Sekolah Partai dan Pendidikan Politik

Sehat dan sakitnya tubuh demokrasi sungguh bergantung pada gizi partai politik. Kader politik membutuhkan asupan kompetensi, kapabilitas, dan integritas agar mesin partai bergerak menyempurna sebagai agensi demokrasi. Keriuhan pesta pora demokrasi terkadang meluruhkan fungsi utama parpol sebagai sarana pendidikan politik.

Padahal, pembentukan kader-kader partai yang visioner mensyaratkan vitalitas pendidikan politik. Kaderisasi dan pendidikan politik menjadi satu tarikan napas. Merujuk Abernethy dan Coombe (1965), education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terikat tidak bisa dipisahkan). Untuk mencetak kader politik mumpuni, mustahil mengandalkan cara-cara instan, melainkan perlu pendidikan khusus yang berjenjang dan berkelanjutan.

Signifikansi Sekolah Partai

Rekrutmen anggota partai besar-besaran dan ayunan politik massa seyogianya berbanding lurus dengan pendidikan politik yang terukur dan sistemik. Dalam konteks inilah, parpol mesti merevitalisasi sekolah partai sebagai kawah candradimuka bagi pemimpin nasional maupun lokal. Pejabat publik yang bekerja mewakili perwajahan partai memerlukan bekal-bekal keunggulan kognisi dan standar etik.

Sekolah partai menjadi ruang untuk menanamkan ideologi dan platform partai kepada para kader melalui dialektika gagasan, pertukaran makna, training kepemimpinan dan manajemen organisasi. Output-nya yaitu tata kelola politik menjadi profesional, dipenuhi debat alot yang bermutu, jauh dari tradisi konfliktual, apalagi tarung fisik.

Pejabat politik yang sarat prestasi adalah buah ranum yang kita harapkan dari signifikansi sekolah partai. Akal, tubuh, dan nurani politiknya terpancang kokoh dalam penegakan pakta integritas. Konsekuensinya, pejabat yang terjaring skandal korupsi, misalnya, wajib mengundurkan diri. Saat yang sama, pimpinan teras organisasi partai wajib memberikan sanksi yang tegas tanpa pandang bulu.

Sekolah partai berfungsi sebagai laboratorium para kader agar memahami peta kebijakan agar terhindar dari petaka. Ketika aktivis partai tampil di hadapan publik, narasi yang terlontar mengandung bobot akademik, disertai sikap politik yang terpuji. Kalau masih bergentayangan politisi yang mulutnya berbisa, intriknya beracun, sepantasnya dikirim ke ‘klinik’ sekolah partai.

Setiap partai pasti ingin meraih kemenangan elektoral. Sebab itu, materi yang melingkupi strategi dan taktik politik akan melekat-kuat, namun harus dilapisi dengan internalisasi moral-etik, taat hukum, dan komitmen antikorupsi. Daya kreativitas pengambil kebijakan dalam menjalankan roda pemerintahan pun teraksentuasi di sekolah partai.

Jika api intelektualitas dinyalakan kepada peserta sekolah partai, maka politik dapat menggairahkan partisipasi warga negara, terutama kaum milenial dan perempuan. Partai dapat bersinergi dan berkolaborasi dengan perguruan tinggi, lembaga think-tank dan NGO (non-governmental organization) untuk memperkaya konten sekolah partai.

Sekadar Perbandingan

Di Korea Selatan, sebuah partai feminis menggembleng khusus perempuan melalui sekolah politik. Materi-materinya seputar keahlian politik, strategi kampanye, termasuk isu-isu hak perempuan. Pendidikan politik yang bermarkas di Seoul ini juga merekrut mantan pejabat pemerintah daerah untuk membimbing aktivis partai dalam rangka menyongsong pemilihan kepala daerah 2022 di negeri ginseng itu.

PDI-Perjuangan, misalnya, sudah jamak menyelenggarakan Sekolah Partai Calon Kepala Daerah, ataupun Sekolah Partai Kepala Daerah pasca terpilih. Hampir semua partai tentu memiliki sekolah serupa dengan corak yang beragam. Untuk partai berlogo banteng itu, marhaenisme dan nasionalisme kerakyatan hendaknya diterjemahkan secara praksis-operasional oleh peserta sekolah partai sebagai ruh perjuangan di pelbagai lahan pengabdian. Begitu juga artikulasi politik dalam bingkai pluralisme terejawantahkan ke dalam sikap, dan perilaku politik.

Menurut Punchada Sirivunnabood (2016) dalam Political Education: The Role of Political Parties in Educating Civil Society on Politics, penyelenggaraan pendidikan politik bagi pemuda tidak boleh sebatas menghafal buku teks atau mendengarkan pembicara tamu atau tokoh politik utama saja, melainkan melibatkan anak-anak muda untuk berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan politik partai dan benar-benar berlatih di lapangan politik, misalnya membantu anggota DPR, mendukung kampanye pemilu, mengunjungi situs-situs politik penting untuk melihat proses operasional politik yang sebenarnya, dan sebagainya. Praktik ini dapat membantu kaum muda untuk memutuskan apakah mereka ingin bekerja di bidang politik atau tidak.

Kehadiran sekolah partai perlahan-lahan ikut membenahi postur organisasi politik. Inisiatif pendidikan politik yang dirintis sejumlah parpol patut diapresiasi. Lebih dari itu, transfer pengetahuan politik sebisa mungkin bersenyawa dengan suasana kebatinan generasi milenial dan pro-kesetaraan gender.

Salah satu sorotan yang menarik perhatian publik adalah beasiswa unik yang ditawarkan PDI-P. Spekulasi acak dari luar terkait bobot politis dari beasiswa itu sulit dimungkiri. Ihwal ini berkait dengan persyaratannya, bahwa tema riset nantinya berkaitan dengan studi banding terhadap kinerja antara Presiden Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono. Kendati begitu, apapun motifnya, skema beasiswa dapat mendukung kajian akademis di partai.

Program pendidikan dalam bentuk beasiswa yang bernaung di bawah parpol sangat lazim di negara demokrasi, seperti Jerman. Misalnya, Friedrich Ebert Stiftung, yayasan pendidikan yang berafiliasi dengan Partai Sosial Demokrat Jerman (SPD). Ada juga Friedrich Naumann Stiftung yang berafiliasi dengan Partai Liberal (FDP). Mereka membuka akses bagi intelektual muda ke kampus bonafid, kursus politik dan proyek penelitian.

Partai Golkar berinovasi melalui Golkar Institute yang fokus pada sekolah pemerintahan dan kebijakan publik. Kelahiran Golkar Institute bisa menjadi model konvergensi antara diskursus pemikiran, pewargaan teknokratik dan politik, sehingga proses pembuatan kebijakan berpedoman pada hasil riset. Pendidikan politik Partai Nasdem tergambar dalam Akademi Bela Negara (ABN) dengan jalan restorasi sebagai spirit dan gerakan politik.

Partai Demokrat mendirikan Akademi Taruna Demokrat. PKS sebagai model partai berbasis agama mengadopsi sistem tarbiyah dan liqo‘. Salah satu pendatang baru seperti Partai Gelora juga menyediakan Akademi Manusia Indonesia (AMI), dan Akademi Pemimpin Indonesia (API). Begitu juga sekolah parpol lain dengan ciri khas masing-masing.

Dari sekian variasi sekolah partai itu, titik berat yang urgen adalah memperkuat nalar kebangsaan para politisi. Selain itu, partai-partai politik harus serius menginjeksi materi antikorupsi bagi pengurus partai, caleg, dan calon kepala daerah. Tidak hanya deklarasi antikorupsi yang sifatnya temporer dan seremonial. Tolok ukur keberhasilan “alumni” sekolah partai dapat ditilik dari kiprah dan kontribusinya di tengah-tengah masyarakat.

Momen pemilu 2024 nanti, tidak ada lagi, atau berkurang akrobat politik purbawi yang memecah belah sesama anak bangsa. Ketika citarasa keindonesiaan mengkristal, kesadaran transformatif kader politik mengemuka, terlebih ditopang oleh tempaan sekolah partai, mereka dapat menyegarkan kembali suhu udara politik di Tanah Air yang tercemar oleh polarisasi ekstrem dan gurita korupsi.

 

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia
Foto: dok. Golkar Institute
Sumber: https://bit.ly/3Jf21TW

 

Survei Charta Politika: 40,3 Persen Responden Belum Tahu Pemilu Digelar 2024

TEMPO.CO, Jakarta – Hasil sigi lembaga survei Charta Politika menunjukkan 40,3 persen dari total 1.200 responden mengaku belum tahu pemilihan umum digelar serentak pada 2024. Dari total 1.200 responden yang diwawancarai, sebanyak 59,7 persen di antaranya atau sebanyak 716 orang memang menyatakan telah mengetahui informasi bahwa pemilihan presiden, pemilihan anggota legislatif, dan pemilihan kepala daerah akan digelar pada tahun yang sama.

“Namun, sebanyak 484 responden lainnya mengaku belum mengetahui informasi tersebut,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya saat acara peluncuran hasil survei secara virtual di Jakarta, Senin, 20 Desember 2021.

Oleh karena itu Yunarto Wijaya mendorong penyelenggara pemilu untuk menyebarkan informasi terkait dengan pemilu lebih luas kepada masyarakat. “Ini PR (pekerjaan rumah) bagi KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) penyelenggara pemilu,” ujar Yunarto.

Yunarto menuturkan 81,7 persen responden setuju pemilu digelar serentak pada 2024. Namun, 17,3 persen responden lainnya tidak setuju. Menurut Yunarto tingginya jumlah responden yang setuju Pemilu 2024 berbanding terbalik dengan hasil survei menjelang pilkada serentak 2020.

“Ini mungkin berpengaruh pada psikologi orang ketika sekarang merasa Covid-19 sudah mereda, situasi pertemuan online sudah bisa dilakukan, dan tidak berbahaya lagi untuk kumpul pada masa Covid-19, termasuk diselenggarakan pemilu serentak terbesar sepanjang sejarah di Indonesia,” kata dia.

Charta Politika juga menghimpun persepsi publik mengenai wacana menunda pemilu sampai 2027 karena alasan pandemi Covid-19. Mayoritas responden, yaitu 47,6 persen dari 1.200 orang yang diwawancara, tidak setuju pemilu ditunda pada 2027. Namun, ada 20,4 persen responden atau sebanyak 245 orang setuju dengan wacana itu.

Isu pemilu lainnya yang ditanyakan Charta Politika kepada responden perihal wacana perpanjangan masa jabatan presiden sampai tiga periode. Hasil survei memperlihatkan 46,2 persen responden mengetahui wacana perpanjangan itu, sementara 36,4 persen tidak tahu.

Charta Politika mendalami persepsi para responden terkait dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Hasilnya sebanyak 57,9 persen responden tidak setuju terhadap wacana itu, sedangkan 19,8 persen menyatakan setuju.

Reporter: Antara
Editor: Kukuh S. Wibowo
Ilustrasi TPS Pilkada. Dok TEMPO
Sumber: https://bit.ly/3q8EMlE

Charta Politika: Elektabilitas PDIP Masih Tertinggi, Diikuti Gerindra dan Golkar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Selain merilis elektabilitas sejumlah tokoh nasional, Charta Politika Indonesia juga memaparkan hasil survei mengenai elektabilitas sejumlah partai politik.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, mengatakan elektabilitas tertinggi masih dipimpin oleh PDIP.

“PDIP masih paling tinggi 24,9 persen, Gerinda 13,9 persen, dan Golkar 9,4 persen menjadi pilihan teratas responden,” kata Yunarto dalam rilis survei, Senin (20/12/2021).

Berikut ini hasil survei mengenai elektabilitas partai:

1. PDIP 24,9%

2. Gerindra 13,9%

3. Golkar 9,4%

4. PKB 9,4%

5. PKS 6,5%

6. Demokrat 6%

7. NasDem 4,3%

8. PAN 1,8%

9. PPP 0,8%

10. Perindo 0,8%

11. PSI 07%

12. Hanura 04%

13. Partai Ummat 0,3%

14. PBB 0,3%

15. Gelora 0,2%

16. Partai Berkarya 0,1%

17. Partai Garuda 0,1%

Diketahui, survei Charta Politika digelar pada 29 November – 6 Desember 2021 menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden.

Adapun Margin of Error (MoE) survei sebesar ± 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Penulis: Reza Deni
Editor: Arif Fajar Nasucha
Foto:Tribun News
Sumber: https://bit.ly/3H6H1wR

Survei Charta Politika Indonesia, Elektabilitas PDIP Capai 24,9%

Jakarta, Beritasatu.com – Survei Charta Politika Indonesia merilis elektabilitas PDI Perjuangan (PDIP) mencapai 24,9 persen. Partai Gerinda dan Partai Golkar menyusul di belakang PDIP.

“Pada pertanyaan tertutup, PDI Perjuangan di tempat pertama dengan 24,9 persen, lalu Gerindra dengan 13,9 persen dan Golkar dengan 9,4 persen. Ini menjadi pilihan teratas responden,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya, Senin (20/12/2021).

Elektabilitas PDIP mengalami peningkatan dibandingkan survei Charta Politika Indonesia periode sebelumnya. Pada Januari 2021, elektabilitas PDIP mencapai 21,5 persen, menjadi 22,2 persen pada Februari 2021, pada Maret 2021 sebesar 20,7 persen, dan 22,8 persen pada Juli 2021.

Elektabilitas Gerindra menurun setelah sempat mencapai 17,5 persen pada Juli. Elektabilitas Golkar mengalami peningkatan, yakni pada Januari mencapai 7,3 persen, dan sempat turun ke 6,6 persen pada Juli 2021.

Untuk elektabilitas parpol lainnya, urutan keempat PKB dengan 8,3 persen, diikuti oleh PKS dengan 6,5 persen, dan Partai Demokrat dengan 6 persen. Lalu, Nasdem dengan 4,3 persen, PAN dengan 1,8 persen, dan PPP dengan 1,4 persen.

Partai yang meraih elektabilitas di bawah 1 persen ada Perindo (0,8 persen), PSI (0,7 persen), Hanura (0,4 persen), Ummat (0,3 persen), PBB (0,3 persen), PBB (0,3 persen), Gelora (0,2 persen), Berkarya (0,1 persen), dan Garuda (0,1 persen).

Survei dilaksanakan dengan wawancara tatap muka pada 29 November-6 Desember 2021. Total responden survei 1.200 orang dari 34 provinsi di Indonesia. Metode yang digunakan multistage random sampling. Margin of error plus minus 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Oleh : Markus Junianto Sihaloho / CAR
Foto : Antara
Sumber : https://bit.ly/3yG48LD

Survei: Ganjar-Erick Unggul dalam Simulasi Pasangan Capres-Cawapres.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Charta Politika Indonesia melakukan simulasi terhadap tiga pasangan calon presiden dalam survei nasional terbarunya. Diketahui Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, tertinggi di sejumlah simulasi.

Pada simulasi pertama, Charta Politika memasangkan sejumlah nama yang sering muncul di pemberitaan. Hasilnya Ganjar Pranowo-Ridwan Kamil unggul 34,8 persen.

“Peringkat pertama ada Ganjar Pranowo dengan Ridwan Kamil dengan 34,8 persen. Di peringkat kedua, Anies Baswedan dengan AHY dengan 26 persen, dan Prabowo denga Puan Maharani dengan 19,2 persen, tidak tahu tidak jawab masih 20 persen,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya secara daring, Senin (20/12).

Pada simulasi kedua, Ganjar dicoba dipasangkan dengan Erick Thohir, Anies Baswedan dengan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), dan Prabowo Subianto dengan Puan Maharani. Hasilnya Ganjar-Erick unggul.

“Masih sama polanya, jadi terangkat nama Ganjar Pranowo, Ganjar dengan Erick Thohir dengan 33,9 persen, Anies -AHY dengan 26,2 persen, dan Prabowo Puan di angka 20, 3 persen dan undecided voters di angka 19,6 persen,” ucapnya.

Pada simulasi ketiga, Ganjar kembali unggul jika disandingkan dengan Sandiaga Uno dengan 36,3 persen. Anies Baswedan dan Airlangga Hartarto di urutan kedua dengan 24,8 persen, dan Prabowo-Puan 18,7 persen.

“Terakhir kita buat simulasi agak berbeda nama yang baru muncul, bisa disebut sbeagai kuda hitam dan ada sebagian di militer, Ganjar Pranowo dengan Andika Perkasa, lalu melawan Anies kita simulasikan berbeda dengan Cak Imin, Prabowo Puan dengan angka paling tinggi Ganjar Pranowo – Andika dengan 33,2 persen, Anies-Cak Imin 23 persen, dan Prabowo Puan dengan 20,8 persen, dan undecide voters 23,1 persen,” jelasnya.

Untuk diketahui survei dilakukan pada periode 29 November – 6 Desember 2021. Survei dilakukan dengan metode wawancara tatap muka dengan multistage random sampling. Sebanyak 1200 responden dilibatkan dalam survei kali ini. Sedangkan margin of error survei tersebut 2,83 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

 

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Bayu Hermawan
Foto: Humas Pemprov Jateng
Sumber: https://bit.ly/3J4uD25

Survei: 78,6% Publik Indonesia Puas pada Kinerja Pemerintah Tangani Pandemi

Jakarta, Beritasatu.com- Mayoritas publik Indonesia menyatakan puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam menangani pandemi Covid-19. Hasil survei Charta Politika Indonesia menyebutkan ada 78,6% responden merasakan kepuasan tersebut.

“Penanganan pandemi Covid-19 secara umum dinilai baik oleh responden. Apresiasi responden meningkat jika dibandingkan
dengan survei sebelumnya,” ungkap Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, Senin (20/12/2021).

Secara terperinci sebanyak 6,8% responden menyatakan kinerja Jokowi-Ma’ruf Amin sangat baik atau naik 3,5% dari survei Juli 2021 lalu. Kemudian 71,8% menyatakan baik, naik dari survei Juli lalu 47,9% lalu. Sedangkan yang menyatakan buruk kini turun dari 39,8% menjadi 17,3%.

Untuk pelaksanaan program vaksinasi, berdasarkan survei tersebut menyebutkan masih ada 8% responden yang menyatakan tidak bersedia divaksinasi. Sedangkan yang bersedia divaksinasi ada 87,3%.

Dibedah lebih jauh bagaimana tanggapan publik atas berbagai kebijakan Presiden Jokowi masa pandemi, mayoritas menilai kebijakan berpihak pada kesehatan.

Yunarto menyebutkan, ada 68,6% responden menyatakan kebijakan Jokowi lebih berpihak pada isu kesehatan. Dan hanya 25,3% responden merasa kebijakan Presiden Jokowi berpihak kepada masalah ekonomi di masa pandemi ini.

“Mayoritas responden menilai bahwa kebijakan pemerintah selama masa pandemi lebih berpihak pada masalah kesehatan dibandingkan dengan masalah ekonomi,” kata Yunarto.

Survei Charta Politika dilaksanakan dengan metode wawancara tatap muka pada 29 November-6 Desember 2021. Total responden dalam survei ini sebanyak 1.200 dari 34 provinsi di Indonesia.

Responden dipilih menggunakan metode multistage random sampling. Margin of error sekitar penelitian ini adalah plus minus 2,83% pada tingkat kepercayaan 95%.

Oleh : Markus Junianto Sihaloho / JEM
Foto: BeritaSatu Photo
Sumber: BeritaSatu.com

Survei Charta Politika: Kepercayaan terhadap KPK Makin Turun, Disalip Polri

Jakarta – Charta Politika Indonesia merilis survei tingkat kepercayaan terhadap lembaga tinggi negara. Hasilnya, kepercayaan kepada Presiden paling tinggi, diikuti TNI dan Polri.

Survei ini dilakukan selama 29 November-6 Desember 2021. Total responden sebanyak 1.200 usia 17 tahun ke atas atau memenuhi syarat pemilihan. Survei ini dilakukan metode wawancara tatap muka dan margin of error sekitar +-2,83% pada tingkat kepercayaan 95%.

Pada survei ini disajikan pertanyaan kepada responden sebagai berikut:

Menurut pendapat Bapak/Ibu/Saudara di antara lembaga tinggi negara di bawah ini, apakah Bapak/Ibu/Saudara sangat percaya, cukup percaya, tidak percaya, atau tidak percaya sama sekali?

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan kepercayaan tertinggi adalah kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Nomor dua, diikuti TNI.

“Nomor satu paling tinggi itu di Presiden, jadi kalau mau dijumlahkan 77,8. Sekitar 74,6 persen tingkat kepercayaan yang kedua, ini selalu adu balap salip-menyalip antara Presiden dan TNI pasca reformasi, TNI di tingkat kedua 76,3 persen,” kata Yunarto dalam rilis survei secara virtual, Senin (20/12/2021).

Posisi ketiga adalah institusi Polri. Yunarto menyebut pada posisi keempat adalah kepercayaan terhadap KPK.

“Ketiga ada Polri dengan angka 66,8 persen. Dan kemudian diikuti, agak bersaing dengan KPK, tapi ini pola yang saya pikir cukup menarik,” katanya.

Yunarto menyebut, sebelum revisi UU KPK, biasanya tingkap kepercayaan kepada KPK ada di posisi 3 besar. Akan tetapi, kata Yunarto, kepercayaan kepada KPK kini disalip oleh Polri.

“Kalau kita lakukan survei ini beberapa tahun yang lalu, terutama sebelum revisi UU KPK, biasanya KPK ini selalu nomor 2 atau nomor 3, bersaing dengan TNI dan kalau kita lihat sekarang, bahkan di beberapa lembaga survei lain dan beberapa temuan memang Polri berhasil menyalip KPK,” ucap dia.

Yunarto tidak bisa memastikan apakah turunnya kepercayaan responden kepada KPK apakah adanya revisi UU KPK dan beberapa peristiwa yang terjadi di KPK akhir-akhir ini. Namun demikian, kata Yunarto, kepercayaan kepada KPK belakangan ini semakin menurun dan disalip Polri.

“Saya pikir ini menarik kalau kita membahas secara khusus apakah ada kaitannya dengan UU KPK, apakah ada kaitannya dengan misalnya beberapa peristiwa yang terjadi belakangan termasuk adanya Dewas KPK. Tetapi yang jelas bahwa belakangan KPK memang semakin menurun, bahkan disalip oleh Polri,” tutur dia.

DPR-DPD Paling Buncit

Yunarto kemudian menyoroti kepercayaan responden kepada parlemen. Dia mengatakan kepercayaan DPR dan DPD seharusnya tak berada di posisi paling bawah karena mewakili rakyat ataupun daerah.

“Catatan paling penting adalah ketika dua lembaga dalam triaspolitika yang harusnya kita harapkan menjadi wakil rakyat dalam kunci pengawasan ternyata di bawah posisi paling buncit, baik yang mewakili daerah atau yang mewakili rakyat, DPR dalam hal ini,” ujar Yunarto.

Berikut tingkat kepercayaan pada lembaga tinggi negara:
1. Presiden: 6,8% sangat percaya, 77,8 cukup percaya, 7,1 kurang percaya
2. TNI: 7,4% sangat percaya, 76,3% cukup percaya, 4,11% kurang percaya
3. Polri: 5,8% sangat percaya, 66,8% cukup percaya, 17,6% kurang percaya
4. KPK: 6% sangat percaya, 54,3% cukup percaya, 18,4% kurang percaya
5. MK: 2,8 sangat percaya, 59,3% cukup percaya, 16,6% kurang percaya
6. Kejagung: 2,7% sangat percaya, 58,6% cukup percaya, 12,9% kurang percaya
7. MA: 2% sangat percaya, 58,3% cukup percaya, 19,4% kurang percaya
8. MPR: 1,8% sangat percaya, 56,8% cukup percaya, 12,8% kurang percaya
9. DPR: 1,3% sangat percaya, 56,3% cukup percaya, 6,7% kurang percaya
10. DPD: 2,3% sangat percaya, 56,1% cukup percaya, 20,2% kurang percaya

 

Lisye Sri Rahayu – detikNews
Foto: Ari Saputra/detikcom
Sumber: https://bit.ly/3mgKpxa

Rilis Survei Nasional Refleksi Akhir Tahun 2021 : Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum di Masa Pandemi

Refleksi Akhir Tahun 2021 : Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum di Masa Pandemi

Survei dilakukan pada tanggal 29 November – 6 Desember 2021 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 1200 responden, yang tersebar di 34 Provinsi. Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ±(2.83%) pada tingkat kepercayaan 95%

Pada survei ini juga menyajikan tren dari data hasil survei yang diperoleh pada survei lapangan periode 20-27 Februari 2020 dan 12 -20 Juli 2021, serta data hasil survei menggunakan telepon yang dilakukan pada periode 1-8 Mei 2020, 6-13 Juni 2020, 6-12 Juli 2020, 26-29 Januari 2021, 24-28 Februari 2021, dan 20-24 Maret 2021 untuk melihat dinamika perubahan persepsi publik selama masa pandemi Covid-19.

 

Klik link untuk mengunduh:

2021_Rilis Survei_ChartaPolitika_Des

2021_Materi Rilis Survei_Des

Pakar: Pencitraan di Medsos yang Tak Sejalan dengan Kerja Nyata Bisa Jadi Bumerang untuk Capres Potensial

JAKARTA, KOMPAS.com – Analis politik Charta Politika Yunarto Wijaya menilai bahwa tren politikus berbondong-bondong membuat konten di media sosial tak selamanya berdampak baik bagi reputasinya.

Ia menjelaskan, fenomena “main medsos” sebetulnya jadi kebutuhan para politikus kiwari demi menggaet simpati dari kalangan muda yang diprediksi bakal mendominasi suara pada pemilu mendatang.

“Tapi harus dilihat begini. Medsos itu hanya untuk mengamplifikasi ruang berdialog atas apa yang mereka kerjakan di lapangan. Kerja utama mereka tetap kerja di darat,” ujar Yunarto kepada Kompas.com, Selasa (14/12/2021).

“Mereka (pemilih muda) adalah pemilih yang cukup cerdas untuk membandingkan apa yang tampil di YouTube dan di dunia nyata. Kalau kesenjangan itu terlalu besar, itu bisa menjadi bumerang,” tambahnya.

Sebaliknya, politikus yang terlihat mampu menampilkan citra yang selaras dan sama baiknya antara media sosial di lapangan, diprediksi akan meraup untung berlipat dari segi elektabilitas.

“Jadi, mereka baru dikatakan punya ‘produk’ ketika mereka memang sudah terjun ke lapangan, bertemu dengan masyarakat, lalu diamplifikasi dan berdialog (dengan netizen) melalui ruang medsos,” jelas Yunarto.

“Bukan hanya melalui sebuah postingan foto dan video saja. Kalau itu yang terjadi maka produknya juga akan kosong. Content creator saja pada terjun ke lapangan,” lanjutnya.

Fenomene politikus “main medsos” memang bukan baru tahun ini terjadi, melainkan sudah sejak sebelumnya.

Namun, tren ini semakin terasa ketika nama-nama yang dikaitkan sebagai capres potensial 2024 mulai menggunakan medsosnya secara lebih optimal, sebut saja Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Menggunakan platform YouTube pribadi masing-masing, keduanya mulai rutin membuat konten-konten terkait kerja dan gagasannya.

Penulis : Vitorio Mantalean
Editor : Diamanty Meiliana
Foto : KOMPAS.com/Devina Halim

Jalan Terjal Konvensi Calon Presiden

Di pentas politik mutakhir, Partai NasDem melontarkan wacana konvensi calon presiden yang rencananya akan digelar pada 2022. Sejumlah pihak merespons positif langkah partai yang dipimpin oleh Surya Paloh itu, tetapi juga muncul reaksi bernada skeptis. Jika konvensi NasDem benar terjadi, tentu membawa angin segar bagi kader terbaik partai maupun figur non-partai untuk berlaga.

Namun, ekspektasi NasDem untuk menggelar konvensi akan dipenuhi jalan terjal. Pasalnya, berdasarkan UU Pemilu bahwa persyaratan untuk mengusung capres dan cawapres 2024 harus memenuhi minimal 20 persen kursi di DPR atau minimal 25 persen suara parpol atau gabungan parpol pada pemilu sebelumnya.

Sementara jumlah perolehan suara NasDem hanya meraup 9,05 persen mengacu pada hasil Pemilihan Legislatif 2019. Artinya, NasDem wajib merajut koalisi dengan partai lain agar terpenuhi ambang batas presidensial (presidential threshold).

Preseden Politik

Dalam pengalaman parpol sebelumnya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sempat merencanakan konvensi pada 2013, tetapi gagal terselenggara. Dalihnya agak ‘setengah mati’ lantaran terhambat ambang batas presidensial.

Di tengah haru-biru, Partai Demokrat sempat mengadakan konvensi yang diikuti sejumlah kader internal Demokrat dan kandidat eksternal. Sayangnya, gebyar konvensi partai berlambang bintang mercy itu tampak ‘setengah matang’ hingga berujung antiklimaks. Dahlan Iskan yang memenangkan konvensi Demokrat gagal bertarung di pilpres 2014.

Kita juga dapat mengambil pelajaran dari Partai Golkar selaku pionir pertama pergelaran konvensi. Pesertanya secara eksklusif terdiri dari kader teras partai kuning itu, lalu menanglah Wiranto yang dipilih oleh pengurus DPD dan DPP Partai Golkar.

Meskipun Golkar menduduki peringkat pertama (21,58 persen) pada pemilu 2004, namun Wiranto justru kalah telak dalam pilpres. Batu sandungannya terletak pada fragmentasi elite sentral partai yang menyodok bola politik hingga terpantul ke mana-mana. Mesin politik beringin juga terkesan ‘setengah hati’ mendukung capres hasil konvensi.

Konvensi capres ala Indonesia memang tidak semulus tradisi konvensi yang mapan di Amerika Serikat. Di AS, tingkat kemelekatan partai (party-ID) dengan kader ataupun konstituen sangat kuat. Secara otomatis, siapa pun pemenang konvensi, pemangku kepentingan partai akan bergerak solid, tidak setengah-setengah. Mampukah NasDem keluar dari preseden politik itu?

Berkaca pada hasil polling akhir-akhir ini, NasDem memang belum memiliki kader internal sebagai capres kompetitif yang tertangkap layar lembaga survei kredibel. Di sisi lain, Nasdem terhitung perahu yang prospektif bagi tokoh ngetop (non-partai) untuk berlayar meniti pesta demokrasi 2024. Terlepas dari jadi atau tidaknya nantinya, pertimbangan NasDem untuk menghelat konvensi layak diapresiasi.

Hakikat dari konvensi itu membuka diri terhadap siapa pun untuk berpartisipasi dalam menentukan arah biduk republik. Parpol menjadi kawah candradimuka untuk memfasilitasi intensi politik para kader pemimpin nasional dari segala penjuru. Salah satu pintu gerbangnya adalah konvensi. Maka, konvensi capres bisa ditafsir sebagai manifestasi politik restorasi yang digaungkan NasDem dalam satu dekade terakhir.

Sketsa Kandidasi

Konvensi dapat ditilik sebagai bentuk penguatan kelembagaan dan demokratisasi di parpol. Metode seleksi kandidat dalam bingkai demokrasi bertautan dengan empat dimensi utama, seperti digambarkan oleh Reuven Y. Hazan dan Gideon Rahat (2010), yakni partisipasi, representasi, kompetisi, dan daya respons.

Paradoks dalam praktik konvensi tentu ada, namun bukan berarti meluruhkan seluruh konten yang konstruktif dari konvensi. Pilihannya adalah membenahi pelembagaan partai, baik secara struktural maupun kultural dalam rangka mempolakan perilaku, sikap ataupun budaya (Vicky Randall dan Lars Svasan, 2002).

Dalam lensa pendidikan politik, sejatinya gagasan konvensi tergolong wadah untuk mensosialisasikan platform politik, ideologi, program dan kebijakan partai dengan kemasan yang atraktif. Saat yang sama, konvensi berfungsi sebagai arena kontestasi ide-ide para bakal capres. Ruang seleksi kepemimpinan nasional pun akan terbuka lebar, partisipatif, dan terdesentralisasi di organisasi parpol.

Secara umum, penjaringan kandidat presiden selama ini terlampaui sentralistik berdasarkan sabda elite puncak struktur partai. Dalam etalase konvensi, figur kapabel dapat disaring melalui mekanisme yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Ketika konvensi digaungkan kembali oleh NasDem, spekulasi acak dari pihak lain tentu tak terhindarkan.

Dalam perspektif Tevi Troy (2016), sebagian besar konvensi saat ini menjadi peluang iklan partai. Asumsinya, pertunjukan sketsa kandidasi capres akan memantik perhatian khalayak terhadap partai penyelenggara konvensi. Di titik itu, konvensi bukan semata-mata sebagai tujuan, tapi sebagai kanal periklanan, promosi, dan publisitas. Menyitir istilah politisi AS Phineas Taylor Barnum: “all publicity is good publicity”.

Insentif citra partai sangat mungkin terdongkrak manakala capres peserta konvensi mengartikulasikan narasi yang kongruen dengan selera publik. Mereka ibarat duta yang merepresentasikan keunikan identitas beserta simpatisannya yang multi-entitas. Di dalamnya, konvensi berkait-kelindan dengan strategi pemasaran partai untuk memersuasi konstituen.

Seperti pada pemasaran komersil, mengutip Firmanzah (2008), maka pada pemasaran politik juga terdapat produsen (pelaku politik), produk (produk politik: person, party, policy) dan konsumen (electorate).

Jika kita komparasikan dengan praktik kandidasi di AS, perjalanan konvensi di Indonesia masih berliku-liku. Ihwal ini menyangkut soal budaya politik parokial, perkara kelembagaan partai, termasuk tantangan ambang batas presidensial.

Konvensi di AS telah berlaku formal sebagaimana tertuang dalam AD/ART Partai Demokrat maupun Partai Republik. Format penyelenggaraan konvensi pun melewati rute panjang mulai dari pemilihan primer, kaukus, dan konvensi negara bagian.

Lalu pertanyaannya, bagaimana model konvensi yang cocok untuk postur politik Indonesia? Tak bisa dimungkiri, konvensi capres mazhab Indonesia masih bersifat temporer dan ‘trial and error’. Meski begitu, metode konvensi versi AS tidak mesti kita cangkokkan ke dalam tubuh demokrasi Indonesia.

Setiap parpol memiliki tata cara dan skema kandidasi tersendiri untuk menyeleksi capres favorit, termasuk formulasi model konvensi yang sesuai dengan kebutuhan partainya.

Pada akhirnya, konvensi NasDem berada dalam ketegangan idealisme dan realitas politik yang kompleks. Pemilu 2024 masih lama, dan masih tersisa ruang inovasi politik yang cukup untuk menggenjot elektabilitas, dan meraba kehendak publik. Dalam proses kandidasi, hukum menunaikan konvensi tidaklah wajib, melainkan sebuah pilihan semata.

 

 

Mawardin
Sumber: Kumparan
Sumber foto: Fitra Andrianto/kumparan