Pilpres 2024 Bakal Lebih Kompleks, Ini Alasannya

JAKARTA, investor.id – Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan, pelaksanaan pemilu presiden (Pilpres) 2024 akan lebih kompleks dibandingkan Pilpres sebelumnya. Pasalnya, tidak ada lagi calon presiden incumbent, sehingga masuk di fase open election.

“Secara mindset, secara terminologi politik, situasinya akan jauh lebih kompleks dibandingkan sebelumnya. Kita masuk dalam fase yang disebut open election, situasi ketika incumbent tidak bisa maju kembali,” kata Yunarto dalam acara Investor Daily Summit 2022 sesi diskusi bertajuk “Understanding Indonesia’s Social Politic Landscape: Impact on Economic Growth and Investment Climate”, di Jakarta Convention Center, Jakarta, Selasa (11/10/2022).

Sebelumnya di Pilpres 2019, Joko Widodo (Jokowi) yang berstatus incumbent bisa maju kembali dalam pemilihan presiden, sehingga sebetulnya sudah terbaca siapa yang akan memenangkan Pilpres.

“Kalau 2019 Pak Jokowi bisa maju kembali, orang tahu yang namanya incumbent itu kampanye gratisan 5 tahun, berat melawan incumbent, sehingga kemudian sudah bisa terbaca apa yang akan terjadi dalam pemilu. Nah, libido yang tertahan di 2019, sekarang ini meledak. Jadi, seperti ada balas dendam, semua merasa ada haknya dan merasa punya peluang untuk jadi capres dan cawapres,” kata Yunarto.

Dalam open election, lanjut Yunarto, semua berjalan dengan sangat cepat dan konflik sangat mungkin bisa terjadi. Ia juga melihat polarisasi masih akan terjadi pada Pilpres 2024 karena memang polarisasi secara sosiologis tidak bisa terelakan. Di negara maju seperti Amerika Serikat pun, polarisasi juga masih terjadi akibat akses dari Pemilu.

“Polarisasi sulit untuk bisa kita anggap selesai di 2024, dengan pola yang itu-itu saja dan kubu yang itu-itu saja,” kata Yunarto.

Menurut Yunarto, yang kemudian menjadi masalah adalah ketika ada elit politik atau partai yang menggunakan perbedaan ini secara sosiologis untuk membakar ujaran-ujaran kebencian.

“Itulah yang harus kita tolak sebagai sebuah perilaku politik. Kita pernah melihat bagaimana sejarah politik Indonesia beberapa tahun terakhir di Pemilu 2014, Pemilu 2019 dan Pilkada 2017, itu bukan hanya menyisakan pertarungan di level elit atau relawan, tetapi tersisa menjadi sebuah pertentangan yang sifatnya horizontal di antara masyarakat,” ujarnya.

Yunarto mengatakan, karena polarisasi tidak bisa terelakan, seharusnya polarisasi atau perbedaan bisa dibuat menjadi lebih produktif, sehingga perdebatannya bukan pada hal-hal dasar terkait isu SARA.

“Perbedaan itu tidak bisa dihilangkan, dia pasti ada dalam dialektika sejarah manusia, bahkan di negara maju. Tetapi ketika belum menjadi capres pun sudah bertamunya ke kelompok yang jelas bahkan pernah terkena tindak pidana kriminal karena itu, bagaimana kita bisa berharap kesepakatan kita untuk kemudian membuat polarisasi itu lebih produktif. Polarisasi ada, tetapi bagaimana tugas kita membuat perbedaan itu menjadi produktif,” kata Yunarto.

 

Herman (redaksi@investor.id)
Editor: Lona Olavia (olavia.lona@gmail.com)
Foto: Investor.id
Sumber: https://bit.ly/3fOBjHl (Investor.id)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *