Charta Politika Meraih Penghargaan Sebagai Lembaga Survei Terpercaya

Yogyakarta, 19 juli 2019 – Kegigihan dalam memberikan pendidikan politik kepada masyarakat yang bermanfaat bagi kemajuan serta kesejahteraan bangsa di Indonesia, berhasil membawa Charta Politika Indonesia  meraih penghargaan “Indonesian Business, Professional and Education Award 2019” kategori “The Most Trusted Survey Institution With Service Excellent of The Year”.

“Penghargaan ‘Indonesian Business, Professional and Education Award’ berupaya menumbuhkan motivasi, perubahan, serta harapan bagi masa depan Indonesia yang sejahtera, maju dan beradab, setara dengan bangsa-bangsa lain di dunia”, kata Ketua Penyelenggara Laksamana Madya (Purn.) TNI H. Gunadi, MDA.

Peraih penghargaan dari pelbagai kategori diberikan oleh Sembilan Bersama Media berdasarkan rekomendasi dari Kementerian RI, LSM dan swasta dengan harapan semakin meningkatkan kinerja dan kreativitas pribadi, kemajuan institusi serta perusahaan.

“Metodologi dan pengukur penilaian dilandaskan pada beberapa kriteria seperti kualitas, inovasi, performa, akuntabilitas, kepedulian dan lain-lain. Sebagai kelengkapan data, Tim Research Majalah Indonesian Inspire! melakukan riset dengan responden pemilik telepon rumah (fixed phone) di Jabodetabek dan beberapa kota besar lainnya”, ungkap Founder ‘Sembilan Bersama Media’ Laksamana Madya (Purn.) TNI H. Gunadi, MDA di The Karaton Ballroom, Royal Ambarrukmo Hotel – Yogyakarta, Jumat (19/7).

Muslimin selaku Direktur Riset Charta Politika Indonesia, yang mewakili Charta Politika untuk menerima penghargaan tersebut, berharap penghargaan ini bisa menjadi spirit baru bagi  Charta Politika Indonesia untuk terus memberikan pendidikan politik bagi masyarakat, dan mempersembahkan hasil-hasil riset maupun survei yang kredibel, ilmiah, objektif dan terpercaya sebagai acuan bagi lembaga-lembaga pemerintahan, institusi demokrasi dan perusahaan untuk meningkatkan performa dan kinerjanya.

Ia mengatakan, pihak Charta merasa terhormat dengan penghargaan ini. Charta sendiri memang sudah sejak lama dipercaya memberikan acuan bagi lembaga-lembaga pemerintahan, institusi demokrasi dan perusahaan dalam upaya meningkatkan performa kinerjanya, sesuai hasil rekomendasi riset yang diberikan.]

Ia menegaskan, Charta Politika Indonesia komitemen untuk terus menjunjung tinggi integritas dan profesionalitas sebagai lembaga riset dan konsultan politik yang mengedepankan validitas data, akurasi informasi dan analisis politik yang kompeten dalam memetakan, memahami, dan memprediksi proses politik.

“Kami akan terus berkomitmen dan menjaga kepercayaan ini, sebagai jembatan dalam mendekatkan aspirasi publik dengan pihak pemerintah baik pusat maupun daerah, dalam rangka mendukung kebijakan yang berorientasi bagi kemajuan Indonesia,” tandasnya.

Dok. Charta Politika Indonesia.

Yunarto Wijaya: Pidato Jokowi tegaskan akan berani ambil kebijakan

“Dengan diksi yang digunakan, menurut saya masa konsolidasi sudah selesai, sekarang bicara mengenai bekerja dengan sikap yang lebih tanpa beban”

Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai pidato Presiden terpilih Joko Widodo bertajuk Visi Indonesia menegaskan Jokowi akan berani ambil kebijakan di periode kedua.

Yunarto juga mengapresiasi dibacakannya Ikrar Bangsa Indonesia dalam rangkaian acara Visi Indonesia oleh Ketua Dewan Pengarah Visi Indonesia, Andi Gani Nena Wea.

“Dengan diksi yang digunakan, menurut saya masa konsolidasi sudah selesai, sekarang bicara mengenai bekerja dengan sikap yang lebih tanpa beban,” kata Yunarto di Jakarta, Senin.

Hal itu menurut dia terlihat dari penggunaan diksi yang disampaikan Jokowi dalam pidatonya tersebut yang berlangsung di Sentul International Convention Center (SICC), Minggu (14/7).

Menurut dia, penegasan sikap Presiden Jokowi ditunjukan pada penggunaan kalimat atau diksi yang diucapkannya.

Yunarto mencontohkan, beberapa kali dalam pidatonya tersebut, Jokowi menggunakan kata “hajar”, “hapus” dan “hilangkan”.

Dia menilai pidato Jokowi tersebut menunjukkan penegasan atas pernyataan kerja tanpa beban yang selama ini dijalaninya.

“Presiden Jokowi akan mengambil sikap lebih berani dan sikap lebih tegas dalam periode keduanya,” ujarnya.

Yunarto menjelaskan dalam pidatonya, Jokowi secara gamblang menujukan pesannya kepada seluruh elemen masyarakat yang menunjukkan visinya bukan lagi berkompromi melainkan untuk bekerja dan akan berani mengambil tindakan tegas.

Selain itu, dia juga mengapresiasi adanya Ikrar Bangsa Indonesia dalam rangkaian acara Visi Indonesia, yang menunjukan adanya bentuk persatuan.

“Ikrar Bangsa Indonesia menekankan Persatuan Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika menjadi perekat utama bangsa Indonesia,” tuturnya.

Ikrar Bangsa Indonesia dibacakan langsung Ketua Dewan Pengarah Visi Indonesia, Andi Gani Nena Wea

Saat membacakan Ikrar Bangsa Indonesia yang diikuti seluruh hadirin, Andi Gani mengenakan pakaian adat Nagekeo dari Nusa Tenggara Timur (NTT) dan didampingi pimpinan-pimpinan relawan yang mengenakan baju adat dari seluruh wilayah Indonesia.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Chandra Hamdani Noor
Foto dok Antara 2019

Kepala BIN Terlihat di Pertemuan Jokowi & Prabowo, Yunarto Wijaya Singgung Sosok di Belakang Layar

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Rr Dewi Kartika H

TRIBUNJAKARTA.COM – Kehadiran Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan di pertemuan Jokowi dan Prabowo Subianto menjadi sorotan.

Diwartakan sebelumnya Prabowo Subianto dan Jokowi bertemu untuk pertama kali setelah Pilpres 2019, di Stasiun MRT Lebak Bulus, pada Sabtu (13/7/2019).

Prabowo Subianto tiba sekitar pukul 09.52 WIB bersama Seskab Pranomo Anung, Budi Gunawan dan Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya membeberkan analisannya terkait kehadiran Budi Gunawan dipertemuan bersejerah itu.

Hal tersebut disampaikan Yunarto Wijaya melalui sambungan telepon di Breaking News Kompas TV.

Mulanya pembawa acara Breaking News Kompas TV mengatakan selama ini Budi Gunawan selalu dikaitkan dengan isu rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi.

Ia lantas meminta pendapat Yunarto Wijaya soal kehadiran Kepala BIN tersebut.

“Ada kehadiran sosok kepala BIN, Budi Gunawan yang sempat dikaitkan dengan rekonsiliasi Prabowo dan Jokowi. Anda melihat seperti apa sebetulnya dengan adanya Pak Budi Gunawan?” tanya pembawa acara dikutip TribunJakarta.com dari siaran langsung Kompas TV.

Yunarto Wijaya mengatakan kehadiran Budi Gunawan dipertemuan tersebut dapat menimbulkan banyak spekulasi.

Pasalnya orang-orang yang hadir dipertemuan tersebut memiliki hubungan langsung dengan Jokowi seperti, Pramono Anung dan Erick Thohir namun hanya Budi Gunawan saja yang tidak.

Yunarto Wijaya mengaku jujur ia tak mengetahui konteks dari kehadiran Budi Gunawan.

