Menyoal Gender dalam Politik

Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi masalah bagi demokrasi di Tanah Air. Baik kekerasan secara tidak langsung, lebih lagi kekerasan yang melibatkan fisik, selain berdampak kepada kondisi mental dan kerugian lainnya, praktek politik yang demikian tentu saja akan semakin menurunkan kualitas demokrasi kita.

Terkait erat dengan persoalan gender di dalam politik, Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 menjadi ruang yang perlu dievaluasi bersama. Pada proses pilkada yang lalu, tidak sedikit kaum perempuan yang mendapatkan perlakuan minor. Terlepas apakah itu adalah bagian dari strategi politik, komoditisasi perempuan yang abai terhadap nilai, akan menjadi pembenaran bagi kecenderungan praktek-praktek serupa berikutnya.

Di tengah upaya untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik dan pemerintahan, kesadaran gender rupanya belum inheren dalam laku politik.  Doktrin dan nalar patriarki masih menyisakan pondasi kuat di dalam politik kontestasi. Memperkuat politik maskulin dan bapakisme, hingga menggeser ruang dan kedudukan perempuan ke titik terpinggir subordinasi.

Kesenjangan gender dalam kontestasi politik mengakibatkan asa demokrasi berkesetaraan mengalami tantangan serius. Ada beberapa kasus kekerasan berbasis gender yang perlu mendapat perhatian dalam konteks politik praktis. Di antaranya isu pelecehan seksual terhadap kandidat perempuan dalam Pilkada Serentak 2020.

Kekerasan berbasis gender

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyebut adanya beberapa praktek diskriminasi terhadap perempuan pada Pilkada 2020. Pertama, pada Pemilihan Walikota (Pilwalkot) Kota Ternate, disebutkan oleh ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) dari salah satu partai politik bahwa Kota Ternate harus dipimpin oleh seorang laki-laki. Kedua, Tangerang Selatan, pelecehan dilakukan terhadap salah satu pasangan calon melalui penyebaran foto pribadi secara tidak pantas.

Selain laporan KontraS, isu gender juga terjadi di Pilkada Bima, yaitu dalam bentuk ungkapan seksis yang menautkan status janda kepada salah satu Calon Bupati. Kasus serupa juga terjadi pada Pilwalkot Depok dalam bentuk pelecehan seksual secara verbal yang dialami oleh calon Wakil Walikota perempuan, yang justru pelaku pelecehan berasal dari rival politiknya.

Dari beberapa contoh kasus di atas, tergambar bahwa kekerasan berbasis gender bisa berupa pendiskreditan terhadap perempuan. Dibangun citra perempuan tidak mampu menjadi pemimpin. Itulah budaya patriarki ‘rules of the father’ yang bekerja di wilayah politik melalui penempatan dominasi laki-laki secara hegemonik.

Sebagai komoditas politik, perempuan distigmatisasi sebagai objek seksual. Pelabelan negatif diarahkan kepada rata-rata politisi perempuan berstatus janda. Komoditas diproduksi, kemudian dilakukan bully. Maka tidak heran jika kemudian muncul pelecehan seksual terhadap calon kepala daerah atau politisi perempuan dalam segala kontennya terutama di media sosial.

Perlakuan diskriminasi dan pelecehan ternyata tidak hanya dilakukan oleh lawan politik yang tengah berkontestasi. Bahkan tidak sedikit warga sosial media (netizen) yang juga melakukan body shaming, berkomentar miring tentang wujud atau bentuk fisik dengan tujuan mempermalukan. Pada wilayah terutama di media sosial, bahasa menjadi instrumen untuk hegemoni terhadap wacana, dengan menjadikan perempuan sebagai objek untuk dikomodifikasi.

Praktik diskriminasi terhadap perempuan sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi kesetaraan. Semarak ungkapan seksis membuat demokrasi tidak berciri substantif. Mestinya aktor politik fokus pada kontestasi gagasan programatik, menunjukkan performa positif, bukan melempar guyonan yang berbau pelecehan.

Di dalam kntestasi politik, mengerahkan seluruh sumber daya dan strategi adalah wajar. Namun jika dijalankan dengan cara yang menjadikan kaum perempuan sebagai korban diskriminasi dan pelecehan seksual, tentu setiap politisi siapapun dia, harus berfikir lebih keras lagi untuk menggunakan cara dan strategi yang lebih beradab.

