Survei Charta Politika: Kepercayaan terhadap KPK Makin Turun, Disalip Polri

Jakarta – Charta Politika Indonesia merilis survei tingkat kepercayaan terhadap lembaga tinggi negara. Hasilnya, kepercayaan kepada Presiden paling tinggi, diikuti TNI dan Polri.

Survei ini dilakukan selama 29 November-6 Desember 2021. Total responden sebanyak 1.200 usia 17 tahun ke atas atau memenuhi syarat pemilihan. Survei ini dilakukan metode wawancara tatap muka dan margin of error sekitar +-2,83% pada tingkat kepercayaan 95%.

Pada survei ini disajikan pertanyaan kepada responden sebagai berikut:

Menurut pendapat Bapak/Ibu/Saudara di antara lembaga tinggi negara di bawah ini, apakah Bapak/Ibu/Saudara sangat percaya, cukup percaya, tidak percaya, atau tidak percaya sama sekali?

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan kepercayaan tertinggi adalah kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Nomor dua, diikuti TNI.

“Nomor satu paling tinggi itu di Presiden, jadi kalau mau dijumlahkan 77,8. Sekitar 74,6 persen tingkat kepercayaan yang kedua, ini selalu adu balap salip-menyalip antara Presiden dan TNI pasca reformasi, TNI di tingkat kedua 76,3 persen,” kata Yunarto dalam rilis survei secara virtual, Senin (20/12/2021).

Posisi ketiga adalah institusi Polri. Yunarto menyebut pada posisi keempat adalah kepercayaan terhadap KPK.

“Ketiga ada Polri dengan angka 66,8 persen. Dan kemudian diikuti, agak bersaing dengan KPK, tapi ini pola yang saya pikir cukup menarik,” katanya.

Yunarto menyebut, sebelum revisi UU KPK, biasanya tingkap kepercayaan kepada KPK ada di posisi 3 besar. Akan tetapi, kata Yunarto, kepercayaan kepada KPK kini disalip oleh Polri.

“Kalau kita lakukan survei ini beberapa tahun yang lalu, terutama sebelum revisi UU KPK, biasanya KPK ini selalu nomor 2 atau nomor 3, bersaing dengan TNI dan kalau kita lihat sekarang, bahkan di beberapa lembaga survei lain dan beberapa temuan memang Polri berhasil menyalip KPK,” ucap dia.

Yunarto tidak bisa memastikan apakah turunnya kepercayaan responden kepada KPK apakah adanya revisi UU KPK dan beberapa peristiwa yang terjadi di KPK akhir-akhir ini. Namun demikian, kata Yunarto, kepercayaan kepada KPK belakangan ini semakin menurun dan disalip Polri.

“Saya pikir ini menarik kalau kita membahas secara khusus apakah ada kaitannya dengan UU KPK, apakah ada kaitannya dengan misalnya beberapa peristiwa yang terjadi belakangan termasuk adanya Dewas KPK. Tetapi yang jelas bahwa belakangan KPK memang semakin menurun, bahkan disalip oleh Polri,” tutur dia.

DPR-DPD Paling Buncit

Yunarto kemudian menyoroti kepercayaan responden kepada parlemen. Dia mengatakan kepercayaan DPR dan DPD seharusnya tak berada di posisi paling bawah karena mewakili rakyat ataupun daerah.

“Catatan paling penting adalah ketika dua lembaga dalam triaspolitika yang harusnya kita harapkan menjadi wakil rakyat dalam kunci pengawasan ternyata di bawah posisi paling buncit, baik yang mewakili daerah atau yang mewakili rakyat, DPR dalam hal ini,” ujar Yunarto.

Berikut tingkat kepercayaan pada lembaga tinggi negara:
1. Presiden: 6,8% sangat percaya, 77,8 cukup percaya, 7,1 kurang percaya
2. TNI: 7,4% sangat percaya, 76,3% cukup percaya, 4,11% kurang percaya
3. Polri: 5,8% sangat percaya, 66,8% cukup percaya, 17,6% kurang percaya
4. KPK: 6% sangat percaya, 54,3% cukup percaya, 18,4% kurang percaya
5. MK: 2,8 sangat percaya, 59,3% cukup percaya, 16,6% kurang percaya
6. Kejagung: 2,7% sangat percaya, 58,6% cukup percaya, 12,9% kurang percaya
7. MA: 2% sangat percaya, 58,3% cukup percaya, 19,4% kurang percaya
8. MPR: 1,8% sangat percaya, 56,8% cukup percaya, 12,8% kurang percaya
9. DPR: 1,3% sangat percaya, 56,3% cukup percaya, 6,7% kurang percaya
10. DPD: 2,3% sangat percaya, 56,1% cukup percaya, 20,2% kurang percaya

 

Lisye Sri Rahayu – detikNews
Foto: Ari Saputra/detikcom
Sumber: https://bit.ly/3mgKpxa

Rilis Survei Nasional Refleksi Akhir Tahun 2021 : Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum di Masa Pandemi

Refleksi Akhir Tahun 2021 : Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum di Masa Pandemi

Survei dilakukan pada tanggal 29 November – 6 Desember 2021 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 1200 responden, yang tersebar di 34 Provinsi. Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ±(2.83%) pada tingkat kepercayaan 95%

Pada survei ini juga menyajikan tren dari data hasil survei yang diperoleh pada survei lapangan periode 20-27 Februari 2020 dan 12 -20 Juli 2021, serta data hasil survei menggunakan telepon yang dilakukan pada periode 1-8 Mei 2020, 6-13 Juni 2020, 6-12 Juli 2020, 26-29 Januari 2021, 24-28 Februari 2021, dan 20-24 Maret 2021 untuk melihat dinamika perubahan persepsi publik selama masa pandemi Covid-19.

 

Klik link untuk mengunduh:

2021_Rilis Survei_ChartaPolitika_Des

2021_Materi Rilis Survei_Des

Pakar: Pencitraan di Medsos yang Tak Sejalan dengan Kerja Nyata Bisa Jadi Bumerang untuk Capres Potensial

JAKARTA, KOMPAS.com – Analis politik Charta Politika Yunarto Wijaya menilai bahwa tren politikus berbondong-bondong membuat konten di media sosial tak selamanya berdampak baik bagi reputasinya.

Ia menjelaskan, fenomena “main medsos” sebetulnya jadi kebutuhan para politikus kiwari demi menggaet simpati dari kalangan muda yang diprediksi bakal mendominasi suara pada pemilu mendatang.

“Tapi harus dilihat begini. Medsos itu hanya untuk mengamplifikasi ruang berdialog atas apa yang mereka kerjakan di lapangan. Kerja utama mereka tetap kerja di darat,” ujar Yunarto kepada Kompas.com, Selasa (14/12/2021).

“Mereka (pemilih muda) adalah pemilih yang cukup cerdas untuk membandingkan apa yang tampil di YouTube dan di dunia nyata. Kalau kesenjangan itu terlalu besar, itu bisa menjadi bumerang,” tambahnya.

Sebaliknya, politikus yang terlihat mampu menampilkan citra yang selaras dan sama baiknya antara media sosial di lapangan, diprediksi akan meraup untung berlipat dari segi elektabilitas.

“Jadi, mereka baru dikatakan punya ‘produk’ ketika mereka memang sudah terjun ke lapangan, bertemu dengan masyarakat, lalu diamplifikasi dan berdialog (dengan netizen) melalui ruang medsos,” jelas Yunarto.

“Bukan hanya melalui sebuah postingan foto dan video saja. Kalau itu yang terjadi maka produknya juga akan kosong. Content creator saja pada terjun ke lapangan,” lanjutnya.

Fenomene politikus “main medsos” memang bukan baru tahun ini terjadi, melainkan sudah sejak sebelumnya.

Namun, tren ini semakin terasa ketika nama-nama yang dikaitkan sebagai capres potensial 2024 mulai menggunakan medsosnya secara lebih optimal, sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Menggunakan platform YouTube pribadi masing-masing, keduanya mulai rutin membuat konten-konten terkait kerja dan gagasannya.

Penulis : Vitorio Mantalean
Editor : Diamanty Meiliana
Foto : KOMPAS.com/Devina Halim

Jalan Terjal Konvensi Calon Presiden

Di pentas politik mutakhir, Partai NasDem melontarkan wacana konvensi calon presiden yang rencananya akan digelar pada 2022. Sejumlah pihak merespons positif langkah partai yang dipimpin oleh Surya Paloh itu, tetapi juga muncul reaksi bernada skeptis. Jika konvensi NasDem benar terjadi, tentu membawa angin segar bagi kader terbaik partai maupun figur non-partai untuk berlaga.

Namun, ekspektasi NasDem untuk menggelar konvensi akan dipenuhi jalan terjal. Pasalnya, berdasarkan UU Pemilu bahwa persyaratan untuk mengusung capres dan cawapres 2024 harus memenuhi minimal 20 persen kursi di DPR atau minimal 25 persen suara parpol atau gabungan parpol pada pemilu sebelumnya.

Sementara jumlah perolehan suara NasDem hanya meraup 9,05 persen mengacu pada hasil Pemilihan Legislatif 2019. Artinya, NasDem wajib merajut koalisi dengan partai lain agar terpenuhi ambang batas presidensial (presidential threshold).

Preseden Politik

Dalam pengalaman parpol sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sempat merencanakan konvensi pada 2013, tetapi gagal terselenggara. Dalihnya agak ‘setengah mati’ lantaran terhambat ambang batas presidensial.

Di tengah haru-biru, Partai Demokrat sempat mengadakan konvensi yang diikuti sejumlah kader internal Demokrat dan kandidat eksternal. Sayangnya, gebyar konvensi partai berlambang bintang mercy itu tampak ‘setengah matang’ hingga berujung antiklimaks. Dahlan Iskan yang memenangkan konvensi Demokrat gagal bertarung di pilpres 2014.

Kita juga dapat mengambil pelajaran dari Partai Golkar selaku pionir pertama pergelaran konvensi. Pesertanya secara eksklusif terdiri dari kader teras partai kuning itu, lalu menanglah Wiranto yang dipilih oleh pengurus DPD dan DPP Partai Golkar.

Meskipun Golkar menduduki peringkat pertama (21,58 persen) pada pemilu 2004, namun Wiranto justru kalah telak dalam pilpres. Batu sandungannya terletak pada fragmentasi elite sentral partai yang menyodok bola politik hingga terpantul ke mana-mana. Mesin politik beringin juga terkesan ‘setengah hati’ mendukung capres hasil konvensi.

Konvensi capres ala Indonesia memang tidak semulus tradisi konvensi yang mapan di Amerika Serikat. Di AS, tingkat kemelekatan partai (party-ID) dengan kader ataupun konstituen sangat kuat. Secara otomatis, siapa pun pemenang konvensi, pemangku kepentingan partai akan bergerak solid, tidak setengah-setengah. Mampukah NasDem keluar dari preseden politik itu?

Berkaca pada hasil polling akhir-akhir ini, NasDem memang belum memiliki kader internal sebagai capres kompetitif yang tertangkap layar lembaga survei kredibel. Di sisi lain, Nasdem terhitung perahu yang prospektif bagi tokoh ngetop (non-partai) untuk berlayar meniti pesta demokrasi 2024. Terlepas dari jadi atau tidaknya nantinya, pertimbangan NasDem untuk menghelat konvensi layak diapresiasi.

Hakikat dari konvensi itu membuka diri terhadap siapa pun untuk berpartisipasi dalam menentukan arah biduk republik. Parpol menjadi kawah candradimuka untuk memfasilitasi intensi politik para kader pemimpin nasional dari segala penjuru. Salah satu pintu gerbangnya adalah konvensi. Maka, konvensi capres bisa ditafsir sebagai manifestasi politik restorasi yang digaungkan NasDem dalam satu dekade terakhir.

Sketsa Kandidasi

Konvensi dapat ditilik sebagai bentuk penguatan kelembagaan dan demokratisasi di parpol. Metode seleksi kandidat dalam bingkai demokrasi bertautan dengan empat dimensi utama, seperti digambarkan oleh Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat (2010), yakni partisipasi, representasi, kompetisi, dan daya respons.

Paradoks dalam praktik konvensi tentu ada, namun bukan berarti meluruhkan seluruh konten yang konstruktif dari konvensi. Pilihannya adalah membenahi pelembagaan partai, baik secara struktural maupun kultural dalam rangka mempolakan perilaku, sikap ataupun budaya (Vicky Randall dan Lars Svasan, 2002).

Dalam lensa pendidikan politik, sejatinya gagasan konvensi tergolong wadah untuk mensosialisasikan platform politik, ideologi, program dan kebijakan partai dengan kemasan yang atraktif. Saat yang sama, konvensi berfungsi sebagai arena kontestasi ide-ide para bakal capres. Ruang seleksi kepemimpinan nasional pun akan terbuka lebar, partisipatif, dan terdesentralisasi di organisasi parpol.

Secara umum, penjaringan kandidat presiden selama ini terlampaui sentralistik berdasarkan sabda elite puncak struktur partai. Dalam etalase konvensi, figur kapabel dapat disaring melalui mekanisme yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Ketika konvensi digaungkan kembali oleh NasDem, spekulasi acak dari pihak lain tentu tak terhindarkan.

Dalam perspektif Tevi Troy (2016), sebagian besar konvensi saat ini menjadi peluang iklan partai. Asumsinya, pertunjukan sketsa kandidasi capres akan memantik perhatian khalayak terhadap partai penyelenggara konvensi. Di titik itu, konvensi bukan semata-mata sebagai tujuan, tapi sebagai kanal periklanan, promosi, dan publisitas. Menyitir istilah politisi AS Phineas Taylor Barnum: “all publicity is good publicity”.

Insentif citra partai sangat mungkin terdongkrak manakala capres peserta konvensi mengartikulasikan narasi yang kongruen dengan selera publik. Mereka ibarat duta yang merepresentasikan keunikan identitas beserta simpatisannya yang multi-entitas. Di dalamnya, konvensi berkait-kelindan dengan strategi pemasaran partai untuk memersuasi konstituen.

Seperti pada pemasaran komersil, mengutip Firmanzah (2008), maka pada pemasaran politik juga terdapat produsen (pelaku politik), produk (produk politik: person, party, policy) dan konsumen (electorate).

Jika kita komparasikan dengan praktik kandidasi di AS, perjalanan konvensi di Indonesia masih berliku-liku. Ihwal ini menyangkut soal budaya politik parokial, perkara kelembagaan partai, termasuk tantangan ambang batas presidensial.

Konvensi di AS telah berlaku formal sebagaimana tertuang dalam AD/ART Partai Demokrat maupun Partai Republik. Format penyelenggaraan konvensi pun melewati rute panjang mulai dari pemilihan primer, kaukus, dan konvensi negara bagian.

Lalu pertanyaannya, bagaimana model konvensi yang cocok untuk postur politik Indonesia? Tak bisa dimungkiri, konvensi capres mazhab Indonesia masih bersifat temporer dan ‘trial and error’. Meski begitu, metode konvensi versi AS tidak mesti kita cangkokkan ke dalam tubuh demokrasi Indonesia.

Setiap parpol memiliki tata cara dan skema kandidasi tersendiri untuk menyeleksi capres favorit, termasuk formulasi model konvensi yang sesuai dengan kebutuhan partainya.

Pada akhirnya, konvensi NasDem berada dalam ketegangan idealisme dan realitas politik yang kompleks. Pemilu 2024 masih lama, dan masih tersisa ruang inovasi politik yang cukup untuk menggenjot elektabilitas, dan meraba kehendak publik. Dalam proses kandidasi, hukum menunaikan konvensi tidaklah wajib, melainkan sebuah pilihan semata.

 

 

Mawardin
Sumber: Kumparan
Sumber foto: Fitra Andrianto/kumparan

Jokowi: Antara ”Legacy” dan Kutukan Periode Kedua

Tatkala dunia dilanda pandemi Covid-19, Presiden Jokowi seperti bersua dengan ”mitos” kutukan periode kedua.

Berbagai rencana dan ambisi besarnya terhadang, upaya membangun legacy (warisan) seakan menghadapi tembok yang tinggi di depannya.Nyaris dua tahun masa kepresidenan Jokowi pada periode keduanya disibukkan dengan problem memitigasi pandemi. Enam bulan pertama masa yang berat.Survei Charta Politika dan lembaga lain, seperti SMRC dan Indikator Politik, menunjukkan merosotnya penilaian publik terhadap kinerja pemerintah secara umum meski tak serendah pada awal periode pertama. Namun, setelah itu, penilaian publik cenderung membaik walaupun belum mencapai angka approval rating sebelum pandemi Covid-19.

Di sisi lain, meski kondisi ekonomi rumah tangga ataupun nasional masih dinilai buruk, publik masih optimistis terhadap prospek perekonomian satu tahun ke depan. Dapat disimpulkan dalam kondisi pandemi, walau ada gejala peningkatan ketidakpuasan, secara umum tingkat kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi-Amin masih positif. Ini jelas sebuah modal politik. Pertanyaannya, apakah ini cukup memadai untuk menghadapi apa yang disebut dengan ”kutukan periode kedua”?

Meneguhkan pijakan

Periode kedua idealnya merupakan sebuah kesempatan besar. Karena tak bisa mencalonkan diri lagi, petahana tak lagi dipusingkan dengan isu bagaimana harus memenangi pemilu berikutnya. Jajaran pemerintahannya pun sudah berpengalaman sehingga lebih mudah membuat kebijakan yang tegas (Abbott dkk, 2020).

Jokowi tampaknya menyadari peluang ini. Tak heran dalam pidato kemenangannya, dia menyebutkan dirinya sudah tanpa beban. Pesan ini mengisyaratkan pada periode kedua, Jokowi akan lebih mengutamakan kebijakan-kebijakan yang sangat mungkin tak populer di mata publik, tapi ia nilai sangat penting, alih-alih mengeksekusi kebijakan yang diinginkan pemilih. Tentu saja, strategi ini tidak kaku. Jokowi bak pendulum, akan berayun untuk mencegah penebalan sentimen negatif terhadap pemerintahannya.Jokowi bak pendulum, akan berayun untuk mencegah penebalan sentimen negatif terhadap pemerintahannya.

Keberanian Jokowi melawan arus tentu tak muncul seketika. Periode pertama pengalaman berharga. Bill Clinton disebut sebagai presiden yang paling mendapat manfaat pengalaman politik pada periode pertamanya dibandingkan pendahulunya (Nelson, 1998). Hal yang mirip juga terjadi pada Jokowi. Gonjang-ganjing politik dan pengalaman menjadi pemerintahan minoritas (baik di DKI maupun awal periode pertama jadi presiden) memberi banyak asupan bagi Jokowi untuk memahami konstelasi politik, pola tingkah elite politik ataupun bisnis, kebiasaan birokrasi ataupun kecenderungan perilaku pemilih.

Dalam hal ini, Jokowi sepertinya menyadari dirinya tak mungkin bisa menyenangkan semua orang. Lebih dari itu, ia menyadari harus berkompromi lebih dari seharusnya. Transfer politik merupakan keniscayaan. Ini dilakukan dengan cara mengaktivasi perangkat eksekutif. Chaisty dkk (2012) memilah perangkat eksekutif ini dalam lima kategori: kekuasaan agenda politik (kekuasaan legislatif yang diberikan kepada presiden, dekrit), otoritas anggaran (kontrol terhadap belanja publik), manajemen kabinet (pendistribusian kursi menteri), kekuasaan partisan (pengaruh presiden terhadap satu atau lebih partai koalisi), dan institusi informal (kategori lain sesuai konteks tiap negara).

Namun, transfer politik saja tak cukup. Jokowi menginsyafi tak mungkin mencapai semua janji politiknya. Karena itu, ia merelakan sebagian agar kebijakan prioritasnya tetap berjalan.

Dipahami secara berbeda, bisa juga pada periode kedua ini Jokowi lebih ”memanjakan” preferensi politiknya yang berorientasi pada ekonomi dan stabilitas politik meski harus dibayar dengan persepsi kemunduran demokrasi secara umum, terutama di kalangan aktivis HAM dan demokrasi.

Manuver pertamanya yang signifikan dari pemahaman seperti itu adalah dengan melibatkan Prabowo Subianto sebagai anggota kabinetnya. Jokowi memahami sikap politiknya ini akan membuat sebagian pemilihnya uring-uringan. Ia pun memahami para pemilih Prabowo belum tentu berpaling jadi pendukung pemerintah. Namun, ini langkah politik yang diperlukan untuk memastikan tak lagi tersandera DPR seperti terjadi di paruh awal kepresidenannya pada periode pertama, sekaligus antisipasi jika partai-partai pendukung pemerintah ada yang bermanuver.

Pilihan membentuk koalisi besar sejatinya sempat dianggap spekulatif. Penilaian ini terutama becermin dari kegagalan koalisi besar yang dibangun SBY pada periode kedua kepresidenannya.Mitra-mitra koalisinya ketika itu, terutama Golkar dan PKS, justru kerap membombardir pemerintahannya. Koalisi besar yang menyokong pemerintahan Jokowi-Amin di luar dugaan justru punya disiplin koalisi relatif tinggi di parlemen. Dibuktikan dari keberhasilan meloloskan UU Cipta Kerja dan UU Harmoni Peraturan Perpajakan.

Bisa dimitigasi

Meski demikian, tiga tahun ke depan akan tetap jadi sebuah perjalanan sulit bagi Jokowi-Amin. Jokowi akan tetap menghadapi situasi atau tantangan khas pada periode kedua kepresidenan. Nelson (1998) menyebut setidaknya ada tiga faktor yang menghambat petahana bisa lebih berhasil dibandingkan periode pertamanya: warisan masalah dan atau kebijakan pada periode pertama, ketiadaan ”bulan madu” (dengan media dan publik) dan situasi lame duck government.

Berdasarkan kajiannya secara historis dalam kasus kepresidenan di AS, Crockett (2008) mengidentifikasi empat faktor: keangkuhan setelah terpilih, kepenatan personel terutama ketika sekali dihadapkan pada tuntutan pencapaian lebih baik lagi dari periode pertama, ”empty campaign”, dan juga kegagalan kepemimpinan yang antara lain juga bersumber dari sikap politik pada periode pertama. Dari konteks tiga tahun terakhir periode kedua Jokowi, tantangan terbesarnya adalah menghadapi situasi lame duck president.

Menyitir Jhonson (1986), ada berbagai situasi yang dilekatkan dengan istilah ini (lame duck president). Mulanya, istilah ini merujuk pada masa transisi ketika petahana kalah di pemilu, tapi masih tetap menjabat hingga presiden terpilih dilantik.Istilah ini juga dinisbahkan pada masa transisi ketika petahana presiden mengumumkan diri tak mencalonkan lagi untuk periode berikut atau juga tak bisa mencalonkan kembali. Belakangan, istilah ini bahkan dipakai untuk seluruh periode kedua kepresidenan Ronald Reagan.

Dalam kasus Jokowi, terminologi ini merujuk pada kondisi ketika parpol, parlemen, media, (sebagian) anggota kabinet, hingga staf pendukung kepresidenan sudah lebih sibuk dengan urusan Pilpres 2024. Ini semacam situasi ”pemilu yang kepagian”.Di satu sisi, orientasi pada pemilu berikutnya hal lumrah dan karena itu tak terelak. Namun, situasi ini akan jadi batu sandungan bagi pemerintahan Jokowi manakala bertemu tiga kondisi, yaitu koalisi pendukungnya retak atau disiplin koalisinya mengendur, anggota kabinetnya sibuk bermanuver, dan staf pendukungnya sudah siap-siap cari ”perahu” berikutnya.

Dampak ”pemilu kepagian” tak dapat ditolak, tapi bukan berarti tak bisa dimitigasi. Caranya, pertama, menata ulang dari sisi personel. Menilik tingkat kepuasan yang cenderung menurun, Jokowi bisa memainkan kartu perombakan kabinet. Meski transfer politik berupa alokasi kursi menteri harus tetap diberikan kepada partai pengusung, Jokowi perlu membangun negosiasi untuk mendapat orang-orang terbaik dari tiap-tiap partai itu. Jika diperlukan, ada tambahan transfer politik lain (seperti kepala badan) untuk mengompensasi pilihan pada figur-figur tertentu dari partai-partai itu.

Jokowi bisa mengisi posisi wakil menteri (wamen) yang saat ini banyak dikosongkan di sejumlah kementerian. Wamen-wamen ini dipersiapkan untuk mendukung kerja menteri dan juga sekaligus bersiap jika menteri itu mengundurkan diri dan atau ditarik oleh parpolnya.

Sebagai pelengkap, Jokowi perlu mempertimbangkan melakukan penyegaran di kalangan staf pendukungnya, termasuk di badan-badan ad hoc yang dibentuknya. Terutama sekali pada figur-figur yang menjadi beban dan atau yang tak lagi sepenuh hati bekerja untuk pemerintahan Jokowi karena satu dan lain alasan. Kehadiran figur baru merupakan sebuah peluang menghadirkan ide atau terobosan baru. Sebab, figur baru relatif tak terkena sindrom kelelahan politik dan atau menjadi keras kepala sebagai akumulasi pengalaman selama tujuh tahun kepresidenan Jokowi.

Jokowi juga perlu segera menyiapkan personel untuk mengisi 271 posisi kepala daerah yang akan kosong pada 2022 dan 2023 karena adanya pemberlakuan pilkada serentak di 2024. Posisi pejabat kepala daerah penting agar dekonsentrasi dan tugas perbantuan tetap terlaksana dan pelayanan publik dan pembangunan di daerah terus berjalan. Dalam hal ini, Jokowi perlu memastikan komando ada di tangannya agar tak terkesan ada dualisme loyalitas. Namun, di saat yang sama, pengisian ini perlu memperhatikan kepatutan politik agar tak terjadi resistensi terhadap para pejabat kepala daerah ini.

Kedua, Jokowi perlu menyegerakan regulasi prioritas agar selesai di 2022. Jika tidak, Jokowi akan kesulitan karena pada 2023 parlemen akan lebih sibuk ”mengurus” Pemilu 2024 atau koalisi sudah retak. Dalam situasi seperti itu, upaya meloloskan kebijakan dan regulasi akan jauh lebih sulit dan atau lebih mahal secara politik.

Selain terkait investasi dan infrastruktur yang jadi prioritasnya, Jokowi perlu mempertimbangkan untuk menyiapkan undang-undang sapu jagat (omnibus law) untuk mempercepat reformasi birokrasi. Termasuk menata ulang lembaga-lembaga tambahan negara, seperti Ombudsman, KPPU, KIP, KPU, Komnas HAM, Komisi Yudisial, dan KPK, yang saat ini bekerja terpisah-pisah. Yang tak kalah penting, menyiapkan payung hukum baru bagi para pejabat kepala daerah. Jika tidak, akan terjadi situasi menyerupai lame duck government di level daerah. Implikasinya akan banyak dan jika tak diantisipasi berpotensi jadi penghadang agenda prioritas pemerintahan Jokowi-Amin.

Ketiga, memelihara modal politik. Pasalnya, situasi ”pemilu kepagian” berpotensi menggerus reputasi Jokowi. Pola pemberitaan cenderung mengadopsi pendekatan ”pacuan kuda”. Fokus media akan lebih ke arah kandidat potensial ketimbang Jokowi ataupun pemerintahannya.  Terkait itu, aksi komunikasi para kandidat sangat mungkin membuat pesona Jokowi tergerus. Ini hal yang serius karena tingkat kepuasaan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi selama ini antara lain juga tertopang adanya sikap partisan publik dan juga pesona individual Jokowi.

Selain memastikan kinerja ekonomi, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan mitigasi Covid-19 secara lebih komprehensif ketimbang sebelumnya. Meski kini sudah relatif terkendali, situasi ke depan masih samar-samar. Kemandekan percepatan vaksinasi di AS, lonjakan kasus di Singapura dan kemudian di Eropa, mengindikasikan situasi terkendali bisa dengan cepat berbalik 180 derajat.

Jika kondisi pandemi kembali memburuk dengan cepat, pemerintahan Jokowi akan menghadapi tekanan yang lebih besar apabila memilih kebijakan pembatasan sosial yang lebih ketat. Pasalnya, temuan survei Charta Politika ataupun Indikator Politik, umpamanya, menunjukkan pergeseran preferensi pemilih. Kini, dukungan terhadap kebijakan pembatasan sosial seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB) atau pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak lagi sekuat enam bulan di awal pandemi.

Pada saat yang sama, pemerintahan Jokowi belum menemukan resep jitu untuk mendorong pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat. Pelaksanaan vaksinasi pun masih timpang antarprovinsi. Akibatnya, pemerintah juga kesulitan mendorong vaksinasi ketiga (booster) seandainya pun stok vaksin tersedia.

Dengan kata lain, pemerintahan Jokowi akan menghadapi problem lama, tapi baru: ingin cepat bergeser dari situasi pandemi ke endemi, tapi tak cukup kapasitas dan sumber daya untuk melakukannya. Situasi ini bak orang pelari cepat, tapi satu kakinya membawa beban nan berat.

Modal politik lainnya bersumber dari kemauan politik Jokowi untuk minimal mempertahankan defisit demokrasi tak terus membesar. Ini penting untuk dicermati karena permisivitas publik ada batasnya. Jika ambang batas ini dilalui, publik bisa terpicu oleh satu-dua peristiwa ketidakadilan sosial, diskriminasi, ataupun sentimen keagamaan.

Modal politik menjadi mata uang yang berharga tidak saja untuk mengarungi dinamika politik tiga tahun ke depan yang kompleks dan ambigu, tetapi juga untuk setidaknya menyamai keberhasilan pada periode pertama.

Sebagai presiden, Jokowi niscaya punya ambisi untuk dikenang keberhasilan-keberhasilannya yang monumental (legacy). Ini hal yang wajar dalam politik. Yang perlu dicermati, narasi legacy memang bisa digaungkan sejak sekarang. Namun, seiring waktu, narasi itu berpotensi dimaknai secara terbelah (diterima sebagian, ditolak sebagian) dan atau dimaknai secara berlawanan.

Punya legacy itu satu hal, tapi bagaimana hal itu dinilai merupakan hal yang berbeda. Karena itu, Jokowi seyogianya juga memperhatikan suasana kebatinan masyarakat dan tidak hanya berfokus pada legacy di bidang pencapaian fisik belaka.

 

Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Melampaui Polarisasi

Perbincangan publik tentang bahaya polarisasi politik mengalir di mana-mana. Pertandingan dua figur utama – Jokowi versus Prabowo – selama dua momentum Pemilihan Presiden (2014 dan 2019) menyisakan kesenjangan psikologis (psychological gap) antarkedua blok politik itu. Secara diametrikal, elite dan massa terpolarisasi hingga melahirkan ekstremitas konflik politik yang masih terasa hawanya saat ini.

Dalam lensa yang berbeda, apakah ada “blessing in disguise” (berkat terselubung) dari tekstur politik bipolar, dan bagaimana mengelola polarisasi politik sekaligus melampaui itu semua?  

Partisipasi politik

Sejumlah pakar menemukan polarisasi justru meningkatkan partisipasi politik. Riset Elizabeth N.Simasa dan Adam L.Ozerb (2021) dengan menggunakan data siklus pemilu 2010-2018 di Amerika Serikat, menggambarkan bahwa gairah pemilih didorong oleh polarisasi politik. Namun keikutsertaan pemilih termotivasi kuat lantaran ingin menjegal kandidat tertentu. Maka, seperti dicatat Shanto Iyengar dan Masha Krupenkin (2018), menyerang lawan lebih mengemuka daripada membincang platform dan kualifikasi kandidat selama kampanye pemilu US.

Setali tiga uang dengan pilpres 2014 di Indonesia, kubu-kubu politik yang berseberangan saling menegasikan rival politik secara brutal. Gegap-gempita isu komunis, asing-aseng, khilafah hingga politik takfiri lebih menggema daripada percaturan gagasan maupun perdebatan mazhab ekonomi-politik para kandidat. Di ranah media sosial, stok narasi mengalami amplifikasi yang membelah netizen partisan dalam relasi antagonistik. Ketenangan apolitis seketika berubah menjadi ketegangan politis.

Pola kampanye jelang pilpres 2019 juga tidak banyak berubah. “Asal Bukan Jokowi” atau “Asal Bukan Prabowo” cenderung lebih pekat daripada menyoroti kinerja calon petahana ataupun membedah platform politik calon penantang. Eksaminasi program dan eksplorasi haluan kebijakan pembangunan para kandidat tertindis oleh ekstasi pengultusan individu.

Di sisi lain, pengutuban antara kubu pro dan anti kebijakan pemerintahan Jokowi selama tujuh tahun terakhir memang mengerucut. Ihwal itu menunjukkan kanalisasi hak-hak sosial politik warga negara tersalurkan. Gelembung perhatian segenap elemen bangsa terhadap politik kian kritis sebagai “berkat terselubung” dari polarisasi. Dalam derajat tertentu, polarisasi ibarat motor yang menggerakkan warga dari apatisme ke aktivisme politik.

Bagi publik, polarisasi mengayunkan langkah mereka untuk menyelidiki serba-serbi calon pemimpin. Para kandidat pun terpacu untuk menentukan positioning politik sesuai preferensi pemilih. Setelah pesta demokrasi, warga negara pun tetap antusias mengontrol kinerja pejabat publik terpilih. Praktis, polarisasi politik tidak selalu mengedarkan rupa-rupa banalitas, justru partisipasi publik akan tergalang untuk menciptakan diskursus publik yang meriah.

Pada pemilu 2024 mendatang, kesadaran berdemokrasi para kontestan harus mulai beranjak dari ketegangan afektif-emosional menuju ketegangan kognitif yang berciri dialogis dalam semarak pertarungan agenda programatik. Muaranya, kenaikan partisipasi politik bukan hanya bersifat kuantitatif, tapi juga kualitatif. Partisipasi politik tidak lagi sekadar prosedural, tapi juga substantif untuk mendesakkan tuntutan perubahan. Dengan cara itu, partisipasi yang terdongkrak dalam polarisasi menuai berkah demokrasi.

Untuk mencegah polarisasi dari ajang kanibalisasi politik, sejumlah politisi demagog yang gemar mengeksploitasi politisasi agama harus dilawan oleh kekuatan kelas menengah terdidik dan masyarakat sipil terkonsolidasi. Saat yang sama, pemilih memberikan sanksi politik melalui bilik suara kepada siapa pun yang berintrik kotor untuk memecah-belah bangsa.

Kampanye pemilu 2019 di Indonesia mendorong polarisasi berbasis agama dalam perilaku memilih (Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, 2019). Dalam dinamika kepartaian di Indonesia, agama memang sah dan konstitusional sebagai asas partai politik, misalnya, tapi perwajahan agama di ruang publik mesti dijunjung tinggi sebagai jangkar kebangsaan dan sumber etika politik.

Jika agama ditunggangi elite sebagai instrumen mobilisasi dan justifikasi kepentingan parsial, maka universalitas agama akan mengalami reduksi ke titik partikular. Gejala privatisasi agama dalam politik elektoral tentu berdampak kontraproduktif bagi obyektifikasi ide. Itulah sebabnya Jose Casanova (2012) dalam Rethinking Public Religions, menelurkan tesis “de-privatisasi agama”. Di sini, pemuka agama dapat mengambil peran transformatif – meminjam istilah Nurcholis Madjid – sebagai tangki penampungan moral.

Chaos politik dalam gelanggang demokrasi elektoral tidak lahir dari ruang hampa. Akrobat elite yang memainkan kampanye hitam, fitnah, ujaran kebencian (hate speech), pelintiran kebencian (hate spin), hoax, disinformasi, dan asasinasi politik adalah hulu dari kekacauan. Rakyat tidak boleh dikorbankan demi libido kekuasaan elite tunamoral. Politisi mesti menengok kembali spirit respublika sebagai nalar kolektif.  

Nalar respublika

Secara praksis, elite lintas partai politik sepatutnya membangun pola komunikasi politik yang lebih inklusif, diskursif, dan persuasif, bukan agresif, eksklusif, dan represif. Elite politik yang masih bergumul dalam tempurung politik sektarianisme akan tergilas oleh zaman. Pilihan etisnya adalah mengarungi cakrawala politik adiluhung berlandaskan nalar respublika.

Landasan filosofis respublika merupakan bintang pemandu (leitstar) dinamis bagi semua warga negara untuk memenangkan kepentingan umum daripada kepentingan sempit. Publik tidak saling menekan saklar kebencian dan intimidasi simbolik di media sosial. Pemilih membingkai percakapan secara dialektis di kanal publik, bukan terjebak dalam opium kekerasan, apalagi saling membumihanguskan.

Spirit respublika yang dimekarkan terdiri dari ketulusan untuk mengakui eksistensi orang lain dengan segala latar belakang sosio-antropologisnya. Aktor partai politik berlaku sebagai garda terdepan untuk merasionalisasi ruang publik. Dengan begitu, seni berdemokrasi yang berhimpun imajinasi kolektif untuk memajukan republik menemukan saluran yang segar.

Dus, polarisasi politik bukan diledakkan untuk memancing amarah komunal, tapi pertukaran makna yang beralaskan akal sehat (common sense). Kritik dari oposan memang bebas di alam demokrasi, tapi garis demarkasinya haruslah murni untuk menguliti substansi kebijakan, bukan menyerang martabat individu. Begitu pula pemerintah, segala macam kritik sepahit apapun adalah keniscayaan demokratik untuk memperkaya narasi kebangsaan.

Hasilnya, polarisasi politik akan berbuah secara asimetrik terhadap penegakan demokrasi substansial. Semua lapisan penikmat politik selayaknya meletakkan kebinekaan sebagai teleologis berdemokrasi. Untuk itu, elite beserta kader partai politik dapat mengkhidmati Pancasila sebagai sumber mata air ideologis respublika Indonesia. Dari basis itulah, polarisasi politik diharapkan bisa dikelola oleh pemimpin politik beserta segenap pemangku kepentingan untuk merayakan kompetisi elektoral 2024 mendatang dalam bingkai demokrasi yang beradab.

 

Mawardin; Peneliti Charta Politika Indonesia

Opini Kompas, 28 Oktober 2021

Ilustrasi: Didie SW

Dua Dekade Partai Demokrat dan Konflik Internal

Partai Demokrat baru saja merayakan hari lahirnya yang ke-20 tahun. Dalam dua dekade, tercatat dua penurunan pamor partai ini: transformasi posisi dari partai penguasa menjadi oposisi sunyi di era pemerintahan Jokowi dan konflik internal tiada henti. Kini, suhu konflik pun kembali membara. Empat mantan kader Demokrat menggandeng Yusril Ihza Mahendra untuk menggugat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai ke Mahkamah Agung.

Ada satu pelajaran penting dari pergolakan Partai Demokrat, juga di partai lain, yakni seni mengelola faksionalisme. Jika partai politik dianalogikan dengan rumah, faksi politik itu semacam pojok kecil yang minus perhatian dari sang kepala rumah, sehingga lahirlah ledakan yang mengusik semua penghuni rumah.

Kisruh Partai Demokrat hampir mendekati tujuh bulan. Pada Maret 2021, Deli Serdang menjadi saksi kelahiran Partai Demokrat kubu Moeldoko yang dibidani faksi politik penentang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di sana bersekutu dan bertemu dua arus utama, antara lain faksi Marzuki Alie dan loyalis Anas Urbaningrum. Di sisi AHY, ada juru bicara Andi Mallarangeng. Ketiganya – Anas, Marzuki, dan Andi – adalah “alumni” perebut raja tanpa mahkota dalam Kongres II partai di Bandung pada 2010. Kader-kader potensial Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu sempat berbulan madu membesarkan partai ini. Di ujung jalan, iklim kompetisi internal tak terhindarkan. Tapi, sayangnya, hal itu berujung ke arah perpecahan.

Menurut Franchoise Boucek (2009) dalam Rethinking of Factionalisation: Typologies, Intra-Party, and Three Faces of Factionalism, faksionalisme dapat berubah bentuk, biasanya dari kerja sama menjadi faksionalisme kompetitif dan kemudian menjadi faksionalisme degeneratif. Dalam kasus mutakhir Partai Demokrat, dari SBY ke “putra mahkota” AHY, faksionalisme internal yang bertiup kencang adalah intensi laten yang terpendam lama.

Secara umum, faksionalisme partai politik di Indonesia memang belum terlembagakan dengan baik, seperti faksi Correnti di Partai Kristen Demokrat Italia (Pridham, 2013). Untuk mengatur ritme faksionalisme, pemimpin partai sepatutnya menghadirkan orkestra demokratis dan suasana dialektis di partainya.

Demokratisasi dan dialektika internal ini menjadi instrumen pengelolaan faksionalisme untuk merespons beragam sumbu kepentingan. Budaya demokrasi prosedural ataupun substansial disertai komitmen meritokratik akan menyuburkan iklim organisasi politik yang sehat. Derajat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi anggota juga perlu diperluas sehingga terhindar dari persepsi minor mengenai citra partai yang bercorak feodalistik, milik privat, dan segelintir famili.

Ruang faksionalisme yang teratur bisa mendewasakan relasi antar-aktor. Dalam horizon yang lebih luas, pemimpin partai memerlukan revitalisasi ideologi dan platform sebagai perekat anggota partai. Kontekstualisasi gaya kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan tindakan komunikatif harus diselaraskan dengan kebutuhan kader dan preferensi publik.

Begitu pula tata kelola partai, hendaknya diubah, dari pendekatan yang terkesan koersif, monolitik, dan eksklusif menjadi lebih persuasif, dialogis, dan inklusif. Ketika muncul persilangan pendapat dan aneka letupan, pendekatan informal – kultural akan jauh lebih efektif daripada pendekatan formal – legalistik yang galibnya menyisakan luka. Di sini soal kepiawaian berkomunikasi, manajemen konflik, dan seni menegosiasikan konsensus bersama.

Jejak rekam Demokrat menempati panggung tersendiri dalam dinamika kepartaian di Indonesia. Meski tergolong pendatang baru, partai ini berhasil mendulang 7,45 persen suara dalam Pemilihan Umum 2004 hingga memuncak pada Pemilu 2009 dengan 26,4 persen suara.   

Ibarat penuaan dini, sinar kejayaan Demokrat seketika meredup. Skandal korupsi Hambalang, yang menjerat sebagian elite sentral partai kala itu, memantik kutukan publik. Walhasil, Demokrat hanya memperoleh 10,19 persen suara dalam Pemilu 2014 dan menurun drastis menjadi 7,77 persen dalam Pemilu 2019.

Namun, belakangan ini, elektabilitas Demokrat justru naik. Dalam survei Charta Politika Indonesia, misalnya, tergambar tingkat keterpilihan Demokrat yang awalnya sebesar 4,2 persen pada 20-24 Maret 2021 naik menjadi 6,6 persen pada survei periode 12-20 Juli 2021.

Hal ini menunjukkan, dari segi elektabilitas tokoh, untuk sementara kans AHY cukup besar dibanding Moeldoko. Bisa jadi Demokrat terkesan “dizalimi” sehingga insentif elektoral dapat direngkuh. Namun ikhtiar penguatan politik partai akan jauh lebih awet manakala kerja-kerja konkret para kader teraksentuasi di tataran akar rumput.

Selain itu, ada catatan mengenai ketegangan hubungan Demokrat dengan lingkungan eksternal. Kasak-kusuk kegagalan Demokrat memasuki tubuh pemerintahan Jokowi ditengarai akibat relasi antagonistik antara SBY dan Megawati Soekarnoputri. Tafsir publik sekalipun berpola acak semacam ini mesti menjadi bahan evaluasi.

Pesan yang mengudara adalah bahwa konsistensi sikap terhadap isu-isu strategis, arena kandidasi, ataupun kebijakan publik haruslah tegas, terang benderang, dan menghindari langgam “politik dua kaki”. Politik itu soal persepsi. Artinya, kehendak elite mesti bertautan dengan psiko-politis publik.

Sebagai partai yang mengklaim partai tengah, saatnya Demokrat mengaktualisasi nilai-nilai politik moderat yang menjadi problem solver, bukan trouble maker. Kepemimpinan dan manajemen partai seorang AHY terus diuji untuk menunjukkan kedigdayaannya secara berdikari di era pasca-SBY.

Kini, Partai Demokrat sedang berada di titik krusial. Jika terobosan hukum Yusril dikabulkan, kemapanan partai di bawah AHY bakal terguncang. Implikasi lanjutannya, partai-partai lain dan bahkan organisasi kemasyarakatan akan meninjau ulang AD/ART masing-masing. Namun perlawanan hukum sepantasnya ditanggapi juga secara legalistik. Medan laga pertarungan hukum itu dapat diartikulasikan oleh pengadilan, bukan percaturan opini di ruang maya. 

Dalam konteks ikhtiar politik, AHY mesti terampil untuk memastikan kader-kader Partai Demokrat dengan segala mazhab atau faksi untuk menjalin kerja sama, mencegah situasi degeneratif, sekaligus merajut harmoni. Posisinya sebagai ketua umum partai adalah modal awal dalam kontes kandidasi 2024. Tapi, akan terasa hambar kalau gagasan programatik yang ditawarkan AHY (juga bakal calon presiden lain) tidak mengandung diferensiasi dan nilai tambah yang mengandung “wow effect”. Ini soal pendidikan politik yang mesti diperlihatkan oleh semua lapisan elite partai sebagai bagian dari demokrasi, bukan sekadar bertengkar dan berburu kekuasaan semata.

 

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

Opini Koran Tempo, 5 Oktober 2021
Ilustrasi: Imam Yunni

 

Polarisasi, Amandemen, dan Jurus Cumi-Cumi

Jakarta – Musim paceklik politik itu melanda Republik Guinea. Prolognya berawal dari parlemen Guinea yang mengetuk palu perpanjangan masa jabatan presiden. Walhasil, baginda Alpha Conde masih bisa bersemayam di istana kepresidenan untuk periode ketiga.

Akibat amandemen konstitusi, negara di Afrika Barat itu mengalami kudeta (5/9/2021) melalui operasi politik sekelompok junta militer. Conde terpilih sebagai Presiden Guinea sejak 2010. Normalnya Conde selesai berkuasa 2020, tetapi ia malah menjebol batas konstitusi yang berakhir prahara dan antiklimaks.

Turbulensi politik dan erosi demokrasi sebenarnya sudah lama menghantam Guinea. Freedom House (2020) menggolongkan Guinea dalam kluster negara berstatus bebas sebagian (partly free). Freedom House menemukan kategori kebebasan sipil (civil liberties) dan hak politik (political rights) sebagai lubang hitam Guinea dengan skor yang anjlok.

Iklim politik Indonesia teranyar juga sedang disengat suhu panas isu masa jabatan presiden tiga periode. Percaturan politik yang digelar partai-partai penghuni lembaga parlemen sudah gamblang –dalam konteks partai apa mengatakan apa menyoal wacana tiga periode.

Di sisi lain, ide kontroversial itu muncul dari luar pagar parlemen melalui pernyataan M. Qodari. Agendanya mengusung JokPro (Jokowi-Prabowo) sebagai pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2024. Dalil dan dalihnya ingin menghilangkan polarisasi politik ekstrem sebagai residu dari Pilpres 2014, Pilpres 2019, termasuk Pilgub DKI Jakarta 2017.

Ada sejumlah jajak pendapat selama wacana presiden tiga periode bertiup kencang. Hasil rilis survei Charta Politika Indonesia, Indikator Politik, dan SMRC menunjukkan bahwa mayoritas suara publik masih menolak perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Beragam bunyi think-tank dan lembaga survei lain juga mengalunkan nada yang serupa.

Data Charta Politika bertajuk Peta Politik Triwulan I 2021 menunjukkan bahwa sebesar 61,3 persen masyarakat tidak menyetujui wacana tiga periode. Namun ada pula 13,9 persen masyarakat yang menyetujuinya. Ada beragam alasan masyarakat menyetujui ataupun menolak jabatan presiden tiga periode.

Mayoritas publik yang menolak tiga periode itu merefleksikan kesadaran masyarakat terhadap demokrasi dan konstitusi cukup persisten. Jika jabatan presiden menjadi tiga periode akan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dalam perkara tiga periode, Presiden Jokowi telah berulang menolak wacana tersebut. Penolakan itu tentu melegakan, kendati terus dikipas-kipas segelintir kelompok kepentingan. Jangan lupa, dalam gerbong kekuasaan acap dipenuhi penumpang bebas dengan arah yang berbeda. Pada titik itu, sikap pribadi Presiden bisa saja akan dikepung akrobator politik extraordinary untuk menjalankan agenda partikular tertentu.

Namun demikian, kita patut bernapas lega juga; kabarnya Ketua Umum PDIP (the ruling party) Megawati Soekarnoputri menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Sikap Megawati pun segendang sepenarian dengan pimpinan MPR dan DPR agar amandemen “secara terbatas” jangan sampai melebar pada penambahan masa jabatan presiden.

Itulah yang menjelaskan soal liarnya isu tiga periode. Penyodoknya tampak tak beraturan, sehingga bola tiga periode menggelinding secara acak. Ada anggapan bahwa bola tiga periode juga dilempar ‘by proxy’ yang bertendensi mendegradasi imunitas citra lembaga kepresidenan. Waktu jua yang akan menguji akhir dari drama elite ini.

Berkaca pada survei Charta Politika (20-24 Maret 2021), ada 50,9 persen pandangan masyarakat yang tidak percaya dengan isu bahwa pemerintahan Jokowi akan mengusulkan amandemen perubahan UUD 1945 terutama mengenai pasal masa jabatan presiden. Persentase yang sebetulnya signifikan. Hanya 16.8 persen responden yang menyatakan percaya dengan isu itu.

Selain kasak-kusuk tiga periode, perbincangan yang mengemuka yakni seputar Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), rumor presiden kembali dipilih MPR, isu pemilu 2024 diundur hingga 2027. Itulah beberapa sumber ketegangan naratif dalam rencana amandemen kelima. Untuk sementara, tren opini publik lebih menyetujui jabatan presiden dua periode, meskipun ada pendengung politik freelance yang secara diametral berbeda dengan kehendak utama publik.

Kalau ‘kawin paksa’ JokPro untuk pemilu 2024 diduga dapat menghilangkan polarisasi politik ekstrem, hal ini mencerminkan jurus cumi-cumi, yakni mengeluarkan tinta untuk mempertahankan diri. Inisiator tiga periode membunyikan lonceng kecemasan soal polarisasi dengan cara pandang yang simplistis dan spekulatif. Padahal, di banyak negara demokrasi, polarisasi adalah keniscayaan alamiah.

Agenda mendesak yang urgen sebenarnya seputar seni berpolitik dari para elite, berlakon sebagai teladan. Di sini soal ketaatan terhadap aturan main berdemokrasi, sekaligus menghentikan tradisi politik purbawi yang merusak bangunan demokrasi. Mulai dari etika komunikasi, estetika ekspresi politik, hingga garis batas moral mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dalam permainan politik elektoral.

Bagaimana soal isu penundaan Pemilu 2024 ke 2027? Kalau basis materialnya terkait darurat pendemi, justru sebuah inkonsistensi logis. Jejak Pilkada Serentak 2020 yang mendapat restu legalistik adalah fakta empiris yang tak terbantahkan. Kondisi mutakhir juga memperlihatkan masing-masing partai politik telah memasang kuda-kuda untuk berpacu dalam palagan elektoral 2024 mendatang.

Nama-nama capres dan cawapres potensial yang terpajang dalam etalase survei terus meramaikan pasar bebas politik. Dari sisi kalkulasi politik para elite sentral, pemilu 2024 sangat muskil diundur. Di sisi lain, kalau hajatan pemilu digelar 2027, maka logistik bisa disimpan sebagai deposito politik dengan asumsi ketiadaan Pemilu 2024.

Ihwal ini, Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa desakan amendemen UUD 1945 mungkin juga didasari oleh motivasi para anggota dewan, antara lain motivasi “insentif” untuk bisa tetap menjabat hingga 2027 tanpa harus bersusah payah pemilu.

Di pentas politik Indonesia, jurus cumi-cumi memang senantiasa eksis. Modenya beraneka macam dengan pola acak, berpindah-pindah haluan dalam sekejap. Jika kita konversikan mode cumi-cumi ke dalam kancah politik, maka politik cumi-cumi akan terpantul pada kecenderungan yang pragmatis tanpa memperhatikan ideologi dan etika. Politik cumi-cumi juga lihai mengaburkan substansi persoalan, antara lain mengatasi polarisasi dengan ‘polarisasi baru’.

Sejarah perpolitikan di Indonesia masa lalu maupun kasus aktual dalam praktik demokrasi di negara-negara lain telah memberikan alarm pelajaran berharga. Salah satunya Republik Guinea. Artinya, masa jabatan presiden dua periode adalah inovasi demokrasi yang perlu dirawat bersama untuk melonggarkan sirkulasi dan regenerasi kepemimpinan nasional.

Dengan demikian, proyek tiga periode kemungkinan besar akan gulung tikar. Tetapi sebagai imaji politik, tentu halal diutarakan di alam demokrasi. Masyarakat sipil sebagai agensi moral menjadi tumpuan masyarakat untuk membangun counter-narrative terhadap mantra politik bergaya cumi-cumi. Pendidikan politik juga memerlukan atensi serius agar kesadaran kritis masyarakat terus mengkristal. Akhir kata, kita membutuhkan surplus pemimpin politik berwatak negarawan sekaligus lokomotif penjaga demokrasi. Selamat berhati-hati.

 

Mawardin
Peneliti Charta Politika Indonesia
foto: Detiknews

Kolom Detiknews, 15 September 2021
(https://bit.ly/3CllaiO)

Agenda Demokrasi Ekologi

Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengirim pesan yang genting dalam pidato sambutannya di kantor Direktur Intelijen AS, 27 Juli 2021. Biden mengutarakan perubahan iklim secara ekstrem merupakan tantangan terbesar negaranya, dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Presiden dari Partai Demokrat AS itu menyebut kemungkinan ibu kota Indonesia 10 tahun ke depan terancam tenggelam.

Pidato panas tersebut sontak memantik reaksi yang beragam dari publik di Tanah Air. Sengatan isu tersebut membuat Jakarta seolah-olah berstatus “lampu merah”, khususnya potensi terendam dengan skala stadium berat. Sebenarnya Jakarta telah terdeteksi pada tahun-tahun sebelumnya terkait momok tenggelam. Belum lagi imbas dari pemanasan global.

Awal tahun 2021 lalu, banjir besar serentak pun menerjang sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, NTT dan NTB akibat degradasi lingkungan sebegitu parah. Kita membutuhkan paradigma baru dan evaluasi-kritis terhadap tata kelola lingkungan berikut segenap kebijakan yang mengitarinya. Banjir, panas bumi, resesi ekologis, dan perubahan iklim merupakan konsekuensi dari eksploitasi sumber daya alam yang overdosis.

Untuk itu, setidaknya, ada tiga kata kunci yang relevan di sini sebagai bagian dari ikhtiar sistemik menciptakan keselamatan ekosistem. Pertama, konstitusi beserta kebijakan dalam mengelola lingkungan. Kedua, etika kewarganegaraan dalam lanskap ekologis. Ketiga, iklim politik dan demokrasi yang mencerminkan keberpihakan terhadap lingkungan hidup.

Dari sisi konstitusi, sesungguhnya ketentuan mengenai lingkungan hidup telah dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Konstitusi pasca-amandemen memenuhi unsur dalam apa yang disebut oleh Jimly Asshiddiqie (2009) sebagai konstitusi hijau (green constitution). Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Selanjutnya, penegasan tersebut diperkuat lagi dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Keluhuran konstitusional itu patut diapresiasi. Hanya saja, agenda lingkungan bukan hanya sebatas ketentuan normatif-legalistik tetapi juga harus menjelma menjadi gerakan nasional yang bersifat multisektor disertai tindakan ekologis yang nyata. Seyogianya, konstitusi hijau berjalan paralel dan meniscayakan lahirnya seperangkat kebijakan yang sensitif lingkungan (green policy).

Norma lingkungan hidup yang tertulis dalam konstitusi beserta peraturan turunannya tentu sama pentingnya dengan sanksi yang tegas bagi predator lingkungan hidup. Dengan cara ini sekumpulan regulasi berdampak signifikan terhadap perbaikan secara fundamental aspek lingkungan hidup. Begitu pula sinkronisasi kebijakan pembangunan dalam kerangka kerja ekologis antara pemerintah pusat dan daerah hendaklah menjadi komitmen bersama. Bahkan, komitmen ekologis harus diperluas resonansinya hingga kalangan pengusaha dan investor (green business) untuk menciptakan iklim usaha yang eco-friendly.

Dari sisi warga, kita patut mengamalkan apa yang dikatakan oleh Andrew Dobson sebagai kewarganegaraan ekologis (ecological citizenship). Gerakan ini identik dengan kesadaran warga negara akan tanggung jawab mereka terhadap kelestarian lingkungan dengan menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan (Dobson, 2007). Selanjutnya, kebijakan negara dituntut mampu mewujudkan aspek lingkungan yang berkarakter deliberatif dan partisipatif.

Akses ruang hidup yang sehat dan layak bagi warga negara akan terwujud manakala didukung oleh politikus dan pejabat publik yang mengutamakan agenda lingkungan. Dalam ilmu politik dan hubungan internasional juga dikenal dengan terminologi green politics atau environmental politics.

Perubahan iklim tidak sekadar problem intrinsik lingkungan, tetapi bertalian juga dengan iklim politik dan demokrasi yang kompleks. Dalam perkembangan ide dan praktik demokrasi, muncul istilah demokrasi ekologi dan demokrasi hijau. Intinya adalah bagaimana membingkai lingkungan hidup dalam teleologis berdemokrasi.

Dalam studi Pickering, Bäckstrand, Schlosberg (2020) bahkan menelurkan istilah planetary democracy (demokrasi planet). Menurut Pickering et.al, konsep demokrasi ekologi dan lingkungan berupaya untuk mendamaikan dua cita-cita normatif, yakni memastikan kelestarian lingkungan sekaligus menjaga demokrasi.

Dalam konteks ini, demokrasi ekologi akan terpatri bila partai politik yang mengusung lingkungan hidup sebagai prinsip utama politik (green parties) turut mengemuka. Setiap parpol sebenarnya memiliki platform politik lingkungan dalam dokumen visi-misinya. Namun pengelolaan lingkungan yang bersifat jangka panjang belum menjadi arus utama.

Pandangan Doyle dan McEachern (2008) mengonfirmasi asumsi umum bahwa parpol konvensional (juga pemerintah umumnya) justru lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi. Padahal, antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat bergerak secara simultan sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam kancah demokrasi elektoral, produk politik mensyaratkan kemasan yang menarik perhatian pemilih. Kita dapat menimba inspirasi dari pengalaman parpol bermazhab green politics di negara-negara lain, misalnya Partai Hijau (Jerman), The Australian Greens, Values Party di Selandia Baru, The Green Party of Canada dan sebagainya.

Peluang bagi aktor politik untuk membumikan demokrasi ekologi cukup terbuka, meski berat di tengah kartelisasi oligarkis. Panggung demokrasi di negeri ini penuh dengan surplus politikus yang terperangkap dalam polarisasi semu tetapi minus solusi untuk menyeimbangkan kelestarian alam dan kebutuhan ekonomi.

 

 

Mawardin
Peneliti Charta Politika Indonesia
foto: (Istimewa)

Opini Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2021

Governor Ganjar Pranowo Leads in Latest Presidential Survey

Jakarta. Central Java Governor Ganjar Pranowo is slightly ahead of Defense Minister Prabowo Subianto in the latest presidential survey that indicates a potential three-horse race in the 2024 election.

The survey conducted by respected pollster Charta Politika shows Ganjar with 16.2 percent of the vote and Prabowo with 14.8 percent of the vote.

Jakarta Governor Anies Baswedan is trailing Prabowo by just 0.2 percentage point, according to the poll results published on Thursday.

“It’s getting clear that the main stage accommodates only three highest-rated figures: Ganjar, Prabowo and Anies,” Charta Politika Executive Director Yunarto Wijaya said in a video conference.

Prabowo, the chairman the Great Indonesia Movement Party (Gerindra), has participated in the last two presidential elections and lost both to Joko “Jokowi” Widodo.

The pollster said the survey was carried out on July 12-20 involving 1,200 respondents countrywide and had a margin of error of 2.8 percent.

When voters were provided with the top ten of presidential hopefuls, Ganjar retains his lead with a bigger margin, while Anies overtakes Prabowo, the pollster said.

Under this scenario, the survey puts Ganjar at 20.6 percent of the vote, Anies gets 17.8 percent and Prabowo gets 17.5 percent.

Yunarto said he was convinced about having Ganjar on the top of the list, while Prabowo and Anies are still in statistical-tie territory.

“I’m accountable to the data putting Ganjar on the number one place, but the statistics on Anies and Prabowo remain within margin of error,” Yunarto added.

Seven other names are unable to reach 10 percent of the vote.

They include Tourism Minister Sandiaga Uno — Prabowo’s running mate in the last election – who gets 7.7 percent of the vote, West Java Governor Ridwan Kamil (7.2 percent), Democratic Party Chairman Agus Harimurti Yudhoyono (4.2 percent), Social Affairs Minister Tri Rismaharini (3.6 percent), State-Owned Enterprise Minister Erick Thohir (1.8 percent), House Speaker Puan Maharani (1.4 percent) and Chief Economic Minister Airlangga Hartarto (1 percent).

When the choices were narrowed further into five names, Ganjar leads with 23.3 percent of the vote, followed by Anies (19.8 percent), Prabowo (19.6 percent), Sandiaga (8.4 percent) and Ridwan (8.2 percent). Another 20.7 percent of voters declined to vote for either candidate.

Ganjar has a solid supporter base inside the PDI-P, with 44.7 percent of the vote among the party’s constituents, according to Charta Politika.

In this regard, he is superior to fellow party executive Risma who gets 7.7 percent and even Puan — the daughter of PDI-P Chairwoman Megawati Soekarnoputri – who gets a mere 4.8 percent.

He is also the most popular choice for voters in Central Java, neighboring Yogyakarta, East Java, Bali, East Nusa Tenggara and West Nusa Tenggara.

Anies is the preferable candidate among voters in Jakarta, Banten and most provinces on Sumatra Island.

Prabowo’s main supporter base remains West Java, the country’s biggest province by population.

Java Island and Bali are home to around 60 percent of the national population.

Ganjar was also rated the top in two previous public opinion polls by different pollsters last month.

By comparison, a survey by national newspaper Kompas published in May put Ganjar at third behind Prabowo and Anies with a massive 11.2-percentage point gap from the top.

Since 2004, Indonesian presidents have been elected by popular votes with a run-off if no candidate wins a simple majority in the first round.

 

BY :MARKUS JUNIANTO SIHALOHO, HERU ANDRIYANTO
Photo:(Beritasatu Photo/Ruth Semiono)
Source: https://bit.ly/3zbSR51