”Reshuffle” Kabinet Diprediksi Berlanjut

Presiden Prabowo diprediksi akan melanjutkan ”reshuffle” kabinet untuk mengisi dua kursi kosong. Perombakan disebut demi peningkatan kinerja pemerintahan.

JAKARTA, KOMPAS — Publik diminta menunggu keputusan Presiden Prabowo Subianto terkait pengisian dua kursi menteri yang kosong. Diperkirakan, pengisian itu akan dibarengi dengan reshuffle kabinet demi peningkatan kinerja pemerintahan sesuai harapan masyarakat.

Presiden Prabowo melakukan reshuffle kabinet pada Senin (8/9/2025) di Istana Negara, Jakarta. Seharusnya ada lima menteri yang dirombak dan penambahan satu menteri beserta wakil menteri. Namun, saat pelantikan, hanya tiga menteri yang diumumkan. Posisi Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) serta Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) belum diumumkan.

Presiden Prabowo seusai meninjau Sekolah Rakyat Menengah Atas 10 Margaguna, Jakarta Selatan, Kamis (11/9/2025), tidak membantah ketika ditanya mengenai rencana pelantikan Menpora serta Menko Polkam yang masih kosong setelah ia memberhentikan Dito Ariotedjo dan Budi Gunawan. Akan tetapi, ia tidak berkomentar banyak.

Presiden meminta publik untuk menunggu keputusan yang bakal dia ambil. Apalagi saat ditanya Presiden sedang meninjau Sekolah Rakyat, bidang yang tak berhubungan langsung dengan perombakan kabinet. ”Ya, nanti tunggu tolong waktunya, biar kalian ada semangat. Sekolah Rakyat, Sekolah Rakyat, nanya Menko Polkam,” kata Presiden sambil berkelakar.

Secara terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Idrus Marham tidak ingin berspekulasi siapa yang akan ditunjuk oleh Presiden Prabowo sebagai Menpora. Namun, ia berharap posisi itu bisa diisi kembali oleh kader terbaik Golkar.

”Tantangan bagi Golkar untuk membuktikan bahwa Golkar memiliki kader terbaik, tetapi bila tidak, ya ini memang tergantung pada Presiden. Ini bukan jatah-jatahan, ya,” ucap Idrus di Jakarta, Kamis (11/9/2025).

 

 

Golkar, lanjut Idrus, meyakini Presiden Prabowo mempunyai pandangan yang mengedepankan aspek profesionalitas dalam menentukan sosok yang akan duduk di kabinetnya.

 

 

Semua keputusan kembali lagi kepada Presiden. Golkar, lanjut Idrus, meyakini Presiden Prabowo mempunyai pandangan yang mengedepankan aspek profesionalitas dalam menentukan sosok yang akan duduk di kabinetnya. Bahkan, untuk meningkatkan kinerja kabinet ke depan, menurut Idrus, bukan tidak mungkin pengisian kursi Menpora dan Menko Polkam nanti dibarengi dengan perombakan beberapa kursi menteri.

”Saya yakini, beliau pasti memberikan respons terhadap aspirasi yang berkembang di tengah masyarakat ini tentu tidak mungkin tidak dapat dilaksanakan sekaligus. Pasti bertahap. Nah termasuk misalkan merespons bagaimana adanya usulan tentang kinerja kabinet, ini sudah dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal ada lima, ya ada lima orang, pada tahap kedua nanti ada evaluasi terus-menerus. Karena kenapa? Karena Pak Prabowo telah berjanji apabila menyangkut kepentingan rakyat apa pun harus kita lakukan,” katanya.

 

KOMPAS/NIKSON SINAGA Mahasiswa dari Universitas Sumatera Utara berunjuk rasa di depan Gedung DPRD Sumut, Medan, Selasa (26/8/2025). Bentrok antara mahasiswa dan aparat kepolisian pecah dalam unjuk rasa itu.

 

Oleh karena itu pula, menteri-menteri muncul dari mana pun, mulai dari partai politik atau bukan partai politik. Semua diorientasikan bahwa reshuffle dalam rangka peningkatan kinerja ke depan sesuai dengan harapan masyarakat, serta untuk membantu rakyat memenuhi kepentingan rakyat.

”Sehingga dengan demikian, masalah asas profesionalitas dalam rangka untuk meningkatkan kinerja kabinet ke depan itu juga menjadi pertimbangan utama. Kami punya keyakinan bahwa Presiden Prabowo sangat aspiratif, bahkan sensitif memperhatikan aspirasi rakyat. Dalam rangka memperhatikan aspirasi rakyat itu partai Golkar punya keyakinan bahwa Pak Prabowo akan melakukan langkah-langkah yang tegas demi kepentingan rakyat,” ujar Idrus.

Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Herman Khaeron menyebut, pihaknya menyerahkan komposisi reshuffle sepenuhnya kepada Presiden Prabowo. Demokrat, lanjutnya, juga masih menunggu siapa yang akan mengganti posisi yang kosong.

”Tentu kami tunggu saja karena itu adalah hak prerogatif Presiden. Oleh karena itu, dalam rangka memperbaiki kinerja, kami tentu mendukung langkah-langkah Presiden yang ingin menjadikan Indonesia lebih baik,” tuturnya.

 

KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO Wakil Presiden Gibran Rakabuming menanggapi perombakan anggota Kabinet Merah Putih, seusai menghadiri panen perdana lobster, di Balai Perikanan Budidaya Laut (BPBL) Batam, di Batam, Kepulauan Riau, Rabu (10/9/2025).

 

Menurut Herman, Partai Demokrat belum sempat mendiskusikan terkait usulan untuk mengisi pos kementerian yang kosong tersebut. Namun, dia menekankan Presiden lebih memahami kebutuhannya dan sesuai dengan berbagai program yang dicanangkan.

Sampai kemarin sibuk untuk persiapan ulang tahun Partai Demokrat. Kami juga menampung berbagai aspirasi, kemudian setelah itu doa bersama. Artinya, kami juga dengan keputusan yang sangat mendadak oleh Presiden, tidak pernah mendiskusikan itu,” kata Herman.

”Dan untuk memberikan kenyamanan kepada Presiden, tentu kami serahkan sepenuhnya kepada beliau,” lanjutnya.

 

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya

berpendapat, ’reshuffle’ kabinet kali ini tidak didasari

pertimbangan yang matang dan dilakukan terburu

buru.

 

Pertimbangan tidak matang

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya berpendapat, reshuffle kabinet kali ini tidak didasari pertimbangan yang matang dan dilakukan terburu-buru. Hal ini terlihat dari pos Menko Polkam dan Menpora yang masih belum terisi hingga saat ini.

Kompas/Hendra A Setyawan Presiden Prabowo Subianto didampingi Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin (kanan depan) dan Menko Polkam Budi Gunawan (kanan belakang) membuka Indo Defence Expo and Forum 2024 di Jiexpo, Kemayoran, Jakarta, Rabu (11/6/2025).

 

Terlihat sekali secara teknis masih belum ada nama pengganti, menunjukkan ada ketetapan. Terburu-buru di situ, dan itu tentu saja berdampak. Menteri itu jabatan politik, sekaligus berpengaruh langsung pada sektor dari kementerian tersebut,” papar Yunarto saat dihubungi terpisah.

Pergantian yang terburu-buru, lanjutnya, juga bisa dilihat dari posisi yang terdampak reshuffle berkaitan dengan aksi unjuk rasa yang terjadi beberapa waktu terakhir. Meski demikian, Yunarto mempertanyakan pos yang diganti karena dinilai kurang tepat sasaran.

”Ya, suka atau tidak, ada kaitannya dengan konflik politik kemarin. Demonstrasi terhadap DPR hingga kemarahan terhadap polisi. Namun, yang membuat saya bingung, kenapa nama-nama tersebut yang diganti. Budi Gunawan misalnya, kenapa tidak Kapolrinya yang diganti?” ujarnya.

Terlepas dari kondisi tersebut, Yunarto menekankan kekosongan posisi menteri ini harus segera diisi dalam hitungan hari, terutama Menko Polkam. Apalagi, Sjafrie Sjamsoeddin saat ini selain menjabat sebagai Menteri Pertahanan, juga menjabat sebagai ad interim Menko Polkam. Kedua posisi itu sama-sama penting.

 

Kompas/Hendra A Setyawan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya

 

Sebagai ad interim pun tetap memiliki keterbatasan dari sisi kewenangan ataupun teknis pelaksanaan. Pak Sjafrie juga memiliki tanggung jawab yang besar, empat jabatan sekaligus, termasuk Dewan Pertahanan Nasional dan Ketua Satgas Tambang dan Sawit,” paparnya.

Yunarto pun memberikan catatan kritis kepada pemerintah. Pergantian komposisi kabinet ini, lanjutnya, apakah akan menjawab kritik dari masyarakat. Apalagi, masih terbuka kemungkinan untuk melakukan pergantian posisi pembantu Presiden Prabowo ini.

Menurut saya, ada loophole di situ. Sebetulnya, masalah utama itu bukan personel, tetapi juga evaluasi terhadap kebijakan itu sendiri, yang memang sedang tidak baik-baik saja,” kata Yunarto.

 

 

 

Kerabat Kerja

Penulis:Nikolaus Harbowo, Machradin Wahyudi Ritonga, Kurnia Yunita Rahayu, Nina Susilo | Editor:Madina Nusrat | Penyelaras Bahasa:Teguh Candra

PRESS RELEASE QUICK COUNT PILKADA ULANG KABUPATEN BANGKA 2025

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Ulang Kabupaten Bangka 27 Agustus 2025 telah selesai dilakukan.

Pada gelaran Pilkada Ulang 27 Agustus 2025, Charta Politika Indonesia melakukan penghitungan cepat (quick count) di Kabupaten Bangka dengan jumlah sampel 200 TPS yang tersebar di 8 Kecamatan. Proses sampling dilakukan secara acak menggunakan metode Stratified Random Sampling, dengan margin of error sebesar +/- 1 persen dengan tingkat kepercayaan 99%.

Hasil quick count yang diperoleh: 20250807_Rilis Quick Count Charta Pilkada Ulang Kab. Bangka 2025

EVALUASI PUBLIK ATAS KINERJA GUBERNUR-WAKIL GUBERNUR SULAWESI TENGGARA TAHUN 2025

Periode Survei : 09 – 14 Juni 2025

 

 

Hasil Rilis Suvei: 202506_RILIS_SULTRA_CPI

 

 

Yunarto Wijaya: Prabowo Ingin Tunjukkan Tak Bergantung ke Jokowi

JAKARTA, KOMPAS.com – Presiden RI Prabowo Subianto dinilai sedang berupaya menunjukkan ke publik bahwa dirinya tidak bergantung pada Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) lewat cara menjalin komunikasi dengan Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri.

Penilaian itu disampaikan Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam siniar Gaspol! Kompas.com, dikutip Selasa (17/5/2025).

Komunikasi politik dari Prabowo ke pihak-pihak lain dijalankan, termasuk yang dilakukan Wakil Ketua Umum Gerindra sekaligus Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi ke kediaman Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, pekan lalu.

Sebagaimana diketahui, Megawati merupakan pimpinan partai yang dulu menjadi tempat Jokowi bernaung.

Kini, Jokowi tak lagi bernaung di partai banteng moncong putih, namun Prabowo tetap bisa berkomunikasi dengan Megawati meski Prabowo juga punya hubungan baik dengan Jokowi.

“Ketika kemudian orang berasumsi bahwa Pak Prabowo sangat bergantung dengan Pak Jokowi, paling tidak dengan simbol-simbol komunikasi seperti ini Pak Prabowo ingin mengatakan bahwa saya bisa berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk lawan politik saya,” ujar Yunarto menganalisis.

Menurut Yanuar, komunikasi politik yang dijalin dengan Megawati juga menjadi cara Prabowo menjawab isu “matahari kembar” dalam pemerintahannya.

Dengan manuver itu, Prabowo secara tegas memberikan gambaran bahwa kendali pemerintahan saat ini sepenuhnya berada di tangannya.

“Menurut saya ini cara beliau menjawab, enggak ada matahari kembar. Matahari hanya saya. Enggak ada yang namanya cawe-cawe, karena saya bahkan berkomunikasi dan merangkul lawan politik atau yang berseberangan dengan Pak Jokowi,” kata Yunarto.

Dia berpandangan bahwa pendekatan dengan PDI-P tidak mungkin dilakukan jika Prabowo benar-benar dikendalikan oleh Jokowi.

Terlebih, mayoritas kekuatan politik di parlemen saat ini sudah ada di bawah kendali koalisi pemerintah.

“Kalau kemudian memang Pak Prabowo benar-benar diatur sama Jokowi, enggak mungkin dia melakukan komunikasi intens dengan PDI Perjuangan. Apalagi sudah punya kekuatan 84 persen,” jelas Yunarto.

 

Tria Sutrisna, Danu Damarjati Tim Redaksi
Foto: KOMPAS.com/FREDERIKUS TUTO KE SOROMAKING
Sumber: Nasional.kompas.com

 

Refleksi demokrasi dari Pemilu hingga Pilkada

Jakarta (ANTARA) – Reformasi di Indonesia telah berlangsung lebih dari dua dekade. Semangat reformasi yang dimulai pada tahun 1998 bertujuan untuk mewujudkan demokrasi sejati, pemerintahan yang bersih, transparan, dan berkeadilan.

Demokrasi yang menjadi buah reformasi dapat terlihat jelas dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada). Akan tetapi, realitas pelaksanaan demokrasi kita hari ini masih jauh dari idealisme reformasi.

Sejak reformasi bergulir, sudah enam kali Indonesia menyelenggarakan pemilu legislatif dan lima kali pemilihan presiden secara langsung. Namun, kualitas demokrasi kita justru semakin memprihatinkan.

Secara administratif, pemilu memang mengalami peningkatan prosedural, tetapi secara substansi dan moral mengalami kemunduran. Praktik politik uang dan transaksi politik di balik layar semakin marak, mencemari esensi demokrasi itu sendiri. Hal ini juga terlihat jelas dalam penyelenggaraan pilkada di berbagai daerah.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran ini terjadi. Pertama, kaderisasi partai politik yang tidak berjalan efektif. Partai-partai politik yang seharusnya menjadi tempat pembelajaran politik dan demokrasi justru terjebak dalam pragmatisme politik semata. Akibatnya, para calon pemimpin yang diajukan ke publik tidak benar-benar melewati proses kaderisasi yang matang.

Kedua, fenomena “mahar politik” yang semakin lazim. Calon-calon kepala daerah harus menyediakan dana besar untuk mendapatkan rekomendasi partai. Kondisi ini membuka peluang luas bagi korupsi dan politik uang dalam berbagai bentuknya.

Praktik politik uang ini semakin diperparah dengan lemahnya penegakan hukum dan rendahnya integritas penyelenggara pemilu. Masih hangat di benak masyarakat kita, pada Pemilihan Presiden 2024, institusi penting seperti Mahkamah Konstitusi (MK) juga ikut dipolitisasi.

Putusan MK terkait perubahan batas usia calon presiden dan wakil presiden memperlihatkan bagaimana kepentingan politik dan kekeluargaan dapat dengan mudah mempengaruhi institusi yang seharusnya independen dan netral. Kasus ini menjadi contoh nyata bahwa demokrasi Indonesia masih sangat rentan terhadap intervensi politik kekuasaan.

Kondisi serupa juga terjadi pada tingkat lokal melalui pelaksanaan pilkada. Di berbagai daerah, fenomena dinasti politik tumbuh subur, di mana kekuasaan politik diwariskan secara turun-temurun di lingkungan keluarga tertentu. Praktik ini bertentangan langsung dengan prinsip meritokrasi dan demokrasi substantif yang menjadi esensi reformasi. Selain itu, politisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam mendukung calon tertentu juga semakin memperparah kondisi demokrasi lokal.

Fakta lain yang memperjelas persoalan demokrasi lokal adalah banyaknya gugatan sengketa pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Lebih dari separuh daerah di Indonesia menghadapi sengketa pilkada yang diajukan ke MK pada pilkada 2024.

Meski tidak semua gugatan memiliki bukti kuat, tetapi tingginya angka gugatan ini jelas menunjukkan adanya persoalan serius dalam pelaksanaan pilkada. Berbagai putusan MK seperti Pemungutan Suara Ulang (PSU) hingga diskualifikasi calon menjadi bukti nyata adanya pelanggaran yang sistematis dan berulang dalam demokrasi elektoral.

Namun, realitas menunjukkan bahwa putusan MK seperti PSU tidak selalu efektif dalam memberikan efek jera. PSU sering dimanfaatkan oleh kandidat yang sudah memiliki keunggulan untuk kembali melakukan kecurangan dengan lebih rapi dan terorganisir.

Kandidat yang sebelumnya menang dalam jarak suara besar memiliki keuntungan berupa infrastruktur politik, sumber daya finansial, dan jaringan relawan yang solid. Hal ini tercermin dari banyaknya hasil PSU yang kembali digugat ke MK. Contoh nyata yang bisa diamati adalah kasus pilkada di Kabupaten Barito Utara, yang menjadi bukti kegagalan PSU dalam memberikan efek jera kepada para pelaku pelanggaran demokrasi.

Menghadapi berbagai permasalahan tersebut, bangsa ini perlu kembali membangun kesadaran kolektif untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Momentum memperingati reformasi harus menjadi saat yang tepat untuk merefleksikan kembali perjalanan demokrasi kita.

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memperbaiki regulasi terkait pemilu dan pilkada secara menyeluruh. Banyaknya gugatan serta berbagai fakta pelanggaran yang terjadi harus menjadi momentum korektif untuk memperbaiki sistem hukum pemilu agar lebih tegas, jelas, dan efektif dalam mencegah berbagai pelanggaran.

Selain regulasi, lembaga penyelenggara pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga harus diperbaiki sejak proses rekrutmen. Perekrutan penyelenggara pemilu harus benar-benar independen dan terbebas dari pengaruh partai politik, agar lembaga tersebut mampu bekerja secara netral dan profesional. Independensi penyelenggara pemilu menjadi kunci utama terciptanya demokrasi yang sehat.

Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi juga perlu mempertegas kembali perannya dalam menjaga integritas demokrasi Indonesia. MK harus mampu menghasilkan putusan yang memberikan efek jera kepada pelaku pelanggaran demokrasi. Selama ini, putusan seperti PSU hanya menjadi ritual yang mengulang kembali kecurangan dengan cara yang lebih terselubung dan efektif.

Terakhir, partisipasi masyarakat dalam proses demokrasi harus diperkuat. Demokrasi yang substansial adalah demokrasi yang mampu melibatkan masyarakat secara aktif, bukan hanya saat pemilu dan pilkada berlangsung, tetapi dalam seluruh proses kebijakan publik dan pemerintahan. Pendidikan politik dan sosialisasi demokrasi harus terus dilakukan secara masif agar kesadaran politik masyarakat meningkat.

Dengan berbagai upaya tersebut, cita-cita luhur reformasi untuk mewujudkan demokrasi substantif, bersih, dan partisipatif dapat tercapai.

Reformasi tidak boleh berhenti sebagai slogan kosong. Kita harus terus memperjuangkan reformasi demi demokrasi Indonesia yang lebih baik, transparan, dan adil.

Hanya dengan kesungguhan dan kerja keras bersama, demokrasi sejati sebagai amanat reformasi dapat kita wujudkan sepenuhnya.

 

 

Aco Ardiansyah Andi Patingari
Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Antaranews.com
Foto: ANTARA/HO-Rilis.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Demokrasi semu di balik PSU

PSU seharusnya menjadi mekanisme korektif. Sayangnya, tanpa diskualifikasi Paslon yang terbukti melanggar, PSU malah jadi jalan tengah yang menyesatkan

Jakarta (ANTARA) – Bayangkan sebuah pertandingan ulang yang dimenangkan oleh tim yang sama, di lapangan yang sama, dengan wasit yang sama, dan penonton yang sudah tahu hasil akhirnya.

Itulah kira-kira gambaran dari pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU) pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kini mulai menjamur di sejumlah daerah. Alih-alih menjadi solusi atas sengketa demokrasi, PSU justru menjadi ruang legal yang menjustifikasi kecurangan secara lebih rapi dan mahal.

Mahkamah Konstitusi tentu bukan tanpa alasan ketika menjatuhkan putusan PSU kepada beberapa daerah. Dalam banyak kasus, ditemukan pelanggaran administratif atau tindakan yang dianggap memengaruhi hasil pemilu.

Namun, problem muncul ketika PSU dilaksanakan tanpa mendiskualifikasi pasangan calon (Paslon) yang sebelumnya terbukti telah diuntungkan oleh pelanggaran tersebut. Maka, PSU tak ubahnya hanya menjadi kosmetik demokrasi, ritual pengulangan yang hasilnya sudah bisa ditebak.

Paslon yang sebelumnya menang dengan selisih suara yang cukup besar, ketika diperintahkan untuk mengulang pemungutan suara di beberapa TPS atau bahkan semua TPS, sudah pasti diuntungkan. Mereka memiliki keunggulan infrastruktur: tim pemenangan yang siap tempur, kantong suara yang sudah terpetakan, strategi yang sudah teruji, dan yang tak kalah penting, psikologis dan kepercayaan masyarakat yang cenderung masih loyal terhadap pilihan sebelumnya.

Sebaliknya, Paslon yang sebelumnya mengalami kekalahan cenderung menjadi lebih tidak maksimal dalam menghadapi PSU. Selain karena potensi kekalahan masih besar, ada keragu-raguan yang melemahkan semangat perlawanan. Mereka dihadapkan pada dilema: mengeluarkan biaya politik baru dengan risiko hasil yang sama, atau menarik diri secara perlahan.

Hal paling mencolok dari PSU adalah melonjaknya ongkos atau biaya politik. Dalam kondisi normal, biaya kampanye saja sudah cukup tinggi, apalagi saat PSU. Semua proses politik diulang dengan tekanan yang lebih besar. Paslon yang sebelumnya menang akan berupaya mempertahankan kemenangan dengan segala cara, termasuk meningkatkan intensitas politik uang.

Paslon di urutan teratas tentu tidak ingin kehilangan hasil sebelumnya, sedangkan Paslon yang tertinggal akan mengerahkan semua sumber daya untuk mengejar ketertinggalan, apa lagi jika jarak kekalahan sebelumnya sangatlah tipis atau sedikit. Maka, terjadilah inflasi politik uang –suara rakyat makin murah secara moral, tapi makin mahal secara finansial.

Menurut data Mahkamah Konstitusi, setidaknya terdapat 24 daerah yang diperintahkan untuk menggelar PSU akibat sengketa hasil Pilkada 2024. Rentang waktu pelaksanaannya bervariasi, mulai dari 30 hingga 180 hari sejak putusan dibacakan pada 24 Februari 2025.

Dari 10 daerah yang telah melaksanakan PSU, setidaknya tujuh hasil PSU telah kembali digugat ke MK dengan berbagai dugaan kecurangan, mulai dari administrasi hingga dugaan politik uang kembali terjadi. Ini memperlihatkan bahwa PSU belum menyelesaikan persoalan substantif, justru menambah konflik baru dan memperkuat kecenderungan pragmatisme politik.

Putusan MK atas gugatan hasil PSU pada Kabupaten Barito Utara menjadi salah satu cerminan buruk demokrasi. Praktik money politic atau politik uang telah terbukti meningkat hingga berkali-kali lipat dibanding pemilu regular sebelumnya, dimana disebutkan bahwa setiap pemilih bahkan memperoleh politik uang sebesar 16 juta, dan mencapai 64 juta per KK.

Hal itu disebabkan antara lain karena ketidakinginan antara kedua Paslon tersebut dikalahkan oleh masing-masing lawannya sehingga berbagai cara dan upaya telah dilakukan. Belum lagi jumlah TPS yang sedikit sehingga membuat “target pembelian suara” lebih terfokus dan efisien.