Politik sensitif gender

Strategi politik dengan menjadikan sisi seksualitas dan kelemahan perempuan sebagai komoditas tentu perlu dihindari. Pengetahuan dan kesadaran terhadap kesetaraan gender perlu diperkuat di masyarakat. Penting bagi peserta dan penyelenggara pemilu untuk memperhatikan isu-isu politik yang melibatkan gender.

Keadilan terhadap perempuan telah tertuang di dalam konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW). Sebagai wujud pengakuan terhadap perempuan di seluruh dunia, tanggal 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional (International Woman’s Day).

Demokrasi dan politik kita dengan segala gagasan berikut prakteknya harus mulai memposisikan perempuan pada kedudukannya yang terhormat dan mulia. Kita tidak boleh lagi hanya berharap kepada peingkatan partisipasi perempuan baik di dalam politik maupun jabatan publik, kita harus dudukkan eksistensi kaum perempuan dengan segala kelebihan dan kekurangannya sebagai bagian dari pertimbangan-pertimbangan pembangunan nasional; politik, sosial, ekonomi, dan budaya.

Anne Phillips (1999) dalam “Engendering Democracy” berpandangan bahwa perlu dilakukan genderisasi terhadap ruang pribadi, ruang domestik dan ranah publik secara bersamaan. Hari ini, alam demokrasi memberikan ruang bagi siapa pun untuk tampil, laki-laki ataupun perempuan. Pengarusutamaan gender harus diimbangi dengan perilaku kelembagaan dan sosial di seluruh aspek dan tingkatan struktur sosial-politik di Indonesia. Siapapun sebagai warga negara Indonesia dan memenuhi syarat, bisa dan berhak menjabat sebagai bupati, walikota, gubernur, anggota legislatif, menteri, bahkan presiden.

Partisipasi dalam ruang demokrasi perlu menghadirkan paradigma politik yang berwawasan gender, menjamin kesetaraan bagi semua warga negara tanpa ketimpangan yang diskriminatif. Setiap partai politik harus mendukung kader perempuannya untuk berkader dan menjalankan tanggung jawab politik, sekaligus melindungi mereka dari kecenderungan komodifikasi politik yang melibatkan kehormatan perempuan.

Lebih dari itu, segenap stakeholders politik mesti dilibatkan, termasuk insan pers agar mengedepankan jurnalisme yang berperspektif gender. Begitu juga keterlibatan ormas dan civitas akademika diharapkan menjadi agen pencerahan tentang nilai-nilai kesetaraan, dan tentu saja dukungan pemerintah agar mewujudkan kebijakan yang berkeadilan gender.

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

 

Sumber foto: infopublik.id

Kualitas Kampanye Pilpres

Tak terasa fase kampanye Pilpres 2019 akan memasuki sesi debat ketiga.

Dalam kampanye politik, ajang debat menjadi salah satu momen yang paling ditunggu. Dari sisi pemilih, debat bermanfaat untuk mengetahui posisi isu-kebijakan dan personalitas para kandidat. Namun, konstelasi pascadebat tak boleh diabaikan, jika tak bisa dibilang sama pentingnya.

Pasalnya, pascadebat, terpaan informasi tentang (konten) debat terus berlanjut dengan segala variasinya. Secara umum, kandidat yang dapat peliputan negatif cenderung juga dinilai negatif oleh pemilih (Fredkin dkk, 2008). Selain di media massa, terpaan debat pilpres juga berlangsung lewat percakapan, umumnya dengan orang-orang yang sepreferensi. Dengan kata lain, pembicaraan pascadebat lebih bersifat meneguhkan predisposisi pada kandidat yang disukainya (Cho dan Ha, 2012).

Dalam konteks Pilpres 2019, terpaan informasi tentang jalan debat kedua pilpres berlangsung seru, terutama di medsos. Kedua kubu sama-sama memberi penonjolan pada apa yang mereka anggap kelemahan kompetitor, misalnya tecermin pada tagar #jokowibohonglagi atau #prabowogagapunicorn. Hal ini diimbuhi upaya mengembangkan rasionalisasi dan atau apologi atas penampilan dan pernyataan kandidat yang dijagokan. Terkadang, interpretasi yang dikembangkan cukup melebar dari realitas dalam debat itu sendiri. Lebih penting dari itu, kedua pihak sama-sama mendaku capres jagoan mereka sebagai pemenang.

Keseruan percakapan pascadebat berakhir menandai upaya setiap kubu untuk mengubah lanskap persaingan. Pasalnya, merujuk dua survei terakhir Charta Politika (Oktober 2018 dan Januari 2019), elektabilitas Jokowi-Amin ataupun Prabowo- Sandi relatif stagnan. Kedua kubu butuh satu lentingan kecil untuk menjaga jarak aman (dalam kasus pasangan 01) atau mengatasi ketertinggalannya (untuk kasus pasangan 02). Sebab, meski rentang elektabilitasnya cukup lebar (53 persen-35 persen), potensi perubahannya masih sangat terbuka.

Terlebih, pada setiap kandidat ada sekitar 12 persen pemilih yang mengaku belum mantap dengan pilihannya dan 12 persen pemilih merahasiakan pilihan atau belum menentukan pilihan. Karena itu, kedua kubu masih akan terus menggencarkan beragam taktik, tak terkecuali berharap atau mendorong kompetitornya tergelincir akibat perkataan atau tindakannya sendiri.

Walau seru, tak berarti pasti menarik. Bagi sebagian kalangan, Pilpres 2019 kurang gereget karena seperti pertarungan ulangan Pilpres 2014. Bukan semata karena capresnya sama, melainkan juga dalam segi, termasuk kontennya, banyak yang hanya salinan dan atau sekadar perluasan pilpres sebelumnya. Pilpres 2019 kian tak menarik karena kombinasi sejumlah faktor: dibanjiri hoaks, diriuhkan tarung wacana tak penting; diramaikan lontaran yang bersifat soundbites alih-alih paparan isu kebijakan yang argumentatif; diwarnai rebutan simbolik agama dan ulama, tapi tak satu pun yang secara nyata menunjukkan komitmen memajukan ekonomi umat; serta disesaki kecenderungan kandidat yang lebih senang mengirimkan sinyal membingungkan tentang posisinya pada sejumlah isu krusial.

Pesan negatif mendominasi. Meski barangkali dimaksudkan untuk mempersuasi swing voters, pesan-pesan negatif nyatanya lebih efektif mengkristalisasikan predisposisi pemilih yang sudah tak suka pada satu kandidat tertentu (Klein dan Ahluwalia, 2005). Dengan kata lain, pesan negatif (termasuk hoaks) lebih berperan dalam mengkristalkan opini. Kristalisasi opini terbentuk manakala kontennya dinilai sangat penting atau ekstrem (misal: hoaks tentang kaitan Jokowi dengan PKI) dan bersua dengan belief yang sudah tertanam sebelumnya di benak pemilih. Kian kuat aliran informasi tentang hoaks, kian kuat ketaksukaan pemilih pada kandidat yang bukan preferensinya. Kian terkristalisasi opini seseorang, kian sulit baginya mengubah opini (Sciarini dan Kriesi, 2003).

Polarisasi persaingan juga mendorong pemilih bersedia mengubah pandangannya terhadap satu isu agar sejalan dengan posisi isu yang dianut kandidat yang didukung. Ini memang tak terelakkan manakala preferensi pemilih kepada individu lebih kuat daripada preferensinya pada isu kebijakan (Abramowitz, 1978).

Tanpa tawaran program yang lebih subtantif dan atau jika tak ada kejadian luar biasa, tingkat elektoral 01 dan 02 akan terus stagnan. Dalam situasi seperti ini, dinamika elektoral sangat mungkin ditentukan “operasi darat” memperebutkan suara pemilih pragmatis yang mempertimbangkan pemberian kandidat (uang, bahan pokok, dan barang lain) sebagai acuan memilih. Seturut uraian di atas, mengemuka penilaian yang menyebutkan kampanye Pilpres 2019 cenderung berakhir tanpa peningkatan kualitas. Penyebutan kualitas kampanye mengasumsikan (aktivitas) kampanye jadi juru pandu utama dalam memilih.

Cakupan kualitas

Pendekatan yang optimistis menilai proses kampanye (diskursus, retorika kandidat, peliputan media, atensi pada faktor-faktor jangka pendek selama kampanye dan lainnya) memiliki daya persuasi untuk memengaruhi pemilih dalam menilai isu kebijakan yang ditawarkan kandidat. Ini tak berarti menegasi arti penting evaluasi yang dilakukan pemilih terhadap kinerja petahana (retrospektif). Kampanye jadi ruang bagi pemilih untuk mempertimbangkan berbagai kebijakan alternatif yang diajukan para kandidat (Maisel, West dan Clifton, 2007).

Kampanye pemilu disebut berkualitas jika deliberatif, informatif, mengutamakan isu kebijakan daripada citra personalitas dan juga digenapi diskursus mendalam, bukannya meramaikan hal remeh-temeh. Pemilih diandaikan berpartisipasi dan terlibat. Kampanye yang baik ditandai adanya perubahan belief pemilih (Gardner, 2009). Lebih dari itu, kampanye berkualitas ditandai adanya keselarasan isu-isu kebijakan yang dianggap penting antara kandidat dan pemilih. Dan, ini ditandai adanya dukungan pemilih seperti terlihat pada hasil pemilu (Buchanan, 1999).

Cakupan kualitas kampanye seperti itu merupakan gambaran ideal dan kiranya perlu direlaksasi agar lebih membumi. Pertama, sejak beberapa waktu berkembang tren kampanye permanen. Hal ini membuat distingsi antara predisposisi pemilih yang terbentuk pada masa prapemilu dan predisposisi yang terbentuk selama fase kampanye jadi kurang relevan. Dalam kasus Pilpres 2019 (pendukung) Jokowi ataupun (pendukung) Prabowo sejak pasca-Pilpres 2014 sudah aktif melakukan persuasi ke publik. Seiring kian terbentuknya prioritas pembangunan, kubu Jokowi banyak mengedepankan capaian-capain di sektor infrastruktur. Secara lebih khusus, berbagai aktivitas Jokowi seperti hendak menguatkan citra merakyatnya. Sebaliknya, kubu pendukung Prabowo selain aktif beretorika soal kegagalan pembangunan di era Jokowi juga terus memainkan isu-isu khusus, seperti ancaman dominasi China di Indonesia, kebangkitan PKI, dan pendakuan Islam di Indonesia tengah terancam.

Kedua, pilihan berdasarkan evaluasi terhadap personalitas kandidat tak harus dianggap cara memilih yang buruk sepanjang didasarkan pada informasi yang memadai. Dalam kasus Pilpres 2019, identitas personal kedua capres dipergunjingkan lebih karena keterbatasan informasi yang tersedia (contohnya soal keislaman Prabowo) dan atau karena aliran informasi bohong (contohnya isu Jokowi terlibat PKI).

Ketiga, kualitas kampanye tidak dengan sendirinya dapat disebut buruk jika keterlibatan dan partisipasi pemilih bersifat minimal. Kualitas kampanye baru dapat dibilang buruk manakala pemilu tak punya peluang untuk berpartisipasi atau terlibat dalam berbagai aktivitas kampanye, termasuk mengajukan pertanyaan dan beroleh respons dari kandidat. Atau sebaliknya, pemilih aktif tapi utamanya melakukan persekusi dan atau pemaksaan terhadap pemilih yang tak sebarisan dengan dirinya.

Dalam kasus Pilpres 2019, partisipasi pemilih, khususnya di kalangan pemilih partisan, dapat dikatakan tinggi, terlebih di medsos dan media percakapan. Di kubu Prabowo ada kelompok emak-emak, di kubu Jokowi ada kelompok yang sudah eksis pada 2014 (misalnya Seknas dan Projo), tetapi ada pula banyak yang baru tapi tak satu pun cukup menonjol dalam peliputan di media. Yang merisaukan, ruang dialog langsung antara pemilih dan para capres relatif minim. Ajang pertemuan tatap muka atau blusukan lebih banyak diwarnai komunikasi satu arah dan atau terkesan diatur untuk kepentingan pemberitaan belaka. Selain itu, insiden-insiden persekusi, seperti pencopotan kaus atau penghadangan, terjadi di beberapa tempat. Pada saat bersamaan, kekerasan verbal, baik melalui penjulukan (cebong, kampret, dungu, contohnya) atau bentuk lain (doa, puisi, postingan di medsos) kian menjadi keseharian.

Keempat, kualitas kampanye tak selalu berarti berlangsungnya proses persuasi, tapi minimal mengandaikan kecukupan informasi. Persuasi mengandaikan adanya perubahan belief– nya. Misalnya, ada pemilih mengubah predisposisinya soal utang. Jika awalnya berpendirian utang Indonesia masih wajar, sikapnya berubah jadi antiutang dan menganggap utang Indonesia berlebihan setelah diterpa retorika, pemberitaan, dan pembicaraan di grup Whatsapp yang dilakukan kubu Prabowo.

Sebaliknya, kampanye sudah bisa dinilai berkualitas jika pemilih bisa mengetahui proposal yang cukup rinci mengenai gagasan dari setiap kandidat. Misal saja soal bagaimana restorasi toleransi yang ditawarkan pasangan 01 atau melestarikan keragaman warisan budaya yang diajukan pasangan 02. Selain itu juga jika ada keseimbangan informasi (sekurangnya menjelaskan persamaan dan perbedaan) tentang “ekonomi Pancasila” atau reforma agraria yang sama-sama dilontarkan kedua pasangan. Terkait itu, kecukupan informasi juga ditandai minimnya kabar bohong.

Karena itu pula, sebuah kampanye pemilu dapat disebut tak berkualitas manakala terjadi defisiensi informasi. Ini karena aktor utama dalam kampanye (kandidat, media, dan pemilih) memiliki insentif berbeda dan juga didukung faktor situasi tertentu sehingga tak memainkan peran yang diharapkan (Buchanan, 1999). Kandidat diandaikan menginformasikan posisinya terkait isu-kebijakan, termasuk di dalamnya solusi yang ia tawarkan. Namun, misalnya, hasrat “yang penting menang” dapat membuat ia memilih fokus menonjolkan isu-isu tertentu saja yang sangat boleh jadi populer tapi tidak termasuk agenda nasional yang prioritas dan seyogianya didiskursuskan dalam kampanye. Dalam hal ini, kandidat sengaja menghindari pembahasan yang dinilainya “sulit” dan atau bisa menempatkannya pada posisi tidak menguntungkan di mata pemilih.

Media diandaikan jadi ruang bagi pemilih mempelajari kandidat. Meski demikian, media punya insentif untuk mengabaikan fungsi ini karena punya pertimbangan ekonomi, seperti rating (TV), click bait (daring), dan oplah (cetak). Dus, yang sering diberitakan lebih ke soal-soal kontroversial, konflik, atau berbau drama layaknya opera sabun. Situasinya jadi lebih rumit untuk medsos karena pemilih berperan ganda, produsen dan konsumen informasi sekaligus.

Pekerjaan rumah

Pemilih diandaikan memberikan atensi yang penuh pada aliran informasi dan diskursus yang disampaikan kandidat ataupun media. Masalahnya, pemilih kerap mengembangkan seleksi atensi dan atau seleksi informasi. Ia memilih informasi yang hanya sesuai predisposisi yang sudah dimiliki sebelumnya. Pemilih tak mau bersikap terbuka karena berbagai alasan sekaligus. Pemilih yang orientasinya “pokoknya menang” atau “pokoknya kandidat yang tak disukai harus kalah” juga punya insentif untuk mengacaukan aliran informasi. Salah satunya membuat dan atau mendistribusikan hoaks, ancaman, mendiskriminasi pemilih yang tak sepaham dengan dirinya atau juga mempraktikkan politik uang.

Insentif yang dirasakan ketiga aktor itu berbeda-beda, bergantung pada konteks persaingan yang tengah berlangsung (adanya kepentingan kelompok penekan, resesi ekonomi, atau lainnya). Ini diimbuhi dinamika yang terjadi karena adanya interaksi di antara aktor. Kandidat, misalnya, bisa saja memilih mengedepankan soundbites daripada memaparkan isu kebijakan secara komprehensif dalam upaya mendapat atensi dan peliputan dari media.

Dengan mengacu cakupan kualitas di atas, sangat wajar jika berbagai pihak menilai kampanye Pilpres 2019 tak berkualitas. Namun, penting pula menyimak peringatan Gardner (2009). Menurut dia, kritik terhadap kampanye pemilu lebih sering terjadi karena melihat masalahnya hanya pada arena kampanye. Padahal, apa yang terjadi selama kampanye merupakan praktik pengulangan belaka dari komunikasi politik sehari-hari. Dengan kata lain, jika sehari-hari kita sudah “akrab” dengan kabar bohong, sangatlah masuk akal jika arena kampanye juga disesaki hal yang sama. Jika demikian halnya, kita jelas punya pekerjaan rumah yang jauh lebih besar dari sekadar mereformasi kampanye pilpres.

 

 

Yunarto Wijaya 

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Kompas, 12 Maret 2019

 

Foto: FOTO/Hafidz Mubarak A (https://bit.ly/36vR2nq)

Kompetisi Parpol yang Terlupakan

Pemilihan umum presiden dan anggota legislatif yang dilaksanakan secara serentak pada 2019 mendatang akan menjadi tantangan baru bagi partai politik.

Mereka akan menghadapi situasi harus bersaing dan sekaligus harus bekerja sama dengan kompetitornya. Dalam konteks pemilihan presiden (pilpres), parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno normanya akan bahu-membahu mengomunikasikan kandidatnya masing-masing. Tidak itu saja, parpol normanya juga bertindak secara cermat agar tidak melakukan blunder yang bisa merugikan kandidat mereka, termasuk di dalamnya menahan diri untuk tidak saling menyerang parpol sekoalisi.

Masalahnya, logika pileg justru mensyaratkan parpol harus bersaing satu sama lain untuk meyakinkan basis pemilihnya, memengaruhi pemilih yang belum memutuskan pilihan, ataupun merebut pemilih kompetitornya. Literatur politik menyatakan, ada beberapa pendekatan yang kerap dipergunakan parpol untuk memersuasi pemilih. Dari mulai memainkan kedekatan sosiologis (agama, etnisitas, umur, kelas) hingga mengapungkan isu kebijakan, dari mulai menonjolkan daya tarik partai sebagai organisasi hingga mengedepankan pesona figur. Lebih daripada itu, kerja sama dalam ranah pilpres di atas kertas tak menghasilkan manfaat elektoral yang berimbang dalam konteks pileg. PDI Perjuangan (PDI-P) dan terutama Gerindra diprediksi akan menikmati efek ekor jas (coattail effect) yang besar karena kader mereka menjadi capres atau cawapres. Sosok Ma’ruf Amin mungkin sekali bisa mengalirkan tambahan elektoral bagi PKB atau juga bahkan PPP.

Biaya berkoalisi

Parpol bersedia berhimpun dalam sebuah koalisi pengusung capres-cawapres sekurangnya dilandasi motif mendapatkan portofolio dalam kabinet (office-seeking) atau kesempatan memengaruhi kebijakan publik (policy-seeking). Tiap parpol punya orientasi berbeda-beda, ada yang lebih mengedepankan motif pertama, ada pula yang lebih mengutamakan motif kedua.

Pengutamaan satu dari dua motif ini mengandaikan parpol harus berkompromi dalam konteks pilihan kebijakan (karena harus disesuaikan visi-misi capres-cawapres) dan logisnya tak saling menyingkap kelemahan, kebobrokan, atau perbedaan preferensi sebuah kebijakan. Jika yang pertama berpotensi menjauhkan parpol dengan preferensi basis pemilihnya, yang terakhir berpotensi membuat parpol kian sulit dibedakan dalam upayanya membangun posisi unik di benak pemilih.

Singkatnya, parpol tak dapat optimal mengejar motif meraih suara sebanyak-banyaknya di pileg (vote-seeking). Dengan melihat komposisi kandidat yang berkontestasi (Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi), sebagian besar parpol sepertinya lebih mengejar motif office-seeking alih-alih vote-seeking ataupun policy-seeking. Lagi pula, seperti diingatkan Strom dan Muller (1999), parpol memang jarang punya kesempatan mendapatkan hasil optimum dari ketiga motif karena sifatnya yang cenderung trade-off.

Pilihan orientasi itu tentu saja ada konsekuensinya. Parpol yang perolehan suaranya kecil (baik menang maupun kalah dalam konteks pilpres) akan menderita. Daya tawar politiknya menjadi rendah dan pada saat sama harus mengorbankan kepentingan jangka panjangnya, yakni kemampuan berkontestasi dalam pemilu berikutnya. Secara keseluruhan, dapat dikatakan ada biaya politik yang harus ditanggung parpol karena berhimpun dalam koalisi. Biaya politik ini tidak sama besarnya bagi setiap parpol. Sederhananya, semakin jauh spektrum figur dan janji politik capres-cawapres dengan preferensi basis pemilihnya, semakin besar biaya yang harus ditanggungnya.

 

Manuver berkontestasi

Biaya berkoalisi mungkin tak bisa dihindari, tetapi parpol masih mungkin bermanuver agar kepentingan elektoralnya tetap terjaga. Kunci manuvernya terletak pada kemampuan memadukan kerja sama dan kompetisi sekurangnya pada tiga elemen persaingan utama: figur, isu-kebijakan, kelompok sosial. Kontestasi figur terfokus pada capres dan cawapres. Kompetensi, rekam jejak, dan personalitas calon akan jadi konten utama untuk memikat pemilih. Namun, tak selamanya atribut ini jadi acuan pemilih. Terkadang pemilih memilih kandidat yang punya kesamaan sosio-demografis, ideologi, atau identifikasi partisan lainnya dengan dirinya (Marland, 2013).

Ruang manuver sebagian besar parpol adalah memainkan faktor kedua karena faktor pertama jelas dinikmati Gerindra dan PDI-P. Penyematan atribut Sandiaga sebagai representasi santri post-Islamis, misalnya, dapat dibaca sebagai upaya PKS merangkul pemilih Muslim yang merasa tak (lagi) menjadi bagian ormas Islam yang mengakar seperti NU dan Muhammadiyah. Di lain pihak, figur Ma’ruf akan diperebutkan PKB atau PPP untuk mengonsolidasikan basis pemilihnya di kalangan nadhliyin. Ruang manuver lain untuk mengompensasi efek ekor jas adalah dengan mengasongkan figur-figur yang merepresentasikan parpol. Yang sudah biasa adalah mengedepankan figur ketua umum yang sudah dilakukan PKB, PPP, atau Perindo. Rute lain, mengasongkan figur baru seperti dilakukan Demokrat dengan Agus Harimurti Yudhoyono yang menyasar segmen pemilih muda.

Bagi parpol yang belum menyiapkan figur tambahan sebagai penguat daya tarik di mata pemilih, strategi generiknya adalah menerapkan jurus meniru dan menambahkan atribut unggulan lain (me too +1) baik menyasar pada pangsa pemilih yang sama atau mengkhususkan diri pada ceruk pemilih tertentu. Apa pun pilihannya, figur itu harus diasosiasikan sebagai “the next leader”. Bingkai inilah yang akan menjadi pengatrol utama dan sekaligus membedakan dengan para pengumpul suara biasa (vote getter). Pilihan figur yang diapungkan harus dipertimbangkan dengan saksama. Pasalnya, ia akan berperan pula sebagai jangkar dalam memajukan janji-janji politik dan juga kelompok sosial yang hendak diasosiasikan. Koherensi ketiganya penting untuk membangun persepsi kredibilitas.

Isu kebijakan yang diusung capres dan cawapres normanya merupakan hasil negosiasi dan kompromi kandidat dengan parpol pengusung. Dalam konteks pilpres, parpol terikat untuk mengampanyekannya secara sendiri-sendiri atau bersama. Namun, dalam konteks pileg, parpol dapat bermanuver dengan melakukan adaptasi, yakni menggunakan isu kebijakan capres-cawapres sebagai konten kampanye, tetapi menambahkan dimensi lain untuk menguatkannya, membuatnya unik, dan disukai target pemilihnya. Pilihan lain sebagai pelengkap, parpol bisa menerapkan strategi konfrontasi atau mengabaikannya agar tak menjadi agenda publik.

Sebagai ilustrasi awal, gagasan ekonomi berbasis umat yang dilontarkan Ma’ruf, dapat diadaptasi parpol pengusung dengan memberikan penonjolan program konkret berbasis sektoral atau berbasis spasial, misalnya. PPP dan PKB jelas memiliki kredibilitas lebih tinggi karena diasosiasikan publik sebagai parpol Islam dibanding parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf lainnya. Meski begitu, ini juga dapat jadi kesempatan baru bagi parpol nasionalis seperti PDI-P, Nasdem, atau bahkan PSI untuk menggeser citranya sehingga dianggap lebih dekat dengan kalangan pemilih Islam. Kuncinya terletak pada kepiawaian menyorongkan program politik yang mengena, tapi tak menghilangkan karakteristik khas masing-masing.

Sebaliknya, bagi parpol koalisi pengusung Prabowo-Sandiaga seperti Gerindra atau Demokrat, gagasan ekonomi berbasis umat itu dapat dibenturkan dengan gagasan yang berbeda, misalnya dengan gagasan ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila, ekonomi pasar, atau lainnya. Untuk PKS dan PAN, misalnya, strateginya adalah menyingkap kelemahan ekonomi umat versi Ma’ruf dan menawarkan versinya sendiri. Jika ini yang dilakukan, tak terhindarkan PKS dan PAN akan berebut sebagai parpol yang paling kredibel berbicara tentang gagasan tersebut.

Umumnya, parpol cenderung akan memilih isu kebijakan yang dirasakannya punya reputasi baik di benak pemilih (issue ownership) dan isu kebijakan inilah yang akan ia tonjolkan selama kampanye. Masalahnya, efek kepemilikan isu ini akan ternetralisasi jika pemilih menganggapnya sebagai isu kebijakan yang tak penting (Belanger dan Meguid, 2005). Dengan kata lain, kepemilikan isu saja tak cukup untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Untuk mengatasi hal ini, parpol harus saling berkontestasi membangun konteks yang relevan agar isu kebijakan mereka dianggap penting oleh pemilih.

Ruang kontestasi di ranah ini relatif lebar karena parpol umumnya tak punya kepemilikan isu yang kuat. Jikapun ada, seperti dalam kasus PKS dengan solidaritas terhadap Palestina-nya, belum tentu dinilai relevan dalam konteks pileg.

Ruang manuver lain adalah kemauan untuk keluar dari isu kebijakan yang sudah generik dan terkadang berhenti sebagai jargon belaka. Tema-tema seperti utang luar negeri, impor pangan, subsidi energi, ataupun pemberantasan korupsi masuk dalam kategori ini. Sebaliknya, parpol dapat menonjolkan isu-isu keseharian, seperti pendanaan BPJS, penerimaan siswa baru, transportasi daring, dan sekaligus menjadikannya isu yang melekat pada dirinya. Parpol pengusung Prabowo-Sandiaga lebih memiliki peluang mengeksplorasi ini karena sekaligus bisa mengkritisi kinerja pemerintahan petahana. Sebaliknya, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf harus mencari jalan untuk menunjukkan komitmennya pada isu-isu itu dan atau menawarkan solusi baru.

Manuver kontestasi lainnya bersifat lebih agresif, yakni menyingkap wajah ganda parpol. Wajah terbuka parpol adalah apa yang tertuang dalam visi-misi dan program. Wajah lain adalah apa yang disepakati elite parpol dengan aktivis internal parpol bersangkutan (Hammel dkk, 2005). Lebih daripada itu, wajah ganda ini tak saja bisa disingkap dari manifesto parpol, tetapi juga antara pernyataan publik dan keputusan internalnya. Pengabaian hasil ijtima ulama soal cawapres Prabowo merupakan contoh bagaimana strategi ini dimainkan. Untuk itu, parpol pengusung Jokowi-Ma’ruf memang perlu bekerja lebih cerdik, tetapi tetap dalam koridor hukum yang ada.

Ketertautan parpol dengan kelompok sosial tetap relevan dalam menjungkit tingkat elektoral parpol meski harus diakui pengaruhnya tak setinggi sebelumnya karena termediasi faktor figur. Selain tetap mengelaborasi kelompok sosial yang jadi basis pemilih tradisional, parpol dapat mengkreasi dan atau menonjolkan kelompok sosial baru sebagai basis baru. Di Inggris, Partai Konservatif dan Buruh selain konstituen tradisional, juga berupaya menarik kelompok sosial baru, seperti keluarga dan orangtua (Thau, 2017).

Antisipasi

Apapun pilihan manuver kontestasinya, parpol perlu mempertimbangkan dua hal ini. Pertama, kecenderungan perilaku pemilih melakukan split ticket voting. Pada tingkat pertama, split ticket voting terjadi ketika pemilih memilih partai A untuk DPR, tetapi parpol B atau C untuk DPRD. Pada tingkat kedua, split ticket voting terjadi karena mereka memilih pasangan capres-cawapres yang tak diusung parpol yang dipilihnya untuk pileg.

Kedua, agenda laten sesama parpol pengusung. Normanya, apapun pilihan bersaing yang akan dipilih, niscaya harus memperhatikan agenda utama koalisi: memenangkan pasangan capres-cawapres yang diusung. Meski demikian, norma ini dapat dilanggar jika agenda utama sebuah parpol jauh lebih besar dari itu: membesarkan dirinya dengan memanfaatkan momentum pilpres. Mereka tak sungkan menyerang kawan seiring jika itu dianggap sepadan dengan manfaat elektoral yang bisa diraih. Bagi parpol jenis ini, memenangi pilpres hanyalah bonus. Ini berlaku terutama pada parpol yang tak menempatkan kadernya sebagai capres/cawapres atau merasa benefit posisi publik yang ditawarkan kelak tak cukup memadai untuk tujuan-tujuan mereka.

Selamat berkompetisi!

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

(Kompas, 23 Agustus 2018)

 

Foto: hariansinggalang.co.id (https://bit.ly/2YDFfyO)