Jebakan Disinformasi dalam Ruang Demokrasi

Ruang demokrasi di Filipina tengah disesaki beban kemenangan Bongbong Marcos pada pilpres 9 Mei 2022 lalu. Meskipun mendiang ayahnya, Ferdinand Marcos, penguasa diktator Filipina (1965-1986) tercatat buram, tapi justru Bongbong mampu meraup lebih dari 31 juta suara.

Bongbong berpasangan dengan Sara Duterte. Dan, perkawinan dua dinasti raksasa (Marcos dan Duterte) itu dianggap sebagai jalan tol yang mengantar mereka bertahta di istana Malacanang. Di luar faktor dinasti, terdapat ramuan politik yang terbukti manjur di tangan Bongbong, yakni jebakan disinformasi.

Dalam lensa sederhana, disinformasi merupakan penyebaran informasi bohong secara sengaja untuk menyesatkan publik. Menutup rapat-rapat fakta yang sebenarnya, lalu memunculkan konten palsu, itulah inti dari apa dan bagaimana disinformasi beroperasi di arena politik praktis.

Para aktor politik tentu menyadari bahwa perang informasi di jagad media sosial ikut menentukan kendali penguasaan opini publik. Teknologi digital yang memengaruhi proses demokrasi, seperti diutarakan Fabrizio Gilardi (2016) bukan sekadar isapan jempol belaka.

Disinformasi bertalian dengan hoaks dan berita palsu (fake news) hingga semburan kebohongan (firehose of falsehood). Efek dari proliferasi disinformasi politik tampaknya sangat berbahaya, apalagi memasuki laga pascakebenaran (post-truth). Dalam masyarakat politik pascakebenaran, sensasi lebih mengemuka ketimbang substansi; perasaan, keyakinan dan emosi pribadi lebih mengedepan ketimbang fakta obyektif.

Dsinformasi post-truth juga berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting (Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, 2021).

Formula Bongbong

Bongbong memanfaatkan secara saksama kampanye digital berbasis disinformasi, meskipun dalam tempo yang lumayan lama. Pola yang sama juga dipakai oleh Donald Trump yang memenangkan pertarungan pilpres di Amerika Serikat 2016. Tim kampanye Trump mengeksploitasi emosi massa melalui parade kepalsuan di berbagai saluran media sosial.

Dalam kasus politik Filipina, potret buram Ferdinand Marcos dibersihkan melalui penulisan buku-buku sejarah serta sketsa biografis, yang intinya merehabilitasi citra Marcos yang korup. Video editan yang mengglorifikasi Marcos, lantas mendominasi ruang publik digital Filipina. Semua kanal media sosial dibombardir dengan konstruksi citra baru Marcos yang serba heroik.

Kenyataan eviden seputar perilaku koruptif Ferdinand Marcos mengalami distorsi. Fakta politik yang mapan pun mengalami jungkir balik. Narasi yang teramplifikasi bahwa masa kepemimpinan Marcos selama dua dekade itu dikesankan seolah-olah momen kejayaan Filipina. Pesan yang mengudara: kembalinya masa lalu (the return of the past).   

Di mata pendukung yang tercuci otaknya, Marcos lama seperti lahir kembali (reborn), terbangun image sebagai representasi rezim stabilitas dan kemakmuran. Itulah efek destruktif dari disinformasi yang massif, lalu menembus jendela otak pemilih. Preseden politik Filipina 2022 sungguh mencengangkan eksponen aktivis prodemokrasi.

Jejak kebangkitan klan politik Marcos itu, agaknya membawa embusan angin psikopolitik di Tanah Air. Formula Bongbong bisa saja direplikasi oleh politisi dengan pola yang variatif. Bagi para pendukung Soeharto, penguasa Orde Baru (Orbais), misalnya, presiden kedua RI itu akan dipromosikan oleh loyalisnya sebagai “Bapak Pembangunan”.

Sementara di mata kaum reformis, Soeharto setali tiga uang dengan Ferdinand Marcos: diktator korup, pelanggar HAM dan antidemokrasi. Di sinilah perang narasi, kontranarasi, propaganda dan kontrapropaganda akan beradu. Dalam kancah pasar bebas politik, semua faksi dari beragam wajah, aliran, dan motif ikut membonceng demokrasi, sembari menginjeksi kepentingannya. 

Merawat Demokrasi

Dalam pola lain, disinformasi acapkali diedarkan oleh aktor gelap untuk menciptakan distrust publik terhadap tokoh, organisasi ataupun lembaga tertentu. Pada pilpres 2014, modus operandi disinformasi digunakan oleh pemain politik untuk mendiskreditkan lawan politik. Targetnya adalah mengggeser persepsi pemilih dari like menjadi dislike, atau sebaliknya, terhadap kandidat tertentu. Belum lagi cap-cap purbawi untuk saling mengantagoniskan rival politik: antek komunis, agen khilafah, dan sebagainya. Benar itu soal lain, yang penting heboh.

Di tengah penyerbukan silang antara internet dan politik, portal berita online abal-abal bertumbuh liar. Penulis-penulis hantu berakun anonim bergentayangan di mana-mana. Maka, lahirlah asasinasi politik terhadap individu dan kelompok yang disasar oleh fitnator untuk kepentingan parsial.

Tak hanya itu, disinformasi juga dipake oleh kelompok intoleran-ekstremis untuk memproduksi kecemasan massal. Lapak bisnis ujaran kebencian (e-hate business) membludak tak karuan. Para provokator membidik massa sumbu pendek yang gampang terbakar emosinya. Misinya sama: menipu publik dengan kabar dusta, mengadu domba antarwarga dengan berita palsu.  

