi modus baru. Dalam hal ini, caleg tidak lagi akan terfokus pada kompetisi untuk mendapatkan suara terbanyak, tapi pada bagaimana kemampuan mereka melobi DPP sebagai faktor penentu utama. Selain berpotensi melahirkan modus transaksional baru, kondisi ini juga bisa dianggap ”mengakali” pemilih yang merasa suaranya menjadi mubazir.

Keenam, pemilu serentak juga mengonfirmasi kecemasan lain yang selama ini kurang mendapat ruang dalam diskursus publik, yaitu pemilu serentak membuat pileg seperti dilupakan. Pemilih tak terlalu peduli dalam memilih partai atau caleg. Mereka cenderung tak memperhatikan dengan baik apa agenda politik yang dijanjikan parpol atau caleg. Tak ada kebutuhan untuk tahu rekam jejaknya. Dalam kasus DPD, bahkan tak sedikit pemilih tak tahu siapa saja calonnya dan siapa yang layak dipertimbangkan untuk dipilih. Ibarat konser musik, pileg hanya band pembuka belaka.

Ketujuh, ambang batas pencalonan capres-cawapres yang tinggi secara tak langsung sebenarnya melucuti semangat dasar di balik usulan pemilu serentak. Dari sisi efisiensi, dua paslon sangat tepat karena menghindari kemungkinan adanya pemilihan putaran kedua. Namun, dari sisi pemilih, situasinya berbeda.

Pilihan terbatas membuat pemilih terpaksa menerapkan strategi ”diskon”. Secara sadar, pemilih mengabaikan situasi bahwa preferensi kebijakan dia sebenarnya relatif berjarak dengan kandidat yang dipilihnya. Sebagian pemilih, umpamanya, tetap memilih pasangan 01 walaupun dari sisi janji kampanye terkait BPJS dia merasa lebih dekat yang ditawarkan 02. Atau mengabaikan fakta bahwa mereka sebenarnya tak suka dengan pendamping pasangan yang dipilihnya. Ini secara figuratif terwakili dari ungkapan; ”Saya pilih Sandi, bukan Prabowo” atau ”Saya pilih Jokowi, bukan Kiai Ma’ruf”. Pilihan lain, jadi golput.

Defisit demokrasi

Dengan melakukan diskon preferensi, pemilih telah berkorban rasa dan mungkin pula harga diri. Tetapi, pasca-pilpres, sebagian pemilih dihadapkan pada situasi yang terasa ganjil: Prabowo bergabung ke Kabinet Indonesia Maju. Fenomena ini melahirkan kelakar yang terwakili melalui penjulukan seperti ”pilpres rasa Pemilihan ketua RT”. Tapi, pada saat bersamaan, polarisasi di masyarakat terus berlanjut dan cenderung kian mengkristal. Situasi ini secara telak menggugurkan dalih bahwa bergabungnya Prabowo bentuk pengejawantahan prinsip kegotongroyongan dan atau kebersamaan.

Dan, yang lebih ”menakjubkan”, munculnya berbagai gagasan yang jika dipadatkan tak lain dari upaya mempereteli pemilu langsung. Berbagai gagasan yang terlontar pada intinya ingin mengembalikan pemilihan ke MPR (presiden) dan DPRD (kepala daerah) serta memperpanjang masa jabatan presiden hingga tiga periode. Mempereteli sesuatu yang dinilai baik tidak saja membingungkan, tetapi juga membangkitkan rasa cemas. Bagaimana tidak, pelaksanaan pemilu jadi penopang indikator kebebasan Indonesia sebagaimana tecermin, umpamanya, pada indeks kebebasan yang dirilis Freedom House. Menurut indeks ini, pelaksanaan pemilu di Indonesia skornya 2 (bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tidak bebas (7) pada periode 2013-2019.

Meski “baru sebatas wacana, gerakan mempereteli pemilu merupakan sesuatu hal yang terlalu serius untuk diabaikan. Dalam hal ini, esensi pemilu sebagai sebuah persamaan peluang memilih dan dipilih hendak dibatasi jadi ruang elite belaka. Maksudnya, pemilu dijarah jadi sekadar ruang bagi elite memilih pemerintahan untuk mereka sendiri dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Dengan begitu, gagasan mempereteli pemilu karena itu harus dipahami sebagai upaya sistematis membangun diskriminasi politik dengan mengatasnamakan efisiensi, gotong royong, atau bahkan mungkin dengan dalih ”demokrasi Pancasila”. Diskriminasi menghasilkan rasa cemas, rasa kekurangan, dan frustrasi sosial. Sebab, ruang bagi masyarakat kebanyakan untuk mendorong terwujudnya persamaan sosial menjadi semakin terbatas dari sebelumnya.

Gagasan mempereteli pemilu langsung bukanlah ide baru. Sebagaimana gagasan menerapkan Piagam Jakarta, gagasan ini sudah beberapa kali dilambungkan. Bahkan, dalam kasus’pilkada, sudah pernah dieksekusi jadi perundang-undangan sebelum akhimya dipatahkan kembali dengan keluarnya perppu di masa akhir pemerintahan SBY. Argumentasi tak pernah berubah: pemilihan langsung itu liberal dan karena itu tak sesuai Pancasila. Ini biasanya diimbuhi argumentasi tambahan seperti: mahal dan lebih banyak mudaratnya. Di sebagian kalangan, pemilu langsung juga dianggap penghinaan. Bagi mereka, prinsip one man one vote cederai prinsip keahlian. ”Bagaimana mungkin suara seorang ulama sama nilainya dengan suara seorang tukang becak” jadi contoh tipikal pembela gagasan pemilu tak langsung dari kalangan ini.

Satu paket dengan itu, juga mencuat gagasan mengembalikan kekuasaan politik ke MPR. Argumennya sebangun meski tidak sama. Bagi pendukung gagasan ini, MPR perwujudan pasal keempat Pancasila; mencerminkan prinsip mufakat dan kegotongroyongan. Sebagaimana tecermin di Orde Baru dan juga Orde Lama, MPR-lah yang memberikan ruang berbagai kalangan duduk sebagai wakil rakyat tanpa dipilih. Mereka ditunjuk dengan mengasumsikan hak istimewa yang melekat di organisasi tertentu atau bahkan mungkin nantinya figur tertentu.

Menariknya, argumen menghidupkan MPR dan mempereteli pemilu mempertemukan dua golongan yang biasanya berseberangan: kalangan yang mengaku diri Pancasilais sejati dan golongan Islam konservatif. Keduanya sama-sama tak bahagia dengan praktik demokrasi saat ini yang mereka nilai terlalu kebarat-baratan (baca: liberal). Ketaksukaan pada sesuatu yang berbau Barat bukanlah tren baru. Sejak beberapa waktu lalu, ada kecenderungan menolak atau menetralisasi nilai-nilai demokrasi liberal: kebebasan, kesetaraan, dan kontrol atas kekuasaan.

Mengacu pada indeks Freedom House, misalnya, sejak 2014 komponen kebebasan sipil Indonesia konsisten skornya 4 (sebagian bebas) dari kemungkinan bebas (1) dan tak bebas (7). Survei SMRC (Mei-Juni 2019) mengoniirmasi hal yang sebangun: perasaan takut berekspresi juga meningkat tajam. Survei LSI (September 2019) mengonfirmasi kecenderungan intoleransi juga meningkat. Dalam literatur politik, situasi ini disebut illiberal democracy. Istilah ini secara karikatural bermakna ‘pemilu yes, nilai-nilai demokrasi liberal no’. Singkatnya, demokrasi di negeri ini hendak kembali dibonsai. Dan, jalan itu sangat mungkin terjadi. Sebagaimana diingatkan Foa dan Mounk (2017), proses konsolidasi demokrasi bukanlah jalan satu arah ke depan. Terbuka peluang untuk stagnan dan atau mundur. Dekonsolidasi terjadi ketika publik mulai tak percaya pada aturan main yang dihadap-hadapkannya dengan kehendak rakyat; ketika daya tahan aturan main demokrasi melemah dan warga mulai tertarik ide otoritarian.

Dalam kasus Indonesia, penggerak utama dekonsolidasi adalah elite politik. Berkat medsos, gagasan ini dipompakan sedemikian rupa sehingga sebagian masyarakat memberikan toleransi dan bahkan mendukung terjadinya pembatasan kebebasan seperti ditunjukkan ketika pemerintah dengan santainya memblokir situs dan mematikan akses internet. Sebagian masyarakat berdiam diri atau malah menganjurkan diskriminasi sebagaimana pada kasus sulitnya membangun rumah ibadah, pilih kasih penggunaan pasal karet terkait penghinaan tokoh politik atau penodaan agama.

Sebagai catatan, pertama, tindakan membatasi kebebasan atau perlakuan diskriminatif tak hanya dilakukan aparatur pemerintah, tapi juga kelompok-kelompok sipil. Kedua, praktik yang cenderung membatasi dan atau melanggar aturan main demokrasi terutama diarahkan ke anggota masyarakat biasa. Ini berbeda dengan pola dalam sistem otoritarian kompetitif di mana pemerintah yang berkuasa cenderung melakukan pembatasan, persekusi, kriminalisasi, manipulasi, dan sejenisnya kepada pihak oposisi (Levitsky dan Way, 2002).

Singkatnya, kebebasan sipil kita mengalami kemerosotan dan ini sepertinya ingin digenapkan dengan juga membonsai pemilu. Yang terakhir ini, meski baru sebatas gagasan, sudah lebih dari cukup memicu rasa cemas. Sikap Jokowi dan juga Partai Demokrat yang belakangan menegaskan posisinya membela pemilu langsung tak dengan sendirinya mempupus rasa cemas itu. Pasalnya, apa yang terjadi selama 2019 ini menunjukkan bahwa elite politik bisa melakukan apa pun yang dalam perkiraan normal tak akan berani mereka lakukan. Secara khusus, ada semacam trauma sosial setelah UU KPK direvisi dan janji Jokowi untuk mengeluarkan perppu tentang revisi UU KPK tak jadi dilaksanakan.

Apakah dengan demikian demokrasi kita dalam bahaya? Mengikuti Erdmann (2011), saat ini kita tengah mengalami penurunan kualitas demokrasi. Kita mungkin saja terus berada dalam situasi ini. Tetapi, seperti diingatkannya, kemungkinan secara perlahan masuk fase hibridisasi (kombinasi otoritarian dan demokrasi) atau gerak cepat menuju pemutusan dari demokrasi juga terbuka. Dalam hal ini, peringatan Alexander dan Wezel (2017) penting diperhatikan. Menurut mereka, dekonsolidasi demokrasi punya peluang besar ketika polarisasi kelas menajam dan marjinalisasi masyarakat bawah terus berlanjut. Dalam konteks Indonesia, persepsi dominasi asing/aseng jadi bahan bakar yang efektif membangun sentimen negatif terhadap kondisi ekonomi secara umum.

Ini ditambah dengan kuatnya persepsi bahwa ekonomi dan dunia usaha cenderung melemah dan harga-harga makin mahal, termasuk juga yang terakhir soal kenaikan iuran BPJS yang dinilai terlalu memberatkan peserta. Kepahitan ekonomi memungkinkan publik berpaling dan mengadopsi gagasan otoritarian atau sekurang-kurangnya menerima situasi jika nyatanya harus menjalani realitas ”diet demokrasi”.

Belum berakhir

Sekali lagi. demokrasi kita tengah defisit. Para penyokong degradasi demokrasi sepertinya beranggapan kurva demokrasi bisa sedikit diturunkan demi mencapai stabilitas yang diasumsikan akan membantu percepatan investasi yang dibutuhkan untuk mendongkrak perekonomian. Asumsinya, demokrasi dapat dinaikkan kembali kualitasnya jika kondisi ekonomi sudah memungkinkan. Padahal, ada kemungkinan, gerak balik itu akan jauh lebih sukar dari yang bisa mereka bayangkan. Terlebih ada sebagian penyokong degradasi demokrasi punya obsesi lebih jauh lagi: menyingkirkan demokrasi secara penuh.

Di titik ini mencuat sebuah kesadaran: kita kekurangan pembela demokrasi, khususnya di kalangan elite politik sendiri. Meski (pernah) diuntungkan oleh. demokrasi, sebagian elite politik kini merasa demokrasi terlalu menguras sumber dayanya. Tingkat keuntungan berdemokrasi tak lagi menarik. Para elite memilih tak setia pada demokrasi karena ,mereka juga mulai merasa publik sepertinya tak terlalu berkeberatan dengan pemangkasan kebebasan ataupun keketidaksetaraan yang dilanggengkan.

Jelaslah sudah, 2019 mungkin bukanlah tahun terbaik bagi Indonesia dari sisi politik. Tetapi, setidaknya tahun ini memberikan satu tanda penting tentang demokrasi kita. Jika diibaratkan klub sepak bola di liga Inggris, posisinya sudah terperosok di zona degradasi. Tetapi, demokrasi di negeri ini masih punya peluang kembali ke zona aman karena musim kompetisi belum berakhir. Kita tak perlu bermimpi bisa ikut kompetisi tingkat Eropa karena untuk bisa masuk klasemen papan téngah saja sudah bisa dibilang pencapaian yang luar biasa. Jadi, mari selamatkan demokrasi kita. Dan, untuk itu, zona nyaman para elite politik harus diganggu. Tanpa itu, mereka akan berpikir bahwa masyarakat tak ubahnya kerbau yang dicocok hidungnya belaka.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 18 Desember 2019

 

Foto: Antara/Mohammad Ayudha

Tantangan Nyata Erick bukan Utak Atik Direksi tapi Jiwasraya

PENGAMAT Politik Yunarto Wijaya menyebut tantangan paling nyata dan menentukan keberhasilan Erick Thohir sebagai Menteri BUMN adalah penyelesaian kasus Jiwasraya.

Penyelesaian kasus ini akan memperlihatkan kemampuan Erick dalam melakukan manajemen risiko dan itu menentukan langkah-langkah besar lain di BUMN berikutnya.

“Tantangan nyata @erickthohir yang langsung berurusan dengan org banyak adalah kasus jiwasraya, bakal keliatan kemampuan dia utk melakukan manajemen resiko. This is more challenging than just kotak kotik komisaris dan direksi,” kata Yunarto melalui akun twitternya @yunartowijaya, Selasa (10/12).

Yunarto berharap Erick tidak berupaya mencari pembenaran atau alasan untuk tidak menyelesaikannya.

“Masalah mismanajemen atau apa pun itu yang mungkin saja terjadi sekian lama di waktu-waktu lalu bukan berarti masalah tidak diselesaikan,” kata Yunarto.

Diketahui, masalah keuangan Jiwasraya bermula ketika perseroan menunda pembayaran klaim produk saving plan yang dijual melalui tujuh bank mitra (bancassurance) senilai Rp802 miliar per Oktober 2018. Di tengah penyelesaian kasus Jiwasraya, Kementerian BUMN justru melaporkan indikasi kecurangan dalam tubuh Jiwasraya ke Kejaksaan Agung (Kejagung).

Pasalnya, Kementerian BUMN mengetahui sejumlah aset perusahaan yang diinvestasikan secara tidak hati-hati (prudent). Selain itu, Jiwasraya juga sempat mengeluarkan produk asuransi yang menawarkan imbal hasil (return) cukup tinggi kepada nasabah.

Hal inilah yang membuat Jiwasraya mengalami tekanan likuiditas beberapa waktu terakhir sehingga terpaksa menunda pembayaran klaim kepada nasabahnya. Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga mensinyalir investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham gorengan.

Erick sudah berjanji untuk menyelesaikan kasus ini.

“Harus cari jalan,” kata Erick saat ditanyai presenter Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa beberapa waktu lalu.(OL-5)

 

Thomas Harming Suwarta 
Foto: MI/Ramdani

Tantangan Awal Kabinet

Seperti tagline sebuah iklan permen: ramai rasanya. Harapan sekaligus rasa cemas berkelindan menjadi satu seusai mendengar pengumuman nama-nama menteri dan wakil menteri Kabinet Indonesia Maju.

Perasaan campur-baur ini tak hanya terkait personel yang dipilih, tetapi juga pilihan kebijakan yang hendak dijadikan “panglima” pembangunan.

Benang merah dari perasaan campur-baur ini berhulu pada kesan masih kentalnya aroma politik transaksional (baca: bagi-bagi kursi) dalam proses pembentukan Kabinet Indonesia Maju (KIM). Pengangkatan Wakil
Menteri (Wamen) dari unsur organisasi sukarelawan yang sebelumnya sempat ‘ngambek’ menjadi penanda karikaturalnya. Pun, bergabungnya Gerindra juga perlu ditempatkan pada konteks ini.

Dan, karena itu, tak layak di glorifikasi sebagai wujud sikap kenegarawanan Prabowo ataupun Jokowi, misalnya.

Yang perlu ditempatkan dalam konteksnya, “bagi-bagi kursi” (kabinet) merupakan output dari proses tawar-menawar dalam pembentukan kabinet koalisi. Dalam sistem presidensial multipartai, kabinet koalisi  tak terhindarkan kecuali jika partai pengusung presiden menguasai kursi mayoritas di legislatif dan atau bersedia
menetapkan strategi ad hoc (koalisi temporer) di legislatif (Martinez- Gallardo,2011).

Dalam kasus Pilpres 2019, kabinet koalisi menjadi keniscayaan karena sistem pemilu yang mendorong terbentuknya koalisi sebelum pemilu dilangsungkan. Konsekuensi dari tetap diberlakukannya presidential threshold (bahkan menggunakan basis suara dari pemilu sebelumnya) yang memaksa seorang capres bernegosiasi kekuasaan dengan partai untuk dapat memenuhi prasyarat ambang batas dukungan.

Tawar-menawar dalam pembentukan kabinet koalisi menjadi sesuatu yang bisa dianggap normal jika yang dikedepankan adalah ihwal isu-kebijakan (policy seeker) dan bukan soal jumlah kursi atau posisi dalam kabinet (office seeker).

Seperti dinyatakan Cheibub dkk (2004), politik tawar-menawar perlu dibedakan antara sebagai tujuan akhir dan secara metode. Dalam kasus pembentukan KIM, yang mengemuka ke permukaan sejauh ini lebih terlihat sebagai berburu jabatan publik sebagaimana terlihat dengan jelas pada kasus organisasi sukarelawan yang ‘ngambek’ dan juga banyaknya jumlah wamen yang diangkat tatkala pada kesempatan lain Jokowi berbicara soal kebutuhan melakukan perampingan birokrasi.

Dalam konteks ini, sebaliknya, pilihan pelibatan Gerindra ke dalam KIM cenderung bisa dimengerti meski tak selalu harus dibenarkan secara politik. Tanpa Gerindra, KIM baru mencapai level apa yang disebut dengan istilah ambang batas kemenangan koalisi (minimal winning coalition). Secara teoretik, ambang batas ini memungkinkan partai kecil ‘menyandera’ Presiden (Raile dkk, 2009). Dalam kasus KIM, ancaman itu bukan datang dari partai kecil seperti Partai Persatuan Indonesia (PPP) tetapi partai menengah seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) atau Nasdem, misalnya. Dus, kehadiran Gerindra dapat dimengerti sebagai sebuah strategi cadangan yang diperlukan. Namun, pilihan ini tentu saja juga punya konsekuensi politis lainnya.

Tantangan eksternal

Singkatnya, proses pembentukan KIM tak cukup diterima meski juga tak mendapat penolakan yang kuat. Ini tak lepas dari modal politik yang dimiliki Jokowi. Mengacu pada survei Litbang Kompas terbaru, 73,3 persen menilai citra dirinya baik. Pada saat awal berkuasa, yang menyatakan baik mencapai 89,9 persen. Meski tinggi, Jokowi perlu mencermati adanya tren penurunan yang konsisten terjadi sejak 1,5 tahun terakhir. Dari sisi kinerja, survei Kompas juga menunjukkan adanya tren penurunan kepuasan, dari 72 persen pada April 2018 menjadi 59 persen pada Oktober 2019 (Kompas, 18/10/2019).

Karena itu, secara eksternal, ada sejumlah tantangan atau pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan dan atau ditunjukkan KIM dalam 100 hari pertamanya. Benang merahnya: memulihkan kepercayaan dan atay
menumbuhkan harapan. Pertama, menangani kegundahan pendukungnya sendiri. Bergabungnya Prabowo dan ‘hilangnya’ tradisi yang biasanya menempatkan NU di posisi menteri agama serta Muhammadiyah di menteri pendidikan menjadi pemicu pro dan kontra di sebagian kalangan pendukung Jokowi tidak menunjukkan tanda-tanda akan mengeluarkan perppu untuk menganulir revisi UU KPK, belum lagi terkait kontroversi RUU KUHP yang akan ditentukan nasibnya dalam waktu dekat. Di titik ini, dipertahankannya Menkumham petahana tak ubahnya menjadi tamparan telak bagi mereka.

Tantangan kedua terkait radikalisme. KIM perlu menjelaskan strategi penanganannya secara holistik. Dan, ini perlu dimulai dengan membangun tipologi radikalisme dan pendekatan penanganannya seturut tipologi itu. Hal ini penting untuk membangun kepercayaan bahwa yang sedang ditangani adalah gerakan radikal yang mengedepankan cara-cara kekerasan dan atau punya tujuan mengubah dasar negara, bukannya hendak memberangus ekspresi keberagaman (berjenggot, bercadar, celana cingkrang, dan lainnya) yang berpotensi kian membelah masyarakat secara horizontal.

Senapas dengan itu, tantangan ketiga bagaimana menjelaskan formula kebijakan yang menjadikan investasi sebagai panglima pembangunan. Sekurangnya berkenaan dengan tiga isu-kebijakan berikut ini; (a) potensi pengebirian kebebasan, penerabasan hukum, dan pengabaian HAM; (b) kemungkinan mengorbankan kebutuhan untuk pembiayaan kebijakan sosial (misalnya dana kesehatan) atau keharusan penggunaan dana publik secara lebih berhati-hati (misalnya dana haji); dan (c) memberi keyakinan bahwa aliran dana investasi asing tetap dalam
koridor kepentingan nasional. Dalam artian ini, perlindungan terhadap produk dan industri lokal tetap dikedepankan.

Keempat, KIM memiliki kewajiban utama menegaskan posisi dan komitmennya terkait sejumlah isu-kebijakan yang merupakan warisan dari kabinet sebelumnya. Beberapa di antaranya: keberlangsungan BPJS, penguatan kelembagaan KPK, tidak lanjut RUU yang ditunda penetapannya, dan juga sikapnya terhadap beberapa RUU bermasalah (misalnya UU ITE) maupun RUU yang krusial tetapi terpinggirkan (contohnya RUU Perlindungan Data Pribadi).

Kelima, KIM perlu menjelaskan formulasi kebijakannya untuk menjawab kemungkinan terjadinya resesi/perlambatan pertumbuhan ekonomi di level global melalui penjabaran strategi dari semua kementerian yang
terkait. Hal ini dibutuhkan untuk membangun trust di hadapan investor, pelaku pasar, dan masyarakat yang
cenderung merespons positif atas dipertahankannya Sri Mulyani Indrawati, tetapi bertanya-tanya mengenai munculnya nama kader partai yang memimpin beberapa kementerian bidang ekonomi lainnya.

Tantangan internal

Secara internal tantangan utama yang dihadapi Jokowi selaku nakhoda utama KIM adalah mengelola koalisi. Dalam hal ini, memastikan stabilitas KIM sejauh dimungkinkan, tetapi tetap memperhatikan kinerjanya. Terkait ini, sekurangnya ada empat tantangan yang perlu dikelola dengan cermat.

Pertama, perlakuan yang adil. Parpol yang merasa diperlakukan adil punya kans untuk  sewaktu-waktu keluar dari kabinet (Altman, 2000) atau sekurang-kurangnya mengabaikan disiplin koalisi di tingkatan legislatif. Dari proses pembentukannya, benih-benih ketidakpuasan sudah tertanam di tubuh KIM. Nasdem, misalnya secara tak langsung
sempat mengirimkan sinyal “ketidakbahagiaan”-nya selama proses pembentukan kabinet. Di samping itu, juga perlu digarisbawahi ketidakpuasan NU dan secara lebih implisit kegusaran Muhammadiyah terkait posisi kementerian
yang selama ini selalu diisi kader dari kedua ormas tersebut.

Kedua, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi besaran koalisi. Semakin besar koalisi, semakin mudah menjadi tidak solid. Ketidaksolidan ini akan semakin potensial jika jarak ideologi antarpartai juga cukup bervariasi dan atau sekurang-kurangnya ada perbedaan pilihan terkait satu atau beberapa isu kebijakan. Bergabungnya Gerindra membuat koalisi pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin menjadi (bertambah) tambun. Ini masih diimbuhi dengan parpol nonkursi di legislatif.

Besarnya partai membuat alokasi distribusi kekuasaan menjadi lebih susah dan atau mahal. Karena itu, semakin mungkin partai merasa diperlakukan tak adil. Situasi akan tambah runyam apabila terbentuk ’pengubuan’ secara internal, seperti munculnya istilah ’kubu Teuku Umar’ dan ‘kubu Gondangdia” yang sempat ramai dibicarakan beberapa waktu lalu.

Ketiga, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi faksionalisasi di internal partai koalisi. Faksionalisasi penting diperhatikan karena bisa memengaruhi kedisiplinan berkoalisi di legislatif. Dalam konteks KIM, potensi gangguan dari faksionalisasi ini terutama bersumber dari partai yang faksionalisasinya kuat seperti Golkar dan dalam derajat yang lebih rendah di PKB maupun PPP.

Keempat, soliditas kabinet koalisi juga dipengaruhi kedekatan waktu dengan pemilu. Dan, dalam konteks periode kedua, situasi jadi tambah runyam. Sebab, partai-partai akan lebih kritis mengevaluasi keberadaan mereka dalam koalisi. Jika dinilai biaya politiknya lebih besar daripada manfaat politis maupun ekonominya, partai sangat mungkin menjadi ‘anak nakal’ untuk mempertahankan basis pemilihnya atau malah memilih keluar dari koalisi.

Dihadapkan pada tantangan-tantangan ini, Jokowi perlu menyiapkan strategi antisipasi yang relevan. Yang paling pokok dan perlu dituntaskan di 100 hari pertamanya adalah membangun kesepakatan koalisi yang formal. Pesannya pada sidang kabinet perdana (hanya ada visi presiden-wapres dan kerja kabinet adalah kerja tim) masih bersifat simbolik. Pesan politik tersebut perlu diolah ulang menjadi seperangkat aturan main, indikator kinerja, dan konsekuensi politiknya. Indikator kinerja ini terkait target pencapaian setiap kementerian, baik itu berupa program prioritas maupun program regular.

Indikator ini harus dipublikasikan sejak awal sehingga publik pun bisa memonitor. Transparansi ini juga bermanfaat untuk mengeliminasi potensi ‘drama politik’ yang tidak lucu seperti seolah-olah ’jadi korban’ ketika seorang menteri diganti di tengah jalan karena gagal mencapai target kinerja, misalnya.

Selain itu, kesepakatan koalisi ini juga perlu mengatur mekanisme resolusi konflik yang mungkin terjadi pada tataran antarpartai koalisi. Konflik ini antara lain bisa terjadi karena perbedaan isu-kebijakan tertentu. Bagaimanapun, partai punya batas-batas tertentu untuk tak terlalu jauh dari preferensi pemilih tradisionalnya. Terlalu mahal secara politik jika kesenjangan pada satu-dua isu kebijakan tertentu menyebabkan kabinet terbelah dan atau harus dirombak ulang. Meski demikian, Presiden juga tak perlu sungkan menggunakan sarana perombakan kabinet jika menteri tak unjuk kinerja dan bahkan membentuk ulang koalisi jika soliditasnya sudah begitu buruk atau malah jadi beban secara politik.

Yang tak kalah penting, aturan main di internal kabinet perlu diformalkan dan bahkan diketahui publik. Belajar dari pengalaman kabinet sebelumnya, perlu ada tata laksana antarmenteri koordinator, antara menteri koordinator dan kementerian teknis yang dibawahinya, dan juga antara menteri dan wamen. Pada dua hal pertama yang disebut, isu kuncinya adalah sinergi dan kolaborasi karena kecenderungan ego sektoral masih tinggi dan atau merasa memiliki back up politik lebih kuat. Untuk yang terakhir, isu kuncinya adalah menghindari kemungkinan terjadinya ‘matahari kembar’ di kementerian dan atau kemungkinan terisolasinya salah satu dari mereka (entah menteri atau wamen).

Kesepakatan koalisi barulah pedoman awal. Kunci keberhasilan pengelolaan kabinet koalisi juga sangat dipengaruhi bagaimana Jokowi mengelola perangkat eksekutif yang dimilikinya. Seperti diingatkan Araujo dkk (2008), manajemen koalisi bersifat hari demi hari. Dalam hal ini, presiden dapat melakukan transfer politik (misalnya jabatan publik lainnya atau dukungan di pilkada), transfer finansial (contohnya; pork barrel) ataupun pemberian konsesi politik sebagai alat melakukan tawar-menawar untuk memastikan stabilitas pemerintah. Stabilitas pemerintah itu penting. Meski demikian, sebagai publik, kita perlu memastikan stabilitas itu tak ditebus dengan biaya tinggi, entah itu berupa pemborosan keuangan negara atau pengebirian atas proses demokrasi, misalnya.

 

Oleh: Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

 

 

Foto: ANTARA FOTO/PUSPA PERWITASARI)