Saat Partai Berjibaku agar Pileg Tak Dilupakan

Publik menganggap isu pilpres seolah lebih ”seksi” ketimbang pileg. Alhasil, narasi pilpres lebih mengemuka. Fenomena ini menjadi tantangan bagi partai untuk menyosialisasikan pileg kepada khalayak.

 

Pagi-pagi benar, Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB menggelar rapat pleno di kantornya di Jakarta, Jumat (1/9/2023). Selang tujuh jam kemudian, rapat pleno membahas tawaran Partai Nasdem untuk menduetkan Anies Rasyid Baswedan dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, dalam Pemilu Presiden 2024, dilanjutkan di Surabaya, Jawa Timur. Hasilnya, PKB menerima tawaran Nasdem dan mencabut dukungannya kepada Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.

Pada hari yang sama, Majelis Tinggi Partai Demokrat menggelar rapat darurat di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, untuk membahas perkara yang sama, keputusan Nasdem menduetkan Anies dengan Muhaimin. Rapat darurat yang dipimpin langsung Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono itu menghasilkan dua kesepakatan. Pertama, Demokrat mencabut dukungan kepada Anies. Kedua, Demokrat keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang sebelumnya dibentuk bersama Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Demokrat merasa kecewa karena, menurut mereka, sebelumnya Anies sudah meminta Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, untuk menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres). Bahkan, Demokrat mengklaim, pasangan Anies-Agus tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dideklarasikan.

DOKUMENTASI PARTAI DEMOKRAT

 

Empat hari sebelumnya, tepatnya Senin (28/8), Muhaimin masih menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun Ke-25 Partai Amanat Nasional (PAN) di sebuah hotel di Jakarta, bersama empat pimpinan partai politik Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Mereka adalah Prabowo, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.

Dalam kesempatan itu, Prabowo mendadak mengumumkan perubahan nama koalisi partai pendukungnya kepada publik, dari KKIR menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Nama koalisi tersebut diklaim sudah dimusyawarahkan bersama empat ketua umum partai lainnya.

Sementara itu, Senin siang, petinggi Partai Hanura mengunjungi kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Tujuannya, memberikan dukungan resmi kepada bakal capres dari PDI-P Ganjar Pranowo. Kehadiran Hanura menambah panjang barisan partai pendukung Ganjar setelah sebelumnya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Informasi-informasi itulah yang memenuhi ruang publik dalam sepekan terakhir. Jika ditarik mundur lagi, sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang berhubungan dengan kontestasi capres-cawapres menjadi perbincangan hangat di publik. Salah satunya momentum kebersamaan antara Presiden Joko Widodo dengan Prabowo dan Ganjar di Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Agustus 2023.

PMI SEKRETARIAT PRESIDEN/LAILY RACHEV

Ada pula momentum pertemuan Anies dengan Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, yang kemudian dilanjutkan pertemuan Anies dengan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri di Jakarta pada akhir pekan keempat Agustus.

Narasi pertarungan pilpres semacam itu seolah tak berhenti, apalagi mendekati tahapan pendaftaran capres-cawapres yang akan dimulai pada 19 Oktober. Padahal, Pemilu 2024 tidak bisa dilihat sebatas kontestasi capres, tetapi juga ada kontestasi calon anggota legislatif (caleg).

Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar Maman Abdurrahman menyadari keriuhan itu tak hanya terjadi di kehidupan nyata, tetapi juga di media sosial. Menurut dia, hal itu merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan Pemilu 2024 secara serentak. Publik menganggap isu pilpres ”lebih seksi” dibandingkan isu pemilu legislatif (pileg).

Meski demikian, bagi Maman, jika dilihat secara obyektif, pilpres dan pileg sesungguhnya memiliki bobot yang sama. Dalam pilpres, rakyat akan memilih presiden dan wakil presiden yang akan menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Begitu pula dalam pileg, rakyat akan memilih wakil-wakil mereka untuk mengawasi kinerja pemerintah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

”Tetapi, kan, itu pandangan kami secara obyektif. Kan, pandangan publik melihatnya bisa jadi berbeda. Ya, sudahlah, kami jalani saja,” kata Maman.

Tak lebih tinggi

PDI-P juga memandang bahwa bobot pileg dan pilpres sama. Karena itu, menurut Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, partainya tidak pernah menempatkan porsi narasi pilpres lebih tinggi dibandingkan pileg ataupun sebaliknya. Sebab, bagi PDI-P, pileg dan pilpres harus terkoneksi dan diperjuangkan dalam satu tarikan napas.

Dengan telah ditetapkannya daftar calon sementara (DCS) anggota DPR ataupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota, semua langsung bergerak. Tak hanya menyosialisasikan diri, ideologi serta program partai, bakal caleg juga menyosialisasikan Ganjar, bakal capres yang ditetapkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

”Antara bakal caleg dan capres Ganjar Pranowo selalu connected. Strategi kampanye caleg dan capres sama, yakni penggalangan, komunikasi politik, dan melakukan hal konkret bagi rakyat,” ucap Hasto.

