Jebakan Disinformasi dalam Ruang Demokrasi

Ruang demokrasi di Filipina tengah disesaki beban kemenangan Bongbong Marcos pada pilpres 9 Mei 2022 lalu. Meskipun mendiang ayahnya, Ferdinand Marcos, penguasa diktator Filipina (1965-1986) tercatat buram, tapi justru Bongbong mampu meraup lebih dari 31 juta suara.

Bongbong berpasangan dengan Sara Duterte. Dan, perkawinan dua dinasti raksasa (Marcos dan Duterte) itu dianggap sebagai jalan tol yang mengantar mereka bertahta di istana Malacanang. Di luar faktor dinasti, terdapat ramuan politik yang terbukti manjur di tangan Bongbong, yakni jebakan disinformasi.

Dalam lensa sederhana, disinformasi merupakan penyebaran informasi bohong secara sengaja untuk menyesatkan publik. Menutup rapat-rapat fakta yang sebenarnya, lalu memunculkan konten palsu, itulah inti dari apa dan bagaimana disinformasi beroperasi di arena politik praktis.

Para aktor politik tentu menyadari bahwa perang informasi di jagad media sosial ikut menentukan kendali penguasaan opini publik. Teknologi digital yang memengaruhi proses demokrasi, seperti diutarakan Fabrizio Gilardi (2016) bukan sekadar isapan jempol belaka.

Disinformasi bertalian dengan hoaks dan berita palsu (fake news) hingga semburan kebohongan (firehose of falsehood). Efek dari proliferasi disinformasi politik tampaknya sangat berbahaya, apalagi memasuki laga pascakebenaran (post-truth). Dalam masyarakat politik pascakebenaran, sensasi lebih mengemuka ketimbang substansi; perasaan, keyakinan dan emosi pribadi lebih mengedepan ketimbang fakta obyektif.

Dsinformasi post-truth juga berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting (Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, 2021).

Formula Bongbong

Bongbong memanfaatkan secara saksama kampanye digital berbasis disinformasi, meskipun dalam tempo yang lumayan lama. Pola yang sama juga dipakai oleh Donald Trump yang memenangkan pertarungan pilpres di Amerika Serikat 2016. Tim kampanye Trump mengeksploitasi emosi massa melalui parade kepalsuan di berbagai saluran media sosial.

Dalam kasus politik Filipina, potret buram Ferdinand Marcos dibersihkan melalui penulisan buku-buku sejarah serta sketsa biografis, yang intinya merehabilitasi citra Marcos yang korup. Video editan yang mengglorifikasi Marcos, lantas mendominasi ruang publik digital Filipina. Semua kanal media sosial dibombardir dengan konstruksi citra baru Marcos yang serba heroik.

Kenyataan eviden seputar perilaku koruptif Ferdinand Marcos mengalami distorsi. Fakta politik yang mapan pun mengalami jungkir balik. Narasi yang teramplifikasi bahwa masa kepemimpinan Marcos selama dua dekade itu dikesankan seolah-olah momen kejayaan Filipina. Pesan yang mengudara: kembalinya masa lalu (the return of the past).   

Di mata pendukung yang tercuci otaknya, Marcos lama seperti lahir kembali (reborn), terbangun image sebagai representasi rezim stabilitas dan kemakmuran. Itulah efek destruktif dari disinformasi yang massif, lalu menembus jendela otak pemilih. Preseden politik Filipina 2022 sungguh mencengangkan eksponen aktivis prodemokrasi.

Jejak kebangkitan klan politik Marcos itu, agaknya membawa embusan angin psikopolitik di Tanah Air. Formula Bongbong bisa saja direplikasi oleh politisi dengan pola yang variatif. Bagi para pendukung Soeharto, penguasa Orde Baru (Orbais), misalnya, presiden kedua RI itu akan dipromosikan oleh loyalisnya sebagai “Bapak Pembangunan”.

Sementara di mata kaum reformis, Soeharto setali tiga uang dengan Ferdinand Marcos: diktator korup, pelanggar HAM dan antidemokrasi. Di sinilah perang narasi, kontranarasi, propaganda dan kontrapropaganda akan beradu. Dalam kancah pasar bebas politik, semua faksi dari beragam wajah, aliran, dan motif ikut membonceng demokrasi, sembari menginjeksi kepentingannya. 

Merawat Demokrasi

Dalam pola lain, disinformasi acapkali diedarkan oleh aktor gelap untuk menciptakan distrust publik terhadap tokoh, organisasi ataupun lembaga tertentu. Pada pilpres 2014, modus operandi disinformasi digunakan oleh pemain politik untuk mendiskreditkan lawan politik. Targetnya adalah mengggeser persepsi pemilih dari like menjadi dislike, atau sebaliknya, terhadap kandidat tertentu. Belum lagi cap-cap purbawi untuk saling mengantagoniskan rival politik: antek komunis, agen khilafah, dan sebagainya. Benar itu soal lain, yang penting heboh.

Di tengah penyerbukan silang antara internet dan politik, portal berita online abal-abal bertumbuh liar. Penulis-penulis hantu berakun anonim bergentayangan di mana-mana. Maka, lahirlah asasinasi politik terhadap individu dan kelompok yang disasar oleh fitnator untuk kepentingan parsial.

Tak hanya itu, disinformasi juga dipake oleh kelompok intoleran-ekstremis untuk memproduksi kecemasan massal. Lapak bisnis ujaran kebencian (e-hate business) membludak tak karuan. Para provokator membidik massa sumbu pendek yang gampang terbakar emosinya. Misinya sama: menipu publik dengan kabar dusta, mengadu domba antarwarga dengan berita palsu.  

Tungku republik nyaris membara pula pada pilpres 2019. Bahkan lembaga penyelenggara pemilu menjadi sasaran tembak para perusuh melalui “senjata” disinformasi. Fitnah mengular untuk mendelegitimasi KPU, seperti rumor tujuh kontainer surat suara yang katanya tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, ternyata kabar bohong belaka.

Karena itu, ancaman disinformasi politik menjelang pemilu 2024 perlu perhatian serius. Kalau tidak dimitigasi oleh pihak yang otoritatif, sayap kupu-kupu disinformasi yang mengepak di Filipina, berpotensi memicu badai di Indonesia, merujuk Edward Norton dalam teori efek sayap kupu-kupu (butterfly effect).

Pemilu 2024 akan menjadi pertaruhan masa depan demokrasi. Pelaksanaan dan pengawasan pesta demokrasi memang domain KPU dan Bawaslu, tapi kelompok masyarakat sipil, media massa dan agensi media sosial mesti berpartisipasi untuk menjernihkan ekosistem demokrasi. Aparatur pemerintah dapat bertindak tegas lewat Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hari-hari ini ditandai dengan bulan madu untuk menikmati kebebasan sipil dan demokrasi. Tetapi ironisnya, produsen dan distributor disinformasi turut meracuni berkah reformasi itu. Mau dibawa kemana demokrasi kita yang sedang terkonsolidasi ini?

Patut direnungkan dalam konteks demokrasi termutakhir, kepuasan publik memang meningkat, berdasarkan hasil rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Mei 2022. LSI menemukan sebesar 57,8 persen publik mengaku puas dengan praktik demokrasi di Indonesia, sekitar 35 persen mengaku kurang puas atau tidak puas.

Tahun 2021, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks Demokrasi di 165 negara. Skor perkembangan demokrasi Indonesia bertengger di peringkat ke-52 dunia (6,71). Posisi Indonesia lumayan naik dibandingkan 2020 (6,30) maupun 2019 (6,48).

Angka-angka itu memang melenakan, tapi PR besar kita ke depan yang urgen adalah bagaimana lalu-lintas percakapan di dunia maya dan dunia nyata berbasis pada diskursus yang rasional, khususnya tentang politik dan kepemiluan, yang terinformasikan dengan proper. Benar bahwa iklim kehidupan berdemokrasi masih berjalan sesuai jalur, tapi segi-segi kelemahannya (sekian paradoks) perlu kita benahi dalam praktiknya di palagan elektoral, terutama menyehatkan ruang demokrasi agar tidak terjebak disinformasi.

 

Mawardin;
peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Kumparan, 7 Juni 2022
Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *