Saat Partai Berjibaku agar Pileg Tak Dilupakan

Publik menganggap isu pilpres seolah lebih ”seksi” ketimbang pileg. Alhasil, narasi pilpres lebih mengemuka. Fenomena ini menjadi tantangan bagi partai untuk menyosialisasikan pileg kepada khalayak.

 

Pagi-pagi benar, Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa atau PKB menggelar rapat pleno di kantornya di Jakarta, Jumat (1/9/2023). Selang tujuh jam kemudian, rapat pleno membahas tawaran Partai Nasdem untuk menduetkan Anies Rasyid Baswedan dengan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, dalam Pemilu Presiden 2024, dilanjutkan di Surabaya, Jawa Timur. Hasilnya, PKB menerima tawaran Nasdem dan mencabut dukungannya kepada Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra.

Pada hari yang sama, Majelis Tinggi Partai Demokrat menggelar rapat darurat di Cikeas, Bogor, Jawa Barat, untuk membahas perkara yang sama, keputusan Nasdem menduetkan Anies dengan Muhaimin. Rapat darurat yang dipimpin langsung Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono itu menghasilkan dua kesepakatan. Pertama, Demokrat mencabut dukungan kepada Anies. Kedua, Demokrat keluar dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang sebelumnya dibentuk bersama Nasdem dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Demokrat merasa kecewa karena, menurut mereka, sebelumnya Anies sudah meminta Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat, untuk menjadi bakal calon wakil presiden (cawapres). Bahkan, Demokrat mengklaim, pasangan Anies-Agus tinggal menunggu waktu yang tepat untuk dideklarasikan.

DOKUMENTASI PARTAI DEMOKRAT

 

Empat hari sebelumnya, tepatnya Senin (28/8), Muhaimin masih menghadiri perayaan Hari Ulang Tahun Ke-25 Partai Amanat Nasional (PAN) di sebuah hotel di Jakarta, bersama empat pimpinan partai politik Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR). Mereka adalah Prabowo, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra.

Dalam kesempatan itu, Prabowo mendadak mengumumkan perubahan nama koalisi partai pendukungnya kepada publik, dari KKIR menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Nama koalisi tersebut diklaim sudah dimusyawarahkan bersama empat ketua umum partai lainnya.

Sementara itu, Senin siang, petinggi Partai Hanura mengunjungi kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Tujuannya, memberikan dukungan resmi kepada bakal capres dari PDI-P Ganjar Pranowo. Kehadiran Hanura menambah panjang barisan partai pendukung Ganjar setelah sebelumnya ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Informasi-informasi itulah yang memenuhi ruang publik dalam sepekan terakhir. Jika ditarik mundur lagi, sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang berhubungan dengan kontestasi capres-cawapres menjadi perbincangan hangat di publik. Salah satunya momentum kebersamaan antara Presiden Joko Widodo dengan Prabowo dan Ganjar di Pekalongan, Jawa Tengah, 29 Agustus 2023.

PMI SEKRETARIAT PRESIDEN/LAILY RACHEV

Ada pula momentum pertemuan Anies dengan Ketua Majelis Tinggi Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, yang kemudian dilanjutkan pertemuan Anies dengan Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Aljufri di Jakarta pada akhir pekan keempat Agustus.

Narasi pertarungan pilpres semacam itu seolah tak berhenti, apalagi mendekati tahapan pendaftaran capres-cawapres yang akan dimulai pada 19 Oktober. Padahal, Pemilu 2024 tidak bisa dilihat sebatas kontestasi capres, tetapi juga ada kontestasi calon anggota legislatif (caleg).

Ketua Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar Maman Abdurrahman menyadari keriuhan itu tak hanya terjadi di kehidupan nyata, tetapi juga di media sosial. Menurut dia, hal itu merupakan konsekuensi dari penyelenggaraan Pemilu 2024 secara serentak. Publik menganggap isu pilpres ”lebih seksi” dibandingkan isu pemilu legislatif (pileg).

Meski demikian, bagi Maman, jika dilihat secara obyektif, pilpres dan pileg sesungguhnya memiliki bobot yang sama. Dalam pilpres, rakyat akan memilih presiden dan wakil presiden yang akan menjalankan pemerintahan selama lima tahun ke depan. Begitu pula dalam pileg, rakyat akan memilih wakil-wakil mereka untuk mengawasi kinerja pemerintah.

KOMPAS/HERU SRI KUMORO

”Tetapi, kan, itu pandangan kami secara obyektif. Kan, pandangan publik melihatnya bisa jadi berbeda. Ya, sudahlah, kami jalani saja,” kata Maman.

Tak lebih tinggi

PDI-P juga memandang bahwa bobot pileg dan pilpres sama. Karena itu, menurut Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, partainya tidak pernah menempatkan porsi narasi pilpres lebih tinggi dibandingkan pileg ataupun sebaliknya. Sebab, bagi PDI-P, pileg dan pilpres harus terkoneksi dan diperjuangkan dalam satu tarikan napas.

Dengan telah ditetapkannya daftar calon sementara (DCS) anggota DPR ataupun DPRD provinsi dan kabupaten/kota, semua langsung bergerak. Tak hanya menyosialisasikan diri, ideologi serta program partai, bakal caleg juga menyosialisasikan Ganjar, bakal capres yang ditetapkan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

”Antara bakal caleg dan capres Ganjar Pranowo selalu connected. Strategi kampanye caleg dan capres sama, yakni penggalangan, komunikasi politik, dan melakukan hal konkret bagi rakyat,” ucap Hasto.

Sejak KPU mengumumkan penetapan DCS pada 19 Agustus lalu, baliho dan spanduk bergambar para caleg PDI-P untuk semua tingkatan lembaga perwakilan bermunculan di berbagai daerah. Umumnya, dalam baliho para bakal caleg itu juga terpasang gambar wajah Ganjar Pranowo.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Menurut Hasto, para bakal caleg PDI-P memang dipersiapkan sebaik mungkin untuk bisa menyosialisasikan tiga hal. Pertama, ideologi, platform, program partai di dalam menjawab berbagai persoalan rakyat, sekaligus desain kebijakan bagi masa depan. Kedua, menggalang dukungan untuk pemenangan Ganjar. Ketiga, menegaskan kesinambungan kepemimpinan nasional sejak Presiden Soekarno, Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, Presiden Joko Widodo, dan Ganjar sebagai satu kesatuan kepemimpinan untuk Indonesia.

”Kapasitas bakal caleg yang sudah ditetapkan lewat tahap psikotes, wawancara mendalam, penugasan di akar rumput, dan kemampuan komunikasi politik, serta penggalangan menjadikannya siap menjalankan tiga fungsi itu sekaligus,” kata Hasto.

Strategi serupa dilancarkan Partai Gerindra. Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menegaskan, sejak awal, Gerindra menempatkan pilpres dan pileg sama penting dan saling mendukung. Karena itu, Gerindra sudah mempunyai langkah-langkah sendiri untuk menang dalam dua kontestasi itu.

Sama dengan umumnya caleg parpol lain, para caleg Gerindra juga memasang spanduk atau baliho yang tak hanya berisi gambar wajah mereka. Dalam spanduk itu juga terdapat logo dan nomor urut partai serta gambar wajah Prabowo Subianto.

Turun ke pemilih

PKS juga tidak ingin merespons dinamika pilpres secara berlebihan. Juru Bicara PKS Ahmad Mabruri mengatakan, kebijakan itu bertujuan agar pengurus dan kader bisa tetap berkonsentrasi pada pemenangan pileg.

ADRYAN YOGA PARAMADWYA

Di tengah tantangan tertutupnya isu pileg, PKS meminta bakal caleg yang telah mendapatkan nomor urut untuk turun ke pemilih. Mereka diinstruksikan berinteraksi langsung dengan calon pemilih agar menciptakan ikatan emosional. Koordinator daerah pemilihan (dapil) yang dibentuk melakukan pembagian wilayah hingga tingkat RW agar tak ada bakal caleg yang berebut wilayah kampanye.

Di sisi lain, sosialisasi melalui alat peraga kampanye, seperti baliho, spanduk, dan media sosial, digencarkan. Strategi melalui berbagai jalur ini dilakukan agar masyarakat melihat gegap gempita pileg dan tidak hanya fokus pada pilpres. ”Interaksi langsung menjadi hal sangat penting agar kedekatan caleg dengan pemilih tidak mudah hilang akibat tertutup perhatian dengan pilpres,” ujar Mabruri.

Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Sigit Widodo sependapat dengan Mabruri. Bagi PSI, isu pilpres tidak terlalu kuat di akar rumput. Untuk itu, PSI lebih fokus meminta bakal calegnya untuk turun ke lapangan serta menyosialisasikan program PSI dan memperkenalkan diri ke masyarakat.

 

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Sigit menyadari, efek ekor jas (coat-tail effect) secara umum hanya berpengaruh besar pada partai yang kadernya diusung menjadi capres dan cawapres. Untuk itu, PSI tidak terlalu mempertimbangkan efek ekor jas dalam pemenangan pileg. ”Strategi kami turun langsung ke masyarakat sambil memperkenalkan program-program utama PSI, seperti BPJS gratis, kuliah gratis, dan mengegolkan Undang-Undang Perampasan Aset,” tuturnya.

Situasi berulang

Analis politik dari Charta Politika, Nachrudin, melihat, terpusatnya perhatian publik kepada pilpres ini memang cenderung terjadi ketika pemilu digelar secara serentak. Situasi semacam ini juga pernah terjadi pada Pemilu 2014 dan 2019.

Pada Pemilu 2019, misalnya, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pernah menemukan bahwa 70 persen percakapan publik kala itu didominasi pembahasan pilpres. Ini membuat pileg tidak mendapatkan ruang yang cukup dalam diskursus publik.

KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

”Alasannya mungkin karena publik lebih mudah mengenali pertarungan pilpres karena hanya ada beberapa nama yang muncul. Sementara terkait pileg, pilihan nama sangat banyak dan kecenderungannya publik lebih memilih partai politiknya saja. Di luar itu juga ada pengaruh dari elite partai yang lebih fokus pada pilpres,” tuturnya.

