Maju Lewat Jalur Parpol, Ahok Berpeluang Besar Didukung PDIP

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan peluang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendapat dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan makin besar apabila maju melalui jalur partai politik. Menurut dia, selama ini antara Ahok dan PDIP hanya berbeda pandangan.

“Muara perbedaannya hanya satu kan, PDIP tak menerima calon independen,” kata Yunarto kepada Tempo saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa, 26 Juli 2016.

Jika akhirnya Ahok maju lewat partai politik, ujar Yunarto, perbedaan itu bisa dikesampingkan. Ia menambahkan, Ahok juga bisa maju bersanding dengan Wakil Gubernur DKI saat ini, Djarot Saiful Hidayat, jika mendapat dukungan PDIP. “Dari awal (Ahok) memang ingin gandeng Djarot, karena beda sikap tadi, gandeng Heru.”

Yunarto mengungkapkan sulit membayangkan jika seseorang yang berasal dari kelompok minoritas seperti Ahok malah bertarung dengan PDIP yang selama ini menjadi tempat bagi minoritas. “Ini akan merugikan kedua belah pihak,” ucapnya.

Ahok akan menggelar acara halalbihalal bersama Teman Ahok dan barisan pendukungnya, seperti Partai Golkar, NasDem, dan Hanura, Rabu, 27 Juli 2016. Pada pertemuan itu, Ahok akan mengumumkan langkah politiknya.

Pemilihan tanggal 27 Juli, menurut Yuniarto, akan membuat orang berspekulasi meskipun pemilihannya dilakukan secara kebetulan. Sebab, tanggal itu bertepatan dengan peringatan tragedi yang pernah dialami PDIP pada 1996. Ketika itu, kantor PDIP diserbu sejumlah orang.

Sumber : Tempo.co

Senioritas tak Hambat Polri

Senioritas dinilai tak akan menghambat kinerja Komjen Pol Tito Karnavian memimpin Polri. Seluruh personel Korps Bhayangkara akan mendukung kepemimpinan mantan kepala Densus 88 tersebut.

Peneliti Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini sudah berpengalaman mengarahkan seniornya dalam bertugas. Tito sudah menjadi perwira tinggi di saat teman satu angkatan, bahkan seniornya masih menjadi perwira menengah. “Senioritas tak lagi menjadi persoalan,” imbuhnya, saat dihubungi, Ahad (20/6).

Tito Karnavian diprediksi akan semakin memperkuat institusi Polri. Mantan kepala Polda Papua ini tidak sebatas didukung secara institusi, tapi juga politik. Tito didukung oleh Presiden Joko Widodo. “Fraksi-fraksi di DPR juga mendukung. Ini menunjukkan, Tito mendapatkan dukungan yang kuat,” imbuh Yunarto.

Kebijakan Presiden menunjuk Tito, menurutnya, adalah tradisi baru. Jabatan Kapolri akan lebih baik diemban oleh sosok yang berprestasi dan terbukti memiliki rekam jejak kepemimpinan yang baik. Yunarto menjelaskan, terpilihnya Tito membuktikan kebijakan memilih Kapolri tidak lagi berdasarkan senioritas.

Selain itu, Presiden menunjukkan independensinya dalam memilih Kapolri. Selama ini, isu yang berkembang adalah Komjen Pol Budi Gunawan akan dengan mulus naik menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti. Dukungan sejumlah elite politik disebut akan memuluskan karier Budi Gunawan untuk memimpin institusi Polri. “Namun, yang terjadi tidak seperti itu. Presiden menunjukkan pilihannya sendiri yang tak dipengaruhi pihak lain,” ungkapnya.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, sudah seharusnya tradisi senioritas dalam tubuh Polri dihentikan. Senioritas dinilainya akan membuat polisi manja dan tidak bersemangat berkompetisi menjadi yang terbaik.

Situasi Polri menjadi tantangan bagi Tito untuk membuktikan ketegasannya dalam menindak dan menegakkan hukum. “Sebab, kalau senior salah tetap salah. Jadi, tidak ada lagi hukum yang mengatakan pasal pertama senior tidak boleh salah, pasal kedua kalau senior salah lihat (kembali) pasal pertama. Tak ada lagi peraturan itu,” ujarnya.

Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, perbedaan angkatan 82, 83, ke 87 yang begitu jauh. Jangan dilihat sebagai beban dan hambatan. Emerson menjabarkan, mungkin saja beban psikologis akan dialami oleh Tito. Namun, sebagai pemegang tongkat komando, seharusnya Tito memiliki kekuatan untuk menegakkan hukum dan memastikan program yang digagasnya berhasil.

Kalau ada yang berusaha untuk menghambat dan menjegal programnya maka Emerson menyarankan Tito harus berani untuk mengambil langkah tegas. Dia mengatakan, Kapolri yang baru nanti harus menunjukkan kepemimpinannya.

Presiden Joko Widodo telah menyerahkan surat pengajuan calon Kapolri pada Rabu, 15 Juni 2016, ke DPR. Koalisi masyarakat sipil meminta supaya DPR segera melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk mencegah terjadinya gejolak politisasi pencalonan Kapolri. “Semakin cepat, semakin baik,” ujar Direktur Imparsial Al Araf.

Berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, penggantian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden. Pengajuan Tito sebagai Kapolri dinilainya sah secara hukum dan konstitusi.

Langkah Presiden mengajukan Tito sebagai calon Kapolri harus dipandang sebagai hal positif untuk kemajuan polri. Jokowi dipastikannya menginginkan perbaikan dalam institusi polri agar lebih profesional.

Wakil Ketua Umum dan Koordinator Kadin Kawasan Timur Indonesia Andi Rukman Karumpa mengatakan, Tito diharapkan dapat menuntaskan gangguan keamanan kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Menumpas jaringan Santoso adalah tugas berat. Dia mengatakan, banyak investor yang urung berinvestasi ke Sulawesi Tengah.

Andi juga mengingatkan, lokasi perburuan Santoso diapit oleh dua objek vital sangat strategis, yakni Kawasan Ekonomi Khusus Palu dan Kawasan Industri Morowali. “Kita mau undang investor ke sana, selalu ditanya soal Santoso. Ini tak enak,” ujar Andi.

Kehadiran kelompok bersenjata yang sedang diburu tersebut sangat mengganggu urat nadi perekonomian di Sulawesi. Secara geografis, daerah operasi Santoso berada di Kabupaten Poso yang letaknya persis di tengah Pulau Sulawesi. Kapolri mendatang diharapkannya dapat menuntaskan permasalahan Santoso dengan cara apa pun.

Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Bahlil Lahadalia mengatakan, Komjen Tito memiliki kemampuan yang sudah lengkap mulai dari prestasi, kompetensi, dan profesionalitas beliau yang dinilai tidak diragukan lagi.

Bahlil yang juga merupakan tokoh muda Papua itu juga menyaksikan sendiri keberhasilan Tito dalam menjaga stabilitas dan kondusivitas pemilu di Papua. Berbagai potensi gejolak di Papua berhasil diredam.

“Pilkada dan pemilu di Papua termasuk paling rawan. Potensi gejolaknya sangat tinggi se-Indonesia. Namun, kami di Papua menyaksikan kepiawaian Tito dalam mengawal pesta demokrasi di Papua,” kata Bahlil.

Selama memimpin Polda Papua, lanjutnya, Tito juga dinilainya sukses menekan konflik horizontal, perang antarkampung, antarsuku, serta menekan gejolak ancaman disintegrasi. Hal ini, menurut Bahlil, lulusan terbaik Akademi Kepolisian 87 ini tak hanya cakap secara akademik. Tito dinilainya mampu menyelesaikan persoalan di lapangan.

