Diberhentikan sebagai Kapolri, Tito Karnavian Calon Mendagri

Jakarta – Diberhentikan dari posisi Kapolri, Jenderal Tito Karnavian disebut-sebut akan masuk kabinet Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Tito diprediksi akan mengemban tugas sebagai menteri dalam negeri (mendagri).

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya memberikan analisis soal posisi Tito. Ini melihat background Tito sebagai jenderal akademisi.

“Kalau kita lihat sosok Tito pertama dia PhD, jenderal akademis, dan seorang pemikir dan paling penting pengalaman dia 3 tahun 4 bulan apa sih yang paling terlihat? Tidak ada Kapolri yang menghadapi peristiwa politik sebesar yang dihadapi Tito Karnavian,” ungkap Yunarto saat dihubungi, Selasa (22/10/2019).

“Mulai dari pilkada serentak, Pilkada DKI yang membawa isu sangat sensitif di wilayah keamanan, dan terakhir di Pemilu 2019. Belum lagi isu terkait netralitas dari Polri,” imbuhnya.

Dari pengalaman yang dimiliki Tito, Yunarto menilai pos kementerian yang paling cocok untuk eks Kapolda Metro Jaya itu adalah memimpin Kemendagri. Apalagi Tito sangat expert menghadapi persoalan keamanan yang memang menjadi salah satu sektor Kemendagri yang perlu diurus.

“Dengan pengalaman Pak Tito sebagai kapolda, menghadapi pilkada, saya meyakini beliau sangat mengerti mengenai karakter dari potensi konflik dalam pemilu, aspek legal dalam pilkada dan pemilu, bagaimana koordinasi dan komunikasi dengan kepala daerah,” sebut Yunarto.

 

Elza Astari Retaduari – detikNews
Foto: Andhika Prasetia/detikcom

Yunarto: Masuknya Prabowo Cerminan Gaya Kepemimpinan Jokowi

Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengingatkan Presiden Joko Widodo akan bahaya memudarnya loyalitas partai koalisi dengan mengakomodasi pemimpin oposisi, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, sebagai menteri kabinet. Menurut Yunarto, partai koalisi memaklumi dengan keterpaksaan kehadiran Gerindra ke dalam kabinet.

“Dalam konteks bagi-bagi kekuasaan, tentu partai koalisi kecewa, apalagi mereka telah berjuang, tetapi pada akhirnya jatah kursinya berkurang atau tidak dapat sama sekali,” ujar Yunarto di Jakarta, Selasa (22/10/2019).

Yunarto menilai masuk Gerindra ke koalisi jelas mempengaruh soliditas dan loyalitas partai koalisi terhadap Jokowi. Hal ini, kata dia, sudah tampak dari pernyataan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh yang menyatakan akan menjadi oposisi jika tidak ada partai yang menjadi oposisi.

“Pernyataan Pak Surya Paloh tentunya bentuk penolakan terhadap masuk Gerindra ke koalisi. Partai koalisi lain juga mungkin kecewa dan tidak nyaman dengan kehadiran Gerindra, tetapi mereka memaklumi dengan keterpaksaan,” ungkap dia.

Menurut Yunarto, apa yang terjadi saat ini menunjukan gaya politik Jokowi yang bersifat akomodatif dan tidak menginginkan adanya konflik. Gaya politik akomodatif ini bisa menjadi aset sekaligus menjadi beban bagi Jokowi.

“Menjadi beban jika kabinet hanya jadi tempat untuk menampung orang dari partai oposisi tanpa memperhatikan kapasitas, kualitas dan integritas dari orang-orang yang menjadi menteri. Menjadi aset jika orang-orang yang menjadi menteri merupakan orang yang berkualitas, punya kapasitas dan integritas,” jelas dia.

Pekerjaan rumah terbesar Jokowi dalam lima tahun mendatang, lanjut dia, adalah memastikan soliditas dan loyalitas partai koalisi. Menurut dia, salah satu caranya adalah menunjukan kinerja yang baik.

“Para menterinya harus bekerja sesuai dengan target dengan kerja-kerja yang terukur, realistis dan berdampak pada kepentingan masyarakat. Jika kinerja Jokowi dan para menterinya bagus, maka kepuasan publik akan tinggi terhadap Jokowi. Kalau kepuasan publik tinggi, tentu partai juga akan loyal dan takut keluar koalisi karena kepuasan publik yang tinggi terhadap Jokowi akan berdampak positif secara elektoral terhadap partai,” pungkas Yunarto.

 

 

Sumber: Suara Pembaruan
https://www.beritasatu.com/politik/581207/yunarto-masuknya-prabowo-cerminan-gaya-kepemimpinan-jokowi

Foto: Beritasatu Photo / Carlos KY Paath

Menyoal Kepemimpinan Jokowi

Sering kita mendengar celetukan bernada sinis yang menyebut SBY itu pemimpin politik yang lamban, namun tak jarang pula kita mendengar decak kekaguman yang dengan gamblang mengatakan SBY adalah pemimpin politik yang matang dalam mengambil keputusan. Pola senada kerap kita dengar manakala orang membicarakan para Presiden Indonesia lainnya, dari mulai Soekarno hingga Jokowi.

Lebih daripada itu, kita juga kerap membaca berbagai ulasan yang melakukan pengandaian. Contohnya, “Kalau presidennya saat ini Gus Dur, kelompok minoritas akan dilindungi penuh oleh negara” atau “Kalau saja Jokowi yang jadi presiden sejak 2004 lalu, kesenjangan infrastruktur antarwilayah tak separah saat ini.”

Dan, tak sedikit dari kita, termasuk saya, sering tergoda untuk mengaitkan personalitas pemimpin politik dengan potensi keberhasilan kepemimpinannya. Pernyataan-pernyataan seperti “Kita butuh presiden yang tegas agar Indonesia kembali berjaya” atau “Kita butuh pemimpin yang kuat agar stabilitas terjaga” terdengar akrab di telinga kita, bukan?

Pokok pesan dari ilustrasi di atas adalah, pertama, kita mudah larut dalam simplifikasi dalam menilai kepemimpinan seorang presiden. Untuk sebagian ini bersumber dari preferensi yang terbentuk, dan untuk sebagian lagi karena peran media yang getol melakukan personalisasi nilai politik.

Celakanya, preferensi tersebut bersifat labil. Tak sedikit yang kini mengidolakan atau sekurang-kurangnya mengagumi Jokowi dulunya juga bersikap yang sama terhadap SBY. Persis sebaliknya, ada pula yang awalnya antusias dengan kemunculan Jokowi tetiba merasa rindu pada kepemimpinan ala SBY yang memberi impresi kuat pada keteraturan atau juga kepada Gus Dur yang memberi impresi siap bersikap frontal terhadap para ‘penumpang gelap’ reformasi.

Kedua, personalitas dan gaya kepemimpinan seorang presiden sering kali dibekukan. Dalam hal ini, misalnya, Jokowi kerap diidentikkan dengan pemimpin yang tak tegas atau SBY lekat dengan asosiasi figur yang sabar.

Namun, dalam momen-momen tertentu, Jokowi nyatanya bisa unjuk diri sebagai seorang pemimpin yang (bisa) tegas, pun SBY bisa menunjukkan kegeramannya secara terbuka. Adanya pergeseran sikap sering mengagetkan dan berujung pada satu dari dua kemungkinan berikut ini: menilainya sebagai pencitraan atau menganggapnya sebagai moment of truth: watak asli yang terungkap.

Ketiga, simplifikasi dan pembekuan karakter merupakan konsekuensi logis dari pengabaian terhadap konteks. Studi-studi kepemimpinan politik kontemporer telah menegaskan pentingnya untuk mempertimbangkan konteks. Ini bukan berarti personalitas tak penting. Saya lebih memahami adanya interaksi antara keduanya. Dan, atas dasar inilah saya hendak mendiskusikan kepemimpinan politik Jokowi sebagai presiden.

Lintasan Politik

Konteks yang saya maksud di sini mencakup dua hal: Posisi Jokowi dalam arus utama gagasan politik dan pembangunan, serta posisinya dalam kekuatan politik. Dari sisi gagasan utama politik, Jokowi menawarkan pembaruan. Ia hendak merekonstruksi (politik) pembangunan sekurangnya melalui tiga gagasan.

Pertama, ia mengusung gagasan pembangunan untuk semua, utamanya memberi atensi khusus pada kelompok masyarakat dan atau wilayah yang selama ini relatif terabaikan. Dan, belakangan ini terfokus pada pembangunan infrastruktur fisik dan pembiayaan lebih untuk pendidikan (KIP) dan kesehatan (KIS). Kedua, ia berkomitmen mereformasi birokrasi. Belakangan, terlihat fokusnya pada kemudahan pada berinvestasi dan berusaha. Ketiga, ia menggaungkan janji lama tentang kedaulatan ekonomi, politik, dan pembangunan kepribadian bangsa (berdikari).

Gagasan tersebut dianggap sebagai sebuah ‘kebaruan’. Ia diterima publik karena mendobrak ‘kesepakatan diam-diam’ di kalangan elite politik bahwa gagasan-gagasan tersebut tak mungkin dilakukan, setidaknya untuk saat ini.
Bagi Jokowi, pemerataan tidak harus menunggu kekuatan ekonomi mencukupi lebih dahulu. Sebaliknya, ia beragumen, pemerataan (infrastruktur fisik) merupakan jalan membangun kekuatan ekonomi.

Bagi Jokowi, birokrasi tak boleh lagi menyandera publik, ia harus benar-benar jadi pelayan publik. Dan, Jokowi menilai pergaulan antarbangsa harus bertumpu pada identitas nasional yang kuat.

Terkait posisinya dalam kekuatan politik di periode pertama, Jokowi adalah bagian dari kelompok politik yang selama 10 tahun terakhir ini menjadi oposisi. Lebih penting dari itu, pemerintahannya merupakan memiliki kekuatan minoritas di ranah legislatif pada awal kekuasaannya.

Dan, sebagai outsider dalam banyak segi, Jokowi tak bisa mengontrol partai yang menyalonkan dirinya (PDIP) dan relasinya dengan partai pendukung masih berupaya menemukan relasi yang tepat. Ini ada kaitannya dengan posisinya yang bukan ketua partai dan sekaligus ini menjadi pembeda dengan tiga presiden sebelumnya (SBY, Megawati, dan Gus Dur).

Sebagai bonus sekaligus beban, Jokowi memiliki pendamping yang sangat lincah bermanuver dan sekaligus memiliki modal sosial politik yang kuat: Jusuf Kalla. Karakter Kalla yang agresif konon menjadi salah satu alasan SBY memilih cawapres lain pada periode keduanya.

Ketika pemerintahan baru seumur jagung, Jokowi dihadapkan rangkaian ‘pukulan ganda’: Keharusan menaikkan harga BBM, kemelut yang mendera KPK, keriuhan di legislatif, ekonomi global yang mengalami pelambatan. Ketiga hal ini juga pernah dialami SBY.

Bedanya, Jokowi tak berkesempatan ikut menikmati dukungan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kala itu, harga-harga komoditas unggulan ekspor (seperti sawit, batubara, coklat, dan lainnya) sedang mengalami masa peak-nya di pasar internasional.

Situasi yang paling membedakan dengan pengalaman-pengalaman presiden sebelumnya setidaknya terkait pada tiga hal berikut ini. Pertama, intensitas politik identitas yang begitu tinggi dan pada saat yang bersamaan Jokowi dibingkai sebagai sosok nasionalis abangan. Ini situasi yang bahkan tak dirasakan Megawati ketika menjadi presiden.

Kedua, peran media dan media sosial yang begitu besar terutama dalam mereduksi secara gila-gilaan berbagai persoalan, sehingga terkesan selalu ada solusi mudah untuk tiap persoalan yang dihadapi pemerintah. Ketiga, disrupsi teknologi yang muncul belakangan mengubah lanskap persaingan usaha di dalam negeri, termasuk mulai menguatnya kecenderungan otomotisasi di sektor manufaktur.

Manuver Kepemimpinan

Dihadapkan pada situasi seperti yang diuraikan di atas, di satu sisi, Jokowi menunjukkan kemampuannya beradaptasi dan bersikap fleksibel. Tidak seperti Gus Dur yang semakin nge-gas ketika diserang lawan dan teman-teman politiknya, Jokowi pada beberapa aspek mengambil sikap seperti SBY.

Jokowi mengembangkan politik akomodatif. Meski tak selalu efektif, Jokowi benar-benar memaanfaatkan apa yang disebut Chaisty dkk (2012) dengan istilah “perangkat eksekutif”. Dus, dari mulai mendistribusikan kursi menteri, menyediakan anggaran kementrian, menggelontorkan pork barrel, melakukan pertukaran kebijakan dengan partai koalisi maupun oposisi, hingga pemberian pengaruh dilakoninya.

Namun di sisi lain, Jokowi juga melakukan perubahan gaya berpolitik dengan semangat ‘membongkar’. Representasi terbaiknya terlihat pada pembubaran Petral, divestasi saham Freeport, dan pengalihan operasi ke Pertamina untuk setiap kilang minyak yang sudah habis masa kontrak karyanya dengan korporasi minyak asing. Meski demikian, Jokowi sering kali belum dianggap berhasil dalam hal reforma agraria dan mengakhiri diskriminasi beribadah.

Terkait dengan hal tersebut, di satu sisi, Jokowi tampil sebagai figur yang bersedia mendengar masukan dari berbagai pihak dan siap mengakomodasi kepentingan mereka. Ini tak jarang membuat kebijakan yang sudah dirilis segera ditunda atau dibatalkan. Contoh terbaru soal penundaan soal pengenaan pajak pada penjualan daring. Namun, harus pula ditegaskan, Jokowi dapat dikatakan relatif mandiri dalam pengambilan keputusan.

Dan, hal itu ada kaitannya dengan sikapnya yang bisa juga, sebut saja, kukuh pada pendirian, jika tak mau disebut keras kepala. Ini, umpamanya, pada pendiriannya yang meyakini bahwa pemerataan pembangunan infrastruktur fisik harus diprioritaskan, meski ada biaya dan risiko politik yang ditanggungnya juga tinggi.

Dan, implikasi praktisnya, Jokowi semakin berorientasi pada output alih-alih pada proses yang ditandai adanya konsultasi dan persuasi dengan para pihak yang terkena dampak. Tak heran jika kemudian sebagian kalangan menjulukinya sebagai pemicu bangkitnya era new-developmentalism.

Kesan ini semakin diperkuat karena Jokowi dinilai oleh sebagian kalangan cenderung konservatif pada isu-isu demokrasi, kebebasan dan hukum. Ini bisa dilihat dari mulai soal keberpihakan pada KPK, mangkraknya penyelesaian beberapa kasus HAM masa lalu, kasus Novel Baswedan, isu ‘kriminalisasi’ berbasis UU ITE, RUU KUHP hingga sikap beberapa kementeriannya yang dianggap gemar mengunakan instrumen blokir dan sensor.

Di isu-isu ini, Jokowi menunjukkan posisinya tak banyak beda dengan arus utama politik para elite politik yang sudah lama mentas di panggung nasional. Menariknya, pada isu terbaru seperti menghidupkan kembali GBHN yang didukung banyak elite lama termasuk Megawati sekalipun, Jokowi secara lantang menyatakan posisinya di sisi publik yang menentang ide tersebut.

Sering kali orang juga melihat kebijakan dan pendekatan kepemimpinan jokowi dalam dua wajah output yang berbeda. Sebagai contoh, pertama, Jokowi amat bergairah mendorong berbagai program populis (KIP, KIS, PKH, dan juga berbagai program afirmasi untuk pondok pesantren dan belakangan KIP kuliah, Kartu Prakerja, Kartu Sembako sebagai contoh yang paling visual, dan populer). Namun, di sisi lain, Jokowi seperti terlihat ‘gelagapan’ dalam menyikapi kurang dana yang dialami BPJS.

Kedua, Jokowi bukanlah tipikal pemimpin dengan daya paksa tinggi dan intimidatif. Ia memimpin dengan memberi contoh dengan harapan anak buahnya mengikutinya. Konsekuensinya, sebagian dari bawahannya seringkali memanfaatkan hal ini sebagai ruang gerak untuk bekerja diluar arahan dan komitmen yang disepakati.

Di level atas, kita beberapa kali disuguhi moment kegaduhan internal di kabinet. Di level paling awam, bagaimana kita bisa melihat perilaku pengawalan mobil sebagian menteri di jalanan yang sering kali malah terasa lebih mengganggu dibanding ketika rombongan RI-1 yang sedang melintas.

Keinginan dan Realita

Dari sisi pemasaran politik, gaya kepemimpinan Jokowi di atas tak ayal memantulkan citra yang ambigu dan sekaligus susah diletakkan pada satu kategori tertentu. Di satu sisi, ia hadir sebagai pembaru, tetapi di sisi lain, ia tampil bak elite politik lainnya.

Di satu sisi, Jokowi mendekati kategori apa yang disebut Kaplan dan Kaiser (2006) dengan istilah field general, yakni pemimpin yang punya determinan tinggi pada pencapaian kinerja, tetapi di sisi lain, ia terkesan mendekati kategori one of troops, yakni pemimpin yang mengutamakan kerja sama, memampukan pihak lain dan tak memaksakan kehendak.

Yang sudah pasti, sejauh ini, Jokowi bukanlah pemimpin yang pandai membangun motivasi melalui kata-kata. Jokowi punya hasrat yang kuat mengembangkan kolaborasi tetapi ia berhadapan dengan berbagai penghalang dari mulai ego sektoral hingga persaingan politik.

