Direktur Eksekutif Charta Politika laporkan lima akun medsos ke polisi

Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya melaporkan beberapa akun media sosial yang menyebut dirinya memanipulasi hitung cepat yang dikeluarkan oleh lembaganya ke Bareskrim Polri.

Menurut Yunarto, akun-akun itu menyebarkan hoaks berupa gambar tangkapan layar aplikasi pesan WhatsApp yang berisi percakapan antara dirinya dengan seseorang yang disebut jenderal.

“Chat palsu saya dengan jenderal siapa saya tidak tahu, karena tidak ada namanya, seperti sudah diamankan sesuatu seperti itulah,” kata Yunarto di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa.

Yunarto mengatakan, pihaknya pernah mendapat serangan hoaks serupa pada sebelum Pemilu 2019. Namun saat itu pihaknya dituduh memanipulasi survei popularitas pasangan capres-cawapres.

Sementara saat ini, dengan gambar yang sama, Yunarto dituduh melakukan manipulasi “quick count” yang dikeluarkan lembaga yang dipimpinnya.

Yunarto menyebutkan beberapa akun medsos yang turut menyebarkan gambar tersebut juga memberikan kata-kata bernada ancaman terhadap dirinya.

“Ancaman terornya macam-macam, dilaknatlah, mau diserang sniperlah. Tapi saya bukan melaporkan soal teror ini, tapi melaporkan hoaks sebelum Pemilu yang semakin menjadi-jadi setelah ‘quick count’ keluar,” katanya.

Beberapa akun medsos yang dilaporkannya ke polisi adalah akun Twitter @silvy_Riau02, @sofia_ardani, @sarah ahmad, @rif_opposite serta akun Facebook Ahmad Mukti Tomo.

Laporan Yunarto teregister dengan nomor LP/B/0382/IV/2019/Bareskrim tanggal 14 April 2019.

Dalam laporan tersebut, para pelapor dikenakan Pasal Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Elektronik, UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 27 Ayat (3) jo 45 Ayat (3) Pencemaran Nama Baik, UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP Pasal 310 KUHP, Fitnah UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang KUHP, Pasal 311 KUHP.

 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Yuniardi Ferdinand
COPYRIGHT © ANTARA 2019

Dok foto: Asep Firmansyah

https://www.antaranews.com/berita/842228/direktur-eksekutif-charta-politika-laporkan-lima-akun-medsos-ke-polisi

 

Usai Buka-bukaan soal Data Quick Count, Yunarto Wijaya: BPN Kapan Buka?

 

TRIBUNNEWS.COM – Menjawab keraguan sejumlah pihak soal data quick count Pilpres 2019 yang dirilis, Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi) bersama delapan anggotanya akhirnya menggelar konfrensi pers Expose Data Hasil Quick Count Pemilu 2019 di Kebon Sirih, Jakarta, Sabtu (20/4/2019) kemarin.

Mengutip Tribunnews.com, Ketua Persepi, Philips J Vermonte menyampaikan metodologi yang digunakan dalam melaksanakan hitung cepat.

“Metode kita ngambil 2.000, 3.000 atau 4.000 TPS. Lalu ada numerator yang kita kirim ke TPS, kita memobilisasi lebih kurang 2.000 orang,” kata Philips.

Peran numerator di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) hanya melaporkan penghitungan form C1 plano dari TPS.

Dalam keterangan mereka, numerator ditugaskan melakukan foto C1 Plano untuk kemudian dikirim ke server pusat.

Philips J Vermonte lantas menyebut hasil quick count setiap lembaga tidak akan sama, itu karena adanya margin of error paling tidak satu persen.

“Yang jelas hasil penghitungan quick count biasanya tidak deviasi jauh dengan hasil penghitungan manual (rekapitulasi) KPU),” kata Philips.

Persepi menambahkan hasil quick count atau exit poll bukan final, yang mana referensinya tetap Komisi Pemilihan Umum.

Usai ekspos data quick count, Yunarto Wijaya, Sekretaris Jenderal Persepi sekaligus Direktur Charta Politika menjawab pertanyaan seorang warganet di akun Twitternya, Minggu (21/4/2019).

Seorang warganet awalnya menantang apakah ada lembaga survei yang bersedia menjadi volunter untuk membuka sampel data dan sumber pembiayaan quick count Pilpres 2019.

 

Editor: Hanang Yuwono
Sumber: TribunSolo.com

Foto dok. Tribunnews.com/Imanuel Nicolas Manafe

http://www.tribunnews.com/pilpres-2019/2019/04/21/usai-buka-bukaan-soal-data-quick-count-yunarto-wijaya-bpn-kapan-buka

Kesimpulan Hasil Quick Count Charta Politika: Jokowi Memenangi Pilpres 2019

 

Liputan6.com, Jakarta – Proses hasil hitung cepat atau quick count Pilpres 2019 yang dilakukan Charta Politika telah mencapai 99,85% data yang masuk. Berdasarkan data itu, Charta Politika menyimpulkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan memenangi Pilpres 2019.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengungkap, berdasarkan hasil quick countlembaganya, Jokowi-Ma’ruf Amin memperoleh suara 54,66% mengungguli pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang memperoleh 45,34%.

“Selisih antara kedua pasangan adalah sebesar 9,32%. Hal ini melampaui margin of error sebesar +/-1%. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin akan memenangkan Pilpres 2019 ini,” kata Yunarto dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Selasa (23/4/2019).

Menurut dia, proses updating data quick count akan terus dilakukan seiring dengan adanya penambahan data masuk. “Akan tetapi, apabila dilihat dari grafik stabilitas suara, penambahan data masuk tidak akan menimbulkan perubahan signifikan terhadap hasil quick count secara keseluruhan,” ujar Yunarto.

Metodologi Quick Count

Populasi quick count Charta politika merupakan seluruh pemilih di seluruh TPS (tempat pemungutan suara). Sampel yang digunakan sebanyak 2.000 TPS dipilih secara acak dari total populasi TPS (809.497) di seluruh Indonesia secara proporsional.

Dengan sampel sebesar 2.000 TPS, tingkat kepercayaan quick count sebesar 99% dengan toleransi kesalahan (margin of error) sebesar +/- 1%. Artinya, perolehan suara kandidat dari hasilquick count ini bisa bergeser ke atas atau ke bawah hingga sebesar 1%.

Metode penarikan sampel dipilih dengan metode stratified-cluster random sampling dari populasi tersebut. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menyebar 2.000 relawan di 2.000 TPS terpilih.

Setiap relawan memonitor pemungutan suara sejak dibukanya TPS sampai penghitungan suara. Hasil penghitungan suara(C1) dikirim kepusat data, kemudian data ditabulasi dan ditampilkan secara real time.

RILIS QUICK COUNT PILPRES & PILEG 2019

Berikut Laporan Quick Count Pilpres & Pileg 2019 Charta Politika Indonesia:

  1. Data Pilpres sudah 100%
  2. Lampiran penjelasan Margin of Error (MoE) dan level signifikansi Per-Provinsi
  3. Data Pileg 98.35% data masuk
Icon

Laporan Quick Count - Pilpres dan Pileg 2019 2.60 MB 3879 downloads

Berikut Laporan Quick Count Pilpres & Pileg 2019 Charta Politika Indonesia: Data...

Rilis Survei Nasional : “Prediksi Pemenang Pilpres & Pileg 2019”

Survei ini dilakukan untuk membaca preferensi politik masyarakat pada tanggal 5–10 April 2019 melalui wawancara
tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 2000
responden, yang tersebar di 34 Provinsi. Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage
random sampling) dengan margin of error ± (2.19%) pada tingkat kepercayaan 95%.

Survei ini memotret:

  1. gambaran umum perolehan suara dari partai-partai politik pada 17 April 2019;
  2. gambaran elektabilitas dari kandidat Capres – Cawapres;
  3. penilaian masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilu Serentak2019.

Beberapa temuan yang diperoleh adalah:

Icon

Rilis Survei Nasional : Prediksi Pemenang Pilpres & Pileg 2019 1.20 MB 413 downloads

Survei ini dilakukan untuk membaca preferensi politik masyarakat pada tanggal 5–10...
Icon

Presentasi Survei Nasional : Prediksi Pemenang Pilpres & Pileg 2019 1.94 MB 424 downloads

Survei ini dilakukan untuk membaca preferensi politik masyarakat pada tanggal 5–10...

Rilis Survei Nasional, Pileg 2019: Pemilu yang Terlupakan?

Sebanyak kurang lebih 7000 calon anggota legislatif dari 16 partai yang berlaga saat ini sedang berusaha untuk duduk di DPR RI. Akan tetapi hingar bingar pemilu legislatif terlihat kurang mendapat perhatian di masyarakat,relatif tertutup oleh riuhnya kampanye pada pemilihan presiden. Berkenaan dengan hal tersebut, Charta Politika Indonesia menyelenggarakan survei nasional preferensi politik masyarakat khusus mengenai Pemilu Legislatif. Survei ini berusaha untuk mendapatkan gambaran bagaimana gambaran perolehan elektabilitas partai-partai politik saat ini? Partai apa saja yang diprediksi akan lolos parliamentary threshold dan siapa yang diprediksi sulit lolos? Apakah masyarakat sudah yakin dengan pilihan partai politiknya? Apa saja alasan yang menjadi pertimbangan masyarakat didalam memilih partai-partai politik yang ada?

Pengumpulan data dilakukan pada 19-25 Maret 2019 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 2000 responden, yang tersebar di 34 Provinsi. Survei ini menggunakan metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ± (2,19%) pada tingkat kepercayaan 95%.

Dalam survei ini, Charta Politika menemukan beberapa temuan menarik. dan dapat diunduh di tautan berikut:

Icon

Rilis Survei Nasional, Pileg 2019: Pemilu yang Terlupakan? 1.73 MB 376 downloads

Sebanyak kurang lebih 7000 calon anggota legislatif dari 16 partai yang berlaga saat...
Icon

Rilis Survei Nasional : Pemilu yang Terlupakan? 1.11 MB 338 downloads

Sebanyak kurang lebih 7000 calon anggota legislatif dari 16 partai yang berlaga saat...

Rilis Surnas “Prediksi Hasil Akhir dan Konstelasi Isu Jelang Pemilihan Umum Serentak 2019”

Kurang dari satu bulan Pemilihan Umum Serentak Legislatif dan Presiden akan digelar. Bagaimana gambaran perolehan suara partai politik menjelang perhelatan tersebut? Bagaimana gambaran elektabilitas pasangan Capres – Cawapres yang sedang berlaga saat ini?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Charta Politika Indonesia menyelenggarakan survei nasional preferensi politik masyarakat.Pengumpulan data dilakukan pada 1-9 Maret 2019 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 2000 responden, yang tersebar di 34 Provinsi. Survei ini menggunakan metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan
margin of error ± (2,19%) pada tingkat kepercayaan 95%.

Dalam survei ini, Charta Politika menemukan beberapa temuan menarik yaitu:

Icon

Rilis Surnas “Prediksi Hasil Akhir dan Konstelasi Isu Jelang Pemilihan Umum Serentak 2019" 1.03 MB 519 downloads

Kurang dari satu bulan Pemilihan Umum Serentak Legislatif dan Presiden akan digelar....
Icon

Presentasi Rilis Surnas “Prediksi Hasil Akhir dan Konstelasi Isu Jelang Pemilihan Umum Serentak 2019” 2.29 MB 532 downloads

Kurang dari satu bulan Pemilihan Umum Serentak Legislatif dan Presiden akan digelar....

Survei Pileg Daerah Pemilihan DKI Jakarta 1, 2 dan 3

Bagaimana peta elektoral pemilu legislatif DPR RI teraktual di daerah pemilihan DKI Jakarta? Siapakah caleg-caleg yang berpotensial melaju ke Senayan? Sejauh mana popularitas caleg
terhadap tingkat keterpilihannya?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Charta Politika Indonesia melakukan survei opini publik di Daerah Pemilihan DKI Jakarta 1,2 dan 3 dengan jumlah sampel 800 responden di setiap daerah pemilihan, melalui wawancara tatap muka (face to face interview). Survei dilaksanakan pada tanggal 18 Januari -25 Januari 2019, margin of error dari survei di tiap-tiap daerah pemilihan +/- 3,4%.

Dalam survei ini, Charta Politika menemukan beberapa temuan menarik.

Press Release & Rilis Survei dapat di unduh di:

Icon

Press Release Survei Pileg Daerah Pemilihan DKI Jakarta 1, 2 dan 3 1.45 MB 507 downloads

Bagaimana peta elektoral pemilu legislatif DPR RI teraktual di daerah pemilihan...
Icon

Rilis Survei Pileg Daerah Pemilihan DKI Jakarta 1, 2 dan 3 2.63 MB 286 downloads

Bagaimana peta elektoral pemilu legislatif DPR RI teraktual di daerah pemilihan...

 

 

Rilis Surnas “Peta Elektoral Terkini Pileg & Pilpres 2019”

Bagaimana peta elektoral Pileg & Pilpres saat ini? Bagaimana elektabilitas pasangan Capres-Cawapres saat ini? Bagaiamana perolehan suara partai politik saat ini, dan peluang mereka menghadapi parliamentary threshold?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Charta Politika Indonesia survei preferensi politik masyarakat secara nasional. Periode pengumpulan data dilakukan pada 22 Desember 2018 – 2 Januari 2019 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 2000 responden, yang tersebar di 34 Provinsi. Survei ini menggunakan metode acak bertingkat(multistage random sampling) dengan margin of error ± (2,19%) pada tingkat kepercayaan 95%.

Dalam survei ini, Charta Politika menemukan beberapa temuan menarik.

Icon

Press Release Surnas "Peta Elektoral Terkini Pileg & Pilpres 2019" 1.05 MB 245 downloads

Bagaimana peta elektoral Pileg & Pilpres saat ini? Bagaimana elektabilitas pasangan...

Icon

Rilis Survei Nasional "Peta Elektoral Terkini Pileg & Pilpres 2019" 2.12 MB 290 downloads

Bagaimana peta elektoral Pileg & Pilpres saat ini? Bagaimana elektabilitas pasangan...

 

 

Pilpres 2019: Strategi Lama, Konten Baru

Hampir genap dua bulan kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 resmi bergulir. Alih-alih diramaikan oleh konstetasi gagasan (baca: arah pembangunan dan gagasan), jalannya kampanye saat ini lebih disesaki kampanye negatif dan kabar bohong.

Jika ditilik lebih jauh, kedua pasang kandidat secara umum terkesan seperti terkunci dengan strategi kampanye (pilpres) mereka pada 2014. Bukan hanya pengulangan, bahkan terjadi pendalaman dan perluasan. Jika dipadatkan, kedua kandidat sama-sama berusaha menerapkan emotional branding.

Dalam literatur pemasaran, emotional branding berfokus pada upaya menggugah perasaan dan emosi pemilih. Untuk itu kandidat sebagai brand politik harus mendemonstrasikan pemahamannya terhadap gaya hidup, aspirasi, dan inspirasi pemilih melalui pilihan narasi dan taktik komunikasi yang dilakukannya. Pemilih akan merasa terberdayakan dan terhubung. Dus, pada gilirannya membangun perasaan berkomunitas dan menumbuhkan solidaritas.

Pendalaman dan Perluasan

Pilihan tetap menjalankan strategi lama ini dapat dipahami. Secara makro, tidak terlalu banyak perbedaan yang fundamental tentang posisi kebijakan kunci. Dengan narasi berbeda, Joko Widodo dan Prabowo Subianto sama-sama menawarkan Indonesia yang digdaya, mampu berdikari, peran besar BUMN, pemerataan pembangunan, pengendalian konglomerasi, dan pemihakan kepada rakyat (rentan) miskin dengan beraneka aliran subsidi. Seperti dinyatakan Dean dkk (2015), ketika tidak ada perbedaan ideologi atau visi kebijakan yang terlalu jauh, ruang konstetasi untuk membangun diferensiasi adalah pada tawaran daya tarik emosional yang diajukan

Lebih daripada itu, polarisasi Pilpres 2014 secara bertahap telah membentuk basis pemilih yang kuat. Dalam kasus Prabowo, pemilihnya berproses bersama momen-momen politik sebelum Pilpres 2019. Tidak berlebihan menyatakan bahwa telah tumbuh rasa solidaritas dan satu komunitas dengan militansi tinggi di kalangan basis pemilihnya. Yang menjadi penggerak dan perekatnya bukanlah perioritas figur Prabowo melainkan pada isu-isu yang dimainkan. Persisnya isu-isu terkait politik identitas.

Hal yang sama terjadi pada Jokowi. Pendukungnya pun solid, tetapi belum sampai pada taraf memiliki rasa berkomunitas. Mereka terpilah-pilah dalam berbagai kelompok yang bahkan untuk sebagian punya sikap dan pandangan yang saling berlawanan. Yang jadi perekat dan penggerak mereka adalah figuritas Jokowi.

Pada Pilpres 2019, keduanya masih bertumpu pada hal yang sama: Prabowo dengan isu-isu politik identitasnya dan Jokowi dengan pesona personalitasnya. Untuk memelihara dan mengembangkan basis pemilihnya ini, kedua kandidat menggugah perasaan antusiasme di kalangan pendukungnya. Antusiasme memungkinkan pemilih berada dalam situasi yang dikenalinya dan karenanya mendorong atau menguatkan sikap partisannya (MacKuen dkk, 2007)

Perasaan antusiasme meliputi harapan kebanggaan, dan simpati (Marcus dan MacKuen, 1993). Kubu pendukung Prabowo terutama membangkitkan harapan akan kemenangan. Dan, ini sudah dimulai jauh hari sebelum kampanye resmi pilpres melalui tagar #2019gantipresiden. Ini diikuti dengan beberapa kemenangan pilkada yang kandidatnya juga mengusung tagar yang sama dan yang terpenting menggunakan pendekatan isu yang sama: isu-isu berbasis indentitas, seperti terjadi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatera Utara.

Sebaliknya, antusiasme pendukung Jokowi lebih merupakan respons terhadap harapan yang ditumbuhkan kubu Prabowo. Tagar #Jokowi2periode dan sejenisnya menjadi representasi simbolik kebanggaan pemilih atas pilihan politiknya, sekaligus merupakan wujud kekhawatiran kubu pendukung Jokowi yang mengantisipasi gerakan kampanye dini ini. Seperti dikatakan Just dkk (2007), harapan di satu pihak menumbuhkan kekhawatiran/ketakutan di pihak lain. Secara keseluruhan, terlihat tendensi strategi dasarnya. Kubu pendukung Prabowo tidak bertumpu pada figuritas Prabowo, tetapi pesan simbolik dari tagar #2019gantipresiden yang dimaknai antara lain sebagai kebangkitan Islam (politik) dan “pribumi”. Sebaliknya, kubu pendukung Jokowi bertumpu pada figuritas Jokowi. Dan, ini bisa dipahami karena posisi Jokowi sebagai petahana.

Pada Pilpres 2019, isu-isu politik identitas yang sebelumnya masih abstrak mengalami konkretisasi karena ditautakan dengan peristiwa dan kebijakan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintahan Jokowi. Keberadaan tenaga kerja asing (TKA) asal China, misalnya, dipergunakan untuk mengonkretkan pesan-pesan “bahaya aseng dan asing”.

Begitupun kasus-kasus hukum yang melibatkan sejumlah pemuka agama dimanfaatkan sebagian pendukungnya untuk mengonkretkan pesan-pesan “anti Islam”. Keberadaan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi ternyata tidak juga merontokkan pesan-pesan jenis ini. Selain karena telah ditransformasi menjadi “bela Islam”, Ma’ruf yang notabene ketua Majelis Ulama Indonesia juga di de-“sakralisasi” dengan stigma (mulai dari isu “dimanfaatkan” sampai dengan sikap oportunis untuk mengejar kekuasaan).

Konkretisasi ini di satu pihak merupakan upaya membangkitkan rasa cemas. Perasaan ini akan mendorong pemilih melepaskan sikap partisannya, lebih terbuka untuk menentukan pilihannya. Mereka terdorong untuk mempelajari lebih jauh kandidat meski output-nya tidak selalu harus berganti pilihan (MacKuen dkk, 2007). Dalam studi eksperimentalnya, Lau dkk (2007) menemukan bahwa rasa cemas terbentuk manakala ada perbedaan yang signifikan antara informasi awal yang dimiliki pemilih dan informasi baru yang diterimanya. Perbedaan ini bisa disebabkan faktor kualitas kandidat atau jarak posisi kandidat terhadap sejumlah isu. Namun, mekanisme ini terutama lebih bekerja ketika pemilih mempelajari lebih lanjut kandidat yang jadi preferensinya alih-alih kandidat yang tak diinginkan.

Dengan begitu, dapat dikatakan, konkretisasi isu-isu politik identitas diarahkan untuk mengganggu pemilih Jokowi. Gangguan ini bertujuan mendorong pembelotan pemilih partisan Jokowi alih-alih menyasar swing voters, misalnya. Dan, sebagai penantang, tentu saja bahan bakar utamanya isu-isu ekonomi. Pesimisme, ketidakmampuan, dan ingkar janji tema payungnya.

Di lain pihak, konkretisasi isu-isu politik identitas ini diarahkan untuk menyolidkan pemilihnya. Caranya dengan mentransformasi rasa cemas jadi rasa marah. Ketika pemilih merasa marah, ia tak lagi berhati-hati dalam mengolah informasi dan cenderung membangun stereotyping (Hudi dan Feldman, 2007). Tak heran jika kemudian sodoran penjulukan seperti “Poros Mekah” vs “Poros Beijing” atau “Partai Allah” vs “Partai Setan” begitu disambut karena memudahkan pemilih Prabowo membangun rasionalitas pilihan politik.

Secara keseluruhan, paduan harapan dan kemarahan kian mengkristal karena kerap mereka mendapatkan momentum untuk mengekspresikan aspirasinya dalam bentuk aksi-aksi massa dalam berbagai isu-kebijakan. Setiap ada peristiwa politik akan dikemas sedemikian rupa untuk menunjukkan adanya ancaman luar biasa buat mereka atau cita-cita pendukungnya. Juga dalam bentuk perlindungan dan pembelaan ketika ada simpatisan yang melakukan kekeliruan bicara atau melanggar ketentuan hukum.

Berbeda dengan itu, dari perspektif kubu petahana, mereka menyadari kekuatan utama bersaing ada pada figuritas yang dinilai aset terkuat dan berisiko jika disisihkan. Ini terlihat dari intensitas tindak komunikasinya yang banyak mengeksplorasi atribut personalitas Jokowi (merakyat, ramah, turun ke lapangan/membumi, dan jujur). Jika mengacu pada brand personalitas Aaker (1997), kesemuanya merupakan bagian dari dimensi ketulusan.

Personalitas seperti itu efektif pada Pilpres 2014 karena, pertama, menawarkan kebaruan (antitesis) dari personalitas kepemimpinan ala Susilo Bambang Yudhoyono (militer, gagah, intelek, dan good looking) yang sudah menjadi standar pemimpinan selama hampir 10 tahun terakhir. Dan, kedua, personalitas Prabowo (militer, mapan, tegas dan berani) relatif sebangun dengan personalitas yang ditawarkan SBY.

Pengembangan yang dilakukan pasca-2014 adalah mengedepankan dimensi kegembiraan (berjiwa muda dan bersemangat) dan kompetensi (pekerja keras). Tawaran personalitas tersebut memudahkan pemilih mengidentifikasikan dirinya pada Jokowi dan sebagian kecil lainnya mempersonifikasikan dalam bentuk “kelompok pemuja”. Problemnya, pada Pilpres 2019 ini, Jokowi adalah petahana. Sebagai petahana, kinerjanya pasti dievaluasi dari dua belah pihak: pemilihnya pada 2014 ataupun pemilih yang cenderung ke Prabowo. Tindak komunikasinya yang banyak menonjolkan dimensi baru personalitasnya dengan nge-vlog, ber-sneaker, bermotor besar, dan sejenisnya hanya menguatkan sisi personalitas sebelumnya.

Pemilih membutuhkan kebaruan dan terutama yang berkaitan dengan jabatannya, tetapi pilihannya tidak bisa terlalu ekstrem. Misalnya, menonjolkan atribut Jokowi sebagai figur yang “gagah”. Ini tidak otentik di benak pemilih dan karenanya akan diabaikan atau justru dimaknai secara berlawanan. Sebaliknya, sosok Jokowi yang andal (baca: penguasaan masalah dan responsif), misalnya, lebih sejalan dengan personalitas sebelumnya dan sesuai dengan posisinya sebagai petahana.

Selain itu, kekuatan personalitas Jokowi juga diantisipasi Prabowo dengan menghadirkan sosok Sandiaga Uno sebagai pembanding. Sosok Uno dicitrakan sebagai figur sukses, taat beragama, gaul, good looking, dan juga cerdas. Lebih dari pada itu, Uno sejauh ini mengisi panggung politik lebih banyak. Tidak sekedar untuk “menetralisasi” pesona Jokowi, tetapi juga mengalihkan atensi orang terhadap figuritas Prabowo.

Kubu Jokowi tentu saja menyadari keharusan petahana untuk unjuk kinerja. Pemilih perlu diyakinkan bahwa mereka tidak salah pilih. Kubu Jokowi memilih menggugah rasa bangga atas kemajuan Indonesia dan harapan masa depan yang lebih gemilang ditularkan. Masalahnya, pengomunikasiannya relatif kering. Penyajian lebih banyak menekankan pada angka-angka. Narasinya minim sehingga kurang efektif, terlebih kalangan pemilih yang masih galau.

Lebih daripada itu, kubu Jokowi juga berupaya membangkitkan rasa cemas dengan cara mengulik kembali personalitas dan rekam jejak Prabowo tetapi terutama untuk menunjukkan ketidakcocokan karakter Prabowo dengan posisi presiden, terutama terkait dengan isu kebhinekaan dan masa depan Indonesia. Pilihan tema ini efektif untuk memantapkan hati pemilihnya tetapi belum cukup efektif mengganggu pemilih Prabowo. Sering kali bahkan isu kebhinekaan ini dipelintir menjadi pertarungan antara “Pancasila” vs “agama” yang berpotensi menambah panas tensi dalam masa kampanye.

Titik balik

Meski efektif, pendekatan emosional buka tanpa bahaya. Bahaya pertama menyeruak ketika pengguna brand (baca: pemilih) membangun narasi-narasinya sendiri sedemikian rupa hingga terlalu jauh dari kehendak kandidat. Brand kandidat menjadi tidak otentik ketika mengalami “sakralisasi”. Atau juga jadi tidak relevan bagi kebanyakan pemilih ketika ada sekelompok kecil pemilih mengusung agenda politik sub-kelompoknya sendiri dengan “membajak” brand kandidat.

Sampai titik tertentu, hal ini mungkin masih bisa ditoleransi untuk menjaga “keutuhan” komunitas, memberi ruang ekspresi pada pendukung dan atau untuk menyediakan “vaksin” menghadapi virus-virus kampanye negatif yang dilakukan pihak kompetitor. Meski begitu, situasinya bisa berbeda 180 derajat ketika dinilai “kelebihan dosis”.

Brand politik yang berlebihan dosis akan membuat pemilih lawan yang cemas jadi berbalik marah dan karenanya menguatkan diri pada kandidat yang menjadi preferensinya. Tidak hanya itu, kondisi ini juga akan mendorong sebagian pemilihnya diliputi rasa cemas dan mendorongnya untuk mencari informasi baru tentang kandidat yang menjadi preferensinya.

Selain itu, brand kandidat juga berpotensi mengalami apa yang disebut Thompson dkk (2006) dengan istilah “DoppelgAnger brand image”. Yakni ketika komunitas, organisasi sosial, pemuka informasi, blogger, atau aktivitas politik yang memilih independen dari kedua kubu kandidat membuat narasi-narasi negatif tentang brand kandidat sebagai bentuk perlawanan budaya. Narasi ini tidak sebatas pada nama kandidat, logo, dan tagline, tetapi juga program. Di tangan mereka, brand kandidat dipelesetkan/diparodikan dan direferensikan pada simbol atau makna yang negatif dengan tendensi untuk meremehkan, menghina, menyalahkan, dan sejenisnya.

Brand yang kelebihan dosis ataupun yang dipelesetkan sama-sama mengubah makna brand yang diinginkan kendidat. Efek kerusakannya bisa tak terduga. Di titik ini, kedua kubu perlu mencermati ulang alur emosi yang dimaikannya. Kekeliruan mengantisipasi kedua bahaya tersebut bisa berakibat fatal, terlebih dalam situasi kontestasi yang kian berpolarisasi seperti saat ini.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

 

(Sumber: Kompas Cetak, Selasa 13 November 2018 Halaman 6 *opini*)

Foto dok Charta Politika.