Bahlil mengatakan, tugas berat sudah menanti Tito, yakni bagaimana mengurangi kriminalisasi di dunia usaha. Bahlil yakin, dengan kecakapannya, Tito mampu mereformasi dan membentuk postur kepolisian yang profesional dari atas hingga ke bawah.

rep: Mabruroh/antara, ed: Erdy Nasrul

Gerakan “Cuti Sehari”, Tanda Munculnya Demokrasi Partisipatif

Sebuah rencana gerakan untuk cuti sehari beredar di media sosial. Gerakan tersebut mengajak para pendukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk menggunakan jatah cuti mereka sehari saja sehingga bisa mengikuti proses verifikasi yang dilakukan KPU DKI.

Hal itu sekaligus menjawab kekhawatiran Ahok yang sempat mengeluh bahwa pendukungnya akan kerepotan terkait dengan aturan baru soal verifikasi dukungan bagi calon perseorangan dalam UU Pilkada.

“Begitu enggak ada di rumah, (dikasih) 3 hari batas waktu kamu mesti datang ke PPS terdekat. PPS terdekat buka 24 jam enggak? Kalau dia cuma bilang buka jam kerja saja, harus minta cuti dulu buat datang. Ada berapa orang dong yang mau cuti?” kata Ahok beberapa waktu lalu.

Dalam UU Pilkada yang telah direvisi, verifikasi faktual mewajibkan petugas KPU untuk bertatap muka dengan pemilik KTP yang memberi dukungan untuk calon indepeden. Jika tidak bisa ditemui, para pendukung memiliki waktu tiga hari untuk datang ke kantor PPS dan melakukan verifikasi.

Atas dasar itulah gerakan cuti satu hari muncul dan menjadi viral di media sosial. Tidak jelas siapa yang pertama kali menyebarkan hal itu.

Demokrasi partisipatif

Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan gerakan tersebut merupakan sebuah bentuk demokrasi partisipatif. Model demokrasi di Jakarta dari dulu cenderung berbentuk demokrasi mobilisasi.

Bibit-bibit semangat demokrasi partisipatif, kata Yunarto, sebenarnya sudah muncul ketika Jokowi dan Ahok maju pada Pilkada DKI 2012.

“Bagaimana pemilih tidak lagi diberikan atribut, melainkan diajak membeli baju kotak-kotak sebagai bentuk kerelaan mendukung,” ujar Yunarto kepada Kompas.com, Jumat (10/6/2016).

Sikap pemilih semacam itu sulit untuk dibentuk. Biasanya pendukung di Jakarta cenderung apatis dan pragmatif, khususnya pada masyarakat kelas menengah ke atas yang tidak peduli dengan proses pemilu.

“Menurut saya biasanya orang kota menghindari, kelas menengah juga menghindari. Tapi kemudian ada euforia seperti ini mereka bersedia ikut sibuk,” ujar Yunarto.

Ia menambahkan, munculnya gerakan cuti itu menambah geliat demokrasi partisipatif yang sudah dimulai sejak Pilkada DKI 2012.

“Ini merupakan rentetan dari kampanye ala partisipatif yang sudah dimulai dari jaman Jokowi Ahok,” kata dia.

Sumber : Kompas.com

“Teman Ahok” Diminta Gugat ke MK Kebijakan soal Verifikasi Faktual KTP

Kelompok relawan pendukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, “Teman Ahok”, diminta untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kebijakan verifikasi faktual dukungan bagi calon independen, yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada yang baru.

Berdasarkan UU tersebut, pasangan calon independen diberi waktu 3 hari untuk menghadirkan pendukung mereka ke Kantor Panitia Pemungutan Suara, apabila pendukung mereka itu tidak bisa ditemui petugas yang melakukan verifikasi dengan metode sensus.

“Harus disadari, ini bukan pertarungan Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) saja terkait soal itu. Ini terkait semua pihak bahwa jalur independen harus dihormati,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).

Menurut Yunarto, aturan dalam UU Pilkada yang baru disahkan ini dianggapkan menyulitkan calon yang maju melalui jalur independen atau perseorangan.

Yunarto menilai, verifikasi faktual selama tiga hari tidak mungkin terlaksana dengan baik dan menghambat kesempatan calon independen untuk ikut pilkada.

Selain itu, ia melihat adanya ketidaksetaraan antara calon independen dan calon dari partai politik.