Sejak KPU mengumumkan penetapan DCS pada 19 Agustus lalu, baliho dan spanduk bergambar para caleg PDI-P untuk semua tingkatan lembaga perwakilan bermunculan di berbagai daerah. Umumnya, dalam baliho para bakal caleg itu juga terpasang gambar wajah Ganjar Pranowo.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Menurut Hasto, para bakal caleg PDI-P memang dipersiapkan sebaik mungkin untuk bisa menyosialisasikan tiga hal. Pertama, ideologi, platform, program partai di dalam menjawab berbagai persoalan rakyat, sekaligus desain kebijakan bagi masa depan. Kedua, menggalang dukungan untuk pemenangan Ganjar. Ketiga, menegaskan kesinambungan kepemimpinan nasional sejak Presiden Soekarno, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Presiden Joko Widodo, dan Ganjar sebagai satu kesatuan kepemimpinan untuk Indonesia.

”Kapasitas bakal caleg yang sudah ditetapkan lewat tahap psikotes, wawancara mendalam, penugasan di akar rumput, dan kemampuan komunikasi politik, serta penggalangan menjadikannya siap menjalankan tiga fungsi itu sekaligus,” kata Hasto.

Strategi serupa dilancarkan Partai Gerindra. Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, sejak awal, Gerindra menempatkan pilpres dan pileg sama penting dan saling mendukung. Karena itu, Gerindra sudah mempunyai langkah-langkah sendiri untuk menang dalam dua kontestasi itu.

Sama dengan umumnya caleg parpol lain, para caleg Gerindra juga memasang spanduk atau baliho yang tak hanya berisi gambar wajah mereka. Dalam spanduk itu juga terdapat logo dan nomor urut partai serta gambar wajah Prabowo Subianto.

Turun ke pemilih

PKS juga tidak ingin merespons dinamika pilpres secara berlebihan. Juru Bicara PKS Ahmad Mabruri mengatakan, kebijakan itu bertujuan agar pengurus dan kader bisa tetap berkonsentrasi pada pemenangan pileg.

ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Di tengah tantangan tertutupnya isu pileg, PKS meminta bakal caleg yang telah mendapatkan nomor urut untuk turun ke pemilih. Mereka diinstruksikan berinteraksi langsung dengan calon pemilih agar menciptakan ikatan emosional. Koordinator daerah pemilihan (dapil) yang dibentuk melakukan pembagian wilayah hingga tingkat RW agar tak ada bakal caleg yang berebut wilayah kampanye.

Di sisi lain, sosialisasi melalui alat peraga kampanye, seperti baliho, spanduk, dan media sosial, digencarkan. Strategi melalui berbagai jalur ini dilakukan agar masyarakat melihat gegap gempita pileg dan tidak hanya fokus pada pilpres. ”Interaksi langsung menjadi hal sangat penting agar kedekatan caleg dengan pemilih tidak mudah hilang akibat tertutup perhatian dengan pilpres,” ujar Mabruri.

Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sigit Widodo sependapat dengan Mabruri. Bagi PSI, isu pilpres tidak terlalu kuat di akar rumput. Untuk itu, PSI lebih fokus meminta bakal calegnya untuk turun ke lapangan serta menyosialisasikan program PSI dan memperkenalkan diri ke masyarakat.

 

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sigit menyadari, efek ekor jas (coat-tail effect) secara umum hanya berpengaruh besar pada partai yang kadernya diusung menjadi capres dan cawapres. Untuk itu, PSI tidak terlalu mempertimbangkan efek ekor jas dalam pemenangan pileg. ”Strategi kami turun langsung ke masyarakat sambil memperkenalkan program-program utama PSI, seperti BPJS gratis, kuliah gratis, dan mengegolkan Undang-Undang Perampasan Aset,” tuturnya.

Situasi berulang

Analis politik dari Charta Politika, Nachrudin, melihat, terpusatnya perhatian publik kepada pilpres ini memang cenderung terjadi ketika pemilu digelar secara serentak. Situasi semacam ini juga pernah terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019.

Pada Pemilu 2019, misalnya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pernah menemukan bahwa 70 persen percakapan publik kala itu didominasi pembahasan pilpres. Ini membuat pileg tidak mendapatkan ruang yang cukup dalam diskursus publik.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

”Alasannya mungkin karena publik lebih mudah mengenali pertarungan pilpres karena hanya ada beberapa nama yang muncul. Sementara terkait pileg, pilihan nama sangat banyak dan kecenderungannya publik lebih memilih partai politiknya saja. Di luar itu juga ada pengaruh dari elite partai yang lebih fokus pada pilpres,” tuturnya.

Nachrudin tak memungkiri, situasi itu justru memicu munculnya apatisme publik terhadap pergelaran pileg. Terlebih, kerja-kerja legislatif cenderung tidak terlalu dirasakan masyarakat. Masyarakat lebih merasakan kebijakan-kebijakan yang berasal dari eksekutif, baik bupati, gubernur, maupun presiden. ”Alhasil, animo masyarakat cenderung lebih tinggi di pemilihan eksekutif, baik itu pilpres, pilwakot, pilbup, atau pilgub,” ucapnya.

Meski demikian, lanjut Nachrudin, sebenarnya partai politik juga bisa menuai untung dari pemilu serentak. Ini terutama berlaku bagi partai-partai politik yang mengusung kadernya sendiri sebagai capres ataupun cawapres. Sebab, pada saat kampanye, para bakal caleg tak hanya ”mempromosikan” dirinya, tetapi juga capres yang diusung partainya.

 

Publik lebih mudah mengenali pertarungan pilpres karena hanya ada beberapa nama yang muncul. Sementara terkait pileg, pilihan nama sangat banyak dan kecenderungannya publik lebih memilih partai politiknya saja. Di luar itu juga ada pengaruh dari elite partai yang lebih fokus pada pilpres

 

Karena itu, pileg menjadi pekerjaan berat bagi partai-partai politik yang tidak mengusung kadernya di pilpres. Caleg harus berupaya keras menyosialisasikan dirinya di dapil. Pilihan lain adalah partai menempatkan orang-orang yang punya popularitas ataupun elektabilitas yang sudah teruji, seperti mantan kepala daerah dan kerabatnya. Partai juga bisa menempatkan tokoh populer di dapil, seperti artis.

Caleg tak dikenali

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, ada konsekuensi panjang jika narasi pileg terus dikalahkan oleh pilpres. Salah satunya, pemahaman publik atas prosedur pemilu menjadi minim dan pemilih juga tidak terlalu mengenali caleg yang berkompetisi di dapilnya.

Kondisi itulah yang pada Pemilu 2019 mengakibatkan lebih dari 17,5 juta suara pemilih untuk pemilu DPR dinyatakan invalid atau tidak sah. Jumlah ini setara dengan 11,12 persen pengguna hak pilih.

Kondisi pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih ironis lagi. Ada 29 juta atau 19 persen suara pemilih DPD yang dinyatakan tidak sah. Kebanyakan surat suara ditetapkan tidak sah karena dibiarkan kosong atau tidak tercoblos oleh pemilih. Selain itu juga surat suara, terutama untuk DPR, tercoblos ganda.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Menurut Titi, fenomena itu merupakan preseden yang tidak baik. Sebab, sistem presidensial yang kuat juga memerlukan parlemen yang kuat dalam menjalankan pengawasan ketat agar pemerintah tidak tergelincir menjadi tirani mayoritas. Parlemen yang lemah dipastikan akan melemahkan sistem presidensial. Apalagi, jika DPR kurang optimal menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran.

Selain itu, pileg yang tidak mendapat perhatian memadai dari pemilih akan membuat caleg bermasalah atau pernah punya rekam jejak kurang baik lebih leluasa terpilih dan memenangi pemilu. Misalnya, caleg mantan terpidana kasus korupsi bisa lepas dari sorotan. Publik tetap akan memilih karena tidak punya informasi memadai mengenai latar belakang caleg tersebut.

”Kalau sampai parlemen diisi oleh figur yang kurang kompeten dan bermasalah, pertaruhannya adalah kualitas pelayanan publik yang akan terdampak akibat produk legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang tidak berkualitas dari para legislator di parlemen,” papar Titi.

Lebih dari itu, lanjut Titi, konsentrasi pemilih yang terfokus pada pilpres juga bisa memicu praktik transaksional guna mendapatkan suara pemilih. Alasannya sederhana, jalan pintas memengaruhi pemilih di tengah masa kampanye yang pendek adalah dengan menggunakan pengaruh uang. Praktik jual-beli suara pun bisa marak.

 

Melihat sederet persoalan tersebut, Titi berharap parpol dapat mengimbangi narasi pilpres dengan mengedukasi pemilih soal pileg. Edukasi terutama terkait tata cara pemilihan, serta tawaran gagasan yang menjadi visi-misi partai sebagai peserta pemilu. Sebab, selama ini, publik belum melihat pembeda antarpartai yang bisa membuat pileg lebih menarik dibandingkan pilpres.

Di sisi lain, KPU juga harus lebih gencar lagi dalam menyosialisasikan tentang pemilu serentak yang bukan hanya pilpres, melainkan juga ada pileg. KPU perlu progresif memperkenalkan partai dan caleg melalui keterbukaan riwayat hidup. Sebab, publik butuh akses informasi kepemiluan yang lebih masif dan kredibel agar bisa membuat keputusan dengan tepat.

 

Oleh NIKOLAUS HARBOWO, IQBAL BASYARI
Editor:ANITA YOSSIHARA
Sumber:Kompas.id
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

 

Budiman Sudjatmiko Dukung Prabowo Nyapres, Ini Kata Pengamat

Jakarta – Mantan politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko mendeklarasikan dukungan untuk Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden. Pengamat Politik Yunarto Wijaya menilai keputusan tersebut menjadi panggung politik baru bagi Budiman yang tak lagi bersinar di PDIP setelah kalah sebagai caleg pada Pemilu 2019.

Menurutnya, keputusan ini berpotensi menjadi blunder. Pasalnya hal ini dapat merugikan Prabowo.

“Kalau saya pribadi melihatnya ini blunder untuk Pak Prabowo kalau kita baca monitoring dari pemberitaan terkait Budiman Sudjatmiko, hanya Budiman yang untung, Prabowo yang rugi,” kata Yunarto dalam keterangan tertulis, Minggu (27/8/2023).

Ia mengatakan Budiman mendapatkan panggung atau perhatian publik dengan pembahasan tentang kasus ’98’. Sementara peran Prabowo juga terangkat kembali, termasuk fakta pemberhentiannya dari TNI karena dinilai bersalah oleh Dewan Kehormatan Kehormatan (DKP) ABRI.

Dalam berbagai forum, tambahnya, Budiman terlihat kerap menyampaikan kembali tentang kasus tersebut yang berkaitan dengan penculikan aktivis dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Budiman mendapatkan panggung tetapi pembicaraan mengenai kasus 98, penculikan aktivis, itu malah menjadi bunyi kembali. Jadi, kalau ditanya siapa yang mendapatkan narasi positif di sini saya kita tidak ada,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Yunarto memandang pengaruh Budiman di PDI-P mulai redup dan perannya semakin tidak signifikan bagi partai meskipun telah menjadi anggota sejak lama. Terlebih, setelah yang bersangkutan gagal menjadi anggota legislatif dalam Pemilihan Legislatif 2019 lalu. Budiman disebut mulai mencari ‘tempat’ baru untuk kembali mengangkat namanya

“Tetapi dalam konteks mendapatkan panggung politik, Budiman Sudjatmiko memang kita tahu sinarnya sudah redup di PDI Perjuangan karena pada tahun 2019. Dia kalah untuk maju dalam Pileg dan dia sekarang mendapatkan kendaraan baru dan panggung baru,” tuturnya.

Keputusan Budiman merapat ke kubu Prabowo pun disebut nekat. Pasalnya, Budiman mengorbankan keanggotaannya di PDI-P yang belakangan memecatnya.

Namun, ia pun menegaskan keputusan Prabowo menerima Budiman malah merugikan Prabowo. Apalagi pembahasan kasus yang menyudutkannya malah membuat publik kembali sadar.

“Di sisi lain, Pak Prabowo justru malah mendapatkan tone negatif karena perbincangan yang selama ini menjadi beban buat Pak Prabowo, yang membayang-bayangi selalu Prabowo Subianto naik turun terkait dengan 98 yang penculikan aktivis karena adanya isu Budiman Sudjatmiko itu kembali naik,” pungkasnya.

(akn/ega)
Foto: Afzal Nur Iman/detikJateng
Sumber: news.detik.com

Yunarto: Prabowo Rugi Didukung Budiman, Perbincangan Tragedi 1998 Makin Kencang

Keputusan mantan politikus PDI-P, Budiman Sudjatmiko untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden berpotensi blunder atau merugikan.

Pengamat politik Yunarto Wijaya menilai keputusan tersebut menjadi panggung politik baru bagi Budiman yang tak lagi bersinar di PDIP setelah kalah sebagai caleg pada Pemilu 2019. Sementara bagi Prabowo, pembentukan Prabu (Prabowo-Budiman) justru merugikan.

“Kalau saya pribadi melihatnya ini blunder untuk Pak Prabowo kalau kita baca monitoring dari pemberitaan terkait Budiman Sudjatmiko, hanya Budiman yang untung, Prabowo yang rugi,” kata Yunarto, Minggu (27/8/2023).

Dari keputusannya itu, Budiman disebut mendapatkan panggung atau perhatian publik dengan pembahasan tentang kasus “98”, sementara peran Prabowo juga terangkat kembali, termasuk fakta pemberhentiannya dari TNI karena dinilai bersalah oleh Dewan Kehormatan Kehormatan (DKP) ABRI.

Dalam berbagai forum, Budiman terlihat kerap menyampaikan kembali tentang kasus tersebut yang berkaitan dengan seputar penculikan aktivis dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

“Budiman mendapatkan panggung tetapi pembicaraan mengenai kasus 98, penculikan aktivis, itu malah menjadi bunyi kembali. Jadi, kalau ditanya siapa yang mendapatkan narasi positif di sini saya kita tidak ada,” ujar Yunarto.

Di sisi lain, dia memperhatikan pengaruh Budiman di PDI-P juga mulai redup dan perannya makin tidak signifikan bagi partai meskipun telah menjadi anggota sejak lama.

Terlebih, setelah yang bersangkutan gagal menjadi anggota legislatif dalam Pemilihan Legislatif 2019 lalu, Budiman diduga mulai mencari “tempat” baru untuk mengangkat namanya lagi.

“Tetapi dalam konteks mendapatkan panggung politik, Budiman Sudjatmiko memang kita tahu sinarnya sudah redup di PDI Perjuangan karena pada tahun 2019 dia kalah untuk maju dalam Pileg, dan dia sekarang mendapatkan kendaraan baru dan panggung baru,” tutur Yunarto.

Ternyata, Budiman pun nekat memilih untuk merapat ke kubu Prabowo bahkan dengan mengorbankan keanggotaannya di PDI-P yang belakangan memecatnya.

Namun, Yunarto kembali menegaskan keputusan Prabowo untuk menerima Budiman justru malah merugikan Prabowo lantaran pembahasan tentang kasus yang menyudutkannya malah membuat publik kembali sadar.

“Di sisi lain, Pak Prabowo justru malah mendapatkan tone negatif karena perbincangan yang selama ini menjadi beban buat Pak Prabowo, yang membayang-bayangi selalu Prabowo Subianto naik turun terkait dengan 98 yang penculikan aktivis karena adanya isu Budiman Sujatmiko itu kembali naik,” katanya. (LAN)

 

Tim Kumparan
Foto : Nugroho Sejati/kumparan
Sumber : Kumparan.com

Elektabilitas Anies Rendah Efek Tingginya Kepuasan Kinerja Jokowi

Jakarta, IDN Times – Elektabilitas bakal calon presiden (bacapres) dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan, masih berada di posisi ketiga di bawah bacapres lain, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.

Peneliti Charta Politika, Shinta Shelvyra, menilai rendahnya elektabilitas Anies karena saat ini tingkat kepuasan responden terhadap pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo masih tinggi.

“Rasanya kalau saat ini tingkat kepuasan kepada Pak Jokowi masih tinggi, besar kemungkinan pemilih Pak Anies belum banyak. Tapi saya kalau menyatakan itu terlalu angkuh, terlalu dini juga saya bilang seperti itu,” ujar Shinta dalam acara #GenZMemilih bertajuk “Siapa Cawapres Potensial Anies?” yang tayang di kanal YouTube IDN Times, Rabu (19/7/2023).

1. Cawapres juga bukan satu-satunya kunci kemenangan Anies

Selain itu, cawapres yang akan dipilih Anies juga bukan satu-satunya kunci kemenangan di Pilpres 2024. Menurutnya, kunci kemenangan Anies saat ini belum dapat disimpulkan.

“Mungkin ada pengaruh cawapres, kita bisa berharap pemilihan cawapres Pak Anies bisa memengaruhi suara Pak Anies, meskipun saya tekankan penentuan cawapres bukan satu-satunya kunci kemenangan Pak Anies,” kata dia.

2. NasDem akui elektabilitas Anies sulit naik bila kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi masih tinggi

Dalam kesempatan itu, Ketua DPW Partai NasDem Jawa Barat, Saan Mustopa, mengakui elektabilitas Anies sulit naik bila kepuasan responden terhadap pemerintahan Jokowi masih tinggi.

“Saya pahami itu tingkat kepuasan terhadap Pak Jokowi, itu hampir semua lembaga survei itu tinggi, bahkan menembus angka 80 persenan. Ketika tingkat kepuasannya tinggi, dan yang tidak puasnya sedikit, yang tidak puas ini tentu kalau menempatkan Pak Anies dan ini kan dipersepsikan, ini elektabiltasnya Anies turun,” kata Saan.

3. Elektabilitas Anies akan naik bila kepuasan responden terhadap Jokowi turun

Menurut Saan, elektabilitas Anies akan naik bila kepuasan responden terhadap Jokowi turun. Sebab, kata dia, Jokowi dan Anies saat ini dipersepsikan berseberangan.

“Kalau tingkat kepuasannya turun ke Pak Jokowi, pasti Pak Anies naik, ini kan masih panjang, pasti suatu ketika ada perubahan, dan Mas Anies mendapat momentum untuk naik,” kata dia.

Menurut Saan, saat ini belum ada satupun bacapres yang elektabilitasnya yang lebih dari 50 persen.

 

 

Muhammad Ilman Nafi’an
Editor : Rochmanudin
Foto : Dok IDN Times
Sumber : idntimes.com

Survei Charta Politika: Elektabilitas Ganjar Moncer dan Dianggap Bisa Teruskan Program Jokowi

TEMPO.CO, Jakarta – Elektabilitas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo semakin jauh meninggalkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dalam survei terbaru yang digelar Charta Politika Indonesia. Dalam simulasi tiga nama di survei yang digelar pada 2-7 Mei 2023 itu, nama Ganjar memiliki elektabilitas 38,2 persen, Prabowo 31,1 persen, dan Anies 23,6 persen.

“Dari ketiga nama tersebut, terlihat adanya peningkatan elektabilitas pada nama Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto. Sementara Anies Baswedan terlihat mengalami kecenderungan menurun sebagaimana terlihat pada tren yang disajikan,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam keterangannya, Senin, 15 Mei 2023.

Yunarto menjelaskan pada pengujian simulasi 3 nama, elektabilitas Ganjar Pranowo mengalami peningkatan setelah sebelumnya sempat mengalami penurunan pada periode April 2023 atau saat ramai isu Timnas Israel. Sedangkan Prabowo Subianto dan Anies Baswedan relatif mengalami penurunan.

Ganjar dianggap bisa teruskan program Jokowi

Menurut hasil survei, sebanyak 68 persen responden menilai Ganjar Pranowo sebagai tokoh yang paling mampu melanjutkan program-program Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Sedangkan 20,4 persen menjawab Prabowo Subianto dan hanya 8 persen menjawab Anies Baswedan.

Yunarto memaparkan para pemilih Jokowi – Ma’ruf pada Pilpres 2019 juga mayoritas atau 61 persen mendukung Ganjar dan 18 persen kepada Prabowo serta 14 persen kepada Anies. Sementara pemilih Prabowo-Sandi di Pilpres 2019 mayoritas atau 53 persen mendukung Prabowo, 34 persen Anies, dan 8 persen Ganjar Pranowo.

Survei yang dilakukan Charta Politika Indonesia ini digelar dengan metode wawancara wawancara tatap muka dk seluruh wilayah Indonesia. Metode sampling yang digunakan adalah multistage random sampling dengan jumlah sampel mencapai 1.220 Responden.

Kriteria responden dalam survei ini adalah masyarakat yang sudah berusia 17 tahun atau sudah memenuhi syarat pemilih. Quality control survei mencapai 20 peraenu dari total sampel dengan Margin of Error 2.82 persen.

Reporter : M Julnis Firmansyah
Editor : Eko Ari Wibowo
Foto : tempo.co
Sumber : nasional.tempo.co

 

 

 

 

Charta Politika: Pasca Deklarasi Simulasi 3 Nama, Ganjar 38,2%, Prabowo 31,1%, Anies 23,6%

Liputan6.com, Jakarta Lembaga survei Charta Politika Indonesia kembali merilis hasil survei terkait dengan elektabilitas bakal calon presiden pada Pilpres 2024. Hasilnya, Ganjar Pranowo unggul dari Prabowo Subianto dan Anies Baswedan dalam simulasi tiga nama.

Direktur eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya menyampaikan responden ditanya jika pemilihan presiden diadakan sekarang, siapa yang akan dipilih sebagai presiden.

“Dalam simulasi 3 nama, Ganjar Pranowo 38,2% menjadi pilihan tertinggi. Diikuti oleh Prabowo Subianto 31,1% dan Anies Baswedan 23,6%,” ujar Yunarto dalam rilis survei yang disiarkan secara virtual, Senin (15/5/2023).

Yunarto menyebut masih ada 7,1% responden yang belum menjawab atau tidak tahu.

Lebih lanjut, Yunarto menyampaikan tren elektabilitas Ganjar juga mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan survei sebelumnya. Elektabilitas naik signifikan dari 31,4% pada April 2023 menjadi 38,2% pada Mei 2023.

Diketahui bahwa Ganjar baru saja resmi ditetapkan sebagai bakal capres PDI Perjuangan.

Sedangkan Prabowo dan Anies cenderung menurun jika dibandingkan dengan survei sebelumnya. Pada April 2023, elektabilitas Prabowo dan Anies masing-masing 31,4% dan 25,2%.

“Elektabilitas Prabowo Subianto dan Anies Baswedan cenderung mengalami penurunan pada survei kali ini,” ujarnya.

Survei Charta Politika dengan metode wawancara tatap muka (face to face interview) dengan metode multistage random sampling. Responden survei berjumlah 1.220 dengan margin of error sebesar 2,82%.

Responden yang terlibat dalam survei berusia minimal 17 tahun atau sudah memenuhi syarat pemilih. Survei dilakukan di seluruh provinsi di Indonesia dengan quality control 20% dari total sampel. Survei diselenggarakan pada 2-7 Mei 2023.

Liputan6.com
Foto : (Liputan6.com/Lizsa Egeham)

Survei Charta Politika: Ganjar Pranowo 38,2%, Anies Baswedan 23,6%

JAKARTA – Bakal calon presiden (capres) Ganjar Pranowo unggul dari Prabowo Subianto dan Anies Baswedan dalam simulasi tiga nama survei terbaru lembaga Charta Politika Indonesia. Responden ditanya jika pemilihan presiden diadakan sekarang, siapa yang akan dipilih sebagai presiden.

“Dalam simulasi 3 nama, Ganjar Pranowo 38,2% menjadi pilihan tertinggi. Diikuti oleh Prabowo Subianto 31,1% dan Anies Baswedan 23,6%,” ujar Direktur eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya dalam rilis survei yang disiarkan secara virtual, Senin (15/5/2023).

Dia menuturkan, masih ada 7,1% responden yang belum menjawab atau tidak tahu. Dia mengatakan, tren elektabilitas Ganjar juga mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan survei sebelumnya.

Elektabilitas naik signifikan dari 31,4% pada April 2023 menjadi 38,2% pada Mei 2023. Diketahui bahwa Ganjar telah resmi ditetapkan sebagai bakal capres PDI Perjuangan.

Sedangkan Prabowo dan Anies cenderung menurun jika dibandingkan dengan survei sebelumnya. Pada April 2023, elektabilitas Prabowo dan Anies masing-masing 31,4% dan 25,2%.

“Elektabilitas Prabowo Subianto dan Anies Baswedan cenderung mengalami penurunan pada survei kali ini,” ujarnya.

Survei Charta Politika dengan metode wawancara tatap muka (face to face interview) dengan metode multistage random sampling. Responden survei berjumlah 1.220 dengan margin of error sebesar 2,82%.

Responden yang terlibat dalam survei berusia minimal 17 tahun atau sudah memenuhi syarat pemilih. Survei dilakukan di seluruh provinsi di Indonesia dengan quality control 20% dari total sampel. Survei diselenggarakan pada 2-7 Mei 2023.

Rico Afrido Simanjuntak
Foto : Ali Masduki
Sumber : nasional.sindonews.com

Survei Charta Politika: Elektabilitas Ganjar 34,6 Persen, Prabowo 28,1 Persen, Anies 21,4 Persen

JAKARTA, KOMPAS.com – Lembaga survei Charta Politika Indonesia memaparkan temuan terbaru terkait elektabilitas calon presiden (capres). Hasilnya, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo berada di peringkat 1 dan disusul oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto serta eks Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Adapun pemilihan sampel dalam survei ini dilakukan melalui metode multistage random sampling. Margin of error dalam survei ini diperkirakan kurang lebih 2,82 persen.

Pada kesempatan ini, Charta Politika melakukan wawancara terhadap para responden melalui tatap muka. Survei dilakukan pada 2-7 Mei 2023.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan Ganjar saat ini sedang memimpin daftar capres dengan elektabilitas tertinggi.

“Kita masuk terlebih dahulu di elektabilitas 10 nama. Ganjar Pranowo memimpin dengan angka 34,6 persen. Nomor 2 ada Pak Prabowo dengan angka 28,1 persen. Nomor 3 ada Mas Anies dengan angka 21,4 persen,” ujar Yunarto dalam jumpa pers virtual, Senin (15/5/2023).

Secara lengkap, survei elektabilitas Charta Politika untuk kandidat capres adalah sebagai berikut:

1. Ganjar Pranowo: 34,6 persen
2. Prabowo Subianto: 28,1 persen
3. Anies Baswedan: 21,4 persen
4. Ridwan Kamil: 4,8 persen
5. Sandiaga Uno: 1,5 persen
6. Erick Thohir: 1,3 persen
7. Agus Harimurti Yudhoyono: 0,9 persen
8. Airlangga Hartarto: 0,7 persen
9. Khofifah Indar Parawansa: 0,5 persen
10. Puan Maharani: 0,4 persen.

Yunarto menegaskan pertarungan pada Pilpres 2024 kali ini hanya akan berkutat pada tiga teratas, yakni Ganjar, Prabowo, dan Anies.

Pasalnya, kata dia, posisi capres yang memiliki elektabilitas tertinggi dalam 2 tahun terakhir tidak banyak berubah.

“Dari sini makin tergambarkan pertarungan sulit. Kalau kita baca dari konstelasi bottom up, keinginan publik memang tiga orang yang pantas yang masuk ke dalam pertarungan dan membentuk porosnya sendiri adalah Mas Ganjar, Pak Prabowo dan Mas Anies,” tuturnya.

“Divisi papan atas ini terlalu jauh dengan peringkat keempat dan kelima dan seterusnya,” ucap Yunarto.

Maka dari itu, Yunarto menyarankan agar nama-nama yang tidak masuk ke dalam tiga besar capres harus ‘tahu diri’, tidak perlu terlalu ambisius lagi.

Dia menyebut perebutan cawapres kini menjadi lebih menarik.

“Saya pikir dengan sisa waktu 5 bulan menjelang waktu pendaftaran KPU, harusnya mulai berpikir dari dulunya ingin membuat koalisi dengan penuh ambisi, sekarang harus membuat koalisi dengan tahu diri,” imbuhnya.

Penulis : Adhyasta Dirgantara
Editor : Sabrina Asril
Foto : Ilustrator: KOMPAS.com/ANDIKA BAYU SETYAJI)
SUmber : nasional.kompas.com

Charta Politika: Pasca Deklarasi, Ganjar Ungguli 3 Nama

RM.id Rakyat Merdeka – Lembaga survei Charta Politika Indonesia merilis hasil survei terkait elektabilitas bakal calon presiden pada Pilpres 2024. Hasilnya, Ganjar Pranowo menjadi jawara, mengungguli Prabowo Subianto dan Anies Baswedan dalam simulasi tiga nama.

“Ganjar dipilih oleh 36,6 persen responden, Prabowo 33,2 persen dan Anies 23 persen, sebanyak 7,2 persen responden menyatakan tidak tahu/tidak jawab,” ujar peneliti Charta Politika Indonesia, Ardha Ranadireksa dalam rilis resmi hasil survei, Kamis (4/5).

Ardha menjelaskan, tren elektabilitas Ganjar juga meningkat dibandingkan pada periode 4-7 April lalu yang memperoleh 31,4 persen.

Salah satu faktor penting peningkatan elektabilitas Gubernur Jateng dua periode itu adalah pengumuman Ganjar sebagai calon presiden oleh PDI Perjuangan pada 21 April lalu.

Lebih lanjut, Ardha menyampaikan, Prabowo Subianto mengalami peningkatan elektabilitas pada survei periode 4-7 April dan cukup stabil pada periode 27-30 April.

“Sedangkan elektabilitas Anies Baswedan ada kecenderungan menurun pada dua kali survei telepon yang kami lakukan,” tuturnya.

Survei ini dilakukan dengan metode survei telepon dengan sampel sebanyak 1.200 responden yang dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang pernah dilakukan oleh Charta Politika Indonesia.

Sebanyak 197.344 responden terdistribusi secara acak dalam rentang 2 tahun terakhir, terdapat sekitar 75 persen memiliki nomor telepon.

Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon adalah sebanyak 7.500 data, dan yang berhasil diwawancara adalah sebanyak 1.200 responden.

Menggunakan asumsi simple random sampling, jumlah responden 1.200 memiliki toleransi kesalahan (margin of error – MoE) sebesar +2,83 persen pada tingkat kepercayaan (level of confidence) 95 persen.

 

Reporter : Ahmad Lathif Rosyidi
Editor : Oktavian Surya Dewangga
Foto : Pemprov Jateng
Sumber : rm.id

Survei Charta Politika: Elektabiltas Ganjar Melesat Usai Deklarasi Capres

Liputan6.com, Jakarta – Charta Politika Indonesia kembali melakukan survei untuk mengetahui elektabilitas terbaru para bakal calon presiden (capres) pada Pemilu 2024. Dalam survei tersebut, Charta Politika melakukan simulasi dengan tiga nama yang selama ini kerap disebut-sebut sebagai calon presiden.

Ketiganya yakni Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

Hasilnya, Ganjar unggul dan berada di posisi nomor satu.

“Pada simulasi tiga nama, Ganjar dipilih oleh 36,6 persen responden, Prabowo 33,2 persen, dan Anies 23 persen,” kata peneliti Charta Politika Indonesia, Ardha Ranadireksa, Kamis (4/5/2023).

Selain itu, ada 7,2 persen responden menyatakan tidak tahu atau tidak jawab.

Kemudian, dari sisi tren, Ardha juga menjelaskan elektabilitas Ganjar meningkat dibandingkan pada periode 4-7 April lalu memperoleh 31,4 persen. Elektabilitas Ganjar beranjak meningkat pascapengumuman sebagai capres oleh PDIP pada 21 April lalu ke 36,6 persen.

“Sementara Prabowo mengalami peningkatan elektabilitas yang signifikan pada survei periode 4-7 April, dan cukup stabil pada periode 27-30 April. Sedangkan elektabilitas Anies ada kecenderungan menurun pada dua kali survei telepon yang kami lakukan,” kata dia.

Adapun survei dilakukan pada 27 hingga 30 April 2023. Survei telepon itu dilakukan pada sampel sebanyak 1.200 responden yang dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang pernah dilakukan oleh Charta Politika Indonesia.

Sebanyak 197.344 responden terdistribusi secara acak dalam rentang dia tahun terakhir, terdapat sekitar 75 persen memiliki nomor telepon.

Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon adalah sebanyak 7.500 data, dan yang berhasil diwawancara adalah sebanyak 1.200 responden.

Menggunakan asumsi simple random sampling, jumlah responden 1.200 memiliki toleransi kesalahan (margin of error – MoE) sebesar 2,83 persen pada tingkat kepercayaan (level of confidence) 95 persen.

 

Sumber: Liputan6.com
Foto: Liputan6.com/Faizal Fanani