Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: PDI-P Tetap di Luar Koalisi Pemerintah
/0 Comments/in Liputan MediaJAKARTA, KOMPAS — Perjumpaan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri memunculkan isu soal bergabungnya PDI-P ke koalisi partai politik pendukung pemerintahan Prabowo. Kolaborasi kedua belah pihak untuk memperkuat pemerintahan dimungkinkan. Namun, partai berlambang banteng itu disebut akan tetap berada di luar koalisi.
Pertemuan Prabowo dan Megawati berlangsung di kediaman pribadi Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (7/4/2025) malam. Keduanya berbincang secara empat mata selama lebih kurang 1,5 jam.
”Kami tidak secara langsung mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua pemimpin tersebut. Tetapi, dari beberapa hal pembicaraan itu, kami dapatkan bahwa pembicaraan itu pertama dimaksudkan untuk bersilaturahmi di momen Lebaran ini,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Ahmad Muzani di kompleks Gedung DPR, Jakarta, Rabu (9/4/2025).
Meskipun tujuan utamanya bersilaturahmi, perbincangan ihwal situasi politik terkini antara kedua tokoh tidak terelakkan. Pasalnya, Prabowo dan Megawati sama-sama menduduki jabatan ketua umum partai. Ditambah lagi, PDI-P yang dipimpin Megawati menjadi satu-satunya partai yang sejauh ini berada di luar koalisi pemerintahan.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
”Ibu Megawati mengharapkan agar masa kepresidenan Pak Prabowo yang telah dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024 bisa efektif untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, jika dianggap perlu silakan menggunakan PDI-P sebagai instrumen yang juga bisa digunakan untuk memperkuat pemerintahan, tetapi tidak dalam posisi koalisi,” ujar Muzani merespons pertanyaan soal bergabungnya PDI-P ke koalisi pemerintah.
Meski PDI-P tetap memutuskan di luar koalisi, Presiden Prabowo, menurut Muzani, melihat pertemuan dengan Megawati sebagai sesuatu yang positif bagi kehidupan bangsa dan negara, termasuk bagi pemerintahan yang dipimpinnya. Prabowo pun disebut bersyukur atas tetap adanya dukungan dari Megawati dan PDI-P meski partai pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 itu memutuskan untuk tetap berada di luar pemerintahan.
”Tentu saja (dukungan) ini bagian dari upaya untuk memperkokoh posisi pemerintahan,” ujarnya.
Selain itu, menurut Ketua MPR ini, silaturahmi sesama pemimpin akan ditanggapi positif oleh masyarakat. Ia beranggapan rakyat menginginkan agar para pemimpinnya bersatu. Momen Lebaran menjadi waktu yang tepat.

Dokumentasi Gerindra
Dalam masa-masa sulit, lanjut Muzani, persatuan sesama pemimpin menjadi penting. Situasi tak gampang telah berkali-kali dihadapi negeri ini. Akan tetapi, berkali-kali pula segenap anak bangsa bebas dari perpecahan karena mengutamakan kebersamaan dan kerukunan.
”Karena itu, diharapkan ini bisa menjadi bagian dari upaya yang menguatkan persatuan, kebersamaan, kerukunan, dan kegotongroyongan di antara kita,” kata Muzani.
Pertemuan dadakan
Sementara itu, politisi PDI-P, Muhammad Guntur Romli, menyampaikan, pertemuan antara Megawati dan Prabowo banyak membicarakan hal-hal pribadi. Itu terjadi mengingat keduanya adalah kawan baik yang sudah lama bersahabat.
Tak dimungkiri, lanjut Guntur, pertemuan terjadi begitu mendadak. Hanya, perencanaannya telah berlangsung sejak lama. Kesibukan kedua sosok pemimpin itulah yang membuat pertemuan tak kunjung terlaksana.
”Ibu Megawati dalam banyak kesempatan sering mengatakan, beliau merasa tidak punya hambatan untuk terus melakukan komunikasi dan silaturahmi dengan Presiden Prabowo meski posisi politik PDI-P saat ini masih berada di luar pemerintahan,” katanya.
Sepanjang pertemuan, Megawati dan Prabowo berdiskusi soal sejumlah masalah global, seperti perang dagang AS dan China, konflik Israel dengan negara-negara Arab, perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Laut China Selatan, dan pemanasan global. Isu-isu itu juga bisa berdampak langsung bagi seluruh masyarakat.

KOMPAS/RADITYA HELABUM
Sebagai sesama pemimpin partai politik, ujar Guntur, kedua sosok itu juga membahas persoalan-persoalan strategis nasional.
Secara khusus, pembahasannya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan dan kesejahteraan dalam bingkai negara hukum Pancasila.
”Terakhir, Presiden Prabowo dan Ibu Megawati berkomitmen untuk terus menjalin komunikasi dan koordinasi, terutama jika menyangkut kepentingan-kepentingan strategis nasional dan internasional yang akan berdampak pada nasib rakyat dan masa depan bangsa serta negara Indonesia,” katanya.
Sehubungan dengan perjumpaannya dengan Megawati, Prabowo urung memberikan respons. Pertanyaan ihwal isi pertemuan dilayangkan wartawan seusai ia menghadiri acara bertajuk Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional yang diadakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Selasa (8/4/2025) kemarin.
”Oke, maaf lahir batin,” ucap Presiden sembari melambaikan tangan kepada wartawan ketika ditanyai persoalan itu.

KOMPAS/AGUS SUSANTO
Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, pertemuan antara Prabowo dan Megawati memang tinggal menunggu waktu. Itu karena sejarah hubungan politik antara kedua belah pihak yang panjang dan tanpa konflik. Jika ketegangan antara PDI-P dan Gerindra terjadi pada Pilpres 2024, hal itu tak terjadi di antara Prabowo dan Megawati.
Berlangsungnya pertemuan secara tertutup, lanjut Yunarto, mengindikasikan agenda itu memang terjadi secara mendadak. Boleh jadi, kemungkinan substansi pertemuan juga urung diperbincangkan sebelumnya.
”Pertemuan tertutup dan cenderung ditutupi oleh para elite politik ini juga mengindikasikan bahwa isu yang dibahas secara politik adalah isu yang sensitif, sulit untuk langsung dibuka di hadapan publik,” ujar Yunarto.
Penulis: Nino Citra Anugrahanto
Editor: A. Ponco Anggoro
Penyelaras Bahasa: Nanik Dwiastuti
Melucuti Demokrasi lewat Pilkada
/0 Comments/in OpiniDalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.
Pemilihan umum tidak langsung, termasuk pemilihan kepala daerah, bukan hal baru. Bahkan, puluhan tahun pernah menjadi praktik politik di Tanah Air. Kehendak merestorasinya kini diapungkan dengan menyegarkan narasinya.
Selain mengungkit kembali maraknya praktik politik uang (money politics), Presiden Prabowo Subianto memberikan tekanan pada argumen baru, tetapi lama: biayanya mahal, tidak efisien.
Menurut dia, anggaran itu lebih baik untuk program-program kesejahteraan (Kompas, 12/12/2024). Berbeda dengan sepuluh tahun lalu, alasan biaya kini relatif berbunyi karena beresonansi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sedang dalam tekanan.
Salah arah
Memperbandingkan pemanfaatan anggaran sekilas rasional, tetapi sekaligus mengaburkan konteks. Proses demokrasi seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung jelas butuh anggaran. Dalam konteks politik, anggaran itu dilihat sebagai investasi. Imbal balik investasi (return on investment/ ROI)-nya berupa legitimasi dan stabilitas politik.
Ketika anggaran itu dimaknai sebagai biaya, proses demokrasi dibaca dengan logika bisnis. Dalam banyak hal, pebisnis tidak bisa dan atau tidak mau mengerti politik punya indikator ROI yang berbeda.
Akibatnya, anggaran pemilihan umum (pemilu) langsung dengan mudah distigma sebagai pemborosan alias tidak efisien.
Dalam politik, efisiensi memiliki pengertian berbeda. Menurut telaahan Novak dan Retter (1997), pengertian efisiensi mengacu pada kapasitas kandidat terpilih untuk bertindak dan kinerja sosio-ekonominya.
Dalam konteks elektoral, efisiensi terjadi manakala pemilu bisa memfasilitasi pemilih untuk memilih kandidat yang mewakili kepentingan terbaiknya dan kemampuannya untuk menggantinya jika tidak berkinerja baik.
Dengan kata lain, isu pokoknya bukan pada besaran anggaran pemilu, melainkan bagaimana menciptakan sistem pemerintahan daerah yang berorientasi pada publik, mendapat pengawasan yang kuat dan berkinerja tinggi.
Terkait dengan efisiensi, Presiden Prabowo juga menyebut Malaysia, Singapura, dan India sebagai contoh negara yang efisien. Yang mungkin dilupakan, ketiga negara tersebut menganut sistem parlementer, di mana kepala pemerintahan dipilih melalui parlemen dan hal yang sama berlaku pada tingkatan wilayah yang lebih rendah.

Heryunanto
Dalam kasus India, pemilihan kepala daerah langsung terjadi di tingkatan kota, sementara gubernur negara bagian ditunjuk oleh pemerintah pusat (Zulfajri dkk, 2019).
Sebagai penegas, orkestrasi merestorasi pemilihan kepala daerah tak langsung berlawanan dengan tren global.
Jika di Amerika Serikat (presidensial) dan Jepang (monarki-parlemeter) pilkada langsung sudah menjadi tradisi lama, sejumlah negara Eropa, seperti Slowakia, Italia, Jerman, Hongaria, Inggris, dan Polandia, baru mulai merintisnya sejak tahun 1980-an (Hambleton dan Sweeting, 2014).
Pergantian ke pilkada langsung tersebut merupakan bagian dari reformasi tata kelola pemerintahan lokal. Motivasinya bervariasi. Di satu sisi, memberikan ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang dikehendakinya dan membangun keterhubungan antara kepala daerah dan pemilih (Vetter dan Kirsting, 2007; Reynaert dan Steyvers, 2007).
Di sisi lain, pilkada langsung menjadi instrumen untuk mendorong penguatan kepemimpinan lokal, mempermudah dan mengoherensikan kebijakan dan oleh karena itu bisa meningkatkan kinerja dan tata kelola pemerintahan lokal (Sweeting, 2017).
Pendalaman daulat elite
Dari uraian di atas, argumentasi mahal atau tidak efisien kurang meyakinkan sebagai motif aslinya. Sepuluh tahun lalu, di halaman ini penulis menilai bahwa upaya menerapkan kembali pilkada tak langsung sebagai upaya politik menggusur daulat rakyat dan mengembalikan daulat elite.
Bagi kaum elite, rakyat tidak kompeten, bodoh, dan mudah dimanipulasi (Wijaya, 2014). Penilaian itu kini tetap berlaku, tetapi kiranya dibutuhkan elaborasi lebih lanjut.
Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.
Pertama, pemilihan langsung menimbulkan situasi kepala daerah dan pemilih yang lebih tidak terikat dengan partai. Lugasnya, dominasi (elite) parpol tergerus (Fenwick dan Elcock, 2014; Copus, 2010).
Kedua, menilik kecenderungan otonomi daerah yang terus digerus selama beberapa tahun terakhir, ada tendensi restorasi pilkada tak langsung merupakan bagian untuk memperkuat sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan.
Ketiga, ilusi kekuasaan dan risiko yang terukur. Pilkada tak langsung lebih mudah dikendalikan. Persisnya, diandaikan ada skenario penjatahan pemenang untuk tiap daerah. Ini pilihan yang menyenangkan: usaha minimal hasil maksimal.
Tambahannya, sirkulasi pemimpin (lokal) menjadi lebih steril. Para bohir juga bahagia: biaya yang lebih sedikit dengan risiko yang terukur. Terkait dengan itu, keempat, orkestrasi untuk restorasi pilkada tak langsung yang dilakukan secara terang-terangan sangat mungkin pula merupakan manifestasi kelelahan (berpura-pura) demokratis.
Pada titik ini, isunya tidak sekadar pergantian sistem pilkada, tetapi terutama sebagai bentuk pameran kekuasaan untuk menyatakan mereka tidak bisa dibendung, selain juga ekspresi ketidaksukaan pada demokrasi.
Agenda revitalisasi
Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.
Meski masih jauh dari otoritarianisme, norma standar demokrasi sudah banyak dan terus dilanggar. Karena itu, Indonesia sudah lebih dekat dengan apa yang dikategorikan Levitsky dan Way (2002) sebagai rezim otoritarian kompetitif. Proses politik setahun terakhir di Tanah Air kian menegaskan kecenderungan ini (Jaffrey dan Warbutton, 2024).

KOMPAS/HERYUNANTO
Bagi para pembenci dan atau pembegal demokrasi, otoritarian kompetitif bukanlah situasi yang ideal. Pasalnya, peluang pembalikan ke arah konsolidasi demokrasi masih terbuka.
Pemilihan langsung (pilpres ataupun kepala daerah) membuka pintu bagi hadirnya figur alternatif yang bisa menjadi lokomotif baru demokratisasi Indonesia. Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi.
Pembelaan terhadap pilkada langsung tidaklah mengabaikan fakta bahwa banyak terjadi kekurangan dan penyimpangan dalam implementasinya. Upaya perbaikan yang sudah dilakukan cenderung setengah hati dan bahkan memperburuknya.
Secara teknis, sekadar untuk menegaskan, setidaknya ada dua ranah besar yang bisa diperbaiki.
Pertama, memangkas sumber pemborosan melalui: (a) penyederhanaan atau penghapusan aktivitas seremonial dan atau yang mendorong mobilisasi massa (contoh: pawai kampanye damai dan kampanye terbuka); (b) memperdalam digitalisasi pada tiap tahapan pemilu; (c) reformasi pendanaan kampanye untuk mencegah pembiayaan dari sumber tidak jelas dan sekaligus membatasi dana kampanye.
Kedua, membendung politik uang. Di sisi sumber dan distribusi, polisi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) punya perangkat dan kompetensi untuk menangkalnya.
Problemnya pada kemauan politik dan juga adanya benturan kepentingan. Terkait dengan ini, hukuman terhadap pemberi dan penerima diperberat, termasuk mendiskualifikasi pasangan calon dan menghapus hak pilih penerima pada pilkada tahun berjalan.
Pada tataran kelembagaan, setidaknya ada tiga agenda pembaruan yang perlu dikedepankan untuk menghadirkan efisiensi dalam pengertian politik.
Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi
Pertama, perbaikan desain otonomi daerah, termasuk aspek keuangan daerah dan relasi antardaerah.
Terkait dengan ini, kedua, pengaturan penggunaan anggaran daerah pada setahun sebelum dan sesudah pemilu agar tak disalahgunakan petahana untuk menggelontorkan praktik patron-klien melalui program bertipe pork barrel, program yang diada-adakan untuk pendukungnya atau pengusaha yang mau membiayai kampanyenya.
Ketiga, seperti sudah sering disampaikan pengamat dan akademisi, perlu ada pembahasan kembali mengenai desain pemilu secara keseluruhan. Pemisahan pemilihan nasional (DPR dan presiden) dan pemilihan daerah (kepala daerah dan DPRD) kiranya pantas didiskusikan kembali.
Akhirnya, revitalisasi politik di level parpol maupun pemilih. Yang disebut pertama berkaitan dengan demokratisasi internal, termasuk mengartikulasi aspirasi konstituen dalam menyeleksi kandidat. Yang disebut belakangan membangun budaya sumbangan dana kampanye dari pemilih. Saat ini, kedua hal itu, jika pun ada, sekadar formalitas dan atau untuk kebutuhan pencitraan belaka.
Situasi ideal demokrasi terjadi manakala representasi, kebebasan pilihan, dan akuntabilitas hadir secara utuh.
Pada titik ini, pemilihan langsung saja tidak cukup. Yang seharusnya jadi agenda adalah memperdalam demokrasi langsung.
Itu artinya juga menerapkan instrumen lain, seperti referendum dan konsultasi publik deliberatif. Merupakan ironi jika argumen efisiensi jadi tameng untuk mengeliminasinya dan merupakan tragedi jika kita justru melangkah ke arah sebaliknya: melucuti demokrasi.
Yunarto Wijaya Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia
Sumber: https://bit.ly/4gV8ovE (Kompas.id)
Pakar Bongkar Penyebab Kekalahan Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta, Timses yang Blunder Jadi Sorotan
/0 Comments/in Liputan MediaJakarta, VIVA – KPU DKI Jakarta secara resmi mengumumkan hasil rekapitulasi suara Pilkada Jakarta 2024 dalam rapat pleno yang digelar di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Minggu 8 Desember 2024.
Pasangan Pramono Anung-Rano Karno keluar sebagai pemenang dengan perolehan 2.183.239 suara, mengalahkan pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang berada di posisi kedua dengan 1.718.160 suara. Adapun pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana berada di urutan ketiga dengan 459.230 suara.
Kekalahan Ridwan Kamil-Suswono menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya, yang memberikan analisis mendalam terkait hasil ini.
Yunarto atau yang akrab disapa Toto, menilai strategi politik Pramono Anung-Rano Karno berhasil menyatukan dua kekuatan besar di Jakarta, yakni pendukung Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Menurut Toto, Pramono-Rano mampu merangkul Ahokers dan Anak Abah, sebutan bagi pendukung Ahok dan Anies Baswedan, sehingga menciptakan narasi persatuan.
“Pram berusaha untuk menyatukan dan merangkul kekuatan-kekuatan besar yang ada. Ahokers tetap mendukung dan hadir di kampanye akbar, Anak Abah tidak marah, sehingga menjadi kekuatan tersendiri,” kata Toto dalam wawancara yang dikutip dari Youtube TV One News.
Strategi ini berbeda dengan kubu Ridwan Kamil-Suswono, yang menurut Toto terjebak dalam logika politik pecah belah. Narasi yang dimainkan oleh politikus Gerindra, Maruarar Sirait, dianggap menjadi blunder besar.
“Maruarar saking semangatnya membuat logika dikotomi bahwa dukungan Anies membangkitkan macan tidur. Ketika Anies ikut mendukung, pemilih minoritas bisa kabur. Itu narasi memecah belah,” jelas Toto.
Toto juga menyoroti kesalahan Maruarar yang tidak belajar dari kemenangan Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Prabowo berhasil membangun narasi rekonsiliasi, sementara kubu Ridwan Kamil-Suswono justru menciptakan pengkotakan pemilih yang melemahkan dukungan mereka.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, Profesor Ibnu Hamad, mengungkapkan bahwa kekalahan Ridwan Kamil-Suswono tidak sepenuhnya disebabkan oleh mesin partai. Menurutnya, faktor ketokohan menjadi penyebab utama.
“Pasangan Pramono Anung-Rano Karno lebih dekat dengan Jakarta. Sementara kubu RK-Suswono walaupun didukung partai besar, faktor ketokohan mereka belum begitu mengakar,” jelas Ibnu.
Ibnu juga menilai bahwa keputusan politik Anies Baswedan dan Ahok dalam mendukung Pramono-Rano sangat mempengaruhi hasil Pilkada Jakarta.
“Saat Anies Baswedan memilih mendukung Pramono-Rano, pengikutnya langsung mengikutinya. Begitu pula dengan pendukung Ahok,” tambah Ibnu.
Oleh : Ainuni Rahmita, Zaky Al-Yamani
Foto : VIVA.co.id/Yeni Lestari
Sumber : VIVA.co.id



