Nasdem Diprediksi Bakal Rugi Besar jika Berkoalisi dengan Demokrat

JAKARTA, KOMPAS.com – Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya memprediksi Partai Nasdem bakal sangat rugi apabila memutuskan berkoalisi dengan Partai Demokrat saat ini.

Sebab, ketika Nasdem berkoalisi dengan Demokrat, partai pimpinan Surya Paloh ini, tidak akan lagi berada di pemerintahan.

Yunarto pun yakin Nasdem tidak berani mengambil keputusan dalam waktu dekat, mengingat pemerintah saat ini masih 2 tahun lebih berkuasa.

“Karena risikonya adalah (Nasdem) keluar dari barisan koalisi (pemerintah). Dan itu sebuah kerugian besar ketika sisa waktu 2 tahun lebih itu kemudian membuat Nasdem tidak lagi di barisan dari pemerintah,” ujar Yunarto saat dihubungi Kompas.com, Rabu (8/6/2022).

Yunarto mengatakan, Nasdem tidak akan membentuk koalisi menyambut Pemilu 2024, saat ini. Apalagi, membentuk koalisi dengan partai-partai yang dianggap sebagai oposisi seperti Demokrat.

“Ketika kemudian berani menyatakan diri bergabung dengan Demokrat sebagai partai oposisi, secara otomatis posisi Nasdem juga bisa terancam dalam barisan koalisi,” tuturnya.

Lebih lanjut, Yunarto mengatakan, Partai Nasdem menghadapi hambatan untuk berkoalisi dengan Demokrat karena belum adanya capres yang akan diusung pada Pemilu 2024.

Sementara bagi Demokrat, ketua umum mereka, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sudah digadang-gadang masuk bursa capres maupun cawapres.

“Koalisi Nasdem dengan Demokrat ini kan enggak mencukupi. Harus butuh satu partai lagi untuk memenuhi ambang presidential threshold,” kata Yunarto

Wacana Nasdem dan Demokrat akan berkoalisi mencuat setelah Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertemu dengan Ketum Nasdem Surya Paloh.

Yunarto melihat, pertemuan dua elite partai ini hanya sebatas komunikasi politik dan masih jauh untuk pembahasan pembentukan koalisi.

SBY dan Surya melakukan pertemuan di Nasdem Tower, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (5/6/2022).
Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Johnny G Plate mengatakan, pertemuan dua sahabat lama itu sebetulnya bersifat sangat privat.

Johnny yang turut dalam pertemuan tersebut mengatakan, SBY dan Paloh saling berbagi pendapat dan pandangan terkait situasi bangsa saat ini.

“(Paloh dan SBY) sharing pandangan dan telaahan atas perkembangan situasi politik nasional khususnya menjelang Pileg, Pilpres dan Pilkada Serentak 2024 yang harus dikelola dengan penuh tanggung jawab agar berjalan dengan baik dan sukses,” jelas Johnny.

Selain itu, membahas soal tanggung jawab bersama atas perjalanan bangsa di tengah tantangan global sebagai akibat pandemi Covid-19 dan perubahan geo strategis perang Rusia Ukraina.

Johnny juga mengatakan, keduanya saling menyambut hangat atas kondisi kesehatan masing-masing. Paloh dan SBY disebut saling melempar guyon yang menunjukkan kedekatan mereka berdua yang telah terbangun sebelum Pilpres 2004. Pertemuan kedua tokoh itu diakhiri dengan makan malam bersama di Nasdem Tower. “Makan malam dengan menu khusus,” ucap Johnny.

 

Penulis : Adhyasta Dirgantara
Editor : Bagus Santosa
Foto: KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN
Sumber berita: nasional.kompas.com

 

Jebakan Disinformasi dalam Ruang Demokrasi

Ruang demokrasi di Filipina tengah disesaki beban kemenangan Bongbong Marcos pada pilpres 9 Mei 2022 lalu. Meskipun mendiang ayahnya, Ferdinand Marcos, penguasa diktator Filipina (1965-1986) tercatat buram, tapi justru Bongbong mampu meraup lebih dari 31 juta suara.

Bongbong berpasangan dengan Sara Duterte. Dan, perkawinan dua dinasti raksasa (Marcos dan Duterte) itu dianggap sebagai jalan tol yang mengantar mereka bertahta di istana Malacanang. Di luar faktor dinasti, terdapat ramuan politik yang terbukti manjur di tangan Bongbong, yakni jebakan disinformasi.

Dalam lensa sederhana, disinformasi merupakan penyebaran informasi bohong secara sengaja untuk menyesatkan publik. Menutup rapat-rapat fakta yang sebenarnya, lalu memunculkan konten palsu, itulah inti dari apa dan bagaimana disinformasi beroperasi di arena politik praktis.

Para aktor politik tentu menyadari bahwa perang informasi di jagad media sosial ikut menentukan kendali penguasaan opini publik. Teknologi digital yang memengaruhi proses demokrasi, seperti diutarakan Fabrizio Gilardi (2016) bukan sekadar isapan jempol belaka.

Disinformasi bertalian dengan hoaks dan berita palsu (fake news) hingga semburan kebohongan (firehose of falsehood). Efek dari proliferasi disinformasi politik tampaknya sangat berbahaya, apalagi memasuki laga pascakebenaran (post-truth). Dalam masyarakat politik pascakebenaran, sensasi lebih mengemuka ketimbang substansi; perasaan, keyakinan dan emosi pribadi lebih mengedepan ketimbang fakta obyektif.

Dsinformasi post-truth juga berpotensi mengancam demokrasi elektoral. Caranya dengan menggunakan hoaks dan berita palsu serta manipulasi preferensi melalui big data dan micro-targeting (Budi Gunawan dan Barito Mulyo Ratmono, 2021).

Formula Bongbong

Bongbong memanfaatkan secara saksama kampanye digital berbasis disinformasi, meskipun dalam tempo yang lumayan lama. Pola yang sama juga dipakai oleh Donald Trump yang memenangkan pertarungan pilpres di Amerika Serikat 2016. Tim kampanye Trump mengeksploitasi emosi massa melalui parade kepalsuan di berbagai saluran media sosial.

Dalam kasus politik Filipina, potret buram Ferdinand Marcos dibersihkan melalui penulisan buku-buku sejarah serta sketsa biografis, yang intinya merehabilitasi citra Marcos yang korup. Video editan yang mengglorifikasi Marcos, lantas mendominasi ruang publik digital Filipina. Semua kanal media sosial dibombardir dengan konstruksi citra baru Marcos yang serba heroik.

Kenyataan eviden seputar perilaku koruptif Ferdinand Marcos mengalami distorsi. Fakta politik yang mapan pun mengalami jungkir balik. Narasi yang teramplifikasi bahwa masa kepemimpinan Marcos selama dua dekade itu dikesankan seolah-olah momen kejayaan Filipina. Pesan yang mengudara: kembalinya masa lalu (the return of the past).   

Di mata pendukung yang tercuci otaknya, Marcos lama seperti lahir kembali (reborn), terbangun image sebagai representasi rezim stabilitas dan kemakmuran. Itulah efek destruktif dari disinformasi yang massif, lalu menembus jendela otak pemilih. Preseden politik Filipina 2022 sungguh mencengangkan eksponen aktivis prodemokrasi.

Jejak kebangkitan klan politik Marcos itu, agaknya membawa embusan angin psikopolitik di Tanah Air. Formula Bongbong bisa saja direplikasi oleh politisi dengan pola yang variatif. Bagi para pendukung Soeharto, penguasa Orde Baru (Orbais), misalnya, presiden kedua RI itu akan dipromosikan oleh loyalisnya sebagai “Bapak Pembangunan”.

Sementara di mata kaum reformis, Soeharto setali tiga uang dengan Ferdinand Marcos: diktator korup, pelanggar HAM dan antidemokrasi. Di sinilah perang narasi, kontranarasi, propaganda dan kontrapropaganda akan beradu. Dalam kancah pasar bebas politik, semua faksi dari beragam wajah, aliran, dan motif ikut membonceng demokrasi, sembari menginjeksi kepentingannya. 

Merawat Demokrasi

Dalam pola lain, disinformasi acapkali diedarkan oleh aktor gelap untuk menciptakan distrust publik terhadap tokoh, organisasi ataupun lembaga tertentu. Pada pilpres 2014, modus operandi disinformasi digunakan oleh pemain politik untuk mendiskreditkan lawan politik. Targetnya adalah mengggeser persepsi pemilih dari like menjadi dislike, atau sebaliknya, terhadap kandidat tertentu. Belum lagi cap-cap purbawi untuk saling mengantagoniskan rival politik: antek komunis, agen khilafah, dan sebagainya. Benar itu soal lain, yang penting heboh.

Di tengah penyerbukan silang antara internet dan politik, portal berita online abal-abal bertumbuh liar. Penulis-penulis hantu berakun anonim bergentayangan di mana-mana. Maka, lahirlah asasinasi politik terhadap individu dan kelompok yang disasar oleh fitnator untuk kepentingan parsial.

Tak hanya itu, disinformasi juga dipake oleh kelompok intoleran-ekstremis untuk memproduksi kecemasan massal. Lapak bisnis ujaran kebencian (e-hate business) membludak tak karuan. Para provokator membidik massa sumbu pendek yang gampang terbakar emosinya. Misinya sama: menipu publik dengan kabar dusta, mengadu domba antarwarga dengan berita palsu.  

Tungku republik nyaris membara pula pada pilpres 2019. Bahkan lembaga penyelenggara pemilu menjadi sasaran tembak para perusuh melalui “senjata” disinformasi. Fitnah mengular untuk mendelegitimasi KPU, seperti rumor tujuh kontainer surat suara yang katanya tercoblos di Pelabuhan Tanjung Priok, ternyata kabar bohong belaka.

Karena itu, ancaman disinformasi politik menjelang pemilu 2024 perlu perhatian serius. Kalau tidak dimitigasi oleh pihak yang otoritatif, sayap kupu-kupu disinformasi yang mengepak di Filipina, berpotensi memicu badai di Indonesia, merujuk Edward Norton dalam teori efek sayap kupu-kupu (butterfly effect).

Pemilu 2024 akan menjadi pertaruhan masa depan demokrasi. Pelaksanaan dan pengawasan pesta demokrasi memang domain KPU dan Bawaslu, tapi kelompok masyarakat sipil, media massa dan agensi media sosial mesti berpartisipasi untuk menjernihkan ekosistem demokrasi. Aparatur pemerintah dapat bertindak tegas lewat Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Hari-hari ini ditandai dengan bulan madu untuk menikmati kebebasan sipil dan demokrasi. Tetapi ironisnya, produsen dan distributor disinformasi turut meracuni berkah reformasi itu. Mau dibawa kemana demokrasi kita yang sedang terkonsolidasi ini?

Patut direnungkan dalam konteks demokrasi termutakhir, kepuasan publik memang meningkat, berdasarkan hasil rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Mei 2022. LSI menemukan sebesar 57,8 persen publik mengaku puas dengan praktik demokrasi di Indonesia, sekitar 35 persen mengaku kurang puas atau tidak puas.

Tahun 2021, The Economist Intelligence Unit (EIU) merilis Indeks Demokrasi di 165 negara. Skor perkembangan demokrasi Indonesia bertengger di peringkat ke-52 dunia (6,71). Posisi Indonesia lumayan naik dibandingkan 2020 (6,30) maupun 2019 (6,48).

Angka-angka itu memang melenakan, tapi PR besar kita ke depan yang urgen adalah bagaimana lalu-lintas percakapan di dunia maya dan dunia nyata berbasis pada diskursus yang rasional, khususnya tentang politik dan kepemiluan, yang terinformasikan dengan proper. Benar bahwa iklim kehidupan berdemokrasi masih berjalan sesuai jalur, tapi segi-segi kelemahannya (sekian paradoks) perlu kita benahi dalam praktiknya di palagan elektoral, terutama menyehatkan ruang demokrasi agar tidak terjebak disinformasi.

 

Mawardin;
peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Kumparan, 7 Juni 2022
Foto: Willy Kurniawan/REUTERS

Hitung-hitungan Charta Politika Jika Prabowo dan Paloh Bersatu di Pilpres 2024

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pertemuan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dinilai sebagai tanda adanya poros baru dalam Pemilu 2024.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menjelaskan peluang Gerindra dan Nasdem bersatu untuk Pemilu 2024 sangat terbuka.

Apalagi jika dilihat perolehan suara Pemilu 2019, kedua partai tersebut sudah mengantongi presidential threshold sebagai salah satu syarat pencalonan presiden dan wapres di Pilpres 2024.

Namun tantangan yang bakal dihadapi Nasdem jika bergabung dengan Gerindra adalah Surya Paloh harus realistis melepas capres yang diusung koalisi tersebut.

Hal tersebut akan berdampak maka Nasdem tidak mendapatkan efek ekor jas dari capres partai lain.

Yunarto menambahkan agar saling menguntungkan koalisi ini bisa saja mengusung calon alternatif seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo ataupun Andika Perkasa.

Tantangannya yang dihadapi, kedua partai harus bekerja keras mendorong capres yang diusung lantaran bukan dari kader partai.

“Kalau pun mendukung Prabowo sebagai capres, sosok cawapresnya harus sosok yang bisa diklaim oleh Nasdem. Entah itu kader atau identik dengan Nasdem. Tapi itu juga tidak mudah untuk dilakukan,” ujarnya.

Strategi Nasdem

Yunanto juga menilai Pertemuan Prabowo Subianto dengan Surya Paloh sebagai strategi Nasdem untuk menyaingi poros Koalisi Indonesia Bersatu yang digagas Golkar, PPP dan PAN.

Tak hanya itu, aksi tersebut juga menjadi sinyal partai urutan kelima pemenang Pemilu 2019 ini bisa menjadi juru kunci koalisi dalam mengusung capres dan cawapres di Pemilu 2024.

Sebelum Prabowo, Paloh pernah mengundang ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono dan Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto.

Menurut Yunarto dengan kekuatan 59 kursi di parlemen, Nasdem tak ingin mejadi penonton di Pemilu 2024.

“Pertemuan ini sebuah respons terhadap munculnya koalisi lain seperti Koalisi Indonesia Bersatu. Politisi ulung seperti Surya Paloh saya pikir tidak ingin hanya ingin menjadi penonton,” ujarnya.

Penulis : Johannes Mangihot | Editor : Hariyanto Kurniawan
Sumber foto: Tangkapan layar Kompas TV
Sumber berita: Kompas.tv