Refleksi Kritis 49 Tahun PDI Perjuangan
/0 Comments/in OpiniPartai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) telah merayakan hari lahirnya yang ke-49 tahun pada 10 Januari 2022. Usia partai banteng itu hampir mendekati kepala lima, setahun lagi menginjak usia emas ke-50. Pergumulan politik PDI-P yang penuh liku-liku mengingatkan kita pada istilah Tan Malaka: terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.
Dinamika Suara
Partai besutan Megawati Soekarnoputri itu pernah bergelut panjang di bawah tekanan rezim otoritarian Orde Baru. Megawati ibarat berlian yang ditempa oleh benturan-benturan politik yang keras sehingga tumbuh berkilau. Penggemar bunga itu dianggap sebagai sosok pendiam, namun sejatinya ia berkontemplasi untuk menyerap mega-mega politik di sekelilingnya.
PDI masa Orde Baru ditandai dengan pertarungan sengit antara kubu Soerjadi yang diakui pemerintah, melawan Megawati. Akibat tuntutan reformasi dari segala penjuru, penguasa Soeharto pun tumbang. Babak baru dimulai, dan bendera PDI Perjuangan berkibar, dideklarasikan sebagai transformasi dari PDI Pro-Mega. Pada pemilu pertama era reformasi, PDI-P mendulang suara sebesar 33,74%.
Kendati PDI-P sebagai pemenang pemilu 1999 itu, bukan berarti kursi presiden seketika bisa direngkuh dalam Sidang Umum MPR. Megawati semula di posisi wakil presiden, mendampingi presiden terpilih, Gus Dur. Pasca Gus Dur lengser, barulah Megawati menjadi Presiden RI, bahkan ia menjadi perempuan pertama di Indonesia yang menduduki jabatan presiden.
Laju kebangkitan kaum fundamentalis yang bersahutan dengan politisasi agama, lantas Megawati dihadang oleh segelintir orang melalui fatwa haram presiden perempuan. Tak hanya itu, PDI-P dicap dengan label negatif, mulai dari isu pro-komunis hingga Islam-fobia. Benturan demi benturan juga tercermin pada konflik internal di partai berbasis Soekarnois itu.
Beberapa politisi PDI-P yang menantang titah Megawati, kemudian mendirikan partai baru. Sebut saja Partai Nasional Benteng Kerakyatan (PNBK) yang digawangi Eros Djarot, Partai Indonesia Tanah Air Kita (PITA) yang diketuai Dimyati Hartono. Ada juga Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) yang diprakarsai Laksamana Sukardi dan Roy BB Janis. Tetapi, PNBK, PITA, dan PDP menelan pil pahit kekalahan.
Imbas dari migrasi kader tentu saja berpengaruh terhadap penggembosan suara PDI-P, walau tidak begitu signifikan. Belum lagi putri-putri Soekarno lainnya memakai baju partai yang berbeda. Ada PNI Marhaenisme pimpinan Sukmawati Soekarnoputri, juga Partai Pelopor pimpinan Rachmawati Soekarnoputri, tetapi keburu layu sebelum berkembang.
Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, keputusan menaikkan harga BBM, tarif dasar listrik, dan telepon menjadi santapan oposisi. Ironi lepasnya Sipadan dan Ligitan, Megawati yang disalahkan. Citra politik Megawati selaku petahana pun terbonsaikan dalam periode masa jabatan presiden yang begitu singkat.
Walhasil, pada Pemilu 2004, perolehan suara PDI-P menurun ke angka 18,53%. Sedangkan Pemilu 2009, suara PDI-P terus anjlok sebesar 14,03%. Di sisi lain, Partai Demokrat di bawah komando Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meraup kemenangan pada pemilu 2009 sebesar 20,04%.
Seiring perjalanan waktu, PDI-P kembali memenangkan pemilu berikutnya pasca kedigdayaan SBY mulai luntur. Di tengah kegalauan nasional, lalu meteor politik baru meluncur dari Solo, Jokowi. Pada Pemilu 2014, PDI-P meraih suara sebesar 18,95%. Ihwal itu juga berkat tirakat politik PDI-P tatkala memijak garis oposisi di era pemerintahan SBY.
Tampilnya Jokowi ke panggung politik nasional memberi kredit poin tersendiri bagi Megawati selaku King Maker. Efek Jokowi tampak bertuah, dan membawa hoki politik. Suara PDI-P melonjak naik menjadi 19,33% pada Pemilu 2019. Dalam konstelasi politik mutakhir, semakin ramai percakapan seputar suksesi kepemimpinan nasional menjelang Pemilu 2024.
Menyongsong Pemilu 2024
Pesta demokrasi 2024 akan menjadi tantangan PDI-P, apakah kian melesat atau meleset? Data survei dari Charta Politika (29 November – 6 Desember 2021) dan sejumlah lembaga survei kredibel lainnya menemukan elektabilitas Ganjar Pranowo bertengger di posisi paling top, saling salip dengan Prabowo Subianto. Elektabilitas PDI-P juga tertinggi.
Hasil survei persepsi bisa saja berubah di masa mendatang. Lagi pula, Pemilu 2024 masih lama dalam ukuran kalender politik. Artinya, ruang evaluasi dan inovasi siasat cukup terbuka bagi kader potensial untuk melentingkan elektabilitas. Modal elektoral PDI-P tentu sangat memadai lantaran basis massa yang solid dan infrastruktur politik yang mapan.
Tak bisa dimungkiri, kharisma Megawati sebagai solidarity maker ikut merekatkan soliditas kader di akar rumput. Terlepas dari terpaan suara bernada minor yang dialamatkan ke PDI-P, partai ini tergolong sukses menggembleng banteng-banteng unggulan menjadi pemimpin daerah maupun nasional yang kompetitif.
Habis Jokowi, terbitlah Ganjar Pranowo hingga Tri Rismaharini. Di kalangan intelektual PDI-P, terdapat Budiman Sudjatmiko, Zuhairi Misrawi, Arif Budimanta, dan sebagainya yang turut membangun diskursus pemikiran yang progresif. Termasuk Puan Maharani, bukan semata trah Soekarno, tapi juga berpengalaman di ranah eksekutif maupun legislatif.
Namun demikian, sulit dibantah adanya sebagian kader banteng yang terseret korupsi. Karena itu, pimpinan sentral PDI-P hendaknya menutupi celah permainan nakal politikus. Saat yang sama, penguatan manajemen risiko sangat urgen agar terhindar dari kasus rasuah.
Mencairkan Ketegangan
Salah satu citra yang kerap dilekatkan kepada PDIP adalah stigmatisasi “kiri” dengan makna peyoratif. Maka, PDI-P terbelenggu dalam relasi antagonistik dengan kubu Islam kanan. Namun demikian, Idris Thaha (2018) dalam disertasinya berjudul PDI Perjuangan dan Islam (Kajian atas Akomodasi Islam dalam Politik) menemukan justru PDI-P mengakomodasi aspirasi umat Islam di Indonesia.
Akomodasi politik itu, menurut studi Idris Thaha, antara lain, yakni akomodasi struktural di tingkat DPP PDI-P, akomodasi institusional dengan pendirian organisasi sayap (Bamusi), akomodasi elite partai dengan perekrutan aktivis Muslim dalam struktur DPP PDI-P dan menempati jabatan strategis seperti sekretaris jenderal, dan akomodasi aktivitas keagamaan dan regulasi bernomenklatur Islam.
Ketika PDIP-P mendirikan Bamusi (Baitul Muslimin Indonesia) dapat ditilik sebagai santrinisasi rumah kaum abangan tersebut. Hal ini tak bisa dilepaskan dari peran alm. Taufik Kiemas (TK) yang berdarah “Masyumi” untuk mencairkan ketegangan antara kutub nasionalis dan agamis. Meminjam istilah Buya Syafii Maarif, TK (alumni GMNI) serupa ‘masyumi berkepala banteng’.
Lalu apa selanjutnya? Nalar keislaman dan kebangsaan tak perlu dikontradiksikan lagi. Benar bahwa NKRI, pluralisme, toleransi, Bineka Tunggal Ika, dan sejenisnya harus diperjuangkan. Tetapi jangan lupa, konstituen PDI-P di pelosok-pelosok bisa dikatakan masih termarginalkan secara ekonomi. PDI-P yang membawa semangat marhaenisme ataupun nasionalisme kerakyatan seyogianya menajam ke bawah, lalu diterjemahkan secara praksis-operasional oleh para kader.
Maka, perjuangan kelas dalam bingkai keadilan sosial, mengatasi ketimpangan, mengangkat martabat wong cilik harus menjadi titik berat PDI-P ke depan. Dengan begitu, militansi kawula merah bukan sekadar di arena “culture war”, tapi juga terpantul dalam kebijakan ekonomi-politik yang berpihak pada kaum marhaen.
“Saya seorang nasionalis, tapi nasionalis marhaen, hidup dengan kaum marhaen, mati dengan marhaen”, kata Sukarno (1933) dalam Mencapai Indonesia Merdeka. Begitulah.
Mawardin,
peneliti Charta Politika
Sumber: https://bit.ly/3nz8KyG
Kumparan, 17 Januari 2022
Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Gibran Respons Hasto soal Pilgub DKI: Saya di Solo Aja
/0 Comments/in Liputan MediaJakarta, CNN Indonesia — Nama Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka kembali masuk dalam bursa calon Gubernur DKI Jakarta 2024. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyebut Gibran dan Menteri Sosial Tri Rismaharini berpeluang diajukan sebagai salah salah kandidat dari partai berlambang kepala banteng itu.
Hasto menilai keduanya memiliki potensi kuat lantaran memiliki rekam jejak yang baik sebagai pemimpin di daerah masing-masing. Terkait dengan Gibran, Hasto menyebut ia harus membuktikan keberhasilannya sebagai wali kota Solo.
“Saya di Solo aja. Ngrampungi gawean sik (menyelesaikan pekerjaan dulu). Isih okeh (masih banyak pekerjaan),” katanya usai mendampingi Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di Terminal Tirtonadi, Sabtu (8/1).
Selain PDIP, nama Gibran juga muncul dalam survei elektabilitas yang digelar Charta Politika Indonesia. Putra Presiden Joko Widodo itu menempati posisi teratas dengan elektabilitas mencapai 34,8 persen. Jauh meninggalkan Wakil Gubernur Jawa Tengah, Taj Yasin Maimun yang hanya dipilih oleh 9,3 responden.
Menanggapi survei tesebut, Gibran mengaku tidak pernah melihat survei yang kerap digelar sejumlah lembaga menjelang pemilihan kepala daerah atau presiden.
“Survei opo? saya nggak pernah lihat survei,” katanya.
Ia kembali menegaskan dirinya belum berpikiran untuk menapakkan karir politiknya ke jenjang yang lebih tinggi.
“Kita fokus kerjaan di Solo dulu kita rampungkan sampai tuntas, sampai selesai,” katanya.
Gibran juga enggan menjawab saat ditanya apakah akan melanjutkan jabatan Wali Kota Solo hingga dua periode.
“Mau satu periode, dua periode, itu yang menentukan warga. Yang milih warga,” katanya.
(syd/ain)
Foto: CNN Indonesia/ Rosyid
Sumber: https://bit.ly/3f25iI6
Sekolah Partai dan Pendidikan Politik
/0 Comments/in OpiniSehat dan sakitnya tubuh demokrasi sungguh bergantung pada gizi partai politik. Kader politik membutuhkan asupan kompetensi, kapabilitas, dan integritas agar mesin partai bergerak menyempurna sebagai agensi demokrasi. Keriuhan pesta pora demokrasi terkadang meluruhkan fungsi utama parpol sebagai sarana pendidikan politik.
Padahal, pembentukan kader-kader partai yang visioner mensyaratkan vitalitas pendidikan politik. Kaderisasi dan pendidikan politik menjadi satu tarikan napas. Merujuk Abernethy dan Coombe (1965), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terikat tidak bisa dipisahkan). Untuk mencetak kader politik mumpuni, mustahil mengandalkan cara-cara instan, melainkan perlu pendidikan khusus yang berjenjang dan berkelanjutan.
Signifikansi Sekolah Partai
Rekrutmen anggota partai besar-besaran dan ayunan politik massa seyogianya berbanding lurus dengan pendidikan politik yang terukur dan sistemik. Dalam konteks inilah, parpol mesti merevitalisasi sekolah partai sebagai kawah candradimuka bagi pemimpin nasional maupun lokal. Pejabat publik yang bekerja mewakili perwajahan partai memerlukan bekal-bekal keunggulan kognisi dan standar etik.
Sekolah partai menjadi ruang untuk menanamkan ideologi dan platform partai kepada para kader melalui dialektika gagasan, pertukaran makna, training kepemimpinan dan manajemen organisasi. Output-nya yaitu tata kelola politik menjadi profesional, dipenuhi debat alot yang bermutu, jauh dari tradisi konfliktual, apalagi tarung fisik.
Pejabat politik yang sarat prestasi adalah buah ranum yang kita harapkan dari signifikansi sekolah partai. Akal, tubuh, dan nurani politiknya terpancang kokoh dalam penegakan pakta integritas. Konsekuensinya, pejabat yang terjaring skandal korupsi, misalnya, wajib mengundurkan diri. Saat yang sama, pimpinan teras organisasi partai wajib memberikan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu.
Sekolah partai berfungsi sebagai laboratorium para kader agar memahami peta kebijakan agar terhindar dari petaka. Ketika aktivis partai tampil di hadapan publik, narasi yang terlontar mengandung bobot akademik, disertai sikap politik yang terpuji. Kalau masih bergentayangan politisi yang mulutnya berbisa, intriknya beracun, sepantasnya dikirim ke ‘klinik’ sekolah partai.
Setiap partai pasti ingin meraih kemenangan elektoral. Sebab itu, materi yang melingkupi strategi dan taktik politik akan melekat-kuat, namun harus dilapisi dengan internalisasi moral-etik, taat hukum, dan komitmen antikorupsi. Daya kreativitas pengambil kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan pun teraksentuasi di sekolah partai.
Jika api intelektualitas dinyalakan kepada peserta sekolah partai, maka politik dapat menggairahkan partisipasi warga negara, terutama kaum milenial dan perempuan. Partai dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan perguruan tinggi, lembaga think-tank dan NGO (non-governmental organization) untuk memperkaya konten sekolah partai.
Sekadar Perbandingan
Di Korea Selatan, sebuah partai feminis menggembleng khusus perempuan melalui sekolah politik. Materi-materinya seputar keahlian politik, strategi kampanye, termasuk isu-isu hak perempuan. Pendidikan politik yang bermarkas di Seoul ini juga merekrut mantan pejabat pemerintah daerah untuk membimbing aktivis partai dalam rangka menyongsong pemilihan kepala daerah 2022 di negeri ginseng itu.
PDI-Perjuangan, misalnya, sudah jamak menyelenggarakan Sekolah Partai Calon Kepala Daerah, ataupun Sekolah Partai Kepala Daerah pasca terpilih. Hampir semua partai tentu memiliki sekolah serupa dengan corak yang beragam. Untuk partai berlogo banteng itu, marhaenisme dan nasionalisme kerakyatan hendaknya diterjemahkan secara praksis-operasional oleh peserta sekolah partai sebagai ruh perjuangan di pelbagai lahan pengabdian. Begitu juga artikulasi politik dalam bingkai pluralisme terejawantahkan ke dalam sikap, dan perilaku politik.
Menurut Punchada Sirivunnabood (2016) dalam Political Education: The Role of Political Parties in Educating Civil Society on Politics, penyelenggaraan pendidikan politik bagi pemuda tidak boleh sebatas menghafal buku teks atau mendengarkan pembicara tamu atau tokoh politik utama saja, melainkan melibatkan anak-anak muda untuk berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan politik partai dan benar-benar berlatih di lapangan politik, misalnya membantu anggota DPR, mendukung kampanye pemilu, mengunjungi situs-situs politik penting untuk melihat proses operasional politik yang sebenarnya, dan sebagainya. Praktik ini dapat membantu kaum muda untuk memutuskan apakah mereka ingin bekerja di bidang politik atau tidak.
Kehadiran sekolah partai perlahan-lahan ikut membenahi postur organisasi politik. Inisiatif pendidikan politik yang dirintis sejumlah parpol patut diapresiasi. Lebih dari itu, transfer pengetahuan politik sebisa mungkin bersenyawa dengan suasana kebatinan generasi milenial dan pro-kesetaraan gender.
Salah satu sorotan yang menarik perhatian publik adalah beasiswa unik yang ditawarkan PDI-P. Spekulasi acak dari luar terkait bobot politis dari beasiswa itu sulit dimungkiri. Ihwal ini berkait dengan persyaratannya, bahwa tema riset nantinya berkaitan dengan studi banding terhadap kinerja antara Presiden Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kendati begitu, apapun motifnya, skema beasiswa dapat mendukung kajian akademis di partai.
Program pendidikan dalam bentuk beasiswa yang bernaung di bawah parpol sangat lazim di negara demokrasi, seperti Jerman. Misalnya, Friedrich Ebert Stiftung, yayasan pendidikan yang berafiliasi dengan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). Ada juga Friedrich Naumann Stiftung yang berafiliasi dengan Partai Liberal (FDP). Mereka membuka akses bagi intelektual muda ke kampus bonafid, kursus politik dan proyek penelitian.
Partai Golkar berinovasi melalui Golkar Institute yang fokus pada sekolah pemerintahan dan kebijakan publik. Kelahiran Golkar Institute bisa menjadi model konvergensi antara diskursus pemikiran, pewargaan teknokratik dan politik, sehingga proses pembuatan kebijakan berpedoman pada hasil riset. Pendidikan politik Partai Nasdem tergambar dalam Akademi Bela Negara (ABN) dengan jalan restorasi sebagai spirit dan gerakan politik.
Partai Demokrat mendirikan Akademi Taruna Demokrat. PKS sebagai model partai berbasis agama mengadopsi sistem tarbiyah dan liqo‘. Salah satu pendatang baru seperti Partai Gelora juga menyediakan Akademi Manusia Indonesia (AMI), dan Akademi Pemimpin Indonesia (API). Begitu juga sekolah parpol lain dengan ciri khas masing-masing.
Dari sekian variasi sekolah partai itu, titik berat yang urgen adalah memperkuat nalar kebangsaan para politisi. Selain itu, partai-partai politik harus serius menginjeksi materi antikorupsi bagi pengurus partai, caleg, dan calon kepala daerah. Tidak hanya deklarasi antikorupsi yang sifatnya temporer dan seremonial. Tolok ukur keberhasilan “alumni” sekolah partai dapat ditilik dari kiprah dan kontribusinya di tengah-tengah masyarakat.
Momen pemilu 2024 nanti, tidak ada lagi, atau berkurang akrobat politik purbawi yang memecah belah sesama anak bangsa. Ketika citarasa keindonesiaan mengkristal, kesadaran transformatif kader politik mengemuka, terlebih ditopang oleh tempaan sekolah partai, mereka dapat menyegarkan kembali suhu udara politik di Tanah Air yang tercemar oleh polarisasi ekstrem dan gurita korupsi.
Mawardin
Peneliti Charta Politika Indonesia
Foto: dok. Golkar Institute
Sumber: https://bit.ly/3Jf21TW



