Lagu Lawas Tiga Periode

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), isu presiden tiga periode pernah menggelinding. Pada masa Presiden Jokowi, kita kembali mendengar lagu lawas itu. Setidaknya, sejak akhir 2019 sampai awal 2022 ini, Jokowi terus didorong oleh sebagian pihak untuk tampil kembali di pemilu berikutnya.

Dalam berbagai kesempatan, Jokowi sudah menolak wacana presiden tiga periode. Tetapi dalam dua tahun terakhir, kita disuguhkan deklarasi pasangan Jokowi (capres) – Prabowo (cawapres) untuk berlaga di Pilpres 2024. Kini muncul lagi ide aneh untuk membentuk paket Prabowo (capres) – Jokowi (cawapres). Di sisi lain, kasak-kusuk penundaan Pemilu 2024 juga terdengar.

J.B. Delston (2016) dalam Public Reason and Its Limits: The Role of Truth in Politics, menguraikan soal pengambilan keputusan politik, mengacu pada pandangan John Rawls yang disebut sebagai “alasan publik”. Dalam derajat tertentu, pejabat tidak boleh memaksakan kehendak privat, lalu mengabaikan aspirasi publik.

Bagaimana suara opini publik terhadap desas-desus tiga periode dan hajatan Pemilu 2024 itu? Pada tanggal 9 Januari 2022, Charta Politika Indonesia (CPI) menggelar rilis survei nasional bertajuk “Refleksi Akhir Tahun 2021: Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum di Masa Pandemi”.

Data survei CPI (29 November – 6 Desember 2021) mengenai perpanjangan masa jabatan presiden, dari hampir 50% responden yang mengetahui wacana tersebut, hasilnya mayoritas menyatakan tidak setuju dengan masa jabatan presiden tiga periode.

Sementara itu, tingkat pengetahuan publik seputar pemilu yang akan digelar pada 2024 berada di angka hampir 60%. Dari jumlah itu, menurut hasil survei CPI, mayoritas menyatakan setuju dengan penyelenggaraan Pileg–Pilpres dan Pilkada secara bersamaan pada 2024. Sedangkan isu penundaan Pemilu 2024 menjadi 2027, sebagian besar responden menyatakan tidak setuju.

Sejumlah lembaga survei lainnya pun menemukan hasil serupa. Artinya, persistensi masyarakat terhadap demokrasi dan konstitusi telah mengental. Dalam postulat Lord Acton: power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Pesan moralnya jelas, bahwa kekuasaan harus dibatasi agar tidak terbius dalam perangkap otoritarian. Mantra tiga periode akan memunculkan glorifikasi terhadap individu. Budaya politik kultus juga akan mengedepan. Keadilan tiap warga negara akan akses untuk berpartisipasi dalam pemilu terjadwal akan terbonsaikan.

Jika kekuasaan presiden dua periode tidak diberi limitasi, maka stok putra-putri terbaik bangsa ini akan mengalami stagnasi. Gula kekuasaan yang dinikmati secara overdosis sangat destruktif bagi bangunan demokrasi. Dampak susulannya, bahkan bisa memicu distrust dari publik.

Pemilu 2024 merupakan wahana untuk menyiapkan regenerasi kepemimpinan sesuai kalender konstitusi. Dalam peta politik elektoral termutakhir, masing-masing partai politik, termasuk bakal calon presiden telah bermanuver menyongsong kompetisi elektoral di Pilpres 2024 nanti.

Dalam sejarah politik Indonesia, masa jabatan presiden dua periode sejak reformasi 1998 sejatinya adalah koreksi terhadap durasi kekuasaan yang terlalu lama di era orde lama maupun orde baru. Sebab itu, masa jabatan presiden dua periode mesti diproteksi sebagai mandat demokrasi konstitusional yang sejauh ini relatif stabil.

Kekuasaan memang terasa manis bagai madu, tetapi seketika dapat menjelma menjadi racun jika berkuasa melampaui batas. Itulah yang menjelaskan, misalnya, negara Perancis mengurangi masa jabatan presiden dari tujuh tahun menjadi lima tahun.

Pada 2009, Presiden Hugo Chavez Venezuela saat itu menghilangkan aturan masa jabatan presiden dua periode. Diego A. Zambrano (2019) dalam artikelnya The Constitutional Path to Dictatorship in Venezuela telah menggambarkan betapa platform ekstra konstitusional disertai referendum menggiring Venezuela ke dalam sistem “hiperpresidensial” menuju otoritarianisme.

Amerika Serikat (AS) masih menjadi trendsetter dalam hal pembatasan periode masa jabatan presiden. Mandat konstitusi di AS semula membuka kran jabatan presiden tanpa batas. Tetapi George Washington, presiden pertama AS, tidak tergoda untuk menikmati kursi empuk kekuasaan, justru ia mewariskan keteladanan yang istimewa.

George Washington hanya ingin menjabat dua periode saja, kendati loyalisnya terus mendorong maju kembali. Jokowi juga tak henti-hentinya didukung relawan JokPro agar menjabat tiga periode. Tetapi, Jokowi berulang kali menolak usulan tersebut.

Kalau Jokowi dan Prabowo berduet di Pilpres 2024 beralaskan kontingensi untuk menghilangkan polarisasi politik ekstrem (residu dari Pilpres 2014 dan Pilpres 2019), justru relasi kausalnya kurang tepat.

Polarisasi terjadi bukan karena siapa kontestan yang bertarung, tapi bagaimana cara kontestasi itu berlangsung dalam kerangka demokrasi berkeadaban. Kuncinya terletak pada aktor politik, koalisi parpol dan masyarakat umum agar mengisi ruang kampanye politik dengan kedalaman etik, keluasan nalar kognitif, dan keindahan ekspresif.

Aspirasi rakyat yang didominasi oleh penolakan terhadap wacana tiga periode hendaknya didengarkan oleh segenap pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan. Bukankah inti demokrasi adalah mendengar suara rakyat?

 

 

Mawardin,
peneliti Charta Politika Indonesia
Sumber: https://bit.ly/3FTiI4d ~ Qureta (24 Januari 2022)
Sumber foto: CNN Indonesia

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *