Kualitas Kampanye Pilpres
/0 Comments/in OpiniTak terasa fase kampanye Pilpres 2019 akan memasuki sesi debat ketiga.
Dalam kampanye politik, ajang debat menjadi salah satu momen yang paling ditunggu. Dari sisi pemilih, debat bermanfaat untuk mengetahui posisi isu-kebijakan dan personalitas para kandidat. Namun, konstelasi pascadebat tak boleh diabaikan, jika tak bisa dibilang sama pentingnya.
Pasalnya, pascadebat, terpaan informasi tentang (konten) debat terus berlanjut dengan segala variasinya. Secara umum, kandidat yang dapat peliputan negatif cenderung juga dinilai negatif oleh pemilih (Fredkin dkk, 2008). Selain di media massa, terpaan debat pilpres juga berlangsung lewat percakapan, umumnya dengan orang-orang yang sepreferensi. Dengan kata lain, pembicaraan pascadebat lebih bersifat meneguhkan predisposisi pada kandidat yang disukainya (Cho dan Ha, 2012).
Dalam konteks Pilpres 2019, terpaan informasi tentang jalan debat kedua pilpres berlangsung seru, terutama di medsos. Kedua kubu sama-sama memberi penonjolan pada apa yang mereka anggap kelemahan kompetitor, misalnya tecermin pada tagar #jokowibohonglagi atau #prabowogagapunicorn. Hal ini diimbuhi upaya mengembangkan rasionalisasi dan atau apologi atas penampilan dan pernyataan kandidat yang dijagokan. Terkadang, interpretasi yang dikembangkan cukup melebar dari realitas dalam debat itu sendiri. Lebih penting dari itu, kedua pihak sama-sama mendaku capres jagoan mereka sebagai pemenang.
Keseruan percakapan pascadebat berakhir menandai upaya setiap kubu untuk mengubah lanskap persaingan. Pasalnya, merujuk dua survei terakhir Charta Politika (Oktober 2018 dan Januari 2019), elektabilitas Jokowi-Amin ataupun Prabowo- Sandi relatif stagnan. Kedua kubu butuh satu lentingan kecil untuk menjaga jarak aman (dalam kasus pasangan 01) atau mengatasi ketertinggalannya (untuk kasus pasangan 02). Sebab, meski rentang elektabilitasnya cukup lebar (53 persen-35 persen), potensi perubahannya masih sangat terbuka.
Terlebih, pada setiap kandidat ada sekitar 12 persen pemilih yang mengaku belum mantap dengan pilihannya dan 12 persen pemilih merahasiakan pilihan atau belum menentukan pilihan. Karena itu, kedua kubu masih akan terus menggencarkan beragam taktik, tak terkecuali berharap atau mendorong kompetitornya tergelincir akibat perkataan atau tindakannya sendiri.
Walau seru, tak berarti pasti menarik. Bagi sebagian kalangan, Pilpres 2019 kurang gereget karena seperti pertarungan ulangan Pilpres 2014. Bukan semata karena capresnya sama, melainkan juga dalam segi, termasuk kontennya, banyak yang hanya salinan dan atau sekadar perluasan pilpres sebelumnya. Pilpres 2019 kian tak menarik karena kombinasi sejumlah faktor: dibanjiri hoaks, diriuhkan tarung wacana tak penting; diramaikan lontaran yang bersifat soundbites alih-alih paparan isu kebijakan yang argumentatif; diwarnai rebutan simbolik agama dan ulama, tapi tak satu pun yang secara nyata menunjukkan komitmen memajukan ekonomi umat; serta disesaki kecenderungan kandidat yang lebih senang mengirimkan sinyal membingungkan tentang posisinya pada sejumlah isu krusial.
Pesan negatif mendominasi. Meski barangkali dimaksudkan untuk mempersuasi swing voters, pesan-pesan negatif nyatanya lebih efektif mengkristalisasikan predisposisi pemilih yang sudah tak suka pada satu kandidat tertentu (Klein dan Ahluwalia, 2005). Dengan kata lain, pesan negatif (termasuk hoaks) lebih berperan dalam mengkristalkan opini. Kristalisasi opini terbentuk manakala kontennya dinilai sangat penting atau ekstrem (misal: hoaks tentang kaitan Jokowi dengan PKI) dan bersua dengan belief yang sudah tertanam sebelumnya di benak pemilih. Kian kuat aliran informasi tentang hoaks, kian kuat ketaksukaan pemilih pada kandidat yang bukan preferensinya. Kian terkristalisasi opini seseorang, kian sulit baginya mengubah opini (Sciarini dan Kriesi, 2003).