Nachrudin tak memungkiri, situasi itu justru memicu munculnya apatisme publik terhadap pergelaran pileg. Terlebih, kerja-kerja legislatif cenderung tidak terlalu dirasakan masyarakat. Masyarakat lebih merasakan kebijakan-kebijakan yang berasal dari eksekutif, baik bupati, gubernur, maupun presiden. ”Alhasil, animo masyarakat cenderung lebih tinggi di pemilihan eksekutif, baik itu pilpres, pilwakot, pilbup, atau pilgub,” ucapnya.

Meski demikian, lanjut Nachrudin, sebenarnya partai politik juga bisa menuai untung dari pemilu serentak. Ini terutama berlaku bagi partai-partai politik yang mengusung kadernya sendiri sebagai capres ataupun cawapres. Sebab, pada saat kampanye, para bakal caleg tak hanya ”mempromosikan” dirinya, tetapi juga capres yang diusung partainya.

 

Publik lebih mudah mengenali pertarungan pilpres karena hanya ada beberapa nama yang muncul. Sementara terkait pileg, pilihan nama sangat banyak dan kecenderungannya publik lebih memilih partai politiknya saja. Di luar itu juga ada pengaruh dari elite partai yang lebih fokus pada pilpres

 

Karena itu, pileg menjadi pekerjaan berat bagi partai-partai politik yang tidak mengusung kadernya di pilpres. Caleg harus berupaya keras menyosialisasikan dirinya di dapil. Pilihan lain adalah partai menempatkan orang-orang yang punya popularitas ataupun elektabilitas yang sudah teruji, seperti mantan kepala daerah dan kerabatnya. Partai juga bisa menempatkan tokoh populer di dapil, seperti artis.

Caleg tak dikenali

Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, ada konsekuensi panjang jika narasi pileg terus dikalahkan oleh pilpres. Salah satunya, pemahaman publik atas prosedur pemilu menjadi minim dan pemilih juga tidak terlalu mengenali caleg yang berkompetisi di dapilnya.

Kondisi itulah yang pada Pemilu 2019 mengakibatkan lebih dari 17,5 juta suara pemilih untuk pemilu DPR dinyatakan invalid atau tidak sah. Jumlah ini setara dengan 11,12 persen pengguna hak pilih.

Kondisi pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lebih ironis lagi. Ada 29 juta atau 19 persen suara pemilih DPD yang dinyatakan tidak sah. Kebanyakan surat suara ditetapkan tidak sah karena dibiarkan kosong atau tidak tercoblos oleh pemilih. Selain itu juga surat suara, terutama untuk DPR, tercoblos ganda.

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Menurut Titi, fenomena itu merupakan preseden yang tidak baik. Sebab, sistem presidensial yang kuat juga memerlukan parlemen yang kuat dalam menjalankan pengawasan ketat agar pemerintah tidak tergelincir menjadi tirani mayoritas. Parlemen yang lemah dipastikan akan melemahkan sistem presidensial. Apalagi, jika DPR kurang optimal menjalankan fungsi pengawasan, legislasi, dan penganggaran.

Selain itu, pileg yang tidak mendapat perhatian memadai dari pemilih akan membuat caleg bermasalah atau pernah punya rekam jejak kurang baik lebih leluasa terpilih dan memenangi pemilu. Misalnya, caleg mantan terpidana kasus korupsi bisa lepas dari sorotan. Publik tetap akan memilih karena tidak punya informasi memadai mengenai latar belakang caleg tersebut.

”Kalau sampai parlemen diisi oleh figur yang kurang kompeten dan bermasalah, pertaruhannya adalah kualitas pelayanan publik yang akan terdampak akibat produk legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang tidak berkualitas dari para legislator di parlemen,” papar Titi.

Lebih dari itu, lanjut Titi, konsentrasi pemilih yang terfokus pada pilpres juga bisa memicu praktik transaksional guna mendapatkan suara pemilih. Alasannya sederhana, jalan pintas memengaruhi pemilih di tengah masa kampanye yang pendek adalah dengan menggunakan pengaruh uang. Praktik jual-beli suara pun bisa marak.

 

Melihat sederet persoalan tersebut, Titi berharap parpol dapat mengimbangi narasi pilpres dengan mengedukasi pemilih soal pileg. Edukasi terutama terkait tata cara pemilihan, serta tawaran gagasan yang menjadi visi-misi partai sebagai peserta pemilu. Sebab, selama ini, publik belum melihat pembeda antarpartai yang bisa membuat pileg lebih menarik dibandingkan pilpres.

Di sisi lain, KPU juga harus lebih gencar lagi dalam menyosialisasikan tentang pemilu serentak yang bukan hanya pilpres, melainkan juga ada pileg. KPU perlu progresif memperkenalkan partai dan caleg melalui keterbukaan riwayat hidup. Sebab, publik butuh akses informasi kepemiluan yang lebih masif dan kredibel agar bisa membuat keputusan dengan tepat.

 

Oleh NIKOLAUS HARBOWO, IQBAL BASYARI
Editor:ANITA YOSSIHARA
Sumber:Kompas.id
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *