Survei Charta Politika: TNI dan Presiden Jadi Lembaga Paling Dipercaya

Jakarta, Beritasatu.com – TNI dan Presiden menjadi lembaga tinggi negara yang paling dipercaya masyarakat. Hal itu terungkap dalam temuan survei nasional terkait kepercayaan terhadap lembaga tinggi negara yang dilakukan Charta Politika Indonesia.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan, ada 7,2 persen masyarakat yang sangat percaya dan 77,1 persen cukup percaya pada TNI. Kemudian presiden ada di urutan kedua dengan persentase 5,9 persen masyarakat sangat percaya dan 77,3 persennya cukup percaya.

“Presiden dan TNI dinilai responden sebagai lembaga tinggi negara yang paling dipercaya,” ujar Yunarto melalui keterangan tertulis, Selasa (30/3/2021).

Posisi ketiga ada Polri yang menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat dengan 5,5 persen sangat percaya dan 65,3 persen cukup percaya. Kemudian disusul KPK di posisi keempat dengan persentase 6,4 persen masyarakat cukup percaya.

“KPK 66,1 persen masyarakat cukup percaya,” kata Yunarto.

Sementara itu, MPR 2,6 persen sangat dipercaya, Kejaksaan Agung 2,3 persen sangat dipercaya dan DPR 1,6 persen sangat dipercaya.

Metode survei yang digunakan metode sampling pengacakan sistematis sebanyak 1.200 responden. Toleransi kesalahan (margin of error) sekitar 2,83 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Survei dilakukan pada 20-24 Maret 2021. Responden merupakan warga negara Indonesia yang berusia di atas 17 tahun.

Oleh : Yudo Dahono / YUD

Mengobati Disfungsi Partai Politik

Ibarat lagu lama yang diputar ulang, konflik internal partai politik (parpol) kerap melekat dalam dinamika kepartaian kita. Belum usai prahara yang menerjang Partai Demokrat pasca Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, kini muncul suara lamat-lamat wacana KLB PKB.

Jika jarum sejarah diputar ke belakang – sejak orde lama, orde baru hingga era reformasi – nyaris semua parpol mengalami nasib serupa.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa sebagian parpol masih mengalami disfungsi. Penyakit amoeba politik, konflik dan fragmentasi politik tetap bermutasi.

Riwayat yang jamak kita dengar adalah faksi-faksi tertentu di parpol yang merasa tidak terakomodasi, lantas berselisih jalan dengan pimpinan teras partai. Keseimbangan menjadi terganggu, apalagi melibatkan campur tangan unsur luar partai, tentu gonjang ganjing internal kian membara.

Di sisi lain, tata kelola partai kurang tanggap terhadap geliat demokratisasi internal. Kanalisasi demokrasi partai terkadang tersumbat lantaran “orang-orang kuat” di partai yang cenderung menghambat gerak vertikal kader-kader potensial.

Suksesi kepemimpinan partai pada level DPD dan DPC di daerah-daerah, kerap terdengar “diintervensi” pula oleh lingkaran elite pusat. Inilah yang disebut oleh para pakar sebagai kekuatan oligarki yang mencengkram parpol.

Merujuk Jeffrey Winters (2011), dimensi pertama, oligarki memiliki dasar kekuasaan – kekayaan material – yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Kedua, oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas.

Dalam batas tertentu, terjadilah apa yang dikatakan Slater (2004) sebagai demokrasi kolusif (collusive democracy). Hal itu saling menopang dan bertemu dengan ulasan Robison dan Hadiz (2004) menyoal pembajakan oligarki dalam demokrasi dan parpol di Indonesia.

Respons kader internal terhadap gaya kepemimpinan parpol juga beragam. Ada parpol yang menerapkan gaya kepemimpinan figur-sentris, aristokratik, sistem komando, bahkan familisme politik.

Tapi ada pula gaya kepemimpinan parpol yang egalitarian, demokratik dan teknokratik. Sementara partai berbasis Islam, ada yang bersifat tradisionalis, modernis bahkan konservatif.

Dalam kasus maraknya konflik intra parpol memperlihatkan sebuah paradoks. Polemik yang mengedepan justru bercorak elitis, membelakangi hajat hidup publik. Elite terperangkap dalam kesibukan mengatasi gejolak internalnya sendiri.

Gontok-gontokan antar elite merepresentasikan gejala impotensi ideologi dan pudarnya politik nilai. Arah politik pun mengalami disorientasi. Padahal ideologi dan platform bisa menjadi perekat antar anggota, kader dan pengurus partai.

Kehendak untuk memperjuangkan cita-cita politik bersama, terhalang lantaran disandera oleh elite yang menyulap parpol seperti pasar, transaksi jabatan.

Akibatnya, saling serang untuk merebut mahkota kepengurusan partai begitu menonjol. Seturut itu, elite-elite yang bertikai saling mengantagoniskan satu sama lain. Bongkar-membongkar aib politik terus memantik kegaduhan.

Jika lakon politik ‘gila’ masih diadopsi oleh elite, maka tak salah seorang penyair kawakan dari Inggris, Alexander Pope menyebut: “party is the madness of many for the gain of a few (partai itu kegilaan banyak orang untuk kepentingan sedikit orang)”.

Disfungsi Parpol

Kalau ditelisik secara mendasar, parpol sejatinya terlahir sebagai pilar demokrasi untuk menghubungkan kehendak publik dengan negara. Signifikansi keberadaan parpol terletak pada fungsinya sebagai sarana pendidikan politik, komunikasi politik, rekrutmen, artikulasi politik, dan sarana pengatur konflik.

Perseteruan intra partai dewasa ini mencerminkan gejala disfungsi parpol yang akut. Ironisnya, mekanisme penyelesaian konflik internal sesuai UU Parpol belum sepenuhnya konsisten dilaksanakan oleh kubu-kubu yang bertikai. Maka tak heran, persepsi publik terhadap parpol masih buruk, terutama di mata kawula muda.

Saking buruknya citra parpol maupun politisi, merujuk hasil survei Indikator Politik pada 4-10 Maret 2021 lalu, menunjukkan bahwa mayoritas 64.7% anak muda menilai partai politik atau politisi di Indonesia tidak terlalu baik dalam mewakili aspirasi masyarakat.

Reaksi publik bernada minor dari kalangan muda maupun publik secara umum, mesti disambut dengan lapang, lalu membenahi diri, sesegera mungkin menjalankan muhasabah politik.

Kemelut tingkat elite menunjukkan kemandekan demokrasi dan kebuntuan komunikasi. Konflik yang terus berulang harus menjadi refleksi-kritis bagi parpol agar mereformasi diri.

Dalam rangka reformasi parpol, sekolah kepemimpinan dan think-tank partai perlu diberdayakan sebagai wahana kaderisasi. Pemimpin parpol sebaiknya membumikan komunikasi yang persuasif, responsif dan akomodatif terhadap aspirasi kader dan cita-cita kolektif partai.

Begitu pula rekrutmen politik, prinsip-prinsip meritokrasi diarus-utamakan. Dinamika internal parpol pun terisi dengan terobosan gagasan programatik, bertautan dengan seni berpolitik yang berciri artikulatif untuk memajukan bangsa dan negara.

Konflik Fungsional

Untuk memahami sisi lain dari konflik parpol, kita bisa mengadopsi kategorisasi Allen C. Amason (Firmanzah, 2011) yang membagi konflik ke dalam dua hal, yakni konflik fungsional dan konflik disfungsional.

Konflik fungsional, dalam pandangan Amason, adalah konflik yang memberikan ruang dinamika dan tukar menukar ide dan gagasan. Dalam jenis ini, konflik menghasilkan hal-hal positif seperti keputusan yang semakin berkualitas dan masing-masing pihak diberikan kesempatan untuk berperan serta.

Sementara konflik disfungsional, menurut Amason, merupakan konflik yang berakibat pada hal-hal negatif seperti perang dan kehancuran. Biasanya jenis konflik ini tidak terkait dengan tugas dan pekerjaan, tetapi sudah masuk ke wilayah personal dan individu. Sehingga kritik kepada suatu institusi dianggap sebagai serangan kepada individu.

Pihak mana pun tentu ingin mengelola dan mengolah kekisruhan menjadi konflik fungsional ketimbang konflik disfungsional. Jika ingin berdampak konstruktif, konflik parpol mesti digeser lokusnya ke kontestasi ide dan politik nilai. Pengalokasian nilai dalam masyarakat, seperti kata David Easton.

Dalam proses pengambilan keputusan partai, mesti melibatkan semua unsur maupun spektrum pemikiran, menyaratkan partisipasi secara setara dan deliberatif. Begitulah indahnya berdemokrasi. Banyak kepala, berlimpah pula pikiran dan pandangan yang bergelayut.

Kritik itu vitamin. Menanggapi kritisisme kader bukan dengan pendekatan koersif, apalagi depak-mendepak, melainkan persuasif. Sekalipun terasa pahit, namun sungguh menyehatkan manakala organ parpol menampung dialektika ide-ide kritis. Harapannya, keputusan partai menyangkut agenda publik bermutu tinggi.

Sementara itu, konflik yang berlarut-larut bisa mengakibatkan saling serang antar individu dan faksionalisasi yang kontraproduktif di dalam tubuh parpol. Jika sudah masuk ke wilayah pribadi, maka urusannya bukan lagi soal seni memajukan organisasi, tapi tetek bengek daging dan tulang kekuasaan.

Penyakit disfungsi harus segera diobati. Suka atau tidak, parpol tetap dibutuhkan sebagai pilar demokrasi.

 

 

Mawardin Sidik

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Geotimes.id (https://bit.ly/2R9wA6P)
Sumber foto: Geotimes.id

Menakar Wacana Poros Partai Islam

Akhir-akhir ini, wacana pembentukan poros partai politik (parpol) Islam kembali mengemuka jelang kontestasi politik 2024. Usulan tersebut mencuat pasca-pertemuan sejumlah elite dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), juga disambut positif oleh Partai Bulan Bintang (PBB).

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang tergolong partai berbasis massa Islam disinyalir akan bergabung dalam Poros Islam. Sedangkan Partai Amanat Nasional (PAN) menolak ikut dengan alasan menghindari politik identitas agama.

Pasalnya, polarisasi politik sebagai residu dari pilpres 2014 dan 2019 belum sepenuhnya pulih total. Alasan senada dikemukakan oleh Partai Gelora. Partai Ummat juga memandang sinis rencana penjajakan ‘blok Islam’ itu.

Bagaimana menakar poros partai bernuansa Islam berkaitan dengan peluang elektoral dalam peta politik nasional?

Variabel PK(S)B

Dalam rilis survei nasional Charta Politika Indonesia (CPI) bertajuk “Evaluasi Kebijakan, Aktivitas Masyarakat dan Peta Politik Triwulan I 2021” menunjukkan, PKS dan PKB masuk posisi lima besar bila pemilu legislatif diselenggarakan ketika survei dilakukan pada 20-24 Maret 2021.

Peringkat atas masih diduduki partai berhaluan nasionalis. Secara berurutan, PDI Perjuangan menempati juara pertama dengan angka 20,7 persen, Partai Gerindra 14,2 persen, PKB 9,7 persen, PKS 8,2 persen, Partai Golkar 7,8 persen.
Sementara PPP berada di posisi buncit (2,2 persen), PAN (1,0 persen), kalah telak dibanding Partai Nasdem sebesar 5,4 persen, disusul Partai Demokrat 4,2 persen. Elektabilitas PBB hanya meraih 0,1 persen, Partai Gelora 0,2 persen, Partai Ummat 0,1 persen.

Tren elektabilitas PKS yang cukup tinggi memungkinkan posisi tawarnya menjadi aktor utama dalam poros Islam jika benar-benar terbentuk. PKS yang bercorak ‘muslim modernis’ itu berpeluang mengusung capres sesuai aspirasi partainya. Sedangkan cawapres dapat diambil dari PKB sebagai rumah politik kaum ‘muslim tradisionalis’. Bisa juga berlaku sebaliknya.

Semua simulasi di atas tergantung perolehan suara pada pemilu 2024. Gambaran yang menarik, kultur politik dan akar rumput kedua parpol (PKS, PKB) ini agak berjarak. Justru di situlah duet modernis-tradisionalis sangat mungkin diformulasikan.
Namun sekadar kehendak intrinsik saja tidak cukup. Sebab figur yang diusung harus memiliki elektabilitas yang menjanjikan. Lebih dari itu, menyaratkan sikap legowo dari semua elite parpol Islam untuk menerima takdir demokrasi yang berlaku.

Lantaran kepentingan yang kerap bersimpang jalan, tak menutup kemungkinan timbul resistensi dari partai Islam lainnya dengan asumsi mereka mendorong capresnya sendiri. Di sini komitmen kolegial dan ruang negosiasi bekerja. Alternatif lain, berkoalisi dengan kalangan eksternal yang prospektif secara elektabilitas.

Paras Poros Islam

Ketika usulan poros Islam mengedepan, kans untuk terwujud tak selalu berjalan mulus, bahkan terkesan usang. Lazimnya sebatas riuh sesaat jelang pemilu. Lagi pula mazhab Islam politik di Indonesia tidak bersifat monolitik. Ekspresi politiknya variatif, kompleks dan beraneka ragam. Perkara real-politik, tentu kepentingan lah yang bermain.

Lapisan elite politik Islam masih berimajinasi terkait romantisme Poros Tengah pada pilpres 1999, di mana Abdurahman Wahid (Gus Dur) berhasil diantar (sekaligus dimakzulkan) oleh koalisi partai Islam menuju kursi presiden RI yang dipilih oleh MPR. Adapun king maker-nya Amien Rais. Jelang pemilu 2014 lalu, dengan aktor yang sama, sempat menghangatkan kembali wacana pembentukan Poros Tengah Jilid II, tapi berakhir kandas.

Peta politik seketika berubah kala itu. Konfigurasi elite parpol Islam bertabrakan afiliasi dalam arena kandidasi pilpres 2014 maupun pesta demokrasi 2019. Sulit dipungkiri, konteks politik mutakhir berbeda dengan euforia awal reformasi yang masih kental dengan semarak politik aliran. Lagi pula, menurut ilmuwan politik Deliar Noer, bahwa mayoritas muslim adalah realitas sosiologis yang belum tentu bisa diwujudkan menjadi mayoritas politik.

Dikotomi partai Islam dan nasionalis sudah mentok. Kasak-kusuk teranyar, sebagian partai Islam malah menolak wacana poros Islam. Politik berkarakter ideologi galibnya terbonsaikan oleh pragmatisme kekuasaan. Parpol di Indonesia, mengacu pada Diamond dan Gunther (2001), kebanyakan berkategori electoralist party. Tujuannya ingin memenangkan pemilu.

Dalam percaturan alot dukung-mendukung capres dan cawapres, sangat relevan meminjam analogi Deng Xiaoping: tak masalah kucing itu berwarna hitam atau putih selama dia bisa menangkap tikus. Jika dimodifikasi, bunyinya “tak masalah kandidat itu berwarna Islam atau nasionalis selama dia bisa memenangkan pemilu dan pilpres”.

Catatan kritisnya, preseden politik partai-partai Islam selama ini yang terkesan ‘setengah hati’ berkoalisi akan dibayangi skeptisisme menyoal manuver elite ke depan. Bukan hanya sekadar minus tokoh simpul pemersatu, tapi juga gap psikologis secara ideologi politik di antara mereka.

Melampaui paras poros Islam, sejatinya yang mendesak adalah apa program yang ditawarkan oleh aktor politik Islam untuk memajukan negeri nan elok ini. Jadi, bukan sekadar soal label atau cover, tapi mengandung ruh dan substansi.

Jalan tengah

Sulit dihindari, manakala tesis politik berbasis agama dikencangkan, tentu memancing timbulnya antitesa dari poros kontra yang secara diametral berhadap-hadapan. Polarisasi pun tak terhindarkan. Aksi dan reaksi seperti itu malah menyeret akrobat politik elite ke dalam kubangan kontestasi simbol religi yang sensitif. Jika dosisnya berlebihan, maka arus bawah akan terbelah.

Fungsi pendidikan politik yang melekat pada parpol seyogyanya berorientasi pengayaan diskursus yang rasional menuju substansialisasi demokrasi. Politisi berlomba-lomba menawarkan program ril guna menyelesaikan hajat hidup publik secara konkret.Pakem pertautan yang selama ini mentradisi, yakni irisan nasionalis-religius, kombinasi ‘hijau’ dan ‘merah’ masih ideal dilirik sebagai jalan tengah.

Dalam konteks kekinian, pemilih rasional, khususnya generasi milenial, isu primordial agama bukanlah parameter utama. Publik justru melirik aspek ekonomi, kinerja partai dan kompetensi figur sebagai acuan dalam menentukan pilihan.

Fakta lain, banyak politisi yang lahir dari rahim organisasi Islam terlibat dalam partai-partai nasionalis seperti PDI-P, Golkar, Gerindra dan sebagainya. Dengan kata lain, kantong suara muslim pun tersedot di partai nasionalis sekuler. Apalagi komposisi kepengurusan diduduki pula oleh kader NU, Muhammadiyah, jaringan pesantren dan lain-lain.

Walhasil, partai nasionalis pun mengibarkan sayap organisasi Islam untuk meraup ceruk suara muslim. Karena itu, bagi elite dan aktivis parpol Islam akan lebih cantik manakala pasar elektoral diperluas jangkauannya. Saat bersamaan, pemimpin parpol Islam semestinya memperjuangkan agenda publik yang lintas agama, suku dan antargolongan.

Alam demokrasi memang menyediakan ruang yang lapang bagi bergulirnya ekspresi politik, tapi persatuan dan kesatuan bangsa yang plural ini mesti dijunjung tinggi. Jika benar cara kelolanya, maka sangat mungkin membawa kemaslahatan bangsa. Jika salah cara pegangnya, menyimpang dari etika politik, maka ketegangan yang memanas akan kembali membakar tungku republik.

Semoga refleksi ini menjadi bahan renungan bagi kita semua.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Kumparan
Sumber foto: anny Kusumawardhani/kumparan