“Secara logika itu hampir tidak mungkin dilakukan. Apalagi di kota besar yang pemilihnya sangat sibuk. Tidak mungkin tiga hari kemudian digugurkan gitu dukungannya,” ujar Yunarto.

Untuk menggugat kebijakan ini, lanjut dia, Teman Ahok dapat berkolaborasi dengan pegiat demokrasi lainnya.

Penggabungan antara Teman Ahok dan aktivis demokrasi lainnya, kata dia, bisa menjadi kekuatan besar dalam mengajukan gugatan perihal kebijakan verifikasi faktual ini.

Ia juga mengingatkan bahwa Teman Ahok tidak hanya memperjuangkan kesempatan Ahok ikut Pilkada DKI 2017 dengan mengajukan gugatan tersebut.

Dengan gugatan ini, lanjut dia, Teman Ahok dapat memperjuangkan demokrasi secara utuh. “Jangan jadikan demokrasi ini kultus memenangkan Ahok, tapi demokrasi secara utuh,” kata Yunarto.

Di sisi lain, Teman Ahok juga perlu menyiapkan langkah terburuk saat kebijakan tersebut benar terlaksana.

Yunarto menilai Teman Ahok perlu melakukan mobilisasi para pendukung secara cerdas.

Salah satu caranya adalah dengan mengingatkan para pendukung akan adanya verifikasi faktual yang harus ditempuh.

Para pendukung Ahok juga dinilainya harus siap repot apabila petugas verifikasi datang ketika pendukung tak ada di rumah.

“Sehingga kegagalan dalam waktu tiga hari bisa diperkecil kemungkinan,” ujar Yunarto.

Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang baru disahkan pada rapat paripurna DPR, Kamis (2/6/2016), memuat ketentuan yang memperketat proses verifikasi kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat pilkada untuk calon indepenen.

Ada dua jenis verifikasi yang diatur dalam Pasal 48 UU Pilkada. Pertama adalah verifikasi administrasi yang dilakukan KPU tingkat provinsi/kabupaten/kota dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).

Kedua, adalah verifikasi faktual dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya.

Jika pendukung calon tak bisa ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di Kantor PPS.

Namun, jika pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukung mereka ke Kantor PPS dalam 3 hari, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.

Sumber : Kompas.com

Benar atau Salah Jalur Independen Bukan Lagi Bahasan Pilkada DKI 2017

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tak perlu lagi membahas perihal benar atau salah jalur independen dalam pilkada. Terutama perihal pencalonan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok lewat jalur perseorangan.

“Intinya menurut saya sudah proses dialektika proses independen sudah selesai. Jangan masuk ke sana (perdebatan jalur independen),” kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).

Jika membaca sejarah, Yunarto menuturkan antara PDI-P dengan Ahok dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 bukan perbedaan cara pandang kinerja. Namun lebih ke cara pandang prosedur.

Ahok merasa bisa mempertemukan partai dengan Teman Ahok. Sementara di sisi lain PDI-P memandang Ahok harus melewati mekanisme partai.

“Saya pikir yang harus dikompromikan prosedural dan teknis. Jangan lagi benar dan salah. Itu kurang elok statement seperti itu,” ungkap Yunarto.

Menurutnya, ada wilayah abu-abu yang sebenarnya bisa mempertemukan antara Ahok dan PDI-P. Pertama, jika Ahok tetap memilih jalur independen, PDI-P dalam hal ini bisa membuat peluang Heru Budi, bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta bisa masuk menjadi kader partai. Pasalnya itu bisa jadi bisa mewakilkan partai.

“Kalau Ahok masuk jalur parpol dan teman-teman partai lain, bagaimana kemudian aspirasi Teman Ahok bisa ditampung,” kata Yunarto. (Baca: Kalau Ahok Akui Jalur Independen Salah, PDI-P Siap Menjagokannya)

Aspirasi itu mulai dari pengakomodiran peran Teman Ahok dalam kampanye. Selain itu juga aspirasi setelah Ahok menjabat kembali sebagai gubernur.

“Harusnya varian seperti itu dimunculkan, bukan setback (kembali) seperti Bang Hugo tadi katakan itu (jalur independen) salah. Itu mengulang perdebatan independen bagian deparpolisasi atau independen lebih buruk,” kata Yunarto.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Andreas Hugo Pareira sebelumnya mengatakan bahwa partainya masih membuka peluang untuk mengusung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersama Djarot Saiful Hidayat sebagai calon kepala daerah pada Pilkada DKI 2017.

Namun, Ahok harus mengakui terlebih dahulu bahwa jalur independen yang ditempuhnya bersama kelompok relawan Teman Ahok adalah langkah yang salah.

Sumber : Kompas.com

DPR Dianggap Tak Hormati Pengakuan Terhadap Jalur Independen

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai batas waktu tiga hari untuk verifikasi faktual pendukung calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah tidak masuk akal. Pasalnya verifikasi faktual tak mungkin cukup dilaksanakan hanya dengan waktu maksimal tiga hari.

“Itu bentuk ketidakhormatan DPR terhadap pengakuan jalur independen. Bagaiaman mungkin dia melampaui logika yang sudah dibuat oleh KPU,” kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).

KPU menargetkan waktu 14 hari untuk melakukan verifikasi faktual pendukung calon perseorangan/independen. Tenggat waktu tersebut dinilai pas, dibanding maksimal hanya tiga hari untuk melakukan verifikasi faktual.

Verifikasi faktual dilakukan dengan metode sensus, yakni menemui langsung setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya. Jika pendukung calon tak bisa ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di Kantor PPS.

Namun, jika pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukung mereka ke Kantor PPS dalam waktu 3 hari, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.

“Tapi melampaui dari keputusan KPU yang 14 hari menjadi tiga hari, itu menurut saya pendegradasian keputusan yang telah diakui negara terhadap jalur independen,” ungkap Yunarto.

Bahkan Yunarto menilai verifikasi faktual itu menyulitkan siapa pun calon perseorangan. Menurutnya secara logika tidak dapat terlaksana dengan baik di lapangan. Terlebih calon perseorangan itu bertarung dalam pilkada di kota-kota besar di mana para pemilihnya sangat sibuk.

“Tidak mungkin tiga hari kemudian digugurkan gitu dukungannya,” ungkap Yunarto.

Kebijakan verifikasi faktual ini dinilai bisa menimbulkan logika baru. Salah satunya yakni permintaan untuk melakukan verifikasi faktual serupa terhadap pemilih partai-partai politik dalam pemilihan legislatif beberapa tahun silam. “Menurut saya harus digugat sehingga tidak ganggu kesetaraan antara jalur independen dan parpol. Bukan hanya konteks DKI, tapi juga keseluruhan pilkada sampai 2018,” tegas Yunarto.

Sumber : Kompas.com

Pengamat: Akom Star Munaslub Golkar

Pemilihan calon ketua umum Partai Golkar akhirnya mengantar Setya Novanto menjadi nakhoda baru di partai berlambang beringin itu. Setnov menjadi ketua umum setelah pesaing terdekatnya, Ade Komarudin, memutuskan tak maju pada pemilihan putaran kedua.

Dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar di Nusa Dua, Bali, Selasa (17/5) dini hari, Setnov–sapaan Novanto–mendapat 277 suara. Ade berada di posisi kedua dengan 173 suara.

Posisi itu sebenarnya masih memungkinkan pemilihan untuk dilanjutkan ke putaran kedua. Sebab, aturan pemilihan memang memungkinkan calon ketua umum yang meraih dukungan di atas 30 persen dari 554 suara berhak maju ke putaran kedua.

Namun, Akom–panggilan akrab Ade–memilih tidak melanjutkan pemilihan ke putaran kedua. Ketua DPR itu memilih legawa dengan hasil pemilihan demi kepentingan Golkar.

Langkah Akom itu mendapat pujian dari pengamat politik Yunarto Wijaya. Menurut Yunarto, langkah politik Akom telah menjadi catatan penting bagi partai berlambang beringin itu.

“Bagi saya, star-nya (bintang Munaslub Golkar–Red) adalah Akom. Dia berhasil belajar dari pengalaman itu dan memutuskan untuk mundur, bukan Novanto,” ujar Yunarto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/5).

Direktur Eksekutif Charta Politika itu menjelaskan, sebenarnya banyak pemilik suara di munaslub yang ingin merapat ke Akom jika pemilihan berlanjut ke putaran kedua. Namun, Yunarto menambahkan, Akom justru tak mau head to head dengan Setnov di putaran kedua.

Yunarto melihat sikap kompromistis Akom itu justru penting bagi Golkar. Sebab, langkah itu justru mencegah Golkar dari pertarungan yang lebih keras yang biasanya muncul partai sempalan akibat kekecewaan karena kalah dalam pemilihan ketua umum. Hal itu terbukti dengan terbentuknya Gerindra, Hanura, dan Nasdem setelah Munaslub Golkar 2004 dan 2009.

“Harus diakui, ini sisi negarawan Akom yang belajar dari 2009, ketika head to head memunculkan parpol baru dan terbukti menurunkan suara Golkar,” ulasnya.

Yunarto juga mengatakan, hal yang perlu segera dilakukan Golkar di bawah komando Setnov adalah mempercepat rekonsiliasi setelah setahun lebih terbelit konflik internal. Menurut dia, semangat rekonsiliasi di munaslub harus tetap dipertahankan.

“Pasca-pertarungan luar biasa selama setahun lebih, berakhir klimaks ketika Akom mundur dan merelakan ambisinya. Minimal munas kali ini lebih steril dan jauh dari risiko perpecahan partai,” tegasnya.

Sumber : RMOL

Kecil Kemungkinan Prabowo Pilih Yusril, Ini Alasannya

Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra dinilai memiliki peluang paling kecil untuk dipilih Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto apabila mempertimbangkan hubungan kedekatan bakal calon dengan Prabowo.

Jika dibandingkan dengan dua tokoh lainnya, yakni pengusaha Sandiaga Uno dan mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsudin, Yusril dinilai paling tidak dekat dengan Prabowo.

Apalagi, Yusril juga bukan kader Gerindra. “Sulit menerima logika bahwa partai yang cukup besar seperti Gerindra harus melepas tiket gratis kepada non-kader yang itu akan merusak proses kaderisasi juga,” ujar Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya kepada Kompas.com, Rabu (27/4/2016).

Adapun Yusril, Sandiaga, dan Sjafrie, adalah tiga nama yang disetorkan DPD DKI Jakarta Gerindra untuk dipilih Prabowo sebagai bakal calon gubernur, yang akan diusung Gerindra pada Pilkada DKI 2017.

Yunarto mengatakan di antara ketiga nama tersebut, Sjafrie merupakan bakal calon yang paling dekat dengan Prabowo.

Menurut Yunarto, Partai Gerindra merupakan partai yang memiliki komando sentral di tangan ketua umumnya, yaitu Prabowo.

Dengan demikian, kata dia, faktor kedekatan dengan ketua umum menjadi penting.

“Keunggulan Pak Sjafrie adalah kedekatan secara chemistry dengan Prabowo. Kita tahu sepak terjang Pak Sjafrie dengan Prabowo sama-sama tentara,” ujar Yunarto.

Sjafrie memang bukan kader partai. Namun, kedekatan personalnya dengan Prabowo bisa menguntungkan.

Jika Sjafrie masuk menjadi kader Partai Gerindra, Yunarto mengatakan, peluang Sjafrie akan lebih besar lagi.

Sementara itu, Sandiaga Uno, adalah kader Parta Gerindra yang sempat disanjung Prabowo saat acara ulang tahun Partai Gerindra beberapa waktu lalu.

Namun, menurut Yunarto, kedekatan Prabowo dengan Sandiaga baru sebatas hubungan antar-kader saja, bukan kedekatan personal.

