Benar atau Salah Jalur Independen Bukan Lagi Bahasan Pilkada DKI 2017

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tak perlu lagi membahas perihal benar atau salah jalur independen dalam pilkada. Terutama perihal pencalonan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok lewat jalur perseorangan.

“Intinya menurut saya sudah proses dialektika proses independen sudah selesai. Jangan masuk ke sana (perdebatan jalur independen),” kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).

Jika membaca sejarah, Yunarto menuturkan antara PDI-P dengan Ahok dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 bukan perbedaan cara pandang kinerja. Namun lebih ke cara pandang prosedur.

Ahok merasa bisa mempertemukan partai dengan Teman Ahok. Sementara di sisi lain PDI-P memandang Ahok harus melewati mekanisme partai.

“Saya pikir yang harus dikompromikan prosedural dan teknis. Jangan lagi benar dan salah. Itu kurang elok statement seperti itu,” ungkap Yunarto.

Menurutnya, ada wilayah abu-abu yang sebenarnya bisa mempertemukan antara Ahok dan PDI-P. Pertama, jika Ahok tetap memilih jalur independen, PDI-P dalam hal ini bisa membuat peluang Heru Budi, bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta bisa masuk menjadi kader partai. Pasalnya itu bisa jadi bisa mewakilkan partai.

“Kalau Ahok masuk jalur parpol dan teman-teman partai lain, bagaimana kemudian aspirasi Teman Ahok bisa ditampung,” kata Yunarto. (Baca: Kalau Ahok Akui Jalur Independen Salah, PDI-P Siap Menjagokannya)

Aspirasi itu mulai dari pengakomodiran peran Teman Ahok dalam kampanye. Selain itu juga aspirasi setelah Ahok menjabat kembali sebagai gubernur.

“Harusnya varian seperti itu dimunculkan, bukan setback (kembali) seperti Bang Hugo tadi katakan itu (jalur independen) salah. Itu mengulang perdebatan independen bagian deparpolisasi atau independen lebih buruk,” kata Yunarto.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Andreas Hugo Pareira sebelumnya mengatakan bahwa partainya masih membuka peluang untuk mengusung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersama Djarot Saiful Hidayat sebagai calon kepala daerah pada Pilkada DKI 2017.

Namun, Ahok harus mengakui terlebih dahulu bahwa jalur independen yang ditempuhnya bersama kelompok relawan Teman Ahok adalah langkah yang salah.

Sumber : Kompas.com

DPR Dianggap Tak Hormati Pengakuan Terhadap Jalur Independen

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai batas waktu tiga hari untuk verifikasi faktual pendukung calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah tidak masuk akal. Pasalnya verifikasi faktual tak mungkin cukup dilaksanakan hanya dengan waktu maksimal tiga hari.

“Itu bentuk ketidakhormatan DPR terhadap pengakuan jalur independen. Bagaiaman mungkin dia melampaui logika yang sudah dibuat oleh KPU,” kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).

KPU menargetkan waktu 14 hari untuk melakukan verifikasi faktual pendukung calon perseorangan/independen. Tenggat waktu tersebut dinilai pas, dibanding maksimal hanya tiga hari untuk melakukan verifikasi faktual.

Verifikasi faktual dilakukan dengan metode sensus, yakni menemui langsung setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya. Jika pendukung calon tak bisa ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di Kantor PPS.

Namun, jika pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukung mereka ke Kantor PPS dalam waktu 3 hari, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.

“Tapi melampaui dari keputusan KPU yang 14 hari menjadi tiga hari, itu menurut saya pendegradasian keputusan yang telah diakui negara terhadap jalur independen,” ungkap Yunarto.

Bahkan Yunarto menilai verifikasi faktual itu menyulitkan siapa pun calon perseorangan. Menurutnya secara logika tidak dapat terlaksana dengan baik di lapangan. Terlebih calon perseorangan itu bertarung dalam pilkada di kota-kota besar di mana para pemilihnya sangat sibuk.

“Tidak mungkin tiga hari kemudian digugurkan gitu dukungannya,” ungkap Yunarto.

Kebijakan verifikasi faktual ini dinilai bisa menimbulkan logika baru. Salah satunya yakni permintaan untuk melakukan verifikasi faktual serupa terhadap pemilih partai-partai politik dalam pemilihan legislatif beberapa tahun silam. “Menurut saya harus digugat sehingga tidak ganggu kesetaraan antara jalur independen dan parpol. Bukan hanya konteks DKI, tapi juga keseluruhan pilkada sampai 2018,” tegas Yunarto.

Sumber : Kompas.com

Pengamat: Akom Star Munaslub Golkar

Pemilihan calon ketua umum Partai Golkar akhirnya mengantar Setya Novanto menjadi nakhoda baru di partai berlambang beringin itu. Setnov menjadi ketua umum setelah pesaing terdekatnya, Ade Komarudin, memutuskan tak maju pada pemilihan putaran kedua.

Dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar di Nusa Dua, Bali, Selasa (17/5) dini hari, Setnov–sapaan Novanto–mendapat 277 suara. Ade berada di posisi kedua dengan 173 suara.

Posisi itu sebenarnya masih memungkinkan pemilihan untuk dilanjutkan ke putaran kedua. Sebab, aturan pemilihan memang memungkinkan calon ketua umum yang meraih dukungan di atas 30 persen dari 554 suara berhak maju ke putaran kedua.

Namun, Akom–panggilan akrab Ade–memilih tidak melanjutkan pemilihan ke putaran kedua. Ketua DPR itu memilih legawa dengan hasil pemilihan demi kepentingan Golkar.

Langkah Akom itu mendapat pujian dari pengamat politik Yunarto Wijaya. Menurut Yunarto, langkah politik Akom telah menjadi catatan penting bagi partai berlambang beringin itu.

“Bagi saya, star-nya (bintang Munaslub Golkar–Red) adalah Akom. Dia berhasil belajar dari pengalaman itu dan memutuskan untuk mundur, bukan Novanto,” ujar Yunarto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/5).

Direktur Eksekutif Charta Politika itu menjelaskan, sebenarnya banyak pemilik suara di munaslub yang ingin merapat ke Akom jika pemilihan berlanjut ke putaran kedua. Namun, Yunarto menambahkan, Akom justru tak mau head to head dengan Setnov di putaran kedua.

Yunarto melihat sikap kompromistis Akom itu justru penting bagi Golkar. Sebab, langkah itu justru mencegah Golkar dari pertarungan yang lebih keras yang biasanya muncul partai sempalan akibat kekecewaan karena kalah dalam pemilihan ketua umum. Hal itu terbukti dengan terbentuknya Gerindra, Hanura, dan Nasdem setelah Munaslub Golkar 2004 dan 2009.

“Harus diakui, ini sisi negarawan Akom yang belajar dari 2009, ketika head to head memunculkan parpol baru dan terbukti menurunkan suara Golkar,” ulasnya.

Yunarto juga mengatakan, hal yang perlu segera dilakukan Golkar di bawah komando Setnov adalah mempercepat rekonsiliasi setelah setahun lebih terbelit konflik internal. Menurut dia, semangat rekonsiliasi di munaslub harus tetap dipertahankan.

“Pasca-pertarungan luar biasa selama setahun lebih, berakhir klimaks ketika Akom mundur dan merelakan ambisinya. Minimal munas kali ini lebih steril dan jauh dari risiko perpecahan partai,” tegasnya.

Sumber : RMOL