Tungku republik nyaris membara pula pada pilpres 2019. Bahkan lembaga penyelenggara pemilu menjadi sasaran tembak para perusuh melalui “senjata” disinformasi. Fitnah mengular untuk mendelegitimasi KPU, seperti rumor tujuh kontainer surat suara yang katanya tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, ternyata kabar bohong belaka.

Karena itu, ancaman disinformasi politik menjelang pemilu 2024 perlu perhatian serius. Kalau tidak dimitigasi oleh pihak yang otoritatif, sayap kupu-kupu disinformasi yang mengepak di Filipina, berpotensi memicu badai di Indonesia, merujuk Edward Norton dalam teori efek sayap kupu-kupu (butterfly effect).

Pemilu 2024 akan menjadi pertaruhan masa depan demokrasi. Pelaksanaan dan pengawasan pesta demokrasi memang domain KPU dan Bawaslu, tapi kelompok masyarakat sipil, media massa dan agensi media sosial mesti berpartisipasi untuk menjernihkan ekosistem demokrasi. Aparatur pemerintah dapat bertindak tegas lewat Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hari-hari ini ditandai dengan bulan madu untuk menikmati kebebasan sipil dan demokrasi. Tetapi ironisnya, produsen dan distributor disinformasi turut meracuni berkah reformasi itu. Mau dibawa kemana demokrasi kita yang sedang terkonsolidasi ini?

Patut direnungkan dalam konteks demokrasi termutakhir, kepuasan publik memang meningkat, berdasarkan hasil rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Mei 2022. LSI menemukan sebesar 57,8 persen publik mengaku puas dengan praktik demokrasi di Indonesia, sekitar 35 persen mengaku kurang puas atau tidak puas.

Tahun 2021, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks Demokrasi di 165 negara. Skor perkembangan demokrasi Indonesia bertengger di peringkat ke-52 dunia (6,71). Posisi Indonesia lumayan naik dibandingkan 2020 (6,30) maupun 2019 (6,48).

Angka-angka itu memang melenakan, tapi PR besar kita ke depan yang urgen adalah bagaimana lalu-lintas percakapan di dunia maya dan dunia nyata berbasis pada diskursus yang rasional, khususnya tentang politik dan kepemiluan, yang terinformasikan dengan proper. Benar bahwa iklim kehidupan berdemokrasi masih berjalan sesuai jalur, tapi segi-segi kelemahannya (sekian paradoks) perlu kita benahi dalam praktiknya di palagan elektoral, terutama menyehatkan ruang demokrasi agar tidak terjebak disinformasi.

 

Mawardin;
peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Kumparan, 7 Juni 2022
Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Hitung-hitungan Charta Politika Jika Prabowo dan Paloh Bersatu di Pilpres 2024

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dinilai sebagai tanda adanya poros baru dalam Pemilu 2024.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menjelaskan peluang Gerindra dan Nasdem bersatu untuk Pemilu 2024 sangat terbuka.

Apalagi jika dilihat perolehan suara Pemilu 2019, kedua partai tersebut sudah mengantongi presidential threshold sebagai salah satu syarat pencalonan presiden dan wapres di Pilpres 2024.

Namun tantangan yang bakal dihadapi Nasdem jika bergabung dengan Gerindra adalah Surya Paloh harus realistis melepas capres yang diusung koalisi tersebut.

Hal tersebut akan berdampak maka Nasdem tidak mendapatkan efek ekor jas dari capres partai lain.

Yunarto menambahkan agar saling menguntungkan koalisi ini bisa saja mengusung calon alternatif seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo ataupun Andika Perkasa.

Tantangannya yang dihadapi, kedua partai harus bekerja keras mendorong capres yang diusung lantaran bukan dari kader partai.

“Kalau pun mendukung Prabowo sebagai capres, sosok cawapresnya harus sosok yang bisa diklaim oleh Nasdem. Entah itu kader atau identik dengan Nasdem. Tapi itu juga tidak mudah untuk dilakukan,” ujarnya.

Strategi Nasdem

Yunanto juga menilai Pertemuan Prabowo Subianto dengan Surya Paloh sebagai strategi Nasdem untuk menyaingi poros Koalisi Indonesia Bersatu yang digagas Golkar, PPP dan PAN.

Tak hanya itu, aksi tersebut juga menjadi sinyal partai urutan kelima pemenang Pemilu 2019 ini bisa menjadi juru kunci koalisi dalam mengusung capres dan cawapres di Pemilu 2024.

Sebelum Prabowo, Paloh pernah mengundang ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Menurut Yunarto dengan kekuatan 59 kursi di parlemen, Nasdem tak ingin mejadi penonton di Pemilu 2024.

“Pertemuan ini sebuah respons terhadap munculnya koalisi lain seperti Koalisi Indonesia Bersatu. Politisi ulung seperti Surya Paloh saya pikir tidak ingin hanya ingin menjadi penonton,” ujarnya.

Penulis : Johannes Mangihot | Editor : Hariyanto Kurniawan
Sumber foto: Tangkapan layar Kompas TV
Sumber berita: Kompas.tv

Pernak-pernik Perombakan Kabinet

Spekulasi perombakan kabinet kembali menyeruak seiring anjloknya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. ”Reshuffle” diperlukan untuk memperkuat dukungan politik dan meningkatkan kinerja pemerintahan Jokowi.

Spekulasi bakal adanya perombakan Kabinet Indonesia Maju jilid tiga timbul tenggelam sejak Oktober silam.

Akankah kali ini kembali sekadar wacana? Mulanya, reshuffle ini diyakini bakal terjadi Oktober/November lalu seiring dua tahun pemerintahan Jokowi-Amin.

Wacana itu seketika meredup setelah rilis berbagai lembaga survei menunjukkan tingkat kepuasan publik kepada pemerintah naik tajam. Temuan Charta Politika, kepuasan publik melenting dari 62,4 (Juli 2021) ke 70,1 persen (November 2021).

Kali ini, spekulasi perombakan kembali menyeruak. Pasalnya, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan anjlok dari 71,7 (Januari 2022) ke 62,9 persen (April 2022). Kepuasan terhadap kinerja kabinet bahkan jauh lebih rendah lagi, 50,1 persen. Tak heran, tujuh dari 10 responden mendukung perombakan kabinet.

Perbedaan popularitas (baca: tingkat kepuasan publik) antara Jokowi dan kabinet menunjukkan publik melakukan evaluasi secara berbeda. Ini mirip temuan Panagopoulos (2007) di AS terkait popularitas Menlu (Colin Powell) dan Presiden (George W Bush).

Dalam hal ini, popularitas Powell lebih ditentukan oleh peliputan media tentang aktivitasnya, sementara popularitas Bush terutama karena faktor makro-partisan dan keadaan ekonomi. Jokowi perlu berhati-hati karena situasi politik bisa saja mengubah cara publik melakukan evaluasi. Buruknya kinerja menteri akan dinisbahkan pada kinerja dirinya.

Lebih dari sekadar problem popularitas, pilihan reshuffle juga untuk mengantisipasi/merespons potensi guncangan yang tak diharapkan. Camerlo dan Perez-Linan (2015a) membedakan dua tipe guncangan.

Pertama, protes sosial merujuk pada kebijakan yang menimbulkan polemik tajam/kontroversial di mata publik. Kedua, skandal media yang merujuk perilaku melawan hukum pejabat publik, seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan pendekatan berbeda, guncangan itu dapat dibedakan seturut efeknya. Menurut Martinez-Gallardo (2014), ada guncangan yang punya efek politik (pemilu, pilkada, approval rating) dan guncangan yang punya efek kebijakan (bencana alam, krisis ekonomi, dan lainnya).

Dalam konteks pemerintahan Jokowi-Amin, ada beberapa guncangan yang masih perlu dimitigasi terkait kebijakan. Mulai dari penanganan minyak goreng, investasi bodong, penundaan pemilu/presiden tiga periode, hingga pembangunan ibu kota negara baru. Administrasi Jokowi juga perlu menyiapkan skenario alternatif manakala perang Rusia-Ukraina terus berlanjut, selain melanjutkan mitigasi pandemi Covid-19.

Yang lebih tak terukur dan sangat dinamis, mengantisipasi guncangan yang punya efek politik. Persisnya yang berkenaan dengan kontestasi 2024, baik di tingkat internal koalisi maupun aksi politik kalangan oposisi. Polarisasi politik diprediksi bakal diperuncing, konflik horizontal akan “dipromosikan”.

Pada titik ini, cukup masuk akal untuk segera mengaktifkan kebijakan reshuffle. Menurut Camerlo dan Perez-Linan (2015b), reshuffle sebagai pengaturan ulang alokasi jabatan menteri bertujuan memperkuat dukungan politik (agar ada keteraturan jalannya pemerintahan), meningkatkan kemampuan teknis para pembantunya (kompetensi), dan menghadirkan menteri yang sepreferensi dengan presiden, baik secara ideologis maupun karena kedekatan personal (loyalis).

Ada dua tema besar yang perlu dicermati: motivasi partai dan seleksi menteri.

Motivasi partai

Sungguhpun secara konstitusional Jokowi adalah formatur tunggal pembentuk/perombak kabinet, realitas politik berbicara lain. Jokowi perlu konsultasi/bernegosiasi dengan partai-partai yang jadi pilar pemerintahan koalisinya. Sebab, dalam konteks sistem presidensial multipartai, perombakan harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi legislasi pemerintah (Amorim-Neto dan Samuels, 2010).

Naif jika berharap Jokowi mau ngotot mengeksekusi hak prerogratifnya secara unilateral. Secara konstitusi, posisi presiden tidaklah cukup kuat (tak punya hak veto, berbagai penunjukan politik harus ada persetujuan DPR, dan tak memadai untuk menjalankan pemerintahan bertumpu pada dekrit).

Pertukaran politik jadi keniscayaan: memberi kursi menteri dan fokus kebijakan pada partai koalisi sebagai imbalan atas dukungan penuh partai di DPR selama ini.

Jokowi perlu mempertimbangkan motivasi partai koalisi. Ini berhubungan dengan kalender pemilu. Pada awal pemerintahan, partai koalisi lebih termotivasi pada jumlah menteri dan pos kementerian yang bisa didapat serta agenda kebijakan yang selaras dengan kepentingan politiknya.

Sebaliknya, semakin mendekati jadwal pemilu berikutnya, partai lebih mengedepankan kepentingan mendulang suara sebanyak-banyaknya. Tatkala petahana presiden tak dapat mencalonkan diri lagi, partai akan lebih egois dalam artian lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri (Altman, 2000).

 

Faktor popularitas presiden juga jadi pertimbangan. Partai cenderung lebih termotivasi keluar dari koalisi jika tingkat kepuasan publik terhadap kinerjanya terus merosot. Dan yang juga menentukan adalah motivasi partai menjadi partai koalisi dari capres yang mereka prediksi bakal jadi pemenang pada 2024.

Di atas kertas, partai akan memilih keluar dari koalisi jika biaya politiknya lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Namun, realitas politik tidaklah hitam putih.

Partai bisa saja memilih strategi ”teman tapi menikam” (bertahan di koalisi dengan orientasi sangat pragmatis dan menerapkan disiplin berkoalisi yang rendah di kabinet/parlemen) atau ”membakar lumbung” (bertahan di koalisi tapi terus memprovokasi Jokowi agar mengeluarkan mereka dari koalisi sehingga bisa mengaktifkan peran ”jadi korban”). Pilihan ketiga, keluar dari koalisi secara sportif seperti dilakukan PAN di era Jokowi-JK.

Meski demikian, efektivitas keluar dari koalisi juga dipengaruhi faktor waktu. Semakin jauh jaraknya ke pemilu berikutnya, keluar dari koalisi semakin baik karena ada waktu yang cukup untuk rebranding. Sebaliknya, semakin mendekati pemilu, pilihan ini semakin tidak menarik. Partai sulit melakukan rebranding. Pemilih juga akan menilai partai tak tulus dalam mengubah posisi politik.

Partai cenderung lebih termotivasi keluar dari koalisi jika tingkat kepuasan publik terhadap kinerjanya terus merosot.

Seleksi menteri

Reshuffle pada akhirnya adalah soal bagaimana mengeliminasi menteri yang buruk, tak kompeten, tak loyal, dan atau jarak ideologinya terlalu jauh dengan presiden (Indridason dan Kim, 2008). Namun, pergantian menteri tak sesederhana memecat karyawan dan menggantinya dengan pekerja baru.

Dalam konteks pemerintahan koalisi, presiden perlu mempertimbangkan usulan atau keberatan dari partai pendukung. Pada tingkat mikro, presiden perlu mempertimbangkan motivasi individu seorang menteri.

Ini berkenaan dengan relasi antara presiden selaku pendelegasi mandat dan menteri sebagai penerima mandat. Relasi ini berpotensi menimbulkan apa yang disebut Strøm (2000) sebagai problem penerima mandat (agency problem). Hal ini terjadi manakala menteri bertindak tak sesuai kepentingan pemimpin puncak eksekutif, baik karena berkinerja lebih rendah dari yang diharapkan dan atau sengaja menyabotasenya.

Mengikuti Dowding dan Dumont (2015), agency problem bisa dibedakan jadi tiga.

Pertama, agency rent: menteri tak bekerja efisien dan efektif. Ini bisa lantaran presiden tak cukup punya informasi tentang kompetensi menterinya atau kualifikasi menteri tak sesuai mandat yang diterima. Atau menteri tak memiliki preferensi yang sama dengan presiden sehingga berinisiatif melakukan pemangkasan/pergeseran kebijakan.

Kedua, adversial selection: menteri yang terpilih bukan yang diinginkan/dibutuhkan presiden. Ini bisa karena ketersediaan menteri yang disodorkan, ada rintangan yang menyebabkan figur berkompetensi tinggi tak mungkin dipilih, hingga kalkulasi faktor representasi. Dalam konteks reshuffle, situasi juga merujuk manakala presiden menyingkirkan menteri yang populer di mata publik atau mencopot menteri yang dibutuhkan karena pertimbangan di luar faktor kompetensi.

Ketiga, moral hazard: menteri secara sadar mengambil inisiatif yang berlawanan dengan preferensi presiden dengan keyakinan risikonya jauh lebih rendah ketimbang benefit yang bakal diperolehnya. Ini termasuk kalkulasi bahwa presiden akan memberi perlindungan karena mempertimbangkan reputasi pemerintahan secara keseluruhan. Atau sengaja dibiarkan presiden dengan kalkulasi jika tindakan menteri itu berhasil akan memberi citra positif terhadap pemerintah, sebaliknya jika gagal presiden juga memiliki ”kambing hitam”-nya.

Untuk memitigasi agency problem, Martinez-Gallardo dan Schleiter (2014) mengusulkan presiden lebih mengedepankan menteri nonpartisan karena secara politik mereka punya dua ”bos”: presiden dan (ketua umum) partai. Namun, dalam pandangan saya, ini faktualnya juga sangat mungkin terjadi pada menteri nonpartisan yang termotivasi membangun karier politik sebagai menteri dan atau menyiapkan diri sebagai pejabat.

Sinyal kebijakan

Agency problem jadi salah satu sumber utama kritik publik pada kinerja Kabinet Indonesia Maju (KIM). Karena itu, perombakan juga jadi proksi bagi publik untuk mendeteksi kemungkinan arah perubahan kebijakan pemerintahan Jokowi-Amin.

Sekurangnya, ada empat isu yang bisa jadi acuan sinyal itu. Pertama, isu klasik berupa keseimbangan komposisi menteri partisan dan nonpartisan. Jika Jokowi ingin tetap mempertahankan dukungan legislatif seperti sekarang, niscaya alokasi menteri partisan tak akan berkurang jika sulit untuk ditambah. Masalahnya, menteri partisan telanjur distempel bukan seorang ahli.

Terkait itu, ada perspektif alternatif yang ditawarkan Beckman (2006). Status keahlian tak semata dilihat dari latar belakang profesional/pendidikan. Politisi berpengalaman di parlemen juga harus dimaknai sebagai figur kompeten. Pilihan memperkuat legislasi di DPR bisa dilakukan tanpa terlalu banyak mengorbankan aspek kompetensi. Jika ini pilihannya, pekerjaan rumahnya adalah mengomunikasikan pandangan ini ke publik.

Kedua, besaran reshuffle atau jumlah menteri yang diganti/dirotasi. Semakin sedikit, semakin rendah daya jungkitnya untuk kembali melentingkan kepuasan publik pada kinerja kabinet. Ini terjadi pada perombakan jilid dua yang hanya sekadar mengutak-atik kelembagaan dengan menempatkan figur yang sudah ada dari kementerian/lembaga setingkat menteri.

Menteri ”rasa capres” ini jadi sorotan karena dianggap memiliki dua agenda dalam kerjanya.

Ketiga, sikap Jokowi terhadap beberapa menteri yang saat ini sudah masuk bursa capres 2024, seperti Prabowo Subianto, Erick Thohir, Airlangga Hartarto, dan Sandiaga Uno. Menteri ”rasa capres” ini jadi sorotan karena dianggap memiliki dua agenda dalam kerjanya.

Jika mereka tetap dipertahankan, ini bisa dimaknai sebagai pilihan Jokowi untuk menggunakan strategi ruang bersama. Bahkan bisa dimaknai Jokowi-lah yang mendorong mereka maju di kancah capres.

Persisnya, Jokowi mengandaikan adanya situasi moral hazard atau agent rent dengan rentang risiko yang terprediksi atau masih bisa ditoleransi. Para menteri ini sekurangnya diyakini punya kepentingan agar KIM berkinerja tinggi dan pada saat bersamaan juga berkepentingan untuk unjuk pencapaiannya. Strategi ruang bersama ini tak ubahnya model tanam tumpang sari: visi presiden tetap terjaga, prestasi menteri dapat terakui.

Keempat, seberapa besar peluang Jokowi kembali menghadirkan kejutan. Kejutan bisa berupa pengabaian status quo terkait representasi pos kementerian tertentu. Ini pernah dilakukannya tatkala Kemendikbud tak dialokasikan untuk representasi Muhammadiyah, Kementerian Agama tak dialokasikan untuk NU, dan Kementerian Kesehatan diberikan kepada figur non-kedokteran.

Kejutan lain bisa berupa perekrutan figur capres/cawapres yang saat ini masih ada di luar pemerintahan. Di luar itu, dikaitkan dengan kebutuhan menghadirkan aura kompetensi lebih kuat, Jokowi mungkin saja memanggil kembali mantan menteri, baik era pemerintahannya maupun era presiden sebelumnya.

Antisipasi

Di atas kertas, reshuffle berfungsi untuk mempromosikan kinerja yang lebih baik. Tapi, bahkan sebelum menteri baru bisa efektif bekerja, publik sudah menilai menteri-menteri pilihan Jokowi. Karena itu, menjadi krusial bagi menteri baru secepatnya unjuk kinerja. Setidaknya berupa capaian kecil (quick wins) yang bisa membangkitkan optimisme publik. Problemnya, menteri baru butuh waktu beradaptasi dengan tugas dan personel di kementeriannya. Semakin dini mereka bersiap/disiapkan, semakin baik.

Antisipasi berikutnya terkait mitigasi terhadap agency problem. Meski seandainya Jokowi memilih strategi ruang bersama, situasi agency rent ataupun moral hazard tetap perlu dikendalikan agar biaya kebijakannya terprediksi. Salah satunya dengan menyiapkan atau memperbarui kontrak kerja koalisi ataupun menteri secara individual.

Pada tahap operasional, perlu perbaikan sistematis terkait monitoring, sinergitas, dan responsivitas kementerian.

Penting bagi KIM memperbaiki pendekatan komunikasi kebijakan yang selama ini terkesan terlalu politis sehingga pilihan kebijakan tak terjelaskan secara komprehensif.

Salah satu quick wins dari situasi ini adalah menghadirkan juru bicara baru yang secara khusus bertugas mendeskripsikan substansi kebijakan publik yang dipilih pemerintah, dan bukannya sibuk ikutan terjebak dalam pro-kontra politik terkait kebijakan.

Dan, akhirnya reshuffle ketiga harus disiapkan sebagai fondasi untuk mengantisipasi reshuffle berikutnya. Politik itu selalu dinamis dan tak sepenuhnya bisa diprediksi. Nasihat lawas tetap relevan: sedia payung sebelum hujan.

 

Yunarto Wijaya,
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia
Opini Kompas, 18 Mei 2022
Ilustrasi: Didie SW

“Elektabilitasnya Rendah, Cak Imin Dinilai Hanya Bercanda soal Syarat Diusung Capres”

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar hanya bercanda soal kesediaannya bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu jika diusung sebagai calon presiden (capres).

Sebab, hingga kini elektabilitas Cak Imin, begitu sapaan akrab Muhaimim, masih terbilang rendah. Menurut Yunarto, Muhaimin sendiri juga menyadari itu.

“Sebelum modal politik elektabilitas cukup tinggi, saya pikir statement ini nggak bisa dianggap serius,” kata Yunarto kepada Kompas.com, Senin (23/5/2022).

Yunarto menilai, langgam politik Muhaimin memang senang bercanda. Ini terlihat dari banyak pernyataannya, termasuk soal usulan penundaan pemilu demi menyelamatkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Muhaimin sendiri, menurut Yunarto, sebenarnya menyadari bahwa dirinya tak punya cukup elektabilitas untuk menjadi calon presiden di 2024.
Dalam berbagai survei, elektabilitasnya hanya berkisar di angka 1 persen, setara dengan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Meski begitu, Yunarto mengaku paham mengapa Imin begitu percaya diri untuk melempar guyonan semacam ini. Hal itu tak lepas dari suara partainya yang cukup besar.

Pada Pemilu 2019 lalu, PKB berada di peringkat 5 dengan perolehan 13.570.970 atau 9,69 persen suara. Angka ini dikonversikan menjadi 58 kursi DPR RI.

“Ini harga yang mahal yang bisa ditawarkan memang buat koalisi lain untuk memenuhi presidential threshold,” ucap Yunarto.

Kendati demikian, Yunarto menegaskan bahwa suara partai yang besar tak cukup menjadi modal melangkah di panggung pilpres. Jika Muhaimin serius ingin dilirik sebagai capres di 2024, maka dia punya PR besar untuk mendongkrak elektabilitas dengan kilat.

“Bagaimana seorang ketua parpol bergabung dengan koalisi partai lain dan menempatkan dirinya harganya tinggi ya dia harus memiliki elektabilitas tinggi. Cak Imin belum memiliki modal itu, jadi menurut saya ini lebih ke arah joke (candaan) politik saja,” kata Yunarto.
Sebelumnya, Muhaimin menyatakan bahwa partainya siap bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu yang dibentuk Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Namun, Muhaimin memberikan satu syarat, yaitu dirinya harus diusung sebagai capres dalam koalisi tersebut.

“Saya siap bergabung asal capresnya saya,” kata Muhaimin dalam keterangannya, Minggu (22/5/2022).

Pria yang akrab disapa Cak Imin ini menyambut baik gagasan KIB. Menurutnya, koalisi itu sebagai ikhtiar untuk menyamakan kekuatan sehingga mulai mengkristal. Dia melanjutkan, PKB sangat terbuka untuk menjalin komunikasi dengan partai mana pun dalam menyongsong Pemilu 2024. “Kami terus menjalin komunikasi di DPR, tapi secara khusus belum. Kami terbuka,” jelasnya.

Penulis : Fitria Chusna Farisa
Editor : Fitria Chusna Farisa
Foto:DOK. Humas DPR RI
Sumber berita: Nasional.kompas.com

Jokowi Minta Projo Sabar soal 2024, Charta: Simbol Kuat Dukung Ganjar

Jakarta – Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam sambutannya pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V Pro Jokowi (Projo) memberikan kode terkait dukungan pada calon pemimpin Indonesia di 2024. Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menyampaikan analisanya mengenai hal ini.
Menurutnya ungkapan Jokowi yang menyebut ‘mungkin yang kita dukung hadir di sini’ mengarah ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

“Saya lebih melihat ini awal mula bahwa bahasa simbol yang kuat, katakanlah ini arah dukungan ke arah Pak Ganjar. Saya tidak tahu apakah dipilihnya Magelang adalah simbol, masih belum bisa menjelaskan,” ujar Yunarto Wijaya dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/5/2022).

Analisa tersebut semakin kuat karena Ganjar masuk dalam radar survei teratas calon presiden (Capres) 2024 yang hadir di Rakernas tersebut. Ganjar memiliki rating popularitas dan elektabilitas paling tinggi diantara figur-figur yang disebut dalam lembaga survei kredibel. Bahkan Gubernur Jawa Tengah itupun sering disebut-sebut sebagai penerus Jokowi sebagai presiden periode 2024-2029.

“Ganjar sudah ratingnya tertinggi dan ketika ditanya brand association dari Ganjar memang dia dianggap paling kuat menjadi penerus Jokowi dibandingkan dengan nama-nama lain,” ungkapnya.

Yunarto menjelaskan bahwa figur atau sosok yang didukung Jokowi akan memiliki keuntungan secara pemilih dan kekuatan partai, apabila hingga akhir masa jabatannya Jokowi memiliki lapor yang bagus di mata masyarakat. Selain itu, Jokowi harus tepat dan cepat mengumumkan figur yang didukungnya serta menggaet dukungan kepada partai koalisinya agar calon yang diusungnya kelak mendapatkan dukungan dari partai-partai tersebut.

“Kemungkinan besar kalau seperti itu, siapapun yang didukung oleh Jokowi punya kemungkinan besar juga untuk menang,” tegasnya.

Dalam pidato sambutannya, Jokowi juga meminta para relawan tidak tergesa-gesa dalam menentukan pilihan. Hal ini diartikan Yunarto sebagai makna bahwa Jokowi ingin stabilitas politiknya tidak terganggu.

“Diartikan dua hal ya, presiden tidak ingin stabilitas politiknya terganggu. Kedua, kalau jagoan kita (Projo) akan maju, ikuti cara saya dan jangan tergesa-gesa,” katanya.

Meski Dalam Rakernas V Projo yang diadakan di Magelang itu Jokowi meminta untuk tidak buru-buru menentukan pilihan, namun ungkapannya tentang figur yang didukungnya hadir di sana membuat para relawan Projo sontak meneriakan dukungan pada Ganjar.

“Makanya, untuk urusan politik, ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini,” kata Jokowi

“Hidup pak Ganjar,” teriak kompak relawan Projo.

Selain Presiden Jokowi dan Ganjar Pranowo, dalam acara itu turut hadir Ibu Negara Iriana Widodo, Bupati Magelang dan sejumlah tokoh lainnya.

Nada Zeitalini Arani – detikNews
Foto: Ari Saputra/detikcom-Yunarto Wijaya
Sumber: News.detik.com

Charta Politika Lihat Kode Jokowi Soal 2024, Ini Katanya…

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Rakernas Projo menyinggung soal dukungannya di Pilpres 2024 kepada figur yang hadir di rakernas tersebut. Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, turut menyampaikan analisinya mengenai sambutan Jokowi di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, itu.

“Saya lebih melihat ini awal mula bahwa bahasa simbol yang kuat, katakanlah ini arah dukungan ke arah Pak Ganjar. Saya tidak tahu apakah dipilihnya Magelang adalah simbol, masih belum bisa menjelaskan,” ujar Yunarto Wijaya dalam keterangan tertulisnya, Ahad (22/5/2022).

Menurutnya, pidato Jokowi yang menyebut, “mungkin yang kita dukung hadir di sini” mengarah ke Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Sebab, menurut Yunarto, hanya Ganjar yang masuk dalam radar survei teratas Calon Presiden (Capres) 2024 yang hadir dalam rakernas tersebut.

Lebih lanjut Yunarto menjelaskan, Ganjar memiliki rating popularitas dan elektabilitas paling tinggi di antara para figur yang disebut dalam lembaga survei kredibel. Ganjar juga kerap disebut sebagai penerus Jokowi sebagai presiden periode 2024-2029.

“Ganjar sudah ratingnya tertinggi dan ketika ditanya brand association dari Ganjar memang dia dianggap paling kuat menjadi penerus Jokowi dibandingkan dengan nama-nama lain,” kata dia.

Menurut Yunarto, figur yang didukung Jokowi akan memiliki keuntungan secara pemilih dan kekuatan partai. Itu dapat terjadi apabila Jokowi sampai akhir masa jabatanya memiliki rapor yang bagus di mata masyarakat.

Selain itu, Jokowi harus tepat dan cepat memgumumkan figur yang didukungnya. Jokowi juga harus menggaet dukungan kepada partai koalisnya agar calon yang diusungnya kelak dapat mendapatkan dukungan dari partai-partai pendukungnya tersebut.

“Kemungkinan besar kalau seperti itu, siapapun yang didukung oleh Jokowi punya kemungkinan besar juga untuk menang,\” jelas dia.

Jokowi dalam pidatonya juga menyampaikan kepada relawan untuk tidak tergesa-gesa dalam menentukan pilihan. Menurut Yunarto, hal tersebut dapag bermakna Jokowi ingin stabilitas politiknya tidak terganggu.

“Diartikan dua hal ya, presiden tidak ingin stabilitas politiknya terganggu. Kedua, kalau jagoan kita (Projo) akan maju, ikuti cara saya dan jangan tergesa-gesa,” kata dia.

Sebelumnya, Jokowi dalam Rakernas V Projod i Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, menyinggung soal dukungannya di Pilpres 2024 kepada figur yang hadir di rakernas. “Makanya, untuk urusan politik, ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa. Meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini,” kata Jokowi, Sabtu (21/5/2022).

 

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Agus Yulianto
Foto: ANTARA/Biro Pers dan Media Setpres
Sumber: Republika.co.id

Pengamat: Kode Jokowi Soal 2024 di Rakernas Projo Mengarah ke Ganjar

DIREKTUR Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, turut menyampaikan analisinya mengenai sambutan Presiden Joko Widodo di Rakernas V Projo di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.

Menurutnya, pidato Jokowi soal ‘mungkin yang kita dukung hadir disini’ mengarah ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Sebab, menurut Yunarto, hanya Ganjar yang masuk dalam radar survei teratas capres 2024 yang hadir dalam rakernas tersebut.

“Saya lebih melihat ini awal mula bahwa bahasa simbol yang kuat, katakanlah ini arah dukungan ke arah Pak Ganjar. Saya tidak tau apakah dipilihnya Magelang adalah simbol, masih belum bisa menjelaskan,” ujar Yunarto Wijaya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu (21/5/2022).

Yunarto menjelaskan, Ganjar memiliki rating popularitas dan elektabilitas paling tinggi diantara figur-figur yang disebut dalam lembaga survei kredibel. Ganjar pun sering disebut penerus Jokowi sebagai preisden periode 2024-2029.

“Ganjar sudah ratingnya tertinggi dan ketika ditanya brand association dari Ganjar memang dia dianggap paling kuat menjadi penerus Jokowi dibandingkan dengan nama-nama lain,” tegasnya.

Menurut Yunarto, figur yang didukung Jokowi akan memiliki keuntungan secara pemilih dan kekuatan partai, apabila Jokowi sampai akhir masa jabatanya memiliki lapor yang bagus di mata masyarakat.

Selain itu, Jokowi harus tepat dan cepat memgumumkan figur yang didukungnya. Serta, Jokowi juga harus menggaet dukungan kepada partai koalisnya agar calon yang diusungnya kelak dapat mendapatkan dukungan dari partai-partai pendukungnya tersebut.

“Kemungkinan besar kalau seperti itu, siapapun yang didukung oleh Jokowi punya kemungkinan besar juga untuk menang,” tegasnya.

Selain itu, Jokowi dalam pidatonya menyampaikan kepada relawan untuk tidak tergesa-gesa dalam menentukan pilihan. Menurut Yunarto, hal itu bisa bermakna Jokowi ingin stabilitas politiknya tidak terganggu.

“Diartikan dua hal ya, presiden tidak ingin stabilitas politiknya terganggu. Kedua, kalau jagoan kita (Projo) akan maju, ikuti cara saya dan jangan tergesa-gesa,” katanya.

Sebelumnya, Jokowi dalam rakernas Projo menyinggung soal dukungannya di Pilpres 2024 kepada figur yang hadir di rakernas.

“Makanya, untuk urusan politik, ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa. Meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini,” kata Jokowi disambut teriakan Projo, Sabtu (21/5/2022).

“Hidup pak Ganjar,” teriak mereka kompak.

Hadir di acara itu Selain presiden Jokowi, ada ibu Iriana dan sejumlah tokoh diantaranya Ganjar Pranowo, Bupati Magelang dan tokoh lainnya.

 

(OL-13)
Foto: dok.Ant
Sumber: Mediaindonesia.com

Survei Charta Politika soal Parpol: PDIP Teratas, PKB Salip Golkar

Jakarta, CNN Indonesia — PDIP memuncaki tingkat elektabilitas partai politik dalam survei yang dirilis Charta Politika Indonesia, Senin (26/4).

Berdasarkan survei yang dilakukan 10-17 April 2022, PDIP itu unggul dengan elektabilitas mencapai 24,7 persen. Sedangkan, PKB menyalib posisi Golkar di posisi ketiga dengan elektabilitas mencapai 9,8 persen, di bawah Gerindra di posisi kedua dengan 11,9 persen.

Hasil itu terungkap lewat pertanyaan tertutup, “Seandainya pemilu legislatif untuk memilih anggota DPR RI dilaksanakan hari ini dan diikuti oleh partai politik di bawah ini, partai apa yang Ibu/Bapak pilih?”.

Kemudian di bawah Golkar ada PKS di posisi kelima dengan 7,7 persen, Demokrat 7,0 persen, Nasdem 5,1 persen, PPP 2,0 persen, dan PQN 1,5 persen.

“Secara umum pilihan publik terhadap partai politik secara berurutan adalah: PDIP, Gerindra, PKB, dan Golkar sebagai 4 partai politik dengan pilihan tertinggi.

Sementara PKS dan Demokrat berada pada urutan berikutnya, relatif berimbang,” ucap Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya dalam paparannya.

Survei Charta Politika dilakukan selama sepekan pada 10-17 April. Melibatkan 1.220 responden dengan metode penarikan sampel acak bertingkat atau multistage random sampling. Margin of error sekitar 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Dalam survei dua lembaga lain yakni Populi Center dan Trust Indonesia Research & Consulting beberapa waktu lalu PDIP juga berada di atas.

Populi Center dalam survei yang hasilnya dirilis 24 April 2022 menunjukkan PDIP posisi puncak dengan 19,3 persen. Disusul Gerindra di tempat kedua dengan 11,6 persen dan Golkar di tempat ketiga (11,3 persen).

Lalu disusul oleh PKB (6,8 persen), Demokrat (6,7 persen) dan PKS (5,1 persen).

Sementara itu, survei Trust yang dirilis 31 Januari 2022, elektabilitas PDIP tertinggi yakni 21,8 persen. Kemudian disusul Gerindra dengan 17,3 persen dan Partai Golkar sebesar 10,6 persen.

Sedangkan, hasil popularitas partai politik tertinggi diperoleh oleh Partai Golkar dengan 93,9 persen menggungguli PDIP yang hanya meraih 92,3 persen.

 

thr/kid
Ilustrasi surat suara untuk pemilu. (CNN Indonesia/Hesti Rika)
Sumber: CNNIndonesia.com

 

Charta Politika Rilis Elektabilitas Capres Terbaru : Ganjar Pranowo Unggul

LEMBAGA survei Charta Politika Indonesia merilis hasil survei nasional terkait dengan calon presiden (Capres) 2024 dengan elektabilitas tertinggi. Dalam survei tersebut, elektabilitas Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, menang telak mengalahkan sembilan calon lainnya.

“Ganjar Pranowo menjadi pilihan tertinggi publik sebagai calon presiden,” tutur Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam keterangan tertulisnya, Senin (25/4/2022).

Yunarto mengemukakan dalam survei itu pihaknya melakukan simulasi atas elektabilitas sejumlah bakal calon presiden.

Yunarto menyatakan para responden diberi pertanyaan, seperti ‘Jika pemilihan presiden diadakan sekarang, siapa yang akan Bapak/Ibu/Saudara pilih sebagai Presiden di antara nama-nama berikut ini?’

Dengan pertanyaan itu, kata Yunarto, Ganjar berada diposisi paling atas dengan 29,2 %, Prabowo Subianto dibawahnya dengan 23 %, Anies Baswedan dengan 22,2 %, Sandiaga Uno dengan 4,9 %, Ridwan Kamil dengan 4,8 %.

Kemudian Agus Harimurti 3,4 %, Khofifah Indar Parawansa dengan 3,3 %, Puan Maharani dengan 1,8 %, Erick Thohir dengan 1,5 %, dan Airlangga Hartanto dengan 0,7 %. Sementara sebanyak 7,0 % menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

“Pada simulasi 10 nama, Ganjar Pranowo 29.2 % mendapatkan elektabilitas tertinggi,” tegas Yunarto.

Survei preferensi sosial dan politik masyarakat ini di gelar pada periode 10 – 17 April 2022.

Adapun jumlah sampel sebanyak 1220 responden, margin of error kurang lebih 2,83 %, dengan tingkat kepercayaan 95%. Sementara unit sampling primer survei (PSU) ini adalah desa/kelurahan dengan jumlah sampel masing- masing 10 orang di 122 desa/kelurahan yang tersebar di Indonesia.

Adapun sampel dipilih sepenuhnya secara acak (probability sampling) dengan menggunakan metoda penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling), dengan memperhatikan urban/rural dan proporsi antara jumlah sampel dengan jumlah pemilih di setiap provinsi. (OL-13)

 

Sumber: mediaindonesia.com | Politik dan Hukum

 

Survei Charta Politika: Kepercayaan pada Jokowi Terus Menurun Sepanjang 2022

TEMPO.CO, Jakarta – Survei Charta Politika menyebut tingkat kepercayaan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menurun sepanjang 2022. Pada awal Januari, tingkat kepercayaan menyentuh angka 84,9 persen, lalu menurun pada Februari 2022 menjadi 81,0 persen, dan terakhir di angka 75,8 persen di bulan April 2022.

“Dilihat dari sisi tren, hampir semua lembaga negara mengalami penurunan pada survei April ini. Penurunan terbesar kecenderungannya terjadi di lembaga Presiden,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya dalam webinar Senin, 25 April 2022.

Dalam survei kali ini, Charta Politika melakukan survei terhadap 1.220 responden dengan margin of error 2,83 persen. Survei dilakukan dengan metode random sampling selama sepekan, yakni pada 10-17 April 2022 di setiap provinsi seluruh Indonesia.

Dari hasil survei tentang tingkat kepercayaan terhadap lembaga tinggi negara, institusi TNI berada di nomor urut satu dengan 85,2 persen, nomor dua Presiden dengan angka 75,8 persen, Polri 70,7 persen, dan KPK 69,9 persen.

“Untuk Polri ini pola baru (berada di urutan ketiga). Biasanya Polri ini di zaman ketika kita bicara KPK masa lalu, saat kepercayaan kepada KPK masih tinggi, biasanya Polri di bawah KPK,” kata Yunarto.

Sementara untuk tiga institusi nomor buncit ada DPR RI, DPD RI, dan MPR RI. Yunarto menyebut lembaga legislatif kerap menjadi langganan institusi paling tak dipercaya masyarakat di setiap survei lembaga kredibel. Adapun penurunan kepercayaan pada Presiden Jokowi terjadi sepanjang 2022 ini.

 

Reporter: M Julnis Firmansyah
Editor: Kukuh S. Wibowo
Sumber: Tempo.co
Foto: ANTARA/Rosa Panggabean