Kemudian bagi Paslon yang terkena diskualifikasi oleh MK, bukan berarti pertarungan usai. Dalam beberapa kasus, mereka mengalihkan dukungan kepada kerabat, loyalis, atau kandidat bayangan untuk tetap bertarung. Ini memperlihatkan bahwa kekuasaan tetap bisa dijaga melalui sirkulasi semu dan manipulatif.

Untuk itu, dana politik yang digelontorkan pun semakin besar. Mereka tidak hanya ingin menang, tapi ingin membuktikan bahwa diskualifikasi tidak membuat mereka tersingkir. PSU bagi mereka adalah panggung balas dendam dan pemulihan maruah politik.

Tak kalah mengkhawatirkan adalah kondisi masyarakat yang makin permisif terhadap politik uang. Pada pilkada regular saja, banyak warga enggan datang ke TPS jika tidak mendapat uang saku. Bahkan ada yang terang-terangan menolak memilih tanpa “imbalan”. Apalagi pada proses pelaksanaan PSU dimana sebelumnya masyarakat telah merasakan bagaimana dan berapa besaran yang telah diberikan oleh masing-masing pasangan calon.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa pemilu telah tereduksi menjadi momen transaksi, bukan partisipasi. Dalam PSU, suasana ini justru lebih pekat, karena ini hanya menjadi pengulangan agenda dengan Paslon yang sama dan cara-cara yang sama, bahkan beberapa daerah memiliki cakupan wilayah kecil dan tensi politik tinggi.

PSU seharusnya menjadi mekanisme korektif. Sayangnya, tanpa diskualifikasi Paslon yang terbukti melanggar, PSU malah jadi jalan tengah yang menyesatkan. Publik bisa saja menangkap pesan bahwa “kecurangan yang rapi” akan tetap dapat diakomodasi oleh sistem.

Jika kecurangan hanya dibalas dengan PSU yang peluangnya tetap menguntungkan Paslon yang sebelumnya curang, maka sistem memberikan pelajaran bahwa curang itu tak mengapa, asal cermat dan tak terlalu vulgar.

Padahal, demokrasi bukan hanya soal prosedur, tapi juga moral. Ketika PSU justru meneguhkan dominasi modal, menguatkan praktik transaksional, dan mempertahankan elite lama dengan wajah baru, maka yang kita bangun bukanlah demokrasi, melainkan demokrasi semu.

Sudah saatnya Mahkamah Konstitusi bertindak lebih tegas. PSU harus ditempatkan sebagai instrumen korektif yang bermakna, bukan sekadar repetisi. Diskualifikasi seharusnya menjadi opsi utama dalam kasus pelanggaran serius. Jika tidak, kita hanya mengulang pemilu, tapi tak pernah memperbaiki demokrasi.

Putusan Mahkamah Konstitusi atas hasil pelaksanaan PSU di Kabupaten Barito Utara tentu menjadi satu putusan yang menggembirakan bagi demokrasi kita dimana kedua Paslon terbukti melakukan money politic dan didiskualifikasi. Namun ini juga sekaligus menjadi momok bagi putusan MK sebelumnya yang ternyata pada pelaksanaan PSU atas perintah putusan justeru kedua Paslon melakukan money politic yang jauh lebih buruk.

Oleh karena itu, tidak hanya pada putusan MK yang harus diperkuat dan diperketat, tetapi juga pelaksanaan Pilkada baik dari sisi penyelenggara (dalam hal ini KPU), pengawasnya (dalam hal ini BAWASLU), dan seluruh jajarannya mesti dievaluasi secara menyeluruh agar ke depan dapat menghadirkan demokrasi partisipatif yang lebih baik.

 

Aco Ardiansyah Andi Patingari
Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Antaranews.com

Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: PDI-P Tetap di Luar Koalisi Pemerintah

JAKARTA, KOMPAS — Perjumpaan antara Presiden Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri memunculkan isu soal bergabungnya PDI-P ke koalisi partai politik pendukung pemerintahan Prabowo. Kolaborasi kedua belah pihak untuk memperkuat pemerintahan dimungkinkan. Namun, partai berlambang banteng itu disebut akan tetap berada di luar koalisi.

Pertemuan Prabowo dan Megawati berlangsung di kediaman pribadi Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (7/4/2025) malam. Keduanya berbincang secara empat mata selama lebih kurang 1,5 jam.

”Kami tidak secara langsung mendengar apa yang dibicarakan oleh kedua pemimpin tersebut. Tetapi, dari beberapa hal pembicaraan itu, kami dapatkan bahwa pembicaraan itu pertama dimaksudkan untuk bersilaturahmi di momen Lebaran ini,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Ahmad Muzani di kompleks Gedung DPR, Jakarta, Rabu (9/4/2025).

Meskipun tujuan utamanya bersilaturahmi, perbincangan ihwal situasi politik terkini antara kedua tokoh tidak terelakkan. Pasalnya, Prabowo dan Megawati sama-sama menduduki jabatan ketua umum partai. Ditambah lagi, PDI-P yang dipimpin Megawati menjadi satu-satunya partai yang sejauh ini berada di luar koalisi pemerintahan.

KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU 

”Ibu Megawati mengharapkan agar masa kepresidenan Pak Prabowo yang telah dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024 bisa efektif untuk kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Karena itu, jika dianggap perlu silakan menggunakan PDI-P sebagai instrumen yang juga bisa digunakan untuk memperkuat pemerintahan, tetapi tidak dalam posisi koalisi,” ujar Muzani merespons pertanyaan soal bergabungnya PDI-P ke koalisi pemerintah.

Meski PDI-P tetap memutuskan di luar koalisi, Presiden Prabowo, menurut Muzani, melihat pertemuan dengan Megawati sebagai sesuatu yang positif bagi kehidupan bangsa dan negara, termasuk bagi pemerintahan yang dipimpinnya. Prabowo pun disebut bersyukur atas tetap adanya dukungan dari Megawati dan PDI-P meski partai pemenang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 itu memutuskan untuk tetap berada di luar pemerintahan.

”Tentu saja (dukungan) ini bagian dari upaya untuk memperkokoh posisi pemerintahan,” ujarnya.

Selain itu, menurut Ketua MPR ini, silaturahmi sesama pemimpin akan ditanggapi positif oleh masyarakat. Ia beranggapan rakyat menginginkan agar para pemimpinnya bersatu. Momen Lebaran menjadi waktu yang tepat.

 

Dokumentasi Gerindra

Dalam masa-masa sulit, lanjut Muzani, persatuan sesama pemimpin menjadi penting. Situasi tak gampang telah berkali-kali dihadapi negeri ini. Akan tetapi, berkali-kali pula segenap anak bangsa bebas dari perpecahan karena mengutamakan kebersamaan dan kerukunan.

”Karena itu, diharapkan ini bisa menjadi bagian dari upaya yang menguatkan persatuan, kebersamaan, kerukunan, dan kegotongroyongan di antara kita,” kata Muzani.

Pertemuan dadakan

Sementara itu, politisi PDI-P, Muhammad Guntur Romli, menyampaikan, pertemuan antara Megawati dan Prabowo banyak membicarakan hal-hal pribadi. Itu terjadi mengingat keduanya adalah kawan baik yang sudah lama bersahabat.

Tak dimungkiri, lanjut Guntur, pertemuan terjadi begitu mendadak. Hanya, perencanaannya telah berlangsung sejak lama. Kesibukan kedua sosok pemimpin itulah yang membuat pertemuan tak kunjung terlaksana.

”Ibu Megawati dalam banyak kesempatan sering mengatakan, beliau merasa tidak punya hambatan untuk terus melakukan komunikasi dan silaturahmi dengan Presiden Prabowo meski posisi politik PDI-P saat ini masih berada di luar pemerintahan,” katanya.

Sepanjang pertemuan, Megawati dan Prabowo berdiskusi soal sejumlah masalah global, seperti perang dagang AS dan China, konflik Israel dengan negara-negara Arab, perang Rusia-Ukraina, ketegangan di Laut China Selatan, dan pemanasan global. Isu-isu itu juga bisa berdampak langsung bagi seluruh masyarakat.

 

KOMPAS/RADITYA HELABUM

Sebagai sesama pemimpin partai politik, ujar Guntur, kedua sosok itu juga membahas persoalan-persoalan strategis nasional.

Secara khusus, pembahasannya menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan keselamatan dan kesejahteraan dalam bingkai negara hukum Pancasila.

”Terakhir, Presiden Prabowo dan Ibu Megawati berkomitmen untuk terus menjalin komunikasi dan koordinasi, terutama jika menyangkut kepentingan-kepentingan strategis nasional dan internasional yang akan berdampak pada nasib rakyat dan masa depan bangsa serta negara Indonesia,” katanya.

Sehubungan dengan perjumpaannya dengan Megawati, Prabowo urung memberikan respons. Pertanyaan ihwal isi pertemuan dilayangkan wartawan seusai ia menghadiri acara bertajuk Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional yang diadakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian di Jakarta, Selasa (8/4/2025) kemarin.

”Oke, maaf lahir batin,” ucap Presiden sembari melambaikan tangan kepada wartawan ketika ditanyai persoalan itu.

 

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sementara itu, Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, pertemuan antara Prabowo dan Megawati memang tinggal menunggu waktu. Itu karena sejarah hubungan politik antara kedua belah pihak yang panjang dan tanpa konflik. Jika ketegangan antara PDI-P dan Gerindra terjadi pada Pilpres 2024, hal itu tak terjadi di antara Prabowo dan Megawati.

Berlangsungnya pertemuan secara tertutup, lanjut Yunarto, mengindikasikan agenda itu memang terjadi secara mendadak. Boleh jadi, kemungkinan substansi pertemuan juga urung diperbincangkan sebelumnya.

”Pertemuan tertutup dan cenderung ditutupi oleh para elite politik ini juga mengindikasikan bahwa isu yang dibahas secara politik adalah isu yang sensitif, sulit untuk langsung dibuka di hadapan publik,” ujar Yunarto.

 

 

Penulis: Nino Citra Anugrahanto
Editor: A. Ponco Anggoro
Penyelaras Bahasa: Nanik Dwiastuti

 

 

Melucuti Demokrasi lewat Pilkada

Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.

Pemilihan umum tidak langsung, termasuk pemilihan kepala daerah, bukan hal baru. Bahkan, puluhan tahun pernah menjadi praktik politik di Tanah Air. Kehendak merestorasinya kini diapungkan dengan menyegarkan narasinya.

Selain mengungkit kembali maraknya praktik politik uang (money politics), Presiden Prabowo Subianto memberikan tekanan pada argumen baru, tetapi lama: biayanya mahal, tidak efisien.

Menurut dia, anggaran itu lebih baik untuk program-program kesejahteraan (Kompas, 12/12/2024). Berbeda dengan sepuluh tahun lalu, alasan biaya kini relatif berbunyi karena beresonansi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sedang dalam tekanan.

Salah arah

Memperbandingkan pemanfaatan anggaran sekilas rasional, tetapi sekaligus mengaburkan konteks. Proses demokrasi seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung jelas butuh anggaran. Dalam konteks politik, anggaran itu dilihat sebagai investasi. Imbal balik investasi (return on investment/ ROI)-nya berupa legitimasi dan stabilitas politik.

Ketika anggaran itu dimaknai sebagai biaya, proses demokrasi dibaca dengan logika bisnis. Dalam banyak hal, pebisnis tidak bisa dan atau tidak mau mengerti politik punya indikator ROI yang berbeda.

Akibatnya, anggaran pemilihan umum (pemilu) langsung dengan mudah distigma sebagai pemborosan alias tidak efisien.

Dalam politik, efisiensi memiliki pengertian berbeda. Menurut telaahan Novak dan Retter (1997), pengertian efisiensi mengacu pada kapasitas kandidat terpilih untuk bertindak dan kinerja sosio-ekonominya.

Dalam konteks elektoral, efisiensi terjadi manakala pemilu bisa memfasilitasi pemilih untuk memilih kandidat yang mewakili kepentingan terbaiknya dan kemampuannya untuk menggantinya jika tidak berkinerja baik.

Dengan kata lain, isu pokoknya bukan pada besaran anggaran pemilu, melainkan bagaimana menciptakan sistem pemerintahan daerah yang berorientasi pada publik, mendapat pengawasan yang kuat dan berkinerja tinggi.

Terkait dengan efisiensi, Presiden Prabowo juga menyebut Malaysia, Singapura, dan India sebagai contoh negara yang efisien. Yang mungkin dilupakan, ketiga negara tersebut menganut sistem parlementer, di mana kepala pemerintahan dipilih melalui parlemen dan hal yang sama berlaku pada tingkatan wilayah yang lebih rendah.

 

Heryunanto

 

Dalam kasus India, pemilihan kepala daerah langsung terjadi di tingkatan kota, sementara gubernur negara bagian ditunjuk oleh pemerintah pusat (Zulfajri dkk, 2019).

Sebagai penegas, orkestrasi merestorasi pemilihan kepala daerah tak langsung berlawanan dengan tren global.

Jika di Amerika Serikat (presidensial) dan Jepang (monarki-parlemeter) pilkada langsung sudah menjadi tradisi lama, sejumlah negara Eropa, seperti Slowakia, Italia, Jerman, Hongaria, Inggris, dan Polandia, baru mulai merintisnya sejak tahun 1980-an (Hambleton dan Sweeting, 2014).

Pergantian ke pilkada langsung tersebut merupakan bagian dari reformasi tata kelola pemerintahan lokal. Motivasinya bervariasi. Di satu sisi, memberikan ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang dikehendakinya dan membangun keterhubungan antara kepala daerah dan pemilih (Vetter dan Kirsting, 2007; Reynaert dan Steyvers, 2007).

Di sisi lain, pilkada langsung menjadi instrumen untuk mendorong penguatan kepemimpinan lokal, mempermudah dan mengoherensikan kebijakan dan oleh karena itu bisa meningkatkan kinerja dan tata kelola pemerintahan lokal (Sweeting, 2017).

Pendalaman daulat elite

Dari uraian di atas, argumentasi mahal atau tidak efisien kurang meyakinkan sebagai motif aslinya. Sepuluh tahun lalu, di halaman ini penulis menilai bahwa upaya menerapkan kembali pilkada tak langsung sebagai upaya politik menggusur daulat rakyat dan mengembalikan daulat elite.

Bagi kaum elite, rakyat tidak kompeten, bodoh, dan mudah dimanipulasi (Wijaya, 2014). Penilaian itu kini tetap berlaku, tetapi kiranya dibutuhkan elaborasi lebih lanjut.

 

Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.

 

Pertama, pemilihan langsung menimbulkan situasi kepala daerah dan pemilih yang lebih tidak terikat dengan partai. Lugasnya, dominasi (elite) parpol tergerus (Fenwick dan Elcock, 2014; Copus, 2010).

Kedua, menilik kecenderungan otonomi daerah yang terus digerus selama beberapa tahun terakhir, ada tendensi restorasi pilkada tak langsung merupakan bagian untuk memperkuat sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan.

Ketiga, ilusi kekuasaan dan risiko yang terukur. Pilkada tak langsung lebih mudah dikendalikan. Persisnya, diandaikan ada skenario penjatahan pemenang untuk tiap daerah. Ini pilihan yang menyenangkan: usaha minimal hasil maksimal.

Tambahannya, sirkulasi pemimpin (lokal) menjadi lebih steril. Para bohir juga bahagia: biaya yang lebih sedikit dengan risiko yang terukur. Terkait dengan itu, keempat, orkestrasi untuk restorasi pilkada tak langsung yang dilakukan secara terang-terangan sangat mungkin pula merupakan manifestasi kelelahan (berpura-pura) demokratis.

Pada titik ini, isunya tidak sekadar pergantian sistem pilkada, tetapi terutama sebagai bentuk pameran kekuasaan untuk menyatakan mereka tidak bisa dibendung, selain juga ekspresi ketidaksukaan pada demokrasi.

Agenda revitalisasi

Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.

Meski masih jauh dari otoritarianisme, norma standar demokrasi sudah banyak dan terus dilanggar. Karena itu, Indonesia sudah lebih dekat dengan apa yang dikategorikan Levitsky dan Way (2002) sebagai rezim otoritarian kompetitif. Proses politik setahun terakhir di Tanah Air kian menegaskan kecenderungan ini (Jaffrey dan Warbutton, 2024).

 

KOMPAS/HERYUNANTO

 

Bagi para pembenci dan atau pembegal demokrasi, otoritarian kompetitif bukanlah situasi yang ideal. Pasalnya, peluang pembalikan ke arah konsolidasi demokrasi masih terbuka.

Pemilihan langsung (pilpres ataupun kepala daerah) membuka pintu bagi hadirnya figur alternatif yang bisa menjadi lokomotif baru demokratisasi Indonesia. Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi.

Pembelaan terhadap pilkada langsung tidaklah mengabaikan fakta bahwa banyak terjadi kekurangan dan penyimpangan dalam implementasinya. Upaya perbaikan yang sudah dilakukan cenderung setengah hati dan bahkan memperburuknya.

Secara teknis, sekadar untuk menegaskan, setidaknya ada dua ranah besar yang bisa diperbaiki.

Pertama, memangkas sumber pemborosan melalui: (a) penyederhanaan atau penghapusan aktivitas seremonial dan atau yang mendorong mobilisasi massa (contoh: pawai kampanye damai dan kampanye terbuka); (b) memperdalam digitalisasi pada tiap tahapan pemilu; (c) reformasi pendanaan kampanye untuk mencegah pembiayaan dari sumber tidak jelas dan sekaligus membatasi dana kampanye.

Kedua, membendung politik uang. Di sisi sumber dan distribusi, polisi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) punya perangkat dan kompetensi untuk menangkalnya.

Problemnya pada kemauan politik dan juga adanya benturan kepentingan. Terkait dengan ini, hukuman terhadap pemberi dan penerima diperberat, termasuk mendiskualifikasi pasangan calon dan menghapus hak pilih penerima pada pilkada tahun berjalan.

Pada tataran kelembagaan, setidaknya ada tiga agenda pembaruan yang perlu dikedepankan untuk menghadirkan efisiensi dalam pengertian politik.

 

Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi

 

Pertama, perbaikan desain otonomi daerah, termasuk aspek keuangan daerah dan relasi antardaerah.

Terkait dengan ini, kedua, pengaturan penggunaan anggaran daerah pada setahun sebelum dan sesudah pemilu agar tak disalahgunakan petahana untuk menggelontorkan praktik patron-klien melalui program bertipe pork barrel, program yang diada-adakan untuk pendukungnya atau pengusaha yang mau membiayai kampanyenya.

Ketiga, seperti sudah sering disampaikan pengamat dan akademisi, perlu ada pembahasan kembali mengenai desain pemilu secara keseluruhan. Pemisahan pemilihan nasional (DPR dan presiden) dan pemilihan daerah (kepala daerah dan DPRD) kiranya pantas didiskusikan kembali.

Akhirnya, revitalisasi politik di level parpol maupun pemilih. Yang disebut pertama berkaitan dengan demokratisasi internal, termasuk mengartikulasi aspirasi konstituen dalam menyeleksi kandidat. Yang disebut belakangan membangun budaya sumbangan dana kampanye dari pemilih. Saat ini, kedua hal itu, jika pun ada, sekadar formalitas dan atau untuk kebutuhan pencitraan belaka.

Situasi ideal demokrasi terjadi manakala representasi, kebebasan pilihan, dan akuntabilitas hadir secara utuh.

Pada titik ini, pemilihan langsung saja tidak cukup. Yang seharusnya jadi agenda adalah memperdalam demokrasi langsung.

Itu artinya juga menerapkan instrumen lain, seperti referendum dan konsultasi publik deliberatif. Merupakan ironi jika argumen efisiensi jadi tameng untuk mengeliminasinya dan merupakan tragedi jika kita justru melangkah ke arah sebaliknya: melucuti demokrasi.

 

Yunarto Wijaya Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

 

Sumber: https://bit.ly/4gV8ovE (Kompas.id)

Pakar Bongkar Penyebab Kekalahan Ridwan Kamil di Pilkada Jakarta, Timses yang Blunder Jadi Sorotan

Jakarta, VIVA – KPU DKI Jakarta secara resmi mengumumkan hasil rekapitulasi suara Pilkada Jakarta 2024 dalam rapat pleno yang digelar di Hotel Sari Pacific, Jakarta Pusat, Minggu 8 Desember 2024.

Pasangan Pramono Anung-Rano Karno keluar sebagai pemenang dengan perolehan 2.183.239 suara, mengalahkan pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang berada di posisi kedua dengan 1.718.160 suara. Adapun pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana berada di urutan ketiga dengan 459.230 suara.

Kekalahan Ridwan Kamil-Suswono menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk Direktur Charta Politika Yunarto Wijaya, yang memberikan analisis mendalam terkait hasil ini.

Yunarto atau yang akrab disapa Toto, menilai strategi politik Pramono Anung-Rano Karno berhasil menyatukan dua kekuatan besar di Jakarta, yakni pendukung Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Menurut Toto, Pramono-Rano mampu merangkul Ahokers dan Anak Abah, sebutan bagi pendukung Ahok dan Anies Baswedan, sehingga menciptakan narasi persatuan.

“Pram berusaha untuk menyatukan dan merangkul kekuatan-kekuatan besar yang ada. Ahokers tetap mendukung dan hadir di kampanye akbar, Anak Abah tidak marah, sehingga menjadi kekuatan tersendiri,” kata Toto dalam wawancara yang dikutip dari Youtube TV One News.

Strategi ini berbeda dengan kubu Ridwan Kamil-Suswono, yang menurut Toto terjebak dalam logika politik pecah belah. Narasi yang dimainkan oleh politikus Gerindra, Maruarar Sirait, dianggap menjadi blunder besar.

“Maruarar saking semangatnya membuat logika dikotomi bahwa dukungan Anies membangkitkan macan tidur. Ketika Anies ikut mendukung, pemilih minoritas bisa kabur. Itu narasi memecah belah,” jelas Toto.

Toto juga menyoroti kesalahan Maruarar yang tidak belajar dari kemenangan Prabowo Subianto di Pilpres 2024. Prabowo berhasil membangun narasi rekonsiliasi, sementara kubu Ridwan Kamil-Suswono justru menciptakan pengkotakan pemilih yang melemahkan dukungan mereka.

Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Indonesia, Profesor Ibnu Hamad, mengungkapkan bahwa kekalahan Ridwan Kamil-Suswono tidak sepenuhnya disebabkan oleh mesin partai. Menurutnya, faktor ketokohan menjadi penyebab utama.

“Pasangan Pramono Anung-Rano Karno lebih dekat dengan Jakarta. Sementara kubu RK-Suswono walaupun didukung partai besar, faktor ketokohan mereka belum begitu mengakar,” jelas Ibnu.

Ibnu juga menilai bahwa keputusan politik Anies Baswedan dan Ahok dalam mendukung Pramono-Rano sangat mempengaruhi hasil Pilkada Jakarta.

“Saat Anies Baswedan memilih mendukung Pramono-Rano, pengikutnya langsung mengikutinya. Begitu pula dengan pendukung Ahok,” tambah Ibnu.

 

Oleh : Ainuni Rahmita, Zaky Al-Yamani
Foto : VIVA.co.id/Yeni Lestari
Sumber : VIVA.co.id

PRESS RELEASE QUICK COUNT PILKADA PROVINSI SULAWESI TENGGARA 2O24

  • Populasi: seluruh pemilih yang datang ke TPS dan memilih secara sah yang tersebar di seluruh TPS.
  • Sampel dipilih dengan metode Stratified-Cluster Random Sampling.
  • Prosedur pemilihan sampel:
    ▪ Stratifikasi: Populasi dikelompokkan menurut Kabupaten/Kota.
    ▪ Cluster sampling:
    – Di masing-masing kabupaten/kota, dipilih TPS secara systematic random sampling dengan jumlah proporsional. Total TPS quick count sebanyak 300 TPS.
    – Seluruh suara sah di 300 TPS terpilih menjadi sampel quick count.

Rilis_QC Pilgub Sulawesi Tenggara_27 Nov_CPI_upd