Ahok Bakal Bernasib seperti Foke?
/0 Comments/in Liputan Media, Pilgub DKI 2017Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya tidak setuju opini itu
Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya tidak sependapat dengan opini yang menyebutkan nasib Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan sama seperti Fauzi Bowo (Foke) di pilkada tahun 2017 nanti.
“Ada orang mengatakan bahwa pada tahun 2012 elektabilitas Foke paling tinggi, tapi jungkir balik saat pemilihan. Mereka bilang kejadian itu akan sama dengan Ahok. Saya katakan, memang masih mungkin Ahok bisa dikalahkan. Tapi menyamakan Ahok dengan Foke saya tidak setuju. Yang menjadi faktor utama bagi incumbent adalah tingkat kepuasan publik bukan elektabilitas, dan itu berbeda antara Ahok dan Foke,” kata Yunarto di kantor Charta Politika Indonesia, Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (30/3/2016).
Yunarto mengatakan dari hasil survei, kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ahok jauh lebih tinggi dibandingkan saat Foke persiapan maju lagi di pilkada 2012. Jelang pilkada tahun itu, tingkat kepuasan masyarakat hanya 42 persen sampai 47 persen.
“Kalau tingkat kepuasan publik di atas 50-60 persen, biasanya peluang menangnya tinggi, tapi kalau di bawah 50 persen, peluang kalahnya sangat besar. Dan kepuasan terhadap kinerja Ahok mencapai 61 persen, sementara yang sangat puas adalah 21,8 persen responden,” kata Yunarto.
Menurut Yunarto figur Ahok merupakan magnet bagi publik untuk mendukungnya menjadi gubernur Jakarta periode 2017-2022.
“Pilkada di DKI ini lebih cenderung melihat figur, karena tingkat rasionalitas penduduknya tinggi. Dan itu juga tentu didukung oleh kepuasan terhadap kinerja. Kita lihat saja, hanya ada 12,5 persen saja yang tidak puas dengan kinerja Ahok dan Wakilnya Djarot,” kata Yunarto.
Sumber : Suara.com
Djarot Masih Diminati Warga Jakarta Jadi Wakil Gubernur, Haji Lulung Diurutan Ketiga
/0 Comments/in Liputan MediaCharta Politika Indonesia menyebutkan ada beberapa nama yang potensial untuk menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017 mendatang.
Dari sejumlah nama, berdasarkan survey yang dilakukan Charta Politika, Wakil Gubernur DKI Jakarta pertahana Djarot Saiful Hidayat masih paling tinggi dipilih responden.
“Mungkin karena sosok pertahana, Djarot masih menjadi wakil gubernur yang paling banyak dipilih. 11,8 persen responden memilihnya,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunanto Wijaya dalam rilis “Siapa Lawan Ahok” di Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (30/3/2016).
Selanjutnya, mantan Ketua KPK, Abraham Samad dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana, juga menjadi nama yang menyusul tingkat keterpilihan Djarot.
“10 persen responden pilih Abraham Samad jadi wakil gubernur. Selanjutnya, Haji Lulung yang dipilih 7,5 persen responden,” katanya.
Sedangkan, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budiartono yang menjadi bakal calon wakil gubernur bersama Basuki Tjahaja Purnama melalui jalur perseorangan, tingkat elektabilitasnya sama dengan Abraham Lunggana.
“Pak Heru punya elektabilitas sebagai wakil gubernur yang sama dengan Haji Lulung yaitu 7,5 persen,” kata Yunanto.
Namun, pada survey yang digelar sejak 15 Maret hingga 20 Maret 2016 dan mengambil sampel 400 responden dari seluruh kota administrasi di Jakarta serta Kepulauan Seribu, 37 persen responden masih belum menentukan pilihan calon wakil gubernur.
Penulis: Valdy Arief
Editor: Adi Suhendi
Sumber : Tribunnews
Deparpolisasi Saat Ini Sudah Terjadi di Indonesia
/0 Comments/in Liputan MediaDirektur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, bahwa saat ini di Indonesia telah terjadi deparpolisasi. Karena menurutnya, yang disebut deparpolisasi ialah ketika warga tidak lagi merasa dekat dengan Partai Politik tertentu.
“Gejala psikologis ketika warga merasa jauh dengan partainya dan tidak mau diidentifikasi dengan Parpol tertentu. Rasa kedekatan konstituen dengan partai tertentu ini telah terjadi deparpolisasi,” ujar Yunarto pada dialog kenegaraan, di komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (23/3).
Yunarto juga mengatakan, bahwa saat ini kepercayaan publik terhadap Parpol semakin rendah. Bahkan, lanjutnya, dari hasil survey yang ada, masyarakat lebih menginginkan orang yang maju dari jalur independen dibandingkan yang diusung Parpol.
“Tingkat kepercayaan publik semakin rendah terhadap Parpol, hampir semua survey menempatkan DPR dan Parpol di posisi terendah. Masyarakat lebih menginginkan calon dari jalur independen dari hasil survey. Bagaimana ini, karena Parpol sebagai badan dan DPR sebagai rumah dari Parpol justru paling rendah tingkat kepercayaannya di masyarakat,” jelasnya.
Menurut Yunarto, deparpolisasi yang terjadi juga karena Parpol tidak dapat menjalankan fungsinya secara baik. Sebabnya antara lain, rekruitmen politik yang dilakukan Parpol juga masih melibatkan mahar politik.
“Mana mungkin bicara rekruitmen politik ketika mahar masih ada. Ketika bicara deparpolisasi mengamcam demokrasi, ya aktornya partai itu sendiri,” tegasnya.
Lebih jauh Yunarto juga mengatakan, calon independen tidak ada hubungannya dengan deparpolisasi. Menurutnya, dalam sistem Presidensial memang diperbolehkan calon pejabat berasal dari jalur independen.
“Dalam sistem presidensial harusnya diperbolehkan calon independen. Berbeda dengan sistem Parlementer yang semuanya harus bersumber dari Parlemen,” tandasnya
Sumber : beritaempat.com