“Iya orang bisa berspekluasi banyak ya, kalau Mas Pramono Anung saya sepikir memang selalu mendampingi presiden, atau kalau Erick Thohir simbolisasi ketua TKN,” ucap Yunarto Wijaya.
“Kehadiran Pak Budi Gunawan saya tidak tahu dalam kontesk apa,” imbuhnya.

Yunarto Wijaya lantas membeberkan analisannya terkait permasalahan tersebut.

Ia menilai Budi Gunawan mungkin saja terlibat sebagai sosok dibelakang layar yang mengkompromikan pertemuan Prabowo dan Jokowi.

“Tapi sangat mungkin saja Pak Budi Gunawan yang orang ikut terlibat dalam proses kompromi di belakang layar,” jelas Yunarto Wijaya.

Penilaian tersebut didasari karena Budi Gunanawan merupakan sosok senior yang kerap menjembati banyak pihak.

“Proses pra pertemuan yang mungkin saja melibatkan Budi Gunawan, karena sosok senior juga sering dianggap bisa menjembati berbagai pihak,” tutur Yunarto Wijaya.

“Baik dalam konteks dulu beliau sebagai Jenderal Polisi atau konteks di BIN misalnya,” imbuhnya.

Yunarto Wijaya kembali menegaskan Budi Gunawan mungkin terlibat dalam merancang pertemuan Prabowo dan Jokowi hari ini.

“Saya pikir mungkin saja ada keterlibatan beliau dalam mempertemukan komunikasi hingga hari ini terjadi,” kata Yunarto Wijaya.

Sinyal pertemuan diungkapkan Jokowi sebulan lalu

Presiden terpilih Jokowi rupanya sudah memberi sinyal bakal ada rekonsiliasi antara dirinya dengan Prabowo.

Sinyal ini diberikan Jokowi saat melakukan kunjungan kerja ke Bali pada Jumat (14/6/2019) silam.

Ini diawali dari awak media yang mengkonfirmasi adanya usulan dari akademisi-akademisi di Yogyakarta yang meminta Sri Sultan Hamengku Buwono X memimpin rekonsiliasi keduanya di Kraton Yogyakarta.

Rektor UIN Sunan Kalijaga, yudian Wahyudi mengatakan Keraton Yogyakarta menjadi yang paling tepat untuk rekonsiliasi.

Terlebih momennya sangat tepat pula yakni jelang putusan MK soal sengketa Pilpres 2019 serta masih nuansa halal bi halal usai Idul Fitri 1440 H.

Merespon itu, menurut Jokowi rekonsiliasi bisa dilakukan dimana saja. Mantan Wali Kota Solo ini bahkan menyinggung rekonsiliasi bisa sembari menunggang kuda.

“Rekonsiliasi bisa dimanapun juga. Sambil naik kuda bisa, naik MRT bisa. Yang paling penting sama-sama kerka sama memajukan negara ini,” tegas Jokowi di Pasar Sukawati Bali, Jumat (14/6/2019) silam.

Seperti telah diberitakan sebelumnya ‎hari ini, Sabtu (13/7/2019) Jokowi bakal bertemu dengan Prabowo di MRT Lebak Bulus.

Peristiwa bersejarah ini diharapkan bisa membuat teduh situasi politik yang sempat memanas.

Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Ma’ruf Amin, Usman Kansong membenarkan adanya pertemuan antara kedua tokoh tersebut.

“‎Benar beredar kabar soal kemungkinan pertemuan Jokowi dengan Prabowo. Cuma dimana dan pukul berapa belum ada pakar. Pak Jokowi sendiri pukul 10.00 ada jadwal mengunjungi stasiun MRT Lebak Bulus. Apakah bila ada pertemuan, pertemuan itu berlangsung di Lebak Bulus atau di MRT atau di tempat lain, belum ada kabar pasti juga,” papar Usman Kansong saat dikonfirmasi awak media melalui pesan singkat.

Kabar soal pertemuan keduanya sempat menyeruak setelah pemungutan suara digelar pada 17 April 2019 lalu.

Hingga keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas sengketa Pilpres 2019 keluar, keduanya belum kunjung bertemu.

Kedua belah pihak dari Jokowi yang diwakili TKN dan Prabowo diwakili Gerindra mengaku telah menjalin komunikasi antar kedua pihak.‎

Sejak pagi hari, Pramono Anung melalui twitternya sudah mencuitkan tanda-tanda pertemuan untuk membuat bangsa semakin kuat, maju, adil dan makmur.

“Semoga hari ini menjadi hari yang dikenang buat proses demokrasi yang semakin dewasa.. Mudah2an pertemuan yang terjadi membuat bangsa ini semakin kuat, maju, adil dan makmur#pertemuan#indonesia#AlFatihan,”

Terungkap alasan Presiden terpilih Jokowi mengajak Prabowo untuk bertemu di dalam MRT.

Pada Sabtu (13/7‎/2019) Jokowi janjian bertemu dengan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus lanjut naik MRT ke Stasiun Istora Mandiri lalu berjalan kaki ke FX Sudirman untuk makan siang bersama.

‎”Alhamdulilah‎ pada pagi hari ini, kita bisa bertemu dan mencoba MRT karena saya tahu Pak Prabowo belum pernah coba MRT,” ungkap Jokowi lagi.

Ditanya awak media, kenapa memilih bertemu di MRT?
Jokowi menjawab pertemuan dimanapun bisa.

“Sebetulnya pertemuan dimanapun bisa. Di MRT bisa, mau di rumah Pak Prabowo bisa, di Istana bisa. Tapi kami sepakat memilih disini,” tambahnya.

‎Lantas bagaimana respon dari Prabowo?
Rupanya Prabowo sangat senang bisa naik MRT untuk pertama kalinya.

Bahkan Ketua Umum Partai Gerindra ini mengapresiasi pemerintahan Jokowi yang bisa membangun MRT.
“Bismillah, Assalam, Salam Sejahtera. Yang saaya hormati Bapak Jokowi Presiden RI. Saudara-saudara sekalian sebangsa dan setanah air. Hari ini sebagaimana saudara saksikan saya dan Pak Jokowi bertemu di atas MRT. Ini juga gagasan beliau. Beliau tahu saya belum pernah naik MRT, jadi saya terima kasih. Saya naik MRT luar biasa, kita bangga Indonesia akhirnya punya MRT yang bisa membantu kepentingan rakyat‎,” jawab Prabowo.

 

Penulis: Rr Dewi Kartika H
Editor: Mohamad Afkar Sarvika
Foto: TribunJakarta

 

Yunarto Wijaya: Jokowi-Prabowo Ingin Bergerak Bersama untuk Indonesia

Jakarta, Beritasatu.com – Pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan, pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto di Stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta, Sabtu, (13/7/2019) merupakan simbol awal dari rekonsiliasi nasional. Menurut Yunarto, pertemuan keduanya di Stasiun MRT lalu naik MRT merupakan simbol untuk bergerak bersama.

“Yang menarik perhatian saya, mengapa mereka bertemu di Stasiun MRT Lebak Bulus lalu naik MRT ke Senayan. Pertemuan bukan di ruang tertutup, bukan di Istana. Pertemuan berlangsung di tempat rakyat. MRT itu bergerak. Ini saya melihat bahwa mereka mununjukkan akan bergerak bersama untuk membangun bangsa,” ujar Yunarto kepada Beritasatu.com di Jakarta, Sabtu (13/7/2019).

Selain itu, Yunarto juga melihat bahwa transportasi massal MRT merupakan tempat rakyat biasa beraktivitas. Kedua kubu pendukung Jokowi dan Prabowo pasti ada di Stasiun MRT tersebut.

Itu artinya bahwa Jokowi dan Prabowo ingin menunjukkan kepada pendukung masing-masing bahwa mereka telah bertemu. Prabowo dan Jokowi menunjukkan kepada pendukungnya bahwa mereka akan bersama-sama bergerak membangun Indonesia.

Ketika ditanya, apakah artinya bergerak bersama itu berada dalam satu gerbong koalisi, Yunarto mengatakan, bisa iya, bisa juga tidak. “Bisa jadi makna dari bergerak bersama itu dalam satu gerbong koalisi. Tetapi, bisa juga Prabowo tetap sebagai oposisi yang memberikan kritik membangun bagi pemerintahan Jokowi.

Menurut Yunarto, pertemuan Jokowi dan Prabowo ini tidak mungkin berlangsung tanpa direncanakan lebih dulu. Pertemuan itu, ujarnya, pasti sudah didahului dengan pertemuan-pertemuan sebelumnya, terutama di antara tim masing-masing.

Yunarto juga mengatakan, pertemuan Jokowi-Prabowo hari ini juga akan semakin memperlihatkan apakah ada pihak ketiga yang selama ini memanfaatkan perseteruan dua kubu pada Pilpres 2019. Jika ada pihak-pihak yang mengomentari miring pertemuan ini, ujarnya, berarti benar dan semakin jelas bahwa selama ini ada pihak ketiga yang ingin memperkeruh suasana.

“Saya yakin, pendukung dua kubu akan semakin tenang setelah pertemuan ini. Kalau ada pihak yang tidak menerima pertemuan Jokowi-Prabowo serta mengeluarkan pernyataan miring, itu semakin jelas menunjukkan siapa pihak ketiga itu,” ujarnya.

 

Sumber: BeritaSatu.com
Foto: Suara Pembaruan / Joanito De Saojoao

Pembelajaran dari Pilpres 2019

Mahkamah Konstitusi menolak gugatan sengketa hasil Pilpres 2019 yang  diajukan pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandi. Resmi sudah, Jokowi-Amin  akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2019-2024

Dalam pernyataan persnya, Prabowo menyatakan menghormati keputusan MK.  Meski demikian, ia masih membuka kemungkinan menempuh jalur konstitusional  lain. Di kalangan pendukungnya, reaksinya beragam. Sebagian memilih move
on. Sebagian lagi bergeming. Mereka kukuh dengan pendiriannya bahwa pemenang pilpres melakukan kecurangan.

Narasi curang dipupuk sejak awal masa kampanye dengan rupa-rupa argumen. Narasi curang pula yang jadi pendorong sebagian pendukung 02 melakukan berbagai penolakan hasil pilpres yang berbuntut kerusuhan Mei lalu.

Buah strategi

Keteguhan sikap di sebagian pemilih Prabowo-Sandi adalah implikasi wajar  dan strategi kampanye. Dalam konteks ini, pasangan 02 memanfaatkan betul modal dasar dari luberan Pilpres 2014 dan juga Pilkada DKI 2017. Karena menghadapi petahana mereka juga menyoal kinerja ekonomi. Ini pilihan yang masuk akal. Sebab, di berbagai survei, di bidang inilah tingkat kepuasan pemilih terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Kalla paling rendah diantara bidang-bidang lainnya. Hasilnya, trilogi isu andalan: agama (kriminalisasi ulama dan atau bagian dari PKI), ekonomi (kegagalan dan atau ketakberpihakan di bidang ekonomi), serta etnisitas (dominasi etnis Tionghoa dan atau ancaman aneksasi China)

Trilogi isu ini dipasarkan dengan pendekatan emosional negatif (terutama rasa marah). Menurut Steenbergen dan Ellis (2006), rasa marah hanya terpicu jika mampu menunjukan bahwa politisi yang punya wewenang tak mau dan atau tak mampu menangani masalah yang dipersoalkan. Terutama soal ekonomi dan moralitas. Dalam konteks Pilpres 2019, pendukung Prabowo-Sandi merentangkan tanggung jawab petahana secara luas sehingga setiap hal dan di berbagai bidang yang dianggap keliru ada kesalahan atau bencana selalu berujung :”semua salah Jokowi”.

Sebagian pemilih 02 menginternalisasi trilogi isu dengan cara melakukan rasionalisasi pilihan. Sebagaimana disebut Lodge dan Tober (2007), rasionalisasi itu dilakukan dengan memberikan penilaian lebih kuat (baca: lebih positif) pada isu yang konkruen dengan yang mereka yakini sebelumnya. Sekaitan itu, pemilih juga termotivasi mencari informasi yang  selaras dengan apa yang mereka yakini dan mengabaikan yang tak konkruen dengan apa yang mereka yakini (conformation bias). Dan, menerima tanpa sikap kritis setiap informasi yang konkruen dengan keyakinan yang sudah  ada sebelumnya. Sebaliknya, memeriksa secara cermat dan atau memberi  penilaian secara tak adil pada informasi yang tidak konkruen dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya (disconfirmation bias).

Sebagai konsekuensinya, pemilih yang mempunyai keyakinan kuat terhadap sesuatu hal akan bersikap lebih ekstrem ketika dihadapkan kepada informasi yang bersifat pro dan kontra karena mereka mengabaikan yang tak konkruen dan menerima begitu saja informasi yang selaras dengan keyakinan yang sudah ada sebelumnya (attitude polarization). Pokok pentingnya, rasionalisasi ini lebih kuat terjadi pada orang-orang yang memahami secara mendalam tentang isu-isu politik daripada yang kurang memiliki pengetahuan dan atau penalaran yang canggih tentang isu-isu politik.

Strategi lain yang diterapkan Prabowo-Sandi adalah menggencarkan kampanye negatif. Ini strategi generik dalam setiap pemilu dan kubu Jokowi-Amin juga melakukannya. Kampanye negatif diyakini mampu mendorong pemilih yang sebelumnya lebih condong ke kandidat lawan bergeser preferensinya, minimal jadi golput. Kampanye negatif juga diniatkan memengaruhi swing voters agar punya penilaian negatif terhadap kompetitor. Masalahnya, kampanye negatif tak selalu mendorong pemilih menelusuri informasi lebih lanjut dan atau menurunkan partisipasi pemilih. Temuan Klein dan Ahluwalia (2005), misalnnya, menunjukkan pesan-pesan negatif hanya efektif pada pemilih yang memang sebelumnya tak suka terhadap kandidat yang jadi sasaran pesan negatif itu. Temuan Meffert dkk (2006) juga menunjukkan, pesan-pesan negatif bisa diresepsi dengan cara sebaliknya. Pemilih justru menilai buruk terhadap pesan negatif ini dan atau mendiskon (kredibilitas) pesan- pesan itu.

Meski demikian, pesan negatif bukan berarti tak ada gunanya. Menurut Redlawsk dkk (2010), kegagalan pesan negatif bekerja mempersuasi pemilih lebih dikarenakan tak mencapai apa yang disebutnya sebagai tipping poin affection. Ketika titik kritis untuk melenting ini tercapai, pemilih akan terdorong untuk mengevaluasi ulang preferensinya. Disinilah peran utama kabar bohong yang berperan bak “obat kuat”. Dalam konteks Pilpres 2019, pesan-pesan negatif lebih banyak bermuatan kabar bohong. Intensitasnya tinggi dan perluasan temanya dalam. Derasnya semburan kabar bohong juga buah dari sikap pemilih yang melakukan disconfirmation bias.

Sepanjang pesan itu selaras dengan apa yang mereka yakini dan atau menguntungkan capres mereka, akurasi konten tak lagi dipersoalkan dan karena itu juga dengan cepat dibagikan di berbagai medium komunikasi, terutama medsos dan media percakapan. Tak heran, jika hingga taraf tertentu, kampanye negatif berhasil memengaruhi evaluasi sebagian pemilih atas kandidat capres, terutama Jokowi-Amin. Untuk mencegah pesan negatif dan kabar bohong melampaui titik kritis melenting, Jokowi secara aktif melakukan berbagai aksi simbolik untuk menunjukan dirinya Muslim taat dan juga dekat dengan ulama. Di tingkatan pendukung, pemilihnya juga ikutan memasarkan pendekatan emosional yang negatif. Mulanya, mendorong terbangunnya rasa cemas yang lebih umum (misalnya: adanya ancaman terhadap demokrasi atau kebebasan). Belakangan rasa takut dibangkitkan dengan menonjolkan peran dan agenda dari kelompok terorganisir (HTI, FPI, dan lainnya) yang menjadi bagian pendukung Prabowo-Sandi.

Pada skala tertentu, respon pendukung 01 terhadap serangan opini yang dilancarkan kubu (pendukung) 02 justru mengentalkan keyakinan di sebagian pemilih Prabowo-Sandi bahwa Jokowi dan atau para pendukungnya adalah  “musuh-musuh secara ideologis”. Fakta bahwa cawapres Jokowi seorang ulama dan juga ketua MUI tak menghalangi keyakinan itu. Sebaliknya, sikap pemilih 02 juga meningkatkan eskalasi kemarahan di sebagian pendukung Jokowi-Amin. Setidaknya ada dua isu yang memicu kemarahan ini. Pertama, presentasi diri sebagian kelompok pendukung 02 bahwa merekalah yang  Islam-nya paling benar. Dan, penjulukan kafir atau sesat ke setiap orang atau golongan yang tak sepaham dengan pendirian mereka. Kedua, penjulukan sosial. Persisnya, Jokowi-Amin diidentikan dengan istilah “dungu” dan atau karena butuh nasi bungkus atau uang transpor.

Berbagai kesamaan

Secara umum dapat dikatakan , pemilih 01 dan 02 berbagi kesamaan dalam sejumlah hal. Pertama, mereka sama-sama meyakini telah melakukan pilihan tepat. Mereka meyakini itu karena merasa disarkan informasi akurat dan  argumentasi kuat. Yang mereka abaikan adanya bias preferensi awal yang memengaruhi cara mereka mengolah informasi yang datang belakangan. Berbekal keyakinan ini mereka mulai memiliki kawajiban mulia untuk “meluruskan” pemilih lawan yang dinilainya keliru atau terpedaya. Penolakan dari pemilih kompetitor menstimuli kemarahan baru. Dan, ini menjadi personal sifatnya karena yang kemudian dipersoalkan adalah sikap dari teman, kolega atau kerabat.

Kedua, sebagai lanjutan dari aktivasi merasionalisasi pilihan, sebagian pemilih yang dapat digolongkan sebagai die hard menjelma menjadi pemuja. Mereka menganggap capres pilihannya sang “juru selamat”. Disadari atau tidak, baik Jokowi maupun Prabowo meresonansinya. Sekurangnya mereka melakukan hal itu untuk memastikan dan memelihara dukungan dari para pemilihnya. Terkait ini, para pemuja di kedua kubu sama-sama tak menyukai pemilih kritis yang sekubu dengan mereka, karena pemilih kritis tak sungkan mengkritik capres dan memperolok-olok perilaku para pemuja. Bedanya, pemilih kritis di kubu 01 lebih ekspresif dan terbuka mengumbar kritik dan olok-olok itu, sementara pemilih kritis di 02 lebih sering melakukannya di forum terbatas.

Lebih daripada itu, ketiga, di sebagian pemilih 01 ataupun 02 juga tumbuh semangat “yang penting menang dulu”. Implikasi praktisnya, mereka memaklumi dan bahkan turut memberikan pembenaran atas perilaku capres masing-masing meski secara personal bertentangan dengan standar mereka. Pada tingkat gagasan, mereka juga mengadopsi gagasan capres yang mereka
dukung meski sebelumnya bisa jadi justru beroposisi terhadap kebijakan itu. Perilaku ini yang menjelaskan mengapa sebagian pemilih tiba-tiba terlihat tak konsisten dengan ucapan/sikap yang selama ini ditunjukkan ke orang lain.

Keempat, ada sebagian pemilih dari kedua kubu yang melakukan pemosisian ulang dalam memaknai konstetasi Pilpres 2019. Ini terjadi ketika rasionalisasi atas pilihan mereka mengalami gangguan. Terpaan berbagai informasi dan atau perubahan sikap capres membuat mereka merasa capres yang didukung bukanlah figur tepat untuk dipilih. Tapi untuk berbalik arah
atau golput, mereka juga tak mungkin melakukan karena berbagai alasan. Dalam situasi seperti ini, mereka memosisikan pilpres tidak lagi soal 01 vs 02, tetapi konstetasi nilai-nilai dan atau pertarungan antara kelompok mereka dan kelompok yang diposisikan sebagai musuh. Sebagian pemilih 02, misalnya, belakangan memaknai pilpres sebagai medan pertempuran untuk
membela agama atau ulama. Di kalangan pemilih 01, ada yang meyakini pilpres ini pertaruhan menyangkut masa depan keberagaman dalam beragama atau kebhinekaan dalam berbangsa..

Cara pandang ini menjadi energi baru dan sekaligus perisai ketika menghadapi informasi yang tak konkruen dengan apa yang sebelumnya mereka yakini. Meski berisiko terlalu berlebih-lebihan, transformasi cara pandang ini bisa juga dianggap sebagai sebuah pembajakan ruang kontestasi. Salah satu implikasinya: pergeseran komando. Arahan dan imbauan capres akan diabaikan jika tak sejalan dengan kepentingan (baru) yang mereka yakini sedang diperjuangkan.

Kenormalan baru

Konsekuensi logis dari “pembajakan” ruang kontestasi adalah terbukanya ruang bagi kelompok-kelompok kepentingan politik-ekonomi melakukan manuver politik. Mereka tak saja mendistorsi perhelatan demokrasi, tapi sangat mungkin juga malah menginisiasi berbagai aktivitas yang memungkinkan dilakukannya berbagai tindakan non-demokrasi, seperti kerusuhan dan
pembunuhan. Lebih daripada itu, perkubuan yang mengeras di sebagian pemilih membuat ketegangan politik tak mereda meski pemilu sudah berakhir. Sekurangnya, ada dua sumber yang berpotensi memicu ketegangan ini. Pertama, kolompok pendukung Prabowo yang terorganisasi dan atau tersatukan dengan narasi seputar “membela agama dan atau membela ulama”. Sebagai kelompok kepentingan, pelibatan dalam dinamika politik tak saja berguna untuk mendesakkan agenda politiknya, tetapi bermanfaat sebagai sarana “merawat” dan “mengembangkan” mesin politiknya. Pada titik ini, pertemuan kepentingan dengan para “penumpang gelap” yang punya motif ekonomi atau politik dapat saja terjadi.

Pemicu kedua berasal dari para pemilih 01 dan 02 yang sudah tak merasa terkait dengan pilihannya. Ini terjadi jika pemerintahan Jokowi-Amin mereka nilai sudah terlalu “pragmatis” dan atau membuka ruang bagi berlakunya pembatasan demokrasi. Mereka memang tak mampu secara langsung menggerakkan massa, tetapi mampu memengaruhi pembentukan opini publik, terutama di jalur media massa atau medsos. Pemicu ketiga berasal dari kontestasi di elit politik sendiri. Titik masuknya bisa saja soal komposisi dan atau “jatah” dalam kabinet. Namun, juga bisa karena proyeksi kontestasi Pemilu 2024 yang terlalu dini. yang terakhir ini memicu potensi “ketakdisiplinan”, baik di tubuh kabinet maupun di parlemen.

Dus, tak ada pilihan mudah bagi Jokowi-Amin. Pilihan-pilihan yang terlalu jauh dari daya terima rata-rata pemilih harus dihindari. Pilihan, membentuk kabinet “super pelangi” alias mencakup hampir semua peserta pemilu, misalnya selain tak disukai juga tak menjamin terciptanya kondisi politik yang positif. Tapi, pada saat yang sama, Jokowi perlu menunjukkan
kepemimpinannya dengan berani mengambil keputusan yang tak populer demi memelihara kesatuan dan keberagaman berbangsa maupun dalam konteks untuk melentingkan daya saing bangsa. Singkatnya, keriuhan akan terus terjadi. Dan, inilah kenormalan (baru) dalam perpolitikan di Tanah Air. Selamat mengarunginya.

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Opini Kompas Cetak tanggal 5 Juli 2019