Polarisasi persaingan juga mendorong pemilih bersedia mengubah pandangannya terhadap satu isu agar sejalan dengan posisi isu yang dianut kandidat yang didukung. Ini memang tak terelakkan manakala preferensi pemilih kepada individu lebih kuat daripada preferensinya pada isu kebijakan (Abramowitz, 1978).
Tanpa tawaran program yang lebih subtantif dan atau jika tak ada kejadian luar biasa, tingkat elektoral 01 dan 02 akan terus stagnan. Dalam situasi seperti ini, dinamika elektoral sangat mungkin ditentukan “operasi darat” memperebutkan suara pemilih pragmatis yang mempertimbangkan pemberian kandidat (uang, bahan pokok, dan barang lain) sebagai acuan memilih. Seturut uraian di atas, mengemuka penilaian yang menyebutkan kampanye Pilpres 2019 cenderung berakhir tanpa peningkatan kualitas. Penyebutan kualitas kampanye mengasumsikan (aktivitas) kampanye jadi juru pandu utama dalam memilih.
Cakupan kualitas
Pendekatan yang optimistis menilai proses kampanye (diskursus, retorika kandidat, peliputan media, atensi pada faktor-faktor jangka pendek selama kampanye dan lainnya) memiliki daya persuasi untuk memengaruhi pemilih dalam menilai isu kebijakan yang ditawarkan kandidat. Ini tak berarti menegasi arti penting evaluasi yang dilakukan pemilih terhadap kinerja petahana (retrospektif). Kampanye jadi ruang bagi pemilih untuk mempertimbangkan berbagai kebijakan alternatif yang diajukan para kandidat (Maisel, West dan Clifton, 2007).
Kampanye pemilu disebut berkualitas jika deliberatif, informatif, mengutamakan isu kebijakan daripada citra personalitas dan juga digenapi diskursus mendalam, bukannya meramaikan hal remeh-temeh. Pemilih diandaikan berpartisipasi dan terlibat. Kampanye yang baik ditandai adanya perubahan belief pemilih (Gardner, 2009). Lebih dari itu, kampanye berkualitas ditandai adanya keselarasan isu-isu kebijakan yang dianggap penting antara kandidat dan pemilih. Dan, ini ditandai adanya dukungan pemilih seperti terlihat pada hasil pemilu (Buchanan, 1999).
Cakupan kualitas kampanye seperti itu merupakan gambaran ideal dan kiranya perlu direlaksasi agar lebih membumi. Pertama, sejak beberapa waktu berkembang tren kampanye permanen. Hal ini membuat distingsi antara predisposisi pemilih yang terbentuk pada masa prapemilu dan predisposisi yang terbentuk selama fase kampanye jadi kurang relevan. Dalam kasus Pilpres 2019 (pendukung) Jokowi ataupun (pendukung) Prabowo sejak pasca-Pilpres 2014 sudah aktif melakukan persuasi ke publik. Seiring kian terbentuknya prioritas pembangunan, kubu Jokowi banyak mengedepankan capaian-capain di sektor infrastruktur. Secara lebih khusus, berbagai aktivitas Jokowi seperti hendak menguatkan citra merakyatnya. Sebaliknya, kubu pendukung Prabowo selain aktif beretorika soal kegagalan pembangunan di era Jokowi juga terus memainkan isu-isu khusus, seperti ancaman dominasi China di Indonesia, kebangkitan PKI, dan pendakuan Islam di Indonesia tengah terancam.
Kedua, pilihan berdasarkan evaluasi terhadap personalitas kandidat tak harus dianggap cara memilih yang buruk sepanjang didasarkan pada informasi yang memadai. Dalam kasus Pilpres 2019, identitas personal kedua capres dipergunjingkan lebih karena keterbatasan informasi yang tersedia (contohnya soal keislaman Prabowo) dan atau karena aliran informasi bohong (contohnya isu Jokowi terlibat PKI).
Ketiga, kualitas kampanye tidak dengan sendirinya dapat disebut buruk jika keterlibatan dan partisipasi pemilih bersifat minimal. Kualitas kampanye baru dapat dibilang buruk manakala pemilu tak punya peluang untuk berpartisipasi atau terlibat dalam berbagai aktivitas kampanye, termasuk mengajukan pertanyaan dan beroleh respons dari kandidat. Atau sebaliknya, pemilih aktif tapi utamanya melakukan persekusi dan atau pemaksaan terhadap pemilih yang tak sebarisan dengan dirinya.
Dalam kasus Pilpres 2019, partisipasi pemilih, khususnya di kalangan pemilih partisan, dapat dikatakan tinggi, terlebih di medsos dan media percakapan. Di kubu Prabowo ada kelompok emak-emak, di kubu Jokowi ada kelompok yang sudah eksis pada 2014 (misalnya Seknas dan Projo), tetapi ada pula banyak yang baru tapi tak satu pun cukup menonjol dalam peliputan di media. Yang merisaukan, ruang dialog langsung antara pemilih dan para capres relatif minim. Ajang pertemuan tatap muka atau blusukan lebih banyak diwarnai komunikasi satu arah dan atau terkesan diatur untuk kepentingan pemberitaan belaka. Selain itu, insiden-insiden persekusi, seperti pencopotan kaus atau penghadangan, terjadi di beberapa tempat. Pada saat bersamaan, kekerasan verbal, baik melalui penjulukan (cebong, kampret, dungu, contohnya) atau bentuk lain (doa, puisi, postingan di medsos) kian menjadi keseharian.
Keempat, kualitas kampanye tak selalu berarti berlangsungnya proses persuasi, tapi minimal mengandaikan kecukupan informasi. Persuasi mengandaikan adanya perubahan belief– nya. Misalnya, ada pemilih mengubah predisposisinya soal utang. Jika awalnya berpendirian utang Indonesia masih wajar, sikapnya berubah jadi antiutang dan menganggap utang Indonesia berlebihan setelah diterpa retorika, pemberitaan, dan pembicaraan di grup Whatsapp yang dilakukan kubu Prabowo.
Sebaliknya, kampanye sudah bisa dinilai berkualitas jika pemilih bisa mengetahui proposal yang cukup rinci mengenai gagasan dari setiap kandidat. Misal saja soal bagaimana restorasi toleransi yang ditawarkan pasangan 01 atau melestarikan keragaman warisan budaya yang diajukan pasangan 02. Selain itu juga jika ada keseimbangan informasi (sekurangnya menjelaskan persamaan dan perbedaan) tentang “ekonomi Pancasila” atau reforma agraria yang sama-sama dilontarkan kedua pasangan. Terkait itu, kecukupan informasi juga ditandai minimnya kabar bohong.
Karena itu pula, sebuah kampanye pemilu dapat disebut tak berkualitas manakala terjadi defisiensi informasi. Ini karena aktor utama dalam kampanye (kandidat, media, dan pemilih) memiliki insentif berbeda dan juga didukung faktor situasi tertentu sehingga tak memainkan peran yang diharapkan (Buchanan, 1999). Kandidat diandaikan menginformasikan posisinya terkait isu-kebijakan, termasuk di dalamnya solusi yang ia tawarkan. Namun, misalnya, hasrat “yang penting menang” dapat membuat ia memilih fokus menonjolkan isu-isu tertentu saja yang sangat boleh jadi populer tapi tidak termasuk agenda nasional yang prioritas dan seyogianya didiskursuskan dalam kampanye. Dalam hal ini, kandidat sengaja menghindari pembahasan yang dinilainya “sulit” dan atau bisa menempatkannya pada posisi tidak menguntungkan di mata pemilih.
Media diandaikan jadi ruang bagi pemilih mempelajari kandidat. Meski demikian, media punya insentif untuk mengabaikan fungsi ini karena punya pertimbangan ekonomi, seperti rating (TV), click bait (daring), dan oplah (cetak). Dus, yang sering diberitakan lebih ke soal-soal kontroversial, konflik, atau berbau drama layaknya opera sabun. Situasinya jadi lebih rumit untuk medsos karena pemilih berperan ganda, produsen dan konsumen informasi sekaligus.
Pekerjaan rumah
Pemilih diandaikan memberikan atensi yang penuh pada aliran informasi dan diskursus yang disampaikan kandidat ataupun media. Masalahnya, pemilih kerap mengembangkan seleksi atensi dan atau seleksi informasi. Ia memilih informasi yang hanya sesuai predisposisi yang sudah dimiliki sebelumnya. Pemilih tak mau bersikap terbuka karena berbagai alasan sekaligus. Pemilih yang orientasinya “pokoknya menang” atau “pokoknya kandidat yang tak disukai harus kalah” juga punya insentif untuk mengacaukan aliran informasi. Salah satunya membuat dan atau mendistribusikan hoaks, ancaman, mendiskriminasi pemilih yang tak sepaham dengan dirinya atau juga mempraktikkan politik uang.
Insentif yang dirasakan ketiga aktor itu berbeda-beda, bergantung pada konteks persaingan yang tengah berlangsung (adanya kepentingan kelompok penekan, resesi ekonomi, atau lainnya). Ini diimbuhi dinamika yang terjadi karena adanya interaksi di antara aktor. Kandidat, misalnya, bisa saja memilih mengedepankan soundbites daripada memaparkan isu kebijakan secara komprehensif dalam upaya mendapat atensi dan peliputan dari media.
Dengan mengacu cakupan kualitas di atas, sangat wajar jika berbagai pihak menilai kampanye Pilpres 2019 tak berkualitas. Namun, penting pula menyimak peringatan Gardner (2009). Menurut dia, kritik terhadap kampanye pemilu lebih sering terjadi karena melihat masalahnya hanya pada arena kampanye. Padahal, apa yang terjadi selama kampanye merupakan praktik pengulangan belaka dari komunikasi politik sehari-hari. Dengan kata lain, jika sehari-hari kita sudah “akrab” dengan kabar bohong, sangatlah masuk akal jika arena kampanye juga disesaki hal yang sama. Jika demikian halnya, kita jelas punya pekerjaan rumah yang jauh lebih besar dari sekadar mereformasi kampanye pilpres.
Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia
Kompas, 12 Maret 2019
Foto: FOTO/Hafidz Mubarak A (https://bit.ly/36vR2nq)
Kompetisi Parpol yang Terlupakan
/0 Comments/in OpiniPemilihan umum presiden dan anggota legislatif yang dilaksanakan secara serentak pada 2019 mendatang akan menjadi tantangan baru bagi partai politik.
Mereka akan menghadapi situasi harus bersaing dan sekaligus harus bekerja sama dengan kompetitornya. Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres), parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno normanya akan bahu-membahu mengomunikasikan kandidatnya masing-masing. Tidak itu saja, parpol normanya juga bertindak secara cermat agar tidak melakukan blunder yang bisa merugikan kandidat mereka, termasuk di dalamnya menahan diri untuk tidak saling menyerang parpol sekoalisi.
Masalahnya, logika pileg justru mensyaratkan parpol harus bersaing satu sama lain untuk meyakinkan basis pemilihnya, memengaruhi pemilih yang belum memutuskan pilihan, ataupun merebut pemilih kompetitornya. Literatur politik menyatakan, ada beberapa pendekatan yang kerap dipergunakan parpol untuk memersuasi pemilih. Dari mulai memainkan kedekatan sosiologis (agama, etnisitas, umur, kelas) hingga mengapungkan isu kebijakan, dari mulai menonjolkan daya tarik partai sebagai organisasi hingga mengedepankan pesona figur. Lebih daripada itu, kerja sama dalam ranah pilpres di atas kertas tak menghasilkan manfaat elektoral yang berimbang dalam konteks pileg. PDI Perjuangan (PDI-P) dan terutama Gerindra diprediksi akan menikmati efek ekor jas (coattail effect) yang besar karena kader mereka menjadi capres atau cawapres. Sosok Ma’ruf Amin mungkin sekali bisa mengalirkan tambahan elektoral bagi PKB atau juga bahkan PPP.
Biaya berkoalisi
Parpol bersedia berhimpun dalam sebuah koalisi pengusung capres-cawapres sekurangnya dilandasi motif mendapatkan portofolio dalam kabinet (office-seeking) atau kesempatan memengaruhi kebijakan publik (policy-seeking). Tiap parpol punya orientasi berbeda-beda, ada yang lebih mengedepankan motif pertama, ada pula yang lebih mengutamakan motif kedua.
Pengutamaan satu dari dua motif ini mengandaikan parpol harus berkompromi dalam konteks pilihan kebijakan (karena harus disesuaikan visi-misi capres-cawapres) dan logisnya tak saling menyingkap kelemahan, kebobrokan, atau perbedaan preferensi sebuah kebijakan. Jika yang pertama berpotensi menjauhkan parpol dengan preferensi basis pemilihnya, yang terakhir berpotensi membuat parpol kian sulit dibedakan dalam upayanya membangun posisi unik di benak pemilih.
Singkatnya, parpol tak dapat optimal mengejar motif meraih suara sebanyak-banyaknya di pileg (vote-seeking). Dengan melihat komposisi kandidat yang berkontestasi (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi), sebagian besar parpol sepertinya lebih mengejar motif office-seeking alih-alih vote-seeking ataupun policy-seeking. Lagi pula, seperti diingatkan Strom dan Muller (1999), parpol memang jarang punya kesempatan mendapatkan hasil optimum dari ketiga motif karena sifatnya yang cenderung trade-off.
Pilihan orientasi itu tentu saja ada konsekuensinya. Parpol yang perolehan suaranya kecil (baik menang maupun kalah dalam konteks pilpres) akan menderita. Daya tawar politiknya menjadi rendah dan pada saat sama harus mengorbankan kepentingan jangka panjangnya, yakni kemampuan berkontestasi dalam pemilu berikutnya. Secara keseluruhan, dapat dikatakan ada biaya politik yang harus ditanggung parpol karena berhimpun dalam koalisi. Biaya politik ini tidak sama besarnya bagi setiap parpol. Sederhananya, semakin jauh spektrum figur dan janji politik capres-cawapres dengan preferensi basis pemilihnya, semakin besar biaya yang harus ditanggungnya.
Manuver berkontestasi
Biaya berkoalisi mungkin tak bisa dihindari, tetapi parpol masih mungkin bermanuver agar kepentingan elektoralnya tetap terjaga. Kunci manuvernya terletak pada kemampuan memadukan kerja sama dan kompetisi sekurangnya pada tiga elemen persaingan utama: figur, isu-kebijakan, kelompok sosial. Kontestasi figur terfokus pada capres dan cawapres. Kompetensi, rekam jejak, dan personalitas calon akan jadi konten utama untuk memikat pemilih. Namun, tak selamanya atribut ini jadi acuan pemilih. Terkadang pemilih memilih kandidat yang punya kesamaan sosio-demografis, ideologi, atau identifikasi partisan lainnya dengan dirinya (Marland, 2013).
Ruang manuver sebagian besar parpol adalah memainkan faktor kedua karena faktor pertama jelas dinikmati Gerindra dan PDI-P. Penyematan atribut Sandiaga sebagai representasi santri post-Islamis, misalnya, dapat dibaca sebagai upaya PKS merangkul pemilih Muslim yang merasa tak (lagi) menjadi bagian ormas Islam yang mengakar seperti NU dan Muhammadiyah. Di lain pihak, figur Ma’ruf akan diperebutkan PKB atau PPP untuk mengonsolidasikan basis pemilihnya di kalangan nadhliyin. Ruang manuver lain untuk mengompensasi efek ekor jas adalah dengan mengasongkan figur-figur yang merepresentasikan parpol. Yang sudah biasa adalah mengedepankan figur ketua umum yang sudah dilakukan PKB, PPP, atau Perindo. Rute lain, mengasongkan figur baru seperti dilakukan Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang menyasar segmen pemilih muda.
Bagi parpol yang belum menyiapkan figur tambahan sebagai penguat daya tarik di mata pemilih, strategi generiknya adalah menerapkan jurus meniru dan menambahkan atribut unggulan lain (me too +1) baik menyasar pada pangsa pemilih yang sama atau mengkhususkan diri pada ceruk pemilih tertentu. Apa pun pilihannya, figur itu harus diasosiasikan sebagai “the next leader”. Bingkai inilah yang akan menjadi pengatrol utama dan sekaligus membedakan dengan para pengumpul suara biasa (vote getter). Pilihan figur yang diapungkan harus dipertimbangkan dengan saksama. Pasalnya, ia akan berperan pula sebagai jangkar dalam memajukan janji-janji politik dan juga kelompok sosial yang hendak diasosiasikan. Koherensi ketiganya penting untuk membangun persepsi kredibilitas.
Isu kebijakan yang diusung capres dan cawapres normanya merupakan hasil negosiasi dan kompromi kandidat dengan parpol pengusung. Dalam konteks pilpres, parpol terikat untuk mengampanyekannya secara sendiri-sendiri atau bersama. Namun, dalam konteks pileg, parpol dapat bermanuver dengan melakukan adaptasi, yakni menggunakan isu kebijakan capres-cawapres sebagai konten kampanye, tetapi menambahkan dimensi lain untuk menguatkannya, membuatnya unik, dan disukai target pemilihnya. Pilihan lain sebagai pelengkap, parpol bisa menerapkan strategi konfrontasi atau mengabaikannya agar tak menjadi agenda publik.
Sebagai ilustrasi awal, gagasan ekonomi berbasis umat yang dilontarkan Ma’ruf, dapat diadaptasi parpol pengusung dengan memberikan penonjolan program konkret berbasis sektoral atau berbasis spasial, misalnya. PPP dan PKB jelas memiliki kredibilitas lebih tinggi karena diasosiasikan publik sebagai parpol Islam dibanding parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf lainnya. Meski begitu, ini juga dapat jadi kesempatan baru bagi parpol nasionalis seperti PDI-P, Nasdem, atau bahkan PSI untuk menggeser citranya sehingga dianggap lebih dekat dengan kalangan pemilih Islam. Kuncinya terletak pada kepiawaian menyorongkan program politik yang mengena, tapi tak menghilangkan karakteristik khas masing-masing.
Sebaliknya, bagi parpol koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga seperti Gerindra atau Demokrat, gagasan ekonomi berbasis umat itu dapat dibenturkan dengan gagasan yang berbeda, misalnya dengan gagasan ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila, ekonomi pasar, atau lainnya. Untuk PKS dan PAN, misalnya, strateginya adalah menyingkap kelemahan ekonomi umat versi Ma’ruf dan menawarkan versinya sendiri. Jika ini yang dilakukan, tak terhindarkan PKS dan PAN akan berebut sebagai parpol yang paling kredibel berbicara tentang gagasan tersebut.
Umumnya, parpol cenderung akan memilih isu kebijakan yang dirasakannya punya reputasi baik di benak pemilih (issue ownership) dan isu kebijakan inilah yang akan ia tonjolkan selama kampanye. Masalahnya, efek kepemilikan isu ini akan ternetralisasi jika pemilih menganggapnya sebagai isu kebijakan yang tak penting (Belanger dan Meguid, 2005). Dengan kata lain, kepemilikan isu saja tak cukup untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Untuk mengatasi hal ini, parpol harus saling berkontestasi membangun konteks yang relevan agar isu kebijakan mereka dianggap penting oleh pemilih.
Ruang kontestasi di ranah ini relatif lebar karena parpol umumnya tak punya kepemilikan isu yang kuat. Jikapun ada, seperti dalam kasus PKS dengan solidaritas terhadap Palestina-nya, belum tentu dinilai relevan dalam konteks pileg.
Ruang manuver lain adalah kemauan untuk keluar dari isu kebijakan yang sudah generik dan terkadang berhenti sebagai jargon belaka. Tema-tema seperti utang luar negeri, impor pangan, subsidi energi, ataupun pemberantasan korupsi masuk dalam kategori ini. Sebaliknya, parpol dapat menonjolkan isu-isu keseharian, seperti pendanaan BPJS, penerimaan siswa baru, transportasi daring, dan sekaligus menjadikannya isu yang melekat pada dirinya. Parpol pengusung Prabowo-Sandiaga lebih memiliki peluang mengeksplorasi ini karena sekaligus bisa mengkritisi kinerja pemerintahan petahana. Sebaliknya, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf harus mencari jalan untuk menunjukkan komitmennya pada isu-isu itu dan atau menawarkan solusi baru.
Manuver kontestasi lainnya bersifat lebih agresif, yakni menyingkap wajah ganda parpol. Wajah terbuka parpol adalah apa yang tertuang dalam visi-misi dan program. Wajah lain adalah apa yang disepakati elite parpol dengan aktivis internal parpol bersangkutan (Hammel dkk, 2005). Lebih daripada itu, wajah ganda ini tak saja bisa disingkap dari manifesto parpol, tetapi juga antara pernyataan publik dan keputusan internalnya. Pengabaian hasil ijtima ulama soal cawapres Prabowo merupakan contoh bagaimana strategi ini dimainkan. Untuk itu, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf memang perlu bekerja lebih cerdik, tetapi tetap dalam koridor hukum yang ada.
Ketertautan parpol dengan kelompok sosial tetap relevan dalam menjungkit tingkat elektoral parpol meski harus diakui pengaruhnya tak setinggi sebelumnya karena termediasi faktor figur. Selain tetap mengelaborasi kelompok sosial yang jadi basis pemilih tradisional, parpol dapat mengkreasi dan atau menonjolkan kelompok sosial baru sebagai basis baru. Di Inggris, Partai Konservatif dan Buruh selain konstituen tradisional, juga berupaya menarik kelompok sosial baru, seperti keluarga dan orangtua (Thau, 2017).
Antisipasi
Apapun pilihan manuver kontestasinya, parpol perlu mempertimbangkan dua hal ini. Pertama, kecenderungan perilaku pemilih melakukan split ticket voting. Pada tingkat pertama, split ticket voting terjadi ketika pemilih memilih partai A untuk DPR, tetapi parpol B atau C untuk DPRD. Pada tingkat kedua, split ticket voting terjadi karena mereka memilih pasangan capres-cawapres yang tak diusung parpol yang dipilihnya untuk pileg.
Kedua, agenda laten sesama parpol pengusung. Normanya, apapun pilihan bersaing yang akan dipilih, niscaya harus memperhatikan agenda utama koalisi: memenangkan pasangan capres-cawapres yang diusung. Meski demikian, norma ini dapat dilanggar jika agenda utama sebuah parpol jauh lebih besar dari itu: membesarkan dirinya dengan memanfaatkan momentum pilpres. Mereka tak sungkan menyerang kawan seiring jika itu dianggap sepadan dengan manfaat elektoral yang bisa diraih. Bagi parpol jenis ini, memenangi pilpres hanyalah bonus. Ini berlaku terutama pada parpol yang tak menempatkan kadernya sebagai capres/cawapres atau merasa benefit posisi publik yang ditawarkan kelak tak cukup memadai untuk tujuan-tujuan mereka.
Selamat berkompetisi!
Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia
(Kompas, 23 Agustus 2018)
Foto: hariansinggalang.co.id (https://bit.ly/2YDFfyO)
Pilkada Serentak 2020, Pandemokrasi, Partisipasi Pemilih
/0 Comments/in OpiniPemilihan Kepala Daerah (pilkada) 2020 yang digelar secara serentak telah usai. Tapi badai pandemi virus corona (covid-19) belum berlalu. Itulah sebabnya pergelaran politik elektoral sebanyak 270 daerah itu bergelayut antara harapan dan kecemasan.
Sebagai catatan, perhelatan Pilkada 2020 itu meliputi 9 Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub), 224 Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati (Pilbup), serta 37 Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Pilwakot). Pilkada serentak tahun 2020 merupakan lanjutan dari tiga tahap pilkada serentak sebelumnya pada tahun 2015, 2017, dan 2018.
Kita menyaksikan turbin demokrasi lokal tetap berputar. Mesin-mesin politik juga bekerja. Realitas mencekam akibat pandemi menjadi pertimbangan utama terkait metode pelaksanaan kampanye. Pola kampanye di arena demokrasi perlahan mulai bergeser, dari kebiasaan mobilisasi massa besar-besaran menjadi pertemuan berskala terbatas.
Seturut hal itu, pihak penyelenggara, kontestan dan partisipan ditekankan agar menaati protokol kesehatan. Sebab, pesta demokrasi tidak sekadar mewadahi kedaulatan rakyat, tapi juga harus memerhatikan keselamatan rakyat.
Rakyat telah memberikan mandat pada pemimpin mereka di daerah-daerah dalam proses yang konstitutif. Kekosongan kekuasaan (vacuum of power) dari aspek penyelenggaraan pemerintahan terhindarkan. Apalagi penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi memerlukan pemimpin daerah yang legitimated, responsif sekaligus proaktif. Saat yang sama, stabilitas politik dan pelayanan publik akan terus berjalan. Dan, demokrasi sebagai rezim, kata Claude Lefort, memang menyaratkan institusionalisasi dan proteksi melalui hukum.
Pesta demokrasi lokal 2020 memang sebuah kekecualian. Imunitas demokrasi benar-benar diuji daya tahannya dalam lubang hitam pandemi. Isu kesehatan publik (public health) jelas tak boleh diabaikan. Lahirlah pandemokrasi, sebuah terminologi yang menggambarkan realitas ironik dari demokrasi pada masa pandemi.
Konsekuensi dari “new normal” politik itu, para calon kepala daerah dituntut lebih canggih dalam berkampanye baik secara online maupun offline untuk mempersuasi publik. Kabar baiknya, partisipasi pemilih justru meningkat. Dikatakan kabar baik karena salah satu parameter keberhasilan pelaksanaan Pilkada 2020 dapat ditinjau dari angka partisipasi pemilih.
Partisipasi Pemilih
Salah satu indikator keberhasilan praktik demokrasi dalam konteks pilkada adalah seberapa besar tingkat partisipasi warga menggunakan hak-hak politik (political rights) untuk memilih kandidatnya di kotak suara. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pemilih dalam Pilkada 2020 sebesar 75,83%. Angka itu cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari pilkada 2015 dengan tingkat partisipasi sebesar 69,02 %. Angka partisipasi pemilih pada pilkada 2020 itu nyaris mendekati target nasional (77,5%). Target itu dipandang realistis mengingat situasi darurat pandemi.
Melihat partisipasi pemilih pada pilkada 2020 yang dianggap sukses, maka demokrasi bisa dikatakan berjalan baik. Karena itu, apresiasi layak kita arahkan kepada penyelenggara seperti KPU, Bawaslu, Satgas Anti-Covid, aparat keamanan, media massa dan partisipasi warga. Peran paslon, partai politik pengusung dan tim kampanye masing-masing kandidat juga memberikan warna tersendiri, meski harus diakui tak ada demokrasi yang hampa masalah. Saluran legalistik pun tersedia, manakala dalam proses Pilkada 2020 ada kalangan yang tidak puas dengan hasilnya, mereka bisa menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Segenap pemangku kepentingan itu telah melakukan ikhtiar sewajarnya untuk mendorong keterlibatan warga dalam proses pilkada. Meskipun pelaksanaan Pilkada 2020 sempat diprasangkai sebagian pihak bahwa partisipasi masyarakat akan meredup, akan tetapi fakta menggambarkan partisipasi warga justru antusias ikut memilih para kandidat sesuai preferensinya.
Pilkada 2020 telah memberikan saham terhadap peningkatan indeks demokrasi Indonesia. Van Deth (2001) menyatakan bahwa partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam demokrasi. Dalam konteks hak-hak politik, perwujudan terpentingnya adalah tingkat partisipasi politik masyarakat dalam pilkada. Kendati begitu, penyelenggaraan pilkada kali ini pun mengandung aib politik yang mesti diatasi untuk memproyeksikan hajatan politik yang berkeadaban untuk masa-masa mendatang.
Salah satu persoalan yang perlu mendapat atensi khusus adalah masalah kekerasan dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) dalam kontestasi elektoral. Mengacu pada Laporan Kontras bertajuk “Catatan Kritis atas Pelaksanaan Pilkada Serentak 2020”, antara lain dikatakan bahwa cara-cara kekerasan masih kerap digunakan baik untuk mengintimidasi kelompok berseberangan dalam Pilkada maupun untuk menekan warga untuk memilih calon-calon tertentu.
Dalam logika elektoral, pertarungan strategi antar paslon, partai pengusung dan pendukung beserta tim kampanye adalah sebuah keniscayaan sepanjang dilakoni dengan cara-cara demokratis, sesuai koridor hukum dan sewajarnya. Namun, fakta ironik masih adanya sebagian pihak yang memainkan isu SARA, khususnya politisasi etnis dan agama, terlebih disertai kekerasan adalah cermin politik purba yang destruktif.
Mobilisasi faksi politik etno-religius yang berhaluan garis keras dapat menajamkan perpecahan antar sesama anak bangsa, bahkan merusak tatanan demokrasi. Politisasi SARA yang cenderung mengeksploitasi kebencian demi elektabilitas bisa memperlebar jarak-psikologis dalam relasi keseharian antar warga. Ketahanan nasional terancam mengalami pengeroposan bilamana politik SARA dibiarkan tanpa adanya pencegahan dan penindakan serius dari aparat berwenang.
Dengan demikian, partisipasi pemilih yang cukup tinggi dalam pilkada 2020 mesti dibarengi dengan kesadaran penuh dari elite untuk menjunjung tinggi integritas demokrasi. Harapan yang besar bagi paslon yang terpilih untuk mengembalikan ruang publik menjadi sehat, tanpa penyebaran virus kebencian dan bercak-bercak darah. Polarisasi politik dan fragmentasi sosial yang terbentuk selama kampanye saatnya dinormalisasikan kembali.
Kepala daerah terpilih juga mesti berkomitmen bahwa mereka bukan sekadar pemimpin untuk pemilihnya saja, atau melayani golongan tertentu saja, tapi pemimpin untuk semua warga tanpa berlaku diskriminatif. Legitimasi yang kuat dari rakyat mesti dijaga. Dukungan pemilih yang mengantarkan aktor-aktor politik lokal menjadi pemimpin daerah adalah modal yang sangat mendasar untuk memajukan kabupaten, kota dan provinsinya kelak.
Tantangan masa kini dan masa mendatang adalah bagaimana memastikan adanya sinergi antar pemerintah pusat dengan pemerintah daerah untuk menuntaskan penanganan Covid-19 sekaligus pemulihan ekonomi. Begitu pula masyarakat, diharapkan partisipasi aktifnya untuk mengawal pemimpin terpilih, mengutamakan kolaborasi dan kerjasama konstruktif. Dengan begitu, pilkada tidak sekadar ritual sirkulasi elite semata, tapi menjadi kenduri demokrasi lokal yang melahirkan kepala daerah visioner dalam lanskap otonomi daerah. Semoga.
Mawardin, peneliti Charta Politika Indonesia
Foto: Aditya Irawan (Getty Images)