“Sama Sandiaga bisa dikatakan ada kedekatan karena sesama Gerindra. Tetapi dengan Sjafrie kan kedekatan personal.

Punya sejarah sama-sama angkatan 1974, jadi tentara. Itu jauh lebih dalam kedekatannya,” ujar Yunarto.

Sumber : Tribbun Jambi

Ahok Bakal Bernasib seperti Foke?

Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya tidak setuju opini itu

Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya tidak sependapat dengan opini yang menyebutkan nasib Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan sama seperti Fauzi Bowo (Foke) di pilkada tahun 2017 nanti.

“Ada orang mengatakan bahwa pada tahun 2012 elektabilitas Foke paling tinggi, tapi jungkir balik saat pemilihan. Mereka bilang kejadian itu akan sama dengan Ahok. Saya katakan, memang masih mungkin Ahok bisa dikalahkan. Tapi menyamakan Ahok dengan Foke saya tidak setuju. Yang menjadi faktor utama bagi incumbent adalah tingkat kepuasan publik bukan elektabilitas, dan itu berbeda antara Ahok dan Foke,” kata Yunarto di kantor Charta Politika Indonesia, Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (30/3/2016).

Yunarto mengatakan dari hasil survei, kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ahok jauh lebih tinggi dibandingkan saat Foke persiapan maju lagi di pilkada 2012. Jelang pilkada tahun itu, tingkat kepuasan masyarakat hanya 42 persen sampai 47 persen.

“Kalau tingkat kepuasan publik di atas 50-60 persen, biasanya peluang menangnya tinggi, tapi kalau di bawah 50 persen, peluang kalahnya sangat besar. Dan kepuasan terhadap kinerja Ahok mencapai 61 persen, sementara yang sangat puas adalah 21,8 persen responden,” kata Yunarto.

Menurut Yunarto figur Ahok merupakan magnet bagi publik untuk mendukungnya menjadi gubernur Jakarta periode 2017-2022.

“Pilkada di DKI ini lebih cenderung melihat figur, karena tingkat rasionalitas penduduknya tinggi. Dan itu juga tentu didukung oleh kepuasan terhadap kinerja. Kita lihat saja, hanya ada 12,5 persen saja yang tidak puas dengan kinerja Ahok dan Wakilnya Djarot,” kata Yunarto.

Sumber : Suara.com

Djarot Masih Diminati Warga Jakarta Jadi Wakil Gubernur, Haji Lulung Diurutan Ketiga

Charta Politika Indonesia menyebutkan ada beberapa nama yang potensial untuk menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017 mendatang.

Dari sejumlah nama, berdasarkan survey yang dilakukan Charta Politika, Wakil Gubernur DKI Jakarta pertahana Djarot Saiful Hidayat masih paling tinggi dipilih responden.

“Mungkin karena sosok pertahana, Djarot masih menjadi wakil gubernur yang paling banyak dipilih. 11,8 persen responden memilihnya,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunanto Wijaya dalam rilis “Siapa Lawan Ahok” di Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (30/3/2016).

Selanjutnya, mantan Ketua KPK, Abraham Samad dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana, juga menjadi nama yang menyusul tingkat keterpilihan Djarot.

“10 persen responden pilih Abraham Samad jadi wakil gubernur. Selanjutnya, Haji Lulung yang dipilih 7,5 persen responden,” katanya.

Sedangkan, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budiartono yang menjadi bakal calon wakil gubernur bersama Basuki Tjahaja Purnama melalui jalur perseorangan, tingkat elektabilitasnya sama dengan Abraham Lunggana.

“Pak Heru punya elektabilitas sebagai wakil gubernur yang sama dengan Haji Lulung yaitu 7,5 persen,” kata Yunanto.

Namun, pada survey yang digelar sejak 15 Maret hingga 20 Maret 2016 dan mengambil sampel 400 responden dari seluruh kota administrasi di Jakarta serta Kepulauan Seribu, 37 persen responden masih belum menentukan pilihan calon wakil gubernur.

Penulis: Valdy Arief
Editor: Adi Suhendi
Sumber : Tribunnews