Jokowi juga menginginkan partisipasi yang luas dalam proses pembangunan, tetapi ia berhadapan dengan tuntutan pencapaian output, mengejar legacy, dan lagi-lagi juga dihadang resistensi di internal birokrasi. Dan, ini memperburuk lagi dengan ulah para pemujanya yang gemar melakukan konfrontasi dan ingin mengeksklusi pihak lain.

Dalam lima tahun ke depan, pergeseran gaya kepemimpinan Jokowi masih mungkin terjadi. Sebab, ia mengenali kemampuan dan keterbatasannya dan juga harapan yang diamanatkan pada dirinya. Yang juga sudah jelas, Jokowi tak berupaya ingin menyenangkan semua orang dan ia menyadari ada risiko yang harus ditanggungnya dengan pilihannya itu.

 

 

Oleh: Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

Foto: Basith Subastian/kumparan

Jokowi, Kabinet, dan Koalisi

Jokowi akan memulai perjalanan pada periode keduanya. Meski menyatakan tak lagi punya beban, kenyataan politiknya sungguh sangat berbeda.

Kompleksibilitas yang dihadapi bukan tak mungkin akan bertambah banyak dibandingkan periode sebelumnya. Indikasi awal sudah terlihat dalam proses pembentukan kabinet. Mengemuka wacana masuknya parpol pendukung Prabowo-Sandi sebagai bagian dari kabinet yang akan dibentuk. Dari pengalaman Pilpres 2004-2014, kebiasaan parpol “pindah kamar” bukan sesuatu yang baru. Golkar, PAN, PKB, misalnya, “pindah kamar” menjadi bagian dari Kabinet Bersatu I Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2004. Di 2009 dan 2014, Golkar juga melakukan hal sama meski pada Pemilu 2014 dilakukan di tengah periode (bersama PAN).

Kali ini kemungkinan adanya parpol “pindah kamar” lebih banyak sorotan dan polemik, paling tidak karena dua hal. Pertama, lebih dari sebelumnya, Pilpres 2019 lebih emosional dan (paling) terpolarisasi. Bagi sebagian pemilih dari kedua pasangan, perilaku “pindah kamar” dianggap pengkhianatan. Kedua, fenomena “pindah kamar” dilihat sebagai kegagalan lain
pelaksanaan pemilu serentak. Pasalnya, dalam keputusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK mengandaikan pemilu serentak menjadi jalan bagi terbentuknya koalisi permanen, negosiasi strategis dan jangka panjang, dan Presiden yang tak bergantung DPR.

Pembubaran Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mengusung Jokowi-Amin, dan Koalisi Indonesia Adil-Makmur (KIAM), yang
mengusung Prabowo-Sandi, secara telak membubarkan harapan MK. Pembubaran ini oleh sebagian pihak juga dijadikan pembenaran “kocok ulang” atau setidaknya menandai kemungkinan adanya lagi parpol yang “pindah kamar” sebagaimana terjadi pada periode-periode sebelumnya.

Namun tanpa ada penambahan partai pengusung pun, Jokowi hampir tidak mungkin menggunakan hak prerogatifnya dalam
membentuk kabinet. Ia tetap harus bernegosiasi dan tawar-menawar. Ini tak terelakkan dalam sistem presidensial banyak partai. Pilihan strategi unilateral (mengedepankan hak prerogatif) dalam membentuk kabinet hanya mungkin dilakukan jika presiden punya cara lain secara konstitusional untuk meloloskan berbagai aturan di legislatif atau mampu memveto UU yang dibuat legislatif (Amorin Neto, 2006)

Dilema Presiden

Dalam hal ini, Jokowi berada dalam situsi dilematis. Di satu pihak, kekuatan parpol pengusungnya (KIM) di legislatif kini
sudah mayoritas (60,7 persen). Namun, ini hanya sedikit diatas apa yang disebut Raile dkk (2009) minimal winning coalition. Secara matematika, Jokowi punya “ketergantungan” pada parpol menengah seperti Nasdem (10,3 persen), PKB (10,1 persen), atau bahkan Golkar (14,8 persen), alih-alih partai kecil seperti PPP (3,3). Pergeseran sikap satu dari tiga partai itu dengan mudah menyeret pemerintah dalam posisi kritis di legislatif. Terlebih harus diingat, disiplin anggota partai di legislatif juga rendah.

Di lain pihak menambah jumlah anggota koalisi partai pendukung dalam kabinet juga tak memberi jaminan adanya konsistensi dukungan di DPR. Asumsi adannya partai pemerintah yang diikuti adanya disiplin partai dan disiplin anggota partai di legislatif hanya berlaku di sistem parlementer. Sebagai mana disebut Cheibub dkk (2004), sangat keliru
berasumsi koalisi di kabinet berarti juga berkoalisi di DPR. Situasi itu sudah pernah dialami SBY, pada periode keduanya. Meski membentuk koalisi gemuk, pemerintahannya sering diganjal anggota koalisinnya sendiri di DPR.

Sementara jaminan konsistensi dukungan di DPR masih diragukan, penambahan jumlah anggota koalisi niscaya meningkatkan biaya memerintah. Biaya ini terdiri dari komoditas koalisi (kursi menteri dan anggaran di kementerian) dan alokasi dana untuk pork barrel. Menurut Periera dkk (2006), biaya memerintah ini akan kian tinggi manakala pertama, jumlah anggota koalisi kian banyak. Kedua, rentang ideologi antarparpol pengusung kian lebar. Ketiga, tatkala distribusi kursi menterinya makin tidak proporsional dengan kekuatan parpol tersebut di legislatif.

Dalam kasus Jokowi, dua faktor pertama sudah terpenuhi. Jumlah partai koalisinya saat ini sudah cukup banyak, lima di DPR
dan lima lagi yang non-kursi DPR. Rentang ideologinya juga lebar dari yang nasionalis (PDI-P, Nasdem, Golkar, PSI, Perindo, PKPI, Hanura), berbasis Islam (PKB, PPP, PBB). Faktor ketiga juga terpenuhi jika terjadi penambahan partai pendukung baru di kabinet. Hal ini otomatis akan membuat alokasi buat partai di KIM berkurang, setidaknya tak lagi sebagaimana diekspektasi sebelumnya. Kesengajaan ekspektasi ini tentu saja butuh kompensasi lain.

Dan, sungguhpun berbagai faktor diatas dapat diantisipasi, kemungkinan ketaksolidan di kabinet ataupun legislatif tetap terbuka. Sebagai petahana, Jokowi tak lagi punya periode berikutnya sebagai pemikat dan pengikat parpol pendukung. Ini terkait tarikan Pemilu 2024. Sebagaimana dikatakan Altman (2000), potensi kabinet koalisi pecah kongsi dapat terjadi karena mendekatnya waktu pemilu, selain faktor keragaman ideologi dan perasaan diperlakukan tidak adil. Dalam kasus Indonesia, dorongan melakukan kampanye dini justru kian kuat. Jeda diantara dua pemilu kian dimaknai sebagai ruang kampanye yang lain alias berlangsungnya kampanye permanen.

Meski jadi bagian dari partai yang memerintah, parpol selalu merasa efek elektoralnya tak cukup berarti meski pemerintah dapat dikatakan berhenti menunaikan janji-janji kampanyenya. Karena itu, mereka merasa perlu berancang-ancang sejak dini. Ada kebutuhan memperbaiki perolehan elektoralnya dan sekaligus memperkuat asosiasi dengan capres yang berpotensi memenangi pilpres berikutnya. Atau bahkan menyiapkan kadernya sendiri untuk jadi presiden/wapres berikutnya.

Tarikan ini mengharuskan parpol memperbarui diri, termasuk mengelola ulang pemosisian politiknya. Hal ini sedikit banyak berpotensi membuat parpol pengusung Jokowi akan lebih sering berbeda sikap dengan pemerintah dalam sejumlah isu/kebijakan di DPR. PKB, misalnya, akan siap bersimpangan jalan ketika pemerintag mereka nilai merugikan kepentingan (ekonomi) nahdliyin. Ini pernah terjadi dalam polemik penggunaan cantrang.

Terkait penambahan anggota koalisi dan tarikan 2024, faktor figur menteri juga bisa jadi sumber masalah lain. Dalam
konteks politik simbolik (kehadiran menteri dari kalangan muda) atau sebagai bagian negosiasi dukungan. Jokowi bukan tak mungkin merekrut figur menteri yang (merasa) punya prospek jadi capres atau minimal cawapres di 2024. Kehadiran figur
seperti ini buka tanpa potensi masalah. Skenario terbaiknya, para menteri yang punya prospek di 2024 ini akan tancap gas
unjuk kinerja sebagai modal awal kampanye. Mereka akan jadi ikon baru dan meningkatkan kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Skenario terburuknya, menteri tipe ini akan memanfaatkan sumber daya kementeriannya guna menjalankan agenda mereka sendiri. Termasuk menyiapkan strategi keluar dengan memosisikan diri sebagai orang “lurus” atau “terzalimi”.

Manajemen Koalisi

Dihadapkan pada situasi pelik seperti ini, Jokowi bukan tanpa jalan keluar. Kuncinya, kemampuan mengelola koalisi maupun oposisi. Ia perlu mengaktivasi perangkat eksekutif secara tepat. Chaisty dkk (2012) mengelompokkan perangkat eksekutif itu dalam lima kluster: kekuasaan agenda politik (kekuasaan legislatif yang diberikan pada presiden/dekrit), otoritas anggaran (kontrol atas belanja publik) manajemen kabinet (pendistribusian kursi menteri), kekuasaan partisan (pengaruh presiden terhadap satu atau lebih partai koalisi), institusi informal (kategori lain yang sesuai konteks tiap negara).

Perangkat eksekutif ini sumber daya koalisi yang dapat dipertukarkan kepada partai yang memerintah ataupun oposisi.
Manuver parpol pengusung (KIM) ataupun kompetitor (KIAM) juga berkenan dengan ketersedian sumber daya koalisi ini. Manuver yang dikomunikasikan ke publik belum tentu merupakan target sebenarnya. Pada titik ini, manajemen koalisi selayaknya tak berhenti dan dimaknai sebatas transfer politik (terutama bagi- bagi kursi menteri). Jokowi punya opsi perangkat eksekutif lain yang bisa dipertukarkan sebagai ganti dukungan kebijakan atau meloloskan aturan di legislatif.

Pertama manajemen koalisi bersifat harian dan bukan proses sekali jadi. Kursi menteri merupakan investasi sekali waktu.
Menghadapi dinamika politik dari hari ke hari, Jokowi bisa memainkan perangkat eksekutif lain, seperti anggaran kementerian, posisi jabatan publik lain (kepala badan atau jabatan publik lain), dukungan politik (dalam konteks pilkada), dan melakukan konsesi politik. Jika dirasa kabinet mulai “lesu darah” atau mengatasi guncangan dari luar, Jokowi dapat memaikan kartu reshuffle. Patut dipertimbangkan untuk mempercepat pembentukan kabinet baru lewat reshuffle. Pembentukan kabinet dini setidaknya punya dua keuntungan: (a) akselerasi kerja bisa dilakukan tanpa harus menunggu pelantika Oktober, (b) reshuffle dibutuhkan untuk mengatasi situasi kelumpuhan birokrasi atau perlawanan pihak lain karena adanya persepsi menteri di kementerian itu tak akan dipilih lagi.

Kedua, transfer perangkat eksekutif bukanlah tujuan akhir berkoalisi. Ini hanya sarana untuk menciptakan pemerintahaan efektif guna memenuhi janji-janji kampanyenya. Dalam hal ini, jokowi juga bisa memainkan kartu co- extensive, yakni koalisi bersama oposisi di legislatif ketika ada anggota koalisi di kabinet yang justru mengambil posisi berseberangan dengan sikap pemerintah (Cheibub dkk, 2004). Dengan kartu ini, Jokowi bisa punya daya tawar tinggi untuk mendorong konsistensi dukungan parpol koalisinya di kabinet. Partai oposisi yang memainkan kartu ini juga diuntungkan karena bisa menangguk asosiasi terhadap regulasi dan kebijakan tertentu. Dengan kampanye yang tepat, asosiasi yang terbentuk akan memperkuat kredibilitas partai oposisi tersebut sebagai partai yang dapat diandalkan jika kelak menjadi partai yang memerintah.

Ketiga, untuk mempertahankan konsistensi dukungan dari partai koalisinya di kabinet, Jokowi juga bisa memainkan kartu legasinya. Dalam artian ini, efek positif keberhasilan atau kegagalan pembangunan perlu ditransfer ke individu menteri dan
juga parpol, tak semuanya terakumulasi pada sosok presiden. Contoh terbaik, meski tak sepenuhnya sempurna, adalah kiprah Susi Pudjiastuti memerangi pencurian ikan (illegal fishing). Jika menteri dan atau parpol dapat memanfaatkan program pemerintah untuk membangun issue ownership atau menjungkit reputasinya, legasi Jokowi bukan sekedar program, melainkan juga gaya kepemimpinan yang bersifat terbuka dan mendorong orang lain berkembang bersama.

Melampaui negosiasi

Pengelolaan koalisi seperti diurai diatas merupakan situasi normal dalam konteks sistem presidensial banyak partai yang
bertumpu pada kemampuan negosiasi dan tawar-menawar. Pokok terpentingnya, Jokowi ataupun partai tak melakukannya sekedar untuk bagi-bagi kekuasaan dan atau melampaui “batas kelelahan” rata-rata masyarakat terhadap sepak terjang para elite politik.

Karena itu, Jokowi perlu “setia” setidaknya peda sejumlah agenda politik publik yang sekurangnya meliputi dua: kebebasan dan kedaulatan serta perlawanan pada korupsi.

Yang pertama berkaitan dengan unjuk kebijakan dan sikap politik yang memastikan pemerintahannya akan terus melindungi kebebasan berekpresi, tak menggunakan cara top-down untuk menggusur masyarakat dari lahannya atas nama pembangunan.

Yang kedua, pemerintah perlu unjuk sikap memastikan akan memerangi setiap upaya terorganisasi untuk membonsai KPK, dan memperkuat pengawasan secara institusional, baik meliputi organ pegawasan internal di birokrasi maupun memfasilitasi komisi negara seperti KPK, Ombudsman, KPPU, KIP, Badan Perlindungan Konsumen Nasional, dan juga Komnas HAM.

Tanpa unjuk komitmen terhadap nilai-nilai kehidupan yang demokratis dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan profesional, proses negosiasi dan tawar-menawar untuk mewujudkan pemerintahan efektif akan berakhir pada kegagalan. Sebab, di satu pihak, sentimen publik akan merosot dan bahkan berlanjut pada aksi-aksi perlawanan, dari mulai sekedar membuat petisi, mengelar aksi masa, hingga pembangkangan sosial. Di lain pihak, partai pendukung juga akan bersiasat agar tak terkena sentimen negatif yang dapat merusak elektabilitasnya di 2024.

Dan, pada gilirannya ini akan menambah beban pemerintahan. Pilihan yang tersedia tak banyak dan tak mudah, tetapi peluang mendulang keberhasilan selalu terbuka. Dimulai dengan memilih figur menteri yang tak berpotensi jadi duri dalam daging di internal kabinet dan atau terkesan melecehkan rasionalitas dan etika publik.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 13 Agustus 2019

 

Foto dok Merdeka(dot)com

Saat Pilih Menteri, Jokowi Harus Jadi Presiden, Bukan Pemimpin Koalisi

Presiden terpilih Joko Widodo kini sudah disibukkan dengan pengisian susunan menteri untuk kabinet 2019-2024 bersama Ma’ruf Amin. Pertanyaan yang seringkali muncul di ruang publik adalah: siapa saja menteri Jokowi? bagaimana pembagian ‘jatah’ menteri di internal koalisi Jokowi-Ma’ruf? Lalu bagaimana jika Gerindra, Demokrat, dan PAN masuk ke koalisi? Akankah jatah partai yang sejak awal mengusung terpangkas?

Menurut saya, ada baiknya pelantikan kabinet baru Jokowi-Ma’ruf didahului dengan reshuffle kabinet yang digelar sekarang. Mengapa reshuffle kabinet penting dilakukan sekarang? Pertama, untuk memotong potensi terjadinya efek ‘bebek lumpuh’ atau lame duck effect. Apa itu ‘bebek lumpuh’? Efek ini terjadi ketika calon petahana kalah, secara de jure pemerintahan memang masih berjalan, tapi secara de facto pemerintahan sudah kehilangan wibawa sehingga kementerian tidak berjalan efektif. Jadi, dari April hingga Oktober, pemerintahan tidak berjalan dengan optimal. Seperti ‘bebek lumpuh’. Jokowi memang menang, tapi potensi ini masih tetap ada. Kecenderungannya, efek ‘bebek lumpuh’ terjadi di kementerian yang merasa menterinya akan diganti. Jadi pegawai-pegawai kementerian sudah malas-malasan karena tahu bos mereka akan diganti.

Untuk memangkas kemungkinan ini, reshuffle kabinet bisa dilakukan sekarang. Jadi kementerian yang menterinya sudah pasti akan dicopot, ada baiknya diganti dari sekarang, tak harus menunggu bulan Oktober. Lagipula, menurut saya, bagus kalau hingga Agustus sudah ada menteri baru. Artinya, semangat akselerasi yang digaungkan Jokowi saat menyampaikan pidato visi dan misi di Sentul sungguh terlaksana. Pun, menteri baru ini akan terlibat langsung dalam penyusunan anggaran untuk RAPBN 2020. Jadi sungguh menarik kalau kemudian pembentukan kabinet didahului dengan reshuffle kabinet.

