Pernak-pernik Perombakan Kabinet

Spekulasi perombakan kabinet kembali menyeruak seiring anjloknya tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah. ”Reshuffle” diperlukan untuk memperkuat dukungan politik dan meningkatkan kinerja pemerintahan Jokowi.

Spekulasi bakal adanya perombakan Kabinet Indonesia Maju jilid tiga timbul tenggelam sejak Oktober silam.

Akankah kali ini kembali sekadar wacana? Mulanya, reshuffle ini diyakini bakal terjadi Oktober/November lalu seiring dua tahun pemerintahan Jokowi-Amin.

Wacana itu seketika meredup setelah rilis berbagai lembaga survei menunjukkan tingkat kepuasan publik kepada pemerintah naik tajam. Temuan Charta Politika, kepuasan publik melenting dari 62,4 (Juli 2021) ke 70,1 persen (November 2021).

Kali ini, spekulasi perombakan kembali menyeruak. Pasalnya, tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan anjlok dari 71,7 (Januari 2022) ke 62,9 persen (April 2022). Kepuasan terhadap kinerja kabinet bahkan jauh lebih rendah lagi, 50,1 persen. Tak heran, tujuh dari 10 responden mendukung perombakan kabinet.

Perbedaan popularitas (baca: tingkat kepuasan publik) antara Jokowi dan kabinet menunjukkan publik melakukan evaluasi secara berbeda. Ini mirip temuan Panagopoulos (2007) di AS terkait popularitas Menlu (Colin Powell) dan Presiden (George W Bush).

Dalam hal ini, popularitas Powell lebih ditentukan oleh peliputan media tentang aktivitasnya, sementara popularitas Bush terutama karena faktor makro-partisan dan keadaan ekonomi. Jokowi perlu berhati-hati karena situasi politik bisa saja mengubah cara publik melakukan evaluasi. Buruknya kinerja menteri akan dinisbahkan pada kinerja dirinya.

Lebih dari sekadar problem popularitas, pilihan reshuffle juga untuk mengantisipasi/merespons potensi guncangan yang tak diharapkan. Camerlo dan Perez-Linan (2015a) membedakan dua tipe guncangan.

Pertama, protes sosial merujuk pada kebijakan yang menimbulkan polemik tajam/kontroversial di mata publik. Kedua, skandal media yang merujuk perilaku melawan hukum pejabat publik, seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan pendekatan berbeda, guncangan itu dapat dibedakan seturut efeknya. Menurut Martinez-Gallardo (2014), ada guncangan yang punya efek politik (pemilu, pilkada, approval rating) dan guncangan yang punya efek kebijakan (bencana alam, krisis ekonomi, dan lainnya).

Dalam konteks pemerintahan Jokowi-Amin, ada beberapa guncangan yang masih perlu dimitigasi terkait kebijakan. Mulai dari penanganan minyak goreng, investasi bodong, penundaan pemilu/presiden tiga periode, hingga pembangunan ibu kota negara baru. Administrasi Jokowi juga perlu menyiapkan skenario alternatif manakala perang Rusia-Ukraina terus berlanjut, selain melanjutkan mitigasi pandemi Covid-19.

Yang lebih tak terukur dan sangat dinamis, mengantisipasi guncangan yang punya efek politik. Persisnya yang berkenaan dengan kontestasi 2024, baik di tingkat internal koalisi maupun aksi politik kalangan oposisi. Polarisasi politik diprediksi bakal diperuncing, konflik horizontal akan “dipromosikan”.

Pada titik ini, cukup masuk akal untuk segera mengaktifkan kebijakan reshuffle. Menurut Camerlo dan Perez-Linan (2015b), reshuffle sebagai pengaturan ulang alokasi jabatan menteri bertujuan memperkuat dukungan politik (agar ada keteraturan jalannya pemerintahan), meningkatkan kemampuan teknis para pembantunya (kompetensi), dan menghadirkan menteri yang sepreferensi dengan presiden, baik secara ideologis maupun karena kedekatan personal (loyalis).