Reshuffle menjelang pembentukan juga bisa dijadikan cara untuk memberikan privilege lebih kepada parpol yang mengusung Jokowi sejak awal. Sekaligus, membuktikan kompetensi menteri yang didorong oleh koalisi Jokowi-Ma’ruf. Menurut saya, Jokowi bisa saja menampung kandidat menteri dari lima partai yang sejak awal mendukungnya jika melakukan reshuffle sebelum pembentukan kabinet. Untuk partai baru yang ingin bergabung, toh masih ada waktu bulan Oktober. Lagipula, memasukkan menteri dari parpol pengusungnya sejak awal dengan melakukan reshuffle saat ini bisa menjadi semacam masa percobaan, alias probation. Jadi, Jokowi bisa saja bilang ke partai-partai pengusung: saya kasih bonus 3 bulan, saya kasih jatah dulu. Buktikan di waktu 3 bulan ini. Kalau bagus toh akan dilanjutkan, kalau jelek ya nanti tinggal saya ganti di bulan Oktober saat pelantikan kabinet baru dengan menteri dari kalangan profesional. Kompromi dengan partai pengusung bisa dilakukan saat ini.

Selain itu, soal pengisian kabinet, ada beberapa catatan yang harus diingat oleh Jokowi. Pertama, pengisian kabinet toal aak lain dan tak bukan adalah perdebatan klasik antara jatah menteri dari partai dan non-partai. Saya sepakat bahwa partai pasti harus dapat karena kita tak bisa menafikan bahwa mereka ikut berjuang dalam pemenangan.

Namun, Jokowi harus memastikan bahwa menteri yang didorong oleh partai benar-benar bisa bekerja secara profesional. Misalnya, Jokowi harus memastikan bahwa menteri yang merupakan pejabat teras parpol harus meletakkan jabatannya di partai. Ini toh sudah disampaikan Jokowi di awal pemerintahannya di periode pertama. Seorang menteri tentu harus fokus dan total membantu Presiden.

Catatan kedua, Jokowi harus memastikan bahwa ia tak memberikan cek kosong dalam penentuan kader mana dari sebuah partai yang menjadi menteri. Perlu diingat bahwa logika kepala eksekutif pemerintahan dan logika parpol itu berbeda. Parpol pasti bicara senioritas, siapa yang lebih berkeringat, siapa yang punya jabatan lebih tinggi di partai. Tapi Jokowi harus bicara pengisian kabinet sebagai seorang kepala pemerintahan, bukan sebagai pemimpin koalisi.

Di sinilah makna prerogatif diuji. Artinya, partai harus menyerahkan ke presiden mau ditempatkan di pos mana pun kadernya itu. Partai hanya sebatas memberikan list nama, Jokowi bisa mengembalikan list tersebut kapan pun jika nama yang diberikan dianggap tidak kompeten. Saat memberikan nama, parpol harusnya memberikan argumentasi soal kompetensi, kapabilitas dan rekam jejak, bukan hanya soal senioritas atau apakah ia telah berjuang selama kampanye.

Selain itu, Jokowi juga jangan sampai terjebak dengan istilah menteri milenial atau menteri muda hanya pada tataran simbol. Betul kita butuh darah muda, kaum milenial harus diberikan kesempatan lebih karena merekalah penguasa knowledge di era digital, akan tetapi mereka sungguh perlu diseleksi karena menteri muda perlu memiliki beberapa kemampuan juga untuk duduk di jabatan politik.

Saya khawatir istilah menteri milenial atau menteri muda hanya menjadi ‘gincu’ politik yang malah menjadi beban, bukan aset. Jangan sampai dalam pengisian kabinet, yang penting asal ada yang muda. Sebab, jabatan kementerian itu bukan hanya butuh kemampuan akademik, tapi juga butuh kemampuan organisasi yang baik, komunikasi parlemen yang baik. Jangan sampai hanya jadi ‘gincu’ politik saja.

Catatan lain buat Jokowi, saat menentukan jatah kementerian bagi parpol, ia jangan terjebak dengan logika bahwa partai tertentu harus dapat jatah pos tertentu karena sesuai dengan ideologi atau programnya.

Catatan saya, di Pileg 2019 tidak ada satu partai pun yang memiliki positioning jelas ke isu tertentu. Hampir tak bisa dibedakan program partai nasionalis dan agamis. Jadi sungguh tak tepat mendikotomikan jatah menteri ke partai berdasarkan program, keahlian atau tradisi sebuah partai. Pembagian harus betul-betul didasarkan pada kompetensi sosok yang diajukan, bukan berdasarkan klaim partai untuk mendapatkan pos tertentu.

 

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Foto dok Biro Pers Sekretariat Presiden

 

 

Sumber: Kumparan

Charta Politika Meraih Penghargaan Sebagai Lembaga Survei Terpercaya

Yogyakarta, 19 juli 2019 – Kegigihan dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemajuan serta kesejahteraan bangsa di Indonesia, berhasil membawa Charta Politika Indonesia  meraih penghargaan “Indonesian Business, Professional and Education Award 2019” kategori “The Most Trusted Survey Institution With Service Excellent of The Year”.

“Penghargaan ‘Indonesian Business, Professional and Education Award’ berupaya menumbuhkan motivasi, perubahan, serta harapan bagi masa depan Indonesia yang sejahtera, maju dan beradab, setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia”, kata Ketua Penyelenggara Laksamana Madya (Purn.) TNI H. Gunadi, MDA.

Peraih penghargaan dari pelbagai kategori diberikan oleh Sembilan Bersama Media berdasarkan rekomendasi dari Kementerian RI, LSM dan swasta dengan harapan semakin meningkatkan kinerja dan kreativitas pribadi, kemajuan institusi serta perusahaan.

“Metodologi dan pengukur penilaian dilandaskan pada beberapa kriteria seperti kualitas, inovasi, performa, akuntabilitas, kepedulian dan lain-lain. Sebagai kelengkapan data, Tim Research Majalah Indonesian Inspire! melakukan riset dengan responden pemilik telepon rumah (fixed phone) di Jabodetabek dan beberapa kota besar lainnya”, ungkap Founder ‘Sembilan Bersama Media’ Laksamana Madya (Purn.) TNI H. Gunadi, MDA di The Karaton Ballroom, Royal Ambarrukmo Hotel – Yogyakarta, Jumat (19/7).

Muslimin selaku Direktur Riset Charta Politika Indonesia, yang mewakili Charta Politika untuk menerima penghargaan tersebut, berharap penghargaan ini bisa menjadi spirit baru bagi  Charta Politika Indonesia untuk terus memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, dan mempersembahkan hasil-hasil riset maupun survei yang kredibel, ilmiah, objektif dan terpercaya sebagai acuan bagi lembaga-lembaga pemerintahan, institusi demokrasi dan perusahaan untuk meningkatkan performa dan kinerjanya.

Ia mengatakan, pihak Charta merasa terhormat dengan penghargaan ini. Charta sendiri memang sudah sejak lama dipercaya memberikan acuan bagi lembaga-lembaga pemerintahan, institusi demokrasi dan perusahaan dalam upaya meningkatkan performa kinerjanya, sesuai hasil rekomendasi riset yang diberikan.]

Ia menegaskan, Charta Politika Indonesia komitemen untuk terus menjunjung tinggi integritas dan profesionalitas sebagai lembaga riset dan konsultan politik yang mengedepankan validitas data, akurasi informasi dan analisis politik yang kompeten dalam memetakan, memahami, dan memprediksi proses politik.

“Kami akan terus berkomitmen dan menjaga kepercayaan ini, sebagai jembatan dalam mendekatkan aspirasi publik dengan pihak pemerintah baik pusat maupun daerah, dalam rangka mendukung kebijakan yang berorientasi bagi kemajuan Indonesia,” tandasnya.

Dok. Charta Politika Indonesia.

Yunarto Wijaya: Pidato Jokowi tegaskan akan berani ambil kebijakan

“Dengan diksi yang digunakan, menurut saya masa konsolidasi sudah selesai, sekarang bicara mengenai bekerja dengan sikap yang lebih tanpa beban”

Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai pidato Presiden terpilih Joko Widodo bertajuk Visi Indonesia menegaskan Jokowi akan berani ambil kebijakan di periode kedua.

Yunarto juga mengapresiasi dibacakannya Ikrar Bangsa Indonesia dalam rangkaian acara Visi Indonesia oleh Ketua Dewan Pengarah Visi Indonesia, Andi Gani Nena Wea.

“Dengan diksi yang digunakan, menurut saya masa konsolidasi sudah selesai, sekarang bicara mengenai bekerja dengan sikap yang lebih tanpa beban,” kata Yunarto di Jakarta, Senin.

Hal itu menurut dia terlihat dari penggunaan diksi yang disampaikan Jokowi dalam pidatonya tersebut yang berlangsung di Sentul International Convention Center (SICC), Minggu (14/7).

Menurut dia, penegasan sikap Presiden Jokowi ditunjukan pada penggunaan kalimat atau diksi yang diucapkannya.

Yunarto mencontohkan, beberapa kali dalam pidatonya tersebut, Jokowi menggunakan kata “hajar”, “hapus” dan “hilangkan”.

Dia menilai pidato Jokowi tersebut menunjukkan penegasan atas pernyataan kerja tanpa beban yang selama ini dijalaninya.

“Presiden Jokowi akan mengambil sikap lebih berani dan sikap lebih tegas dalam periode keduanya,” ujarnya.

Yunarto menjelaskan dalam pidatonya, Jokowi secara gamblang menujukan pesannya kepada seluruh elemen masyarakat yang menunjukkan visinya bukan lagi berkompromi melainkan untuk bekerja dan akan berani mengambil tindakan tegas.

Selain itu, dia juga mengapresiasi adanya Ikrar Bangsa Indonesia dalam rangkaian acara Visi Indonesia, yang menunjukan adanya bentuk persatuan.

“Ikrar Bangsa Indonesia menekankan Persatuan Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika menjadi perekat utama bangsa Indonesia,” tuturnya.

Ikrar Bangsa Indonesia dibacakan langsung Ketua Dewan Pengarah Visi Indonesia, Andi Gani Nena Wea

Saat membacakan Ikrar Bangsa Indonesia yang diikuti seluruh hadirin, Andi Gani mengenakan pakaian adat Nagekeo dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan didampingi pimpinan-pimpinan relawan yang mengenakan baju adat dari seluruh wilayah Indonesia.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Foto dok Antara 2019

Kepala BIN Terlihat di Pertemuan Jokowi & Prabowo, Yunarto Wijaya Singgung Sosok di Belakang Layar

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Rr Dewi Kartika H

TRIBUNJAKARTA.COM – Kehadiran Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan di pertemuan Jokowi dan Prabowo Subianto menjadi sorotan.

Diwartakan sebelumnya Prabowo Subianto dan Jokowi bertemu untuk pertama kali setelah Pilpres 2019, di Stasiun MRT Lebak Bulus, pada Sabtu (13/7/2019).

Prabowo Subianto tiba sekitar pukul 09.52 WIB bersama Seskab Pranomo Anung, Budi Gunawan dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya membeberkan analisannya terkait kehadiran Budi Gunawan dipertemuan bersejerah itu.

Hal tersebut disampaikan Yunarto Wijaya melalui sambungan telepon di Breaking News Kompas TV.

Mulanya pembawa acara Breaking News Kompas TV mengatakan selama ini Budi Gunawan selalu dikaitkan dengan isu rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi.

Ia lantas meminta pendapat Yunarto Wijaya soal kehadiran Kepala BIN tersebut.

“Ada kehadiran sosok kepala BIN, Budi Gunawan yang sempat dikaitkan dengan rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi. Anda melihat seperti apa sebetulnya dengan adanya Pak Budi Gunawan?” tanya pembawa acara dikutip TribunJakarta.com dari siaran langsung Kompas TV.

Yunarto Wijaya mengatakan kehadiran Budi Gunawan dipertemuan tersebut dapat menimbulkan banyak spekulasi.

Pasalnya orang-orang yang hadir dipertemuan tersebut memiliki hubungan langsung dengan Jokowi seperti, Pramono Anung dan Erick Thohir namun hanya Budi Gunawan saja yang tidak.

Yunarto Wijaya mengaku jujur ia tak mengetahui konteks dari kehadiran Budi Gunawan.

“Iya orang bisa berspekluasi banyak ya, kalau Mas Pramono Anung saya sepikir memang selalu mendampingi presiden, atau kalau Erick Thohir simbolisasi ketua TKN,” ucap Yunarto Wijaya.
“Kehadiran Pak Budi Gunawan saya tidak tahu dalam kontesk apa,” imbuhnya.

Yunarto Wijaya lantas membeberkan analisannya terkait permasalahan tersebut.

Ia menilai Budi Gunawan mungkin saja terlibat sebagai sosok dibelakang layar yang mengkompromikan pertemuan Prabowo dan Jokowi.

“Tapi sangat mungkin saja Pak Budi Gunawan yang orang ikut terlibat dalam proses kompromi di belakang layar,” jelas Yunarto Wijaya.

Penilaian tersebut didasari karena Budi Gunanawan merupakan sosok senior yang kerap menjembati banyak pihak.

“Proses pra pertemuan yang mungkin saja melibatkan Budi Gunawan, karena sosok senior juga sering dianggap bisa menjembati berbagai pihak,” tutur Yunarto Wijaya.

“Baik dalam konteks dulu beliau sebagai Jenderal Polisi atau konteks di BIN misalnya,” imbuhnya.

Yunarto Wijaya kembali menegaskan Budi Gunawan mungkin terlibat dalam merancang pertemuan Prabowo dan Jokowi hari ini.

“Saya pikir mungkin saja ada keterlibatan beliau dalam mempertemukan komunikasi hingga hari ini terjadi,” kata Yunarto Wijaya.

Sinyal pertemuan diungkapkan Jokowi sebulan lalu

Presiden terpilih Jokowi rupanya sudah memberi sinyal bakal ada rekonsiliasi antara dirinya dengan Prabowo.

Sinyal ini diberikan Jokowi saat melakukan kunjungan kerja ke Bali pada Jumat (14/6/2019) silam.

Ini diawali dari awak media yang mengkonfirmasi adanya usulan dari akademisi-akademisi di Yogyakarta yang meminta Sri Sultan Hamengku Buwono X memimpin rekonsiliasi keduanya di Kraton Yogyakarta.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, yudian Wahyudi mengatakan Keraton Yogyakarta menjadi yang paling tepat untuk rekonsiliasi.

Terlebih momennya sangat tepat pula yakni jelang putusan MK soal sengketa Pilpres 2019 serta masih nuansa halal bi halal usai Idul Fitri 1440 H.

Merespon itu, menurut Jokowi rekonsiliasi bisa dilakukan dimana saja. Mantan Wali Kota Solo ini bahkan menyinggung rekonsiliasi bisa sembari menunggang kuda.

“Rekonsiliasi bisa dimanapun juga. Sambil naik kuda bisa, naik MRT bisa. Yang paling penting sama-sama kerka sama memajukan negara ini,” tegas Jokowi di Pasar Sukawati Bali, Jumat (14/6/2019) silam.

Seperti telah diberitakan sebelumnya ‎hari ini, Sabtu (13/7/2019) Jokowi bakal bertemu dengan Prabowo di MRT Lebak Bulus.

Peristiwa bersejarah ini diharapkan bisa membuat teduh situasi politik yang sempat memanas.

Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Ma’ruf Amin, Usman Kansong membenarkan adanya pertemuan antara kedua tokoh tersebut.

“‎Benar beredar kabar soal kemungkinan pertemuan Jokowi dengan Prabowo. Cuma dimana dan pukul berapa belum ada pakar. Pak Jokowi sendiri pukul 10.00 ada jadwal mengunjungi stasiun MRT Lebak Bulus. Apakah bila ada pertemuan, pertemuan itu berlangsung di Lebak Bulus atau di MRT atau di tempat lain, belum ada kabar pasti juga,” papar Usman Kansong saat dikonfirmasi awak media melalui pesan singkat.

Kabar soal pertemuan keduanya sempat menyeruak setelah pemungutan suara digelar pada 17 April 2019 lalu.

Hingga keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas sengketa Pilpres 2019 keluar, keduanya belum kunjung bertemu.

Kedua belah pihak dari Jokowi yang diwakili TKN dan Prabowo diwakili Gerindra mengaku telah menjalin komunikasi antar kedua pihak.‎

Sejak pagi hari, Pramono Anung melalui twitternya sudah mencuitkan tanda-tanda pertemuan untuk membuat bangsa semakin kuat, maju, adil dan makmur.

“Semoga hari ini menjadi hari yang dikenang buat proses demokrasi yang semakin dewasa.. Mudah2an pertemuan yang terjadi membuat bangsa ini semakin kuat, maju, adil dan makmur#pertemuan#indonesia#AlFatihan,”

Terungkap alasan Presiden terpilih Jokowi mengajak Prabowo untuk bertemu di dalam MRT.

Pada Sabtu (13/7‎/2019) Jokowi janjian bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus lanjut naik MRT ke Stasiun Istora Mandiri lalu berjalan kaki ke FX Sudirman untuk makan siang bersama.

‎”Alhamdulilah‎ pada pagi hari ini, kita bisa bertemu dan mencoba MRT karena saya tahu Pak Prabowo belum pernah coba MRT,” ungkap Jokowi lagi.

Ditanya awak media, kenapa memilih bertemu di MRT?
Jokowi menjawab pertemuan dimanapun bisa.

“Sebetulnya pertemuan dimanapun bisa. Di MRT bisa, mau di rumah Pak Prabowo bisa, di Istana bisa. Tapi kami sepakat memilih disini,” tambahnya.

‎Lantas bagaimana respon dari Prabowo?
Rupanya Prabowo sangat senang bisa naik MRT untuk pertama kalinya.

Bahkan Ketua Umum Partai Gerindra ini mengapresiasi pemerintahan Jokowi yang bisa membangun MRT.
“Bismillah, Assalam, Salam Sejahtera. Yang saaya hormati Bapak Jokowi Presiden RI. Saudara-saudara sekalian sebangsa dan setanah air. Hari ini sebagaimana saudara saksikan saya dan Pak Jokowi bertemu di atas MRT. Ini juga gagasan beliau. Beliau tahu saya belum pernah naik MRT, jadi saya terima kasih. Saya naik MRT luar biasa, kita bangga Indonesia akhirnya punya MRT yang bisa membantu kepentingan rakyat‎,” jawab Prabowo.

 

Penulis: Rr Dewi Kartika H
Editor: Mohamad Afkar Sarvika
Foto: TribunJakarta

 

Yunarto Wijaya: Jokowi-Prabowo Ingin Bergerak Bersama untuk Indonesia

Jakarta, Beritasatu.com – Pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan, pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu, (13/7/2019) merupakan simbol awal dari rekonsiliasi nasional. Menurut Yunarto, pertemuan keduanya di Stasiun MRT lalu naik MRT merupakan simbol untuk bergerak bersama.

“Yang menarik perhatian saya, mengapa mereka bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus lalu naik MRT ke Senayan. Pertemuan bukan di ruang tertutup, bukan di Istana. Pertemuan berlangsung di tempat rakyat. MRT itu bergerak. Ini saya melihat bahwa mereka mununjukkan akan bergerak bersama untuk membangun bangsa,” ujar Yunarto kepada Beritasatu.com di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).

Selain itu, Yunarto juga melihat bahwa transportasi massal MRT merupakan tempat rakyat biasa beraktivitas. Kedua kubu pendukung Jokowi dan Prabowo pasti ada di Stasiun MRT tersebut.

Itu artinya bahwa Jokowi dan Prabowo ingin menunjukkan kepada pendukung masing-masing bahwa mereka telah bertemu. Prabowo dan Jokowi menunjukkan kepada pendukungnya bahwa mereka akan bersama-sama bergerak membangun Indonesia.

Ketika ditanya, apakah artinya bergerak bersama itu berada dalam satu gerbong koalisi, Yunarto mengatakan, bisa iya, bisa juga tidak. “Bisa jadi makna dari bergerak bersama itu dalam satu gerbong koalisi. Tetapi, bisa juga Prabowo tetap sebagai oposisi yang memberikan kritik membangun bagi pemerintahan Jokowi.

Menurut Yunarto, pertemuan Jokowi dan Prabowo ini tidak mungkin berlangsung tanpa direncanakan lebih dulu. Pertemuan itu, ujarnya, pasti sudah didahului dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, terutama di antara tim masing-masing.

Yunarto juga mengatakan, pertemuan Jokowi-Prabowo hari ini juga akan semakin memperlihatkan apakah ada pihak ketiga yang selama ini memanfaatkan perseteruan dua kubu pada Pilpres 2019. Jika ada pihak-pihak yang mengomentari miring pertemuan ini, ujarnya, berarti benar dan semakin jelas bahwa selama ini ada pihak ketiga yang ingin memperkeruh suasana.

“Saya yakin, pendukung dua kubu akan semakin tenang setelah pertemuan ini. Kalau ada pihak yang tidak menerima pertemuan Jokowi-Prabowo serta mengeluarkan pernyataan miring, itu semakin jelas menunjukkan siapa pihak ketiga itu,” ujarnya.

 

Sumber: BeritaSatu.com
Foto: Suara Pembaruan / Joanito De Saojoao

Pembelajaran dari Pilpres 2019

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 yang  diajukan pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Resmi sudah, Jokowi-Amin  akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024

Dalam pernyataan persnya, Prabowo menyatakan menghormati keputusan MK.  Meski demikian, ia masih membuka kemungkinan menempuh jalur konstitusional  lain. Di kalangan pendukungnya, reaksinya beragam. Sebagian memilih move
on. Sebagian lagi bergeming. Mereka kukuh dengan pendiriannya bahwa pemenang pilpres melakukan kecurangan.

Narasi curang dipupuk sejak awal masa kampanye dengan rupa-rupa argumen. Narasi curang pula yang jadi pendorong sebagian pendukung 02 melakukan berbagai penolakan hasil pilpres yang berbuntut kerusuhan Mei lalu.

Buah strategi

Keteguhan sikap di sebagian pemilih Prabowo-Sandi adalah implikasi wajar  dan strategi kampanye. Dalam konteks ini, pasangan 02 memanfaatkan betul modal dasar dari luberan Pilpres 2014 dan juga Pilkada DKI 2017. Karena menghadapi petahana mereka juga menyoal kinerja ekonomi. Ini pilihan yang masuk akal. Sebab, di berbagai survei, di bidang inilah tingkat kepuasan pemilih terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla paling rendah diantara bidang-bidang lainnya. Hasilnya, trilogi isu andalan: agama (kriminalisasi ulama dan atau bagian dari PKI), ekonomi (kegagalan dan atau ketakberpihakan di bidang ekonomi), serta etnisitas (dominasi etnis Tionghoa dan atau ancaman aneksasi China)

Trilogi isu ini dipasarkan dengan pendekatan emosional negatif (terutama rasa marah). Menurut Steenbergen dan Ellis (2006), rasa marah hanya terpicu jika mampu menunjukan bahwa politisi yang punya wewenang tak mau dan atau tak mampu menangani masalah yang dipersoalkan. Terutama soal ekonomi dan moralitas. Dalam konteks Pilpres 2019, pendukung Prabowo-Sandi merentangkan tanggung jawab petahana secara luas sehingga setiap hal dan di berbagai bidang yang dianggap keliru ada kesalahan atau bencana selalu berujung :”semua salah Jokowi”.

Sebagian pemilih 02 menginternalisasi trilogi isu dengan cara melakukan rasionalisasi pilihan. Sebagaimana disebut Lodge dan Tober (2007), rasionalisasi itu dilakukan dengan memberikan penilaian lebih kuat (baca: lebih positif) pada isu yang konkruen dengan yang mereka yakini sebelumnya. Sekaitan itu, pemilih juga termotivasi mencari informasi yang  selaras dengan apa yang mereka yakini dan mengabaikan yang tak konkruen dengan apa yang mereka yakini (conformation bias). Dan, menerima tanpa sikap kritis setiap informasi yang konkruen dengan keyakinan yang sudah  ada sebelumnya. Sebaliknya, memeriksa secara cermat dan atau memberi  penilaian secara tak adil pada informasi yang tidak konkruen dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya (disconfirmation bias).

Sebagai konsekuensinya, pemilih yang mempunyai keyakinan kuat terhadap sesuatu hal akan bersikap lebih ekstrem ketika dihadapkan kepada informasi yang bersifat pro dan kontra karena mereka mengabaikan yang tak konkruen dan menerima begitu saja informasi yang selaras dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya (attitude polarization). Pokok pentingnya, rasionalisasi ini lebih kuat terjadi pada orang-orang yang memahami secara mendalam tentang isu-isu politik daripada yang kurang memiliki pengetahuan dan atau penalaran yang canggih tentang isu-isu politik.

Strategi lain yang diterapkan Prabowo-Sandi adalah menggencarkan kampanye negatif. Ini strategi generik dalam setiap pemilu dan kubu Jokowi-Amin juga melakukannya. Kampanye negatif diyakini mampu mendorong pemilih yang sebelumnya lebih condong ke kandidat lawan bergeser preferensinya, minimal jadi golput. Kampanye negatif juga diniatkan memengaruhi swing voters agar punya penilaian negatif terhadap kompetitor. Masalahnya, kampanye negatif tak selalu mendorong pemilih menelusuri informasi lebih lanjut dan atau menurunkan partisipasi pemilih. Temuan Klein dan Ahluwalia (2005), misalnnya, menunjukkan pesan-pesan negatif hanya efektif pada pemilih yang memang sebelumnya tak suka terhadap kandidat yang jadi sasaran pesan negatif itu. Temuan Meffert dkk (2006) juga menunjukkan, pesan-pesan negatif bisa diresepsi dengan cara sebaliknya. Pemilih justru menilai buruk terhadap pesan negatif ini dan atau mendiskon (kredibilitas) pesan- pesan itu.

Meski demikian, pesan negatif bukan berarti tak ada gunanya. Menurut Redlawsk dkk (2010), kegagalan pesan negatif bekerja mempersuasi pemilih lebih dikarenakan tak mencapai apa yang disebutnya sebagai tipping poin affection. Ketika titik kritis untuk melenting ini tercapai, pemilih akan terdorong untuk mengevaluasi ulang preferensinya. Disinilah peran utama kabar bohong yang berperan bak “obat kuat”. Dalam konteks Pilpres 2019, pesan-pesan negatif lebih banyak bermuatan kabar bohong. Intensitasnya tinggi dan perluasan temanya dalam. Derasnya semburan kabar bohong juga buah dari sikap pemilih yang melakukan disconfirmation bias.

Sepanjang pesan itu selaras dengan apa yang mereka yakini dan atau menguntungkan capres mereka, akurasi konten tak lagi dipersoalkan dan karena itu juga dengan cepat dibagikan di berbagai medium komunikasi, terutama medsos dan media percakapan. Tak heran, jika hingga taraf tertentu, kampanye negatif berhasil memengaruhi evaluasi sebagian pemilih atas kandidat capres, terutama Jokowi-Amin. Untuk mencegah pesan negatif dan kabar bohong melampaui titik kritis melenting, Jokowi secara aktif melakukan berbagai aksi simbolik untuk menunjukan dirinya Muslim taat dan juga dekat dengan ulama. Di tingkatan pendukung, pemilihnya juga ikutan memasarkan pendekatan emosional yang negatif. Mulanya, mendorong terbangunnya rasa cemas yang lebih umum (misalnya: adanya ancaman terhadap demokrasi atau kebebasan). Belakangan rasa takut dibangkitkan dengan menonjolkan peran dan agenda dari kelompok terorganisir (HTI, FPI, dan lainnya) yang menjadi bagian pendukung Prabowo-Sandi.

Pada skala tertentu, respon pendukung 01 terhadap serangan opini yang dilancarkan kubu (pendukung) 02 justru mengentalkan keyakinan di sebagian pemilih Prabowo-Sandi bahwa Jokowi dan atau para pendukungnya adalah  “musuh-musuh secara ideologis”. Fakta bahwa cawapres Jokowi seorang ulama dan juga ketua MUI tak menghalangi keyakinan itu. Sebaliknya, sikap pemilih 02 juga meningkatkan eskalasi kemarahan di sebagian pendukung Jokowi-Amin. Setidaknya ada dua isu yang memicu kemarahan ini. Pertama, presentasi diri sebagian kelompok pendukung 02 bahwa merekalah yang  Islam-nya paling benar. Dan, penjulukan kafir atau sesat ke setiap orang atau golongan yang tak sepaham dengan pendirian mereka. Kedua, penjulukan sosial. Persisnya, Jokowi-Amin diidentikan dengan istilah “dungu” dan atau karena butuh nasi bungkus atau uang transpor.

Berbagai kesamaan

Secara umum dapat dikatakan , pemilih 01 dan 02 berbagi kesamaan dalam sejumlah hal. Pertama, mereka sama-sama meyakini telah melakukan pilihan tepat. Mereka meyakini itu karena merasa disarkan informasi akurat dan  argumentasi kuat. Yang mereka abaikan adanya bias preferensi awal yang memengaruhi cara mereka mengolah informasi yang datang belakangan. Berbekal keyakinan ini mereka mulai memiliki kawajiban mulia untuk “meluruskan” pemilih lawan yang dinilainya keliru atau terpedaya. Penolakan dari pemilih kompetitor menstimuli kemarahan baru. Dan, ini menjadi personal sifatnya karena yang kemudian dipersoalkan adalah sikap dari teman, kolega atau kerabat.

Kedua, sebagai lanjutan dari aktivasi merasionalisasi pilihan, sebagian pemilih yang dapat digolongkan sebagai die hard menjelma menjadi pemuja. Mereka menganggap capres pilihannya sang “juru selamat”. Disadari atau tidak, baik Jokowi maupun Prabowo meresonansinya. Sekurangnya mereka melakukan hal itu untuk memastikan dan memelihara dukungan dari para pemilihnya. Terkait ini, para pemuja di kedua kubu sama-sama tak menyukai pemilih kritis yang sekubu dengan mereka, karena pemilih kritis tak sungkan mengkritik capres dan memperolok-olok perilaku para pemuja. Bedanya, pemilih kritis di kubu 01 lebih ekspresif dan terbuka mengumbar kritik dan olok-olok itu, sementara pemilih kritis di 02 lebih sering melakukannya di forum terbatas.

Lebih daripada itu, ketiga, di sebagian pemilih 01 ataupun 02 juga tumbuh semangat “yang penting menang dulu”. Implikasi praktisnya, mereka memaklumi dan bahkan turut memberikan pembenaran atas perilaku capres masing-masing meski secara personal bertentangan dengan standar mereka. Pada tingkat gagasan, mereka juga mengadopsi gagasan capres yang mereka
dukung meski sebelumnya bisa jadi justru beroposisi terhadap kebijakan itu. Perilaku ini yang menjelaskan mengapa sebagian pemilih tiba-tiba terlihat tak konsisten dengan ucapan/sikap yang selama ini ditunjukkan ke orang lain.

Keempat, ada sebagian pemilih dari kedua kubu yang melakukan pemosisian ulang dalam memaknai konstetasi Pilpres 2019. Ini terjadi ketika rasionalisasi atas pilihan mereka mengalami gangguan. Terpaan berbagai informasi dan atau perubahan sikap capres membuat mereka merasa capres yang didukung bukanlah figur tepat untuk dipilih. Tapi untuk berbalik arah
atau golput, mereka juga tak mungkin melakukan karena berbagai alasan. Dalam situasi seperti ini, mereka memosisikan pilpres tidak lagi soal 01 vs 02, tetapi konstetasi nilai-nilai dan atau pertarungan antara kelompok mereka dan kelompok yang diposisikan sebagai musuh. Sebagian pemilih 02, misalnya, belakangan memaknai pilpres sebagai medan pertempuran untuk
membela agama atau ulama. Di kalangan pemilih 01, ada yang meyakini pilpres ini pertaruhan menyangkut masa depan keberagaman dalam beragama atau kebhinekaan dalam berbangsa..

Cara pandang ini menjadi energi baru dan sekaligus perisai ketika menghadapi informasi yang tak konkruen dengan apa yang sebelumnya mereka yakini. Meski berisiko terlalu berlebih-lebihan, transformasi cara pandang ini bisa juga dianggap sebagai sebuah pembajakan ruang kontestasi. Salah satu implikasinya: pergeseran komando. Arahan dan imbauan capres akan diabaikan jika tak sejalan dengan kepentingan (baru) yang mereka yakini sedang diperjuangkan.

Kenormalan baru

Konsekuensi logis dari “pembajakan” ruang kontestasi adalah terbukanya ruang bagi kelompok-kelompok kepentingan politik-ekonomi melakukan manuver politik. Mereka tak saja mendistorsi perhelatan demokrasi, tapi sangat mungkin juga malah menginisiasi berbagai aktivitas yang memungkinkan dilakukannya berbagai tindakan non-demokrasi, seperti kerusuhan dan
pembunuhan. Lebih daripada itu, perkubuan yang mengeras di sebagian pemilih membuat ketegangan politik tak mereda meski pemilu sudah berakhir. Sekurangnya, ada dua sumber yang berpotensi memicu ketegangan ini. Pertama, kolompok pendukung Prabowo yang terorganisasi dan atau tersatukan dengan narasi seputar “membela agama dan atau membela ulama”. Sebagai kelompok kepentingan, pelibatan dalam dinamika politik tak saja berguna untuk mendesakkan agenda politiknya, tetapi bermanfaat sebagai sarana “merawat” dan “mengembangkan” mesin politiknya. Pada titik ini, pertemuan kepentingan dengan para “penumpang gelap” yang punya motif ekonomi atau politik dapat saja terjadi.

Pemicu kedua berasal dari para pemilih 01 dan 02 yang sudah tak merasa terkait dengan pilihannya. Ini terjadi jika pemerintahan Jokowi-Amin mereka nilai sudah terlalu “pragmatis” dan atau membuka ruang bagi berlakunya pembatasan demokrasi. Mereka memang tak mampu secara langsung menggerakkan massa, tetapi mampu memengaruhi pembentukan opini publik, terutama di jalur media massa atau medsos. Pemicu ketiga berasal dari kontestasi di elit politik sendiri. Titik masuknya bisa saja soal komposisi dan atau “jatah” dalam kabinet. Namun, juga bisa karena proyeksi kontestasi Pemilu 2024 yang terlalu dini. yang terakhir ini memicu potensi “ketakdisiplinan”, baik di tubuh kabinet maupun di parlemen.

Dus, tak ada pilihan mudah bagi Jokowi-Amin. Pilihan-pilihan yang terlalu jauh dari daya terima rata-rata pemilih harus dihindari. Pilihan, membentuk kabinet “super pelangi” alias mencakup hampir semua peserta pemilu, misalnya selain tak disukai juga tak menjamin terciptanya kondisi politik yang positif. Tapi, pada saat yang sama, Jokowi perlu menunjukkan
kepemimpinannya dengan berani mengambil keputusan yang tak populer demi memelihara kesatuan dan keberagaman berbangsa maupun dalam konteks untuk melentingkan daya saing bangsa. Singkatnya, keriuhan akan terus terjadi. Dan, inilah kenormalan (baru) dalam perpolitikan di Tanah Air. Selamat mengarunginya.

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 5 Juli 2019