Ada dua tema besar yang perlu dicermati: motivasi partai dan seleksi menteri.

Motivasi partai

Sungguhpun secara konstitusional Jokowi adalah formatur tunggal pembentuk/perombak kabinet, realitas politik berbicara lain. Jokowi perlu konsultasi/bernegosiasi dengan partai-partai yang jadi pilar pemerintahan koalisinya. Sebab, dalam konteks sistem presidensial multipartai, perombakan harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi legislasi pemerintah (Amorim-Neto dan Samuels, 2010).

Naif jika berharap Jokowi mau ngotot mengeksekusi hak prerogratifnya secara unilateral. Secara konstitusi, posisi presiden tidaklah cukup kuat (tak punya hak veto, berbagai penunjukan politik harus ada persetujuan DPR, dan tak memadai untuk menjalankan pemerintahan bertumpu pada dekrit).

Pertukaran politik jadi keniscayaan: memberi kursi menteri dan fokus kebijakan pada partai koalisi sebagai imbalan atas dukungan penuh partai di DPR selama ini.

Jokowi perlu mempertimbangkan motivasi partai koalisi. Ini berhubungan dengan kalender pemilu. Pada awal pemerintahan, partai koalisi lebih termotivasi pada jumlah menteri dan pos kementerian yang bisa didapat serta agenda kebijakan yang selaras dengan kepentingan politiknya.

Sebaliknya, semakin mendekati jadwal pemilu berikutnya, partai lebih mengedepankan kepentingan mendulang suara sebanyak-banyaknya. Tatkala petahana presiden tak dapat mencalonkan diri lagi, partai akan lebih egois dalam artian lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri (Altman, 2000).

 

Faktor popularitas presiden juga jadi pertimbangan. Partai cenderung lebih termotivasi keluar dari koalisi jika tingkat kepuasan publik terhadap kinerjanya terus merosot. Dan yang juga menentukan adalah motivasi partai menjadi partai koalisi dari capres yang mereka prediksi bakal jadi pemenang pada 2024.

Di atas kertas, partai akan memilih keluar dari koalisi jika biaya politiknya lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Namun, realitas politik tidaklah hitam putih.

Partai bisa saja memilih strategi ”teman tapi menikam” (bertahan di koalisi dengan orientasi sangat pragmatis dan menerapkan disiplin berkoalisi yang rendah di kabinet/parlemen) atau ”membakar lumbung” (bertahan di koalisi tapi terus memprovokasi Jokowi agar mengeluarkan mereka dari koalisi sehingga bisa mengaktifkan peran ”jadi korban”). Pilihan ketiga, keluar dari koalisi secara sportif seperti dilakukan PAN di era Jokowi-JK.

Meski demikian, efektivitas keluar dari koalisi juga dipengaruhi faktor waktu. Semakin jauh jaraknya ke pemilu berikutnya, keluar dari koalisi semakin baik karena ada waktu yang cukup untuk rebranding. Sebaliknya, semakin mendekati pemilu, pilihan ini semakin tidak menarik. Partai sulit melakukan rebranding. Pemilih juga akan menilai partai tak tulus dalam mengubah posisi politik.

Partai cenderung lebih termotivasi keluar dari koalisi jika tingkat kepuasan publik terhadap kinerjanya terus merosot.

Seleksi menteri

Reshuffle pada akhirnya adalah soal bagaimana mengeliminasi menteri yang buruk, tak kompeten, tak loyal, dan atau jarak ideologinya terlalu jauh dengan presiden (Indridason dan Kim, 2008). Namun, pergantian menteri tak sesederhana memecat karyawan dan menggantinya dengan pekerja baru.

Dalam konteks pemerintahan koalisi, presiden perlu mempertimbangkan usulan atau keberatan dari partai pendukung. Pada tingkat mikro, presiden perlu mempertimbangkan motivasi individu seorang menteri.

Ini berkenaan dengan relasi antara presiden selaku pendelegasi mandat dan menteri sebagai penerima mandat. Relasi ini berpotensi menimbulkan apa yang disebut Strøm (2000) sebagai problem penerima mandat (agency problem). Hal ini terjadi manakala menteri bertindak tak sesuai kepentingan pemimpin puncak eksekutif, baik karena berkinerja lebih rendah dari yang diharapkan dan atau sengaja menyabotasenya.

Mengikuti Dowding dan Dumont (2015), agency problem bisa dibedakan jadi tiga.

Pertama, agency rent: menteri tak bekerja efisien dan efektif. Ini bisa lantaran presiden tak cukup punya informasi tentang kompetensi menterinya atau kualifikasi menteri tak sesuai mandat yang diterima. Atau menteri tak memiliki preferensi yang sama dengan presiden sehingga berinisiatif melakukan pemangkasan/pergeseran kebijakan.

Kedua, adversial selection: menteri yang terpilih bukan yang diinginkan/dibutuhkan presiden. Ini bisa karena ketersediaan menteri yang disodorkan, ada rintangan yang menyebabkan figur berkompetensi tinggi tak mungkin dipilih, hingga kalkulasi faktor representasi. Dalam konteks reshuffle, situasi juga merujuk manakala presiden menyingkirkan menteri yang populer di mata publik atau mencopot menteri yang dibutuhkan karena pertimbangan di luar faktor kompetensi.

Ketiga, moral hazard: menteri secara sadar mengambil inisiatif yang berlawanan dengan preferensi presiden dengan keyakinan risikonya jauh lebih rendah ketimbang benefit yang bakal diperolehnya. Ini termasuk kalkulasi bahwa presiden akan memberi perlindungan karena mempertimbangkan reputasi pemerintahan secara keseluruhan. Atau sengaja dibiarkan presiden dengan kalkulasi jika tindakan menteri itu berhasil akan memberi citra positif terhadap pemerintah, sebaliknya jika gagal presiden juga memiliki ”kambing hitam”-nya.

Untuk memitigasi agency problem, Martinez-Gallardo dan Schleiter (2014) mengusulkan presiden lebih mengedepankan menteri nonpartisan karena secara politik mereka punya dua ”bos”: presiden dan (ketua umum) partai. Namun, dalam pandangan saya, ini faktualnya juga sangat mungkin terjadi pada menteri nonpartisan yang termotivasi membangun karier politik sebagai menteri dan atau menyiapkan diri sebagai pejabat.

Sinyal kebijakan

Agency problem jadi salah satu sumber utama kritik publik pada kinerja Kabinet Indonesia Maju (KIM). Karena itu, perombakan juga jadi proksi bagi publik untuk mendeteksi kemungkinan arah perubahan kebijakan pemerintahan Jokowi-Amin.

Sekurangnya, ada empat isu yang bisa jadi acuan sinyal itu. Pertama, isu klasik berupa keseimbangan komposisi menteri partisan dan nonpartisan. Jika Jokowi ingin tetap mempertahankan dukungan legislatif seperti sekarang, niscaya alokasi menteri partisan tak akan berkurang jika sulit untuk ditambah. Masalahnya, menteri partisan telanjur distempel bukan seorang ahli.

Terkait itu, ada perspektif alternatif yang ditawarkan Beckman (2006). Status keahlian tak semata dilihat dari latar belakang profesional/pendidikan. Politisi berpengalaman di parlemen juga harus dimaknai sebagai figur kompeten. Pilihan memperkuat legislasi di DPR bisa dilakukan tanpa terlalu banyak mengorbankan aspek kompetensi. Jika ini pilihannya, pekerjaan rumahnya adalah mengomunikasikan pandangan ini ke publik.

Kedua, besaran reshuffle atau jumlah menteri yang diganti/dirotasi. Semakin sedikit, semakin rendah daya jungkitnya untuk kembali melentingkan kepuasan publik pada kinerja kabinet. Ini terjadi pada perombakan jilid dua yang hanya sekadar mengutak-atik kelembagaan dengan menempatkan figur yang sudah ada dari kementerian/lembaga setingkat menteri.

Menteri ”rasa capres” ini jadi sorotan karena dianggap memiliki dua agenda dalam kerjanya.

Ketiga, sikap Jokowi terhadap beberapa menteri yang saat ini sudah masuk bursa capres 2024, seperti Prabowo Subianto, Erick Thohir, Airlangga Hartarto, dan Sandiaga Uno. Menteri ”rasa capres” ini jadi sorotan karena dianggap memiliki dua agenda dalam kerjanya.

Jika mereka tetap dipertahankan, ini bisa dimaknai sebagai pilihan Jokowi untuk menggunakan strategi ruang bersama. Bahkan bisa dimaknai Jokowi-lah yang mendorong mereka maju di kancah capres.

Persisnya, Jokowi mengandaikan adanya situasi moral hazard atau agent rent dengan rentang risiko yang terprediksi atau masih bisa ditoleransi. Para menteri ini sekurangnya diyakini punya kepentingan agar KIM berkinerja tinggi dan pada saat bersamaan juga berkepentingan untuk unjuk pencapaiannya. Strategi ruang bersama ini tak ubahnya model tanam tumpang sari: visi presiden tetap terjaga, prestasi menteri dapat terakui.

Keempat, seberapa besar peluang Jokowi kembali menghadirkan kejutan. Kejutan bisa berupa pengabaian status quo terkait representasi pos kementerian tertentu. Ini pernah dilakukannya tatkala Kemendikbud tak dialokasikan untuk representasi Muhammadiyah, Kementerian Agama tak dialokasikan untuk NU, dan Kementerian Kesehatan diberikan kepada figur non-kedokteran.

Kejutan lain bisa berupa perekrutan figur capres/cawapres yang saat ini masih ada di luar pemerintahan. Di luar itu, dikaitkan dengan kebutuhan menghadirkan aura kompetensi lebih kuat, Jokowi mungkin saja memanggil kembali mantan menteri, baik era pemerintahannya maupun era presiden sebelumnya.

Antisipasi

Di atas kertas, reshuffle berfungsi untuk mempromosikan kinerja yang lebih baik. Tapi, bahkan sebelum menteri baru bisa efektif bekerja, publik sudah menilai menteri-menteri pilihan Jokowi. Karena itu, menjadi krusial bagi menteri baru secepatnya unjuk kinerja. Setidaknya berupa capaian kecil (quick wins) yang bisa membangkitkan optimisme publik. Problemnya, menteri baru butuh waktu beradaptasi dengan tugas dan personel di kementeriannya. Semakin dini mereka bersiap/disiapkan, semakin baik.

Antisipasi berikutnya terkait mitigasi terhadap agency problem. Meski seandainya Jokowi memilih strategi ruang bersama, situasi agency rent ataupun moral hazard tetap perlu dikendalikan agar biaya kebijakannya terprediksi. Salah satunya dengan menyiapkan atau memperbarui kontrak kerja koalisi ataupun menteri secara individual.

Pada tahap operasional, perlu perbaikan sistematis terkait monitoring, sinergitas, dan responsivitas kementerian.

Penting bagi KIM memperbaiki pendekatan komunikasi kebijakan yang selama ini terkesan terlalu politis sehingga pilihan kebijakan tak terjelaskan secara komprehensif.

Salah satu quick wins dari situasi ini adalah menghadirkan juru bicara baru yang secara khusus bertugas mendeskripsikan substansi kebijakan publik yang dipilih pemerintah, dan bukannya sibuk ikutan terjebak dalam pro-kontra politik terkait kebijakan.

Dan, akhirnya reshuffle ketiga harus disiapkan sebagai fondasi untuk mengantisipasi reshuffle berikutnya. Politik itu selalu dinamis dan tak sepenuhnya bisa diprediksi. Nasihat lawas tetap relevan: sedia payung sebelum hujan.

 

Yunarto Wijaya,
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia
Opini Kompas, 18 Mei 2022
Ilustrasi: Didie SW

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *