Survei Charta Politika: Turun, Kepuasan atas Kinerja Pemerintah Jadi 62,4%

Jakarta – Lembaga survei Charta Politika menggelar survei mengenai kinerja pemerintah, baik secara keseluruhan, dalam pemberantasan korupsi, maupun penanganan pandemi COVID-19. Hasilnya, 62,4 persen responden menyatakan puas atas kinerja pemerintah, tapi sebanyak 45,3 persen menilai pemberantasan korupsi buruk.
Survei dilakukan secara tatap muka dengan metode multistage random sampling pada periode 12-20 Juli 2021. Jumlah responden dalam survei ini sebanyak 1.200 dari seluruh wilayah Indonesia, dengan margin of error 2,83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Responden dipilih secara acak dengan kriteria minimal 17 tahun atau sudah memenuhi syarat pemilih. Unit sampling primer survei ini adalah desa/kelurahan, dengan jumlah sampel masing-masing 10 orang di 120 desa/kelurahan yang tersebar di Indonesia.

“Ada di angka 62,4 persen sangat puas, 34,1 mengatakan tidak puas dan 3,5 persen tidak tahu atau tidak menjawab,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya saat memaparkan hasil survei secara daring, Kamis (12/8/2021).

Berdasarkan survei Charta Politika ini, tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah tertinggi berada di wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, dan NTT. Sedangkan tingkat kepuasan terendah berada di wilayah Maluku dan Papua, Kalimantan, serta Sumatera.

Yunarto menyebut tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah cenderung menurun, meskipun dalam survei Charta Politika kali ini tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintah berada di atas 60 persen.

“Meskipun masih berada di atas 60 persen, terdapat kecenderungan penurunan tingkat kepuasan kinerja pemerintah dibandingkan dengan survei periode sebelumnya,” sebut Yunarto.

53% Responden Nilai Pemberantasan Korupsi Buruk

Charta Politika juga menyurvei penilaian responden terhadap penegakan hukum sampai aspek yang lebih spesifik, yakni pemberantasan korupsi. Untuk penegakan hukum, sebanyak 46,8 persen responden menilai baik dan 42,8 persen menilai buruk.

Untuk pemberantasan korupsi, sebanyak 45,3 persen responden menilai buruk, 42 persen menilai baik, 7,7 sangat buruk, 3 persen tidak tahu atau tidak menjawab dan 2 persen sangat baik.

Kendala Vaksinasi COVID-19: Ketidakjelasan Informasi

Selain itu, Charta Politika menyurvei penilaian terhadap penanganan pandemi COVID-19 oleh pemerintah. Hasilnya, sebanyak 47,9 persen responden menilai penanganan pandemi baik, 39,8 persen buruk, 5,8 persen sangat buruk, 3,5 persen sangat baik, dan 3,1 persen tidak tahu atau tidak menjawab.

“Tingkat kepuasannya cenderung stabil, tapi menurun,” ucap Yunarto.
Perihal tingkat kepercayaan terhadap data COVID-19 dari pemerintah, sebesar 48,6 persen responden menyatakan cukup percaya, 37,1 persen tidak percaya, 6,2 persen tidak percaya sama sekali, 4,5 persen sangat percaya, dan 3,7 persen tidak tahu atau tidak menjawab.

Responden juga ditanya soal kendala dalam program vaksinasi Corona yang dijalankan pemerintah. Hasilnya, sebesar 29,4 persen responden menjawab kendala vaksinasi yakni ketidakjelasan informasi.

Berikut ini hasilnya:

Ketidakjelasan informasi mengenai vaksinasi: 29,4 persen
Masyarakat tidak percaya adanya COVID-19: 26,3 persen
Distribusi vaksin yang tidak merata: 17,3 persen
Fasilitas kesehatan yang masih sangat terbatas: 11,2 persen
Jumlah tenaga kesehatan terlalu sedikit: 7,5 persen
Tidak tahu/tidak menjawab: 8,3 persen.

 

Tim detikcom – detikNews
Sumber: https://bit.ly/2XCYcV5
Foto (istimewa)

Charta Politika Catat Kepuasan atas Kinerja Pemerintah Turun Jadi 62,4 Persen

TEMPO.CO, Jakarta – Lembaga survei Charta Politika menyatakan tingkat kepuasan responden terhadap kinerja pemerintah berada pada angka 62,4 persen. Sementara tingkat ketidakpuasan berada pada angka 34,1 persen.

“Kepuasan terhadap kinerja pemerintah berada pada angka 62,4 persen, jika dibandingkan hasil survei pada periode sebelunya terdapat penurunan terhadap kinerja pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam keterangan tertulis, Kamis, 12 Agustus 2021.

Penilaian itu berdasarkan survei yang dilakukan pada 12 hingga 20 Juli 2021. Jumlah sampel sebanyak 1.200 responden dan margin of error +2.83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Yunarto berujar meskipun tingkat kepuasan masih berada di atas 60 persen, terdapat kecenderungan penurunan tingkat kepuasan kinerja pemerintah dibandingkan dengan survei periode sebelumnya.

Dari data yang dia jabarkan terlihat bahwa pada Juli 2020 tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah sebesar 67 persen, pada Januari 2021 menjadi 64 persen, pada Februari 2021 menjadi 64,4 persen, dan pada Maret 2021 menjadi sebesar 65,3 persen.

Menurut Yunarto permasalahan yang dianggap paling pokok yang tengah dihadapi masyarakat adalah penanganan pandemi Covid-19, berikutnya ada harga kebutuhan pokok yang mahal dan permasalahan susah mencari lapangan kerja.

Kondisi ekonomi Indonesia dinilai buruk oleh masyarakat, meskipun optimisme masyarakat terhadap kondisi ekonomi Indonesia kedepan tergolong tinggi. Kondisi penegakan hukum di Indonesia dinilai sangat buruk, dan mengalami penurunan
dibandingkan periode survei sebelumnya. “Penilaian terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini masih dinilai buruk oleh masyarakat,” ujarnya.

Adapun sampel dalam survei Charta Politika ini dipilih sepenuhnya secara acak atau probability sampling dengan menggunakan metoda penarikan sampel acak bertingkat (multistage random sampling), dengan memperhatikan urban/rural dan proporsi antara jumlah sampel dengan jumlah pemilih di setiap Provinsi. Unit sampling primer survei (PSU) ini adalah desa/kelurahan dengan jumlah sampel masing-masing 10 orang di 120 desa/kelurahan yang tersebar di Indonesia.

 

HENDARTYO HANGGI
Reporter: Muhammad Hendartyo
Editor: Kukuh S. Wibowo
Foto: Tempo/Syafiul Hadi
Sumber: https://bit.ly/3gmB03S

Survei Charta Politika: Kepuasan terhadap Pemerintah Stabil

Jakarta, Beritasatu.com – Lembaga survei Charta Politika merilis temuan survei yang menyatakan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah cenderung stabil, walaupun ada sedikit penurunan.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya memaparkan, ketika publik (responden) ditanya dengan pertanyaan umum, seberapa puas terhadap kinerja pemerintah, sebanyak 62,4 persen menjawab puas, 34,1 persen yang menjawab tidak puas, dan 3,5 tidak tau dan tidak menjawab.

“Temuan ini menunjukkan bahwa mayoritas publik masih puas terhadap kinerja pemerintah, walaupun ada penurunan sedikit dibanding survei sebelumnya. Tapi secara umum masih stabil,” ujar Yunarto saat pemaparan hasil survei secara virtual, Kamis (12/8/2021).

Survei Charta Politika ini digelar pada 12 – 20 Juli 2021. Terdapat 1.200 responden yang diwawancarai secara tatap muka dengan metode multistage random sampling dan margin of error plus minus 2,8 persen
.
Yunarto menjelaskan, tingkat kepuasan dan ketidakpuasan publik terhadap kinerja pemerintah juga terbelah berdasarkan wilayah. Kepuasan tertinggi ada di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB dan NTT. Sedangkan ketidakpuasan terbesar ada di Maluku dan Papua.

Dalam survei ini, jelas Yunarto, juga tergambarkan variabel permasalahan paling pokok yang dihadapi masyarakat saat ini adalah penanganan Covid-19. Hal ini tergambarkan dari hasil temuan, ketika publik ditanya apa persoalan yang paling mempengaruhi penilaian terhadap pemerintah.

Ternyata jawaban tertinggi adalah penanganan pandemi Covid-19 (31,5 persen), baru kemudian harga kebutuhan pokok (22,1 persen), dan susahnya lapangan pekerjaan (11,9 persen).

Yunarto menjelaskan hal di atas menggambarkan adanya pergeseran. Dulu sebelum pandemi variabel paling besar adalah soal bias ekonomi. Ini terkait kebutuhan ekonomi dan harga kebutuhan pokok.

“Ternyata sekarang bergeser dimana variabel penanganan pandemi dianggap yang paling penting. Maka semakin tinggi kepuasan dalam penanganan pandemi akan semakin tinggi pula kepuasan publik secara jeneral terhadap pemerintah,” beber Yunarto.

Terkait kondisi ekonomi, Yunarto menyebut mayoritas publik (65,9 persen) yang mengatakan kondisi ekonomi buruk. Sedangkan 31,7 persen mengatakan baik.

Namun ketika ditanya bagaimana optimisme terhadap perbaikan ekonomi ke depan, sebanyak 60,5 persen mengatakan optimistis terhadap perbaikan ekonomi satu tahun kedepan. Sedangkan 29,0 persen tidak optimistis, dan 10, 5 persen tidak tahu atau tidak menjawab.

“Ini artinya trust publik masih baik terhadap kondisi perbaikan ekonomi maupun terhadap pemerintah. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi pemerintah, kalau optimisme besar ini tak diikuti perbaikan akan menimbulkan masalah,” jelasnya.

Secara sektoral, bagaimana penegakan hukum Indonesia? Yunarto menjelaskan bahwa 49,5 persen menilai baik dan 47,3 persen buruk.

Adapun sektor pemberantasan korupsi penilaian buruknya jauh lebih tinggi, yakni 53,0 persen menyatakan buruk dan sangat buruk, sedangkan 44,0 persen menyatakan baik dan sangat baik.

 

Oleh : Markus Junianto Sihaloho / FFS
(Foto: Istimewa)
Sumber: https://bit.ly/2UDqttx

Charta Politika: Masih Banyak Publik Tak Percaya Data yang Disampaikan Pemerintah Terkait Covid-19

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Lembaga Survei Nasional Charta Politika Indonesia, mengeluarkan hasil survei yang dilakukan terkait dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap data yang disampaikan Pemerintah dalam hal ini satgas Covid-19 perihal update kasus Covid-19.

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan, berdasarkan temuan pihaknya melalui survei itu menunjukkan kalau kepercayaan masyarakat masih tergolong rendah.

Hal itu dibuktikan dengan masih adanya masyarakat yang tidak percaya dengan segala informasi yang disampaikan pemerintah soal Covid-19.

“Iya jadi baik itu, terkait informasi penambahan kasus aktif, kasus positif Covid-19 hingga kesembuhan dan angka kematian karena Covid-19 ini masih banyak masyarakat yang tidak percaya,” kata Yunarto saat menyampaikan hasil surveinya secara daring, Kamis (12/8/2021).

Yunarto menjabarkan terkait dengan persentase temuan pihaknya atas hal itu, di mana sebanyak 53,1 persen masyarakat sudah percaya dan 43,3 persen yang tidak percaya dengan informasi dari pemerintah tersebut dengan 3,7 persen tidak menjawab.

Terkait angka persentase masyarakat yang percaya tersebut kata Yunarto sebanyak 4,5 persen masyarakat sangat percaya dan 48,6 persen yang cukup percaya.

“Sedangkan yang kurang percaya 37,1 persen dan tidak percaya sama sekali 6,2 persen,” tuturnya.

Kendati angka masyarakat yang percaya dengan informasi pemerintah masih lebih tinggi dibanding yang tidak percaya, namun kata dia angka tersebut masih belum dapat menjamin masyarakat bisa percaya.

“Kalau berdasarkan hasil dari kami, jika angkanya kurang dari 60 persen maka itu belum memastikan masyarakat percaya, jadi ini masih ada gap (kendala) yang harus dijelaskan kepada pemerintah,” tuturnya.

Sejalan dengan temuan tersebut berdampak pada penilaian masyarakat terhadap penanganan pemerintah terhadap pandemi Covid-19 ini.

Di mana kata dia, penilaian tersebut juga relatif masih tergolong rendah. Rinciannya sebanyak 51,4 persen responden yang menyatakan kalau penanganan pemerintah sudah baik.

Sementara kata dia masih ada 45,6 persen masyarakat yang menilai penanganan pandemi yang dilakukan pemerintah kurang baik.

“Berkaitan dengan penanganan pandemi, penilaian publik relatif tergolong rendah, berada di bawah 60 persen,” imbuhnya

Sebagai informasi, survei Charta Politika Indonesia ini dilakukan pada 12 hingga 20 Juli 2021 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur.

Jumlah sampel yang dilibatkan sebanyak 1200 responden, yang tersebar di 34 Provinsi.

Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error kurang lebih 2.83 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Pada survei ini juga menyajikan tren dari data hasil survei yang diperoleh pada survei lapangan periode sebelumnya yakni tanggal 20-27 Februari 2020, serta data hasil survei menggunakan telepon yang dilakukan pada periode 1-8 Mei 2020, 6-13 Juni 2020, 6-12 Juli 2020, 26-29 Januari 2021, 24-28 Februari 2021, dan 20-24 Maret 2021.

Itu dipaparkan guna melihat dinamika perubahan persepsi publik selama masa pandemi Covid-19.

 

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Johnson Simanjuntak
Foto: Tangkapan layar (tribunnews)
Sumber: https://bit.ly/3yaNYIj

 

Rilis Survei Nasional: Evaluasi Kebijakan & Peta Politik Masa Pandemi

Press Release
Survei Nasional Charta Politika Indonesia
Jakarta, 12 Agustus 2021

Evaluasi Kebijakan & Peta Politik Masa Pandemi

Survei dilakukan pada tanggal 12 – 20 Juli 2021 melalui wawancara tatap muka secara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jumlah sampel sebanyak 1200 responden, yang tersebar di 34 Provinsi. Metodologi yang digunakan adalah metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ±(2.83%) pada tingkat kepercayaan 95%.

Pada survei ini juga menyajikan tren dari data hasil survei yang diperoleh pada survei lapangan periode 20-27 Februari 2020, serta data hasil survei menggunakan telepon yang dilakukan pada periode 1-8 Mei 2020, 6-13 Juni 2020, 6-12 Juli 2020, 26-29 Januari 2021, 24-28 Februari 2021, dan 20-24 Maret 2021 untuk melihat dinamika perubahan persepsi publik selama masa pandemi Covid-19.

 

Klik link untuk mengunduh:

20210812_Rilis Survei

20210812_Materi Rilis Survei

Perkara Cabut Mandat dan Pemakzulan Jokowi

Seruan demonstran yang menuntut Joko Widodo turun dari kursi kepresidenan menjadi percakapan politik yang marak belakangan ini. Tajuk “Jokowi End Game” pun digaungkan. Isu penggulingan Presiden Jokowi bukan kali ini saja terdengar. Petasan politik yang didentangkan oleh sel-sel oposan, terutama barisan ekstraparlementer, telah lama bergema.

Pada periode pertama kepresidenannya, Jokowi pernah dihebohkan oleh wacana pemakzulan (impeachment) pasca-demonstrasi 4 November 2016. Memasuki periode kedua, kita tentu masih ingat pada narasi “cabut mandat rezim Jokowi” yang dimotori sejumlah aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) pada 2020.

Di ruang media sosial, berhamburan petisi dan tagar yang ingin menurunkan Jokowi. Sengkarut penanganan Covid-19 dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat seolah-olah menjadi pintu masuk. Ada beberapa cuitan yang merupakan cicilan sejak dulu, yakni #CabutMandatRakyat hingga #MakzulkanPresidenGagal.

Tak ada yang salah dengan kritik di alam demokrasi. Keberadaan oposisi tetap dibutuhkan untuk mengontrol pemerintahan. Pemerintah pun tidak boleh antikritik, apalagi bertindak represif. Semua perbedaan pendapat itu hukumnya halal diungkapkan di ruang publik selama taat asas dan tidak menjebol rambu-rambu konstitusi.

Lalu bagaimana dengan kehendak mencabut mandat? Sebagai wacana politik boleh-boleh saja dan bahkan itu hak setiap warga negara selaku pemberi mandat kepada pejabat publik. Ketika demokrasi sebagai konsensus bersama diamalkan secara konsisten, menyitir Susan C. Stokes (2001) dalam Mandates and Democracy, cabutlah mandat dalam pemilihan umum berikutnya.

Coba bayangkan, kalau cabut mandat dilakukan secara sembrono atas dasar kekecewaan sebagian pihak, setiap presiden yang baru memimpin seumur jagung pun dapat dijatuhkan di tengah jalan. Efek sampingnya dapat memicu instabilitas politik dan ketidakpastian ekonomi, terlebih pada masa pandemi Covid-19.

Dalam skema demokrasi partisipatoris, setelah pemilihan umum sebagai instrumen pemberian mandat, bukan berarti masyarakat diam berpangku tangan. Partisipasi warga negara (pemilih) sangat diperlukan untuk mengawal kebijakan pejabat publik terpilih. Mereka dapat menagih janji-janji politikus selama kampanye agar ditunaikan secara tuntas.

Jika ada kelompok yang kecewa terhadap kinerja pemerintah, hasratnya dapat diluapkan saat pemilihan umum tiba. Itulah konsekuensi dari sistem presidensial. Untuk menjembatani pemerintah dengan aspirasi publik, pandangan dan harapan masyarakat dapat dipotret melalui survei evaluasi secara berkala seputar isu-isu, agenda programatik, dan kebijakan tertentu.

Bagi pihak oposisi, kekecewaan politik yang mengental dapat dikanalkan secara elegan melalui artikulasi agenda publik secara serius. Siapa tahu dalam pemilihan umum mendatang mandat politik dapat direngkuh. Tentu berkah elektoral semacam ini mustahil jatuh dari langit. Hal itu mensyaratkan kerja-kerja yang membumi, dengan menawarkan jurus-jurus alternatif dalam mengatasi kemelut bangsa.

Kritik pedas oposan yang menggelinding menjadi isu pemakzulan terhadap Presiden Jokowi dalam momen-momen tertentu dapat ditengarai sebagai sasaran antara saja. Intrik semacam itu terasa muskil, mengingat konfigurasi kekuatan politik di Dewan Perwakilan Rakyat (kecuali PKS dan Partai Demokrat) sejauh ini solid mendukung pemerintahan Jokowi – Ma’ruf Amin. Kuncinya terletak pada mekanisme hukum dalam politik ruangan (parlemen) berdasarkan mayoritas mutlak (majority rule).

Lantas sasaran akhirnya seperti apa? Motifnya ada kemungkinan bertalian dengan hajatan menyongsong kenduri demokrasi pemilihan presiden 2024. Meski terhalang konstitusi untuk maju lagi sebagai calon presiden, Jokowi dapat dilihat berpotensi kuat sebagai “king maker” dalam arena kandidasi pemilihan presiden nanti.

Dukungan Jokowi terhadap siapa pun figur yang berlaga dalam kontestasi 2024 akan paralel dengan orientasi relawan politiknya. Asumsi itu akan berlaku ampuh manakala reputasi moncer Jokowi selama ini terus dirawat, disertai kinerja luar biasa, dan mewariskan jejak kepemimpinan yang positif di mata publik.

Dalam konteks pemakzulan, pertanyaan yuridis yang bisa dikemukakan adalah apa dasar hukumnya? Proyek pemakzulan presiden saat ini bukanlah perkara gampang. Jika presiden atau wakil presiden tidak melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela (sesuai dengan Pasal 7A UUD 1945), tindakan pemakzulan tidak memiliki basis legal-yuridis.

Menurut Hamdan Zoelva (2018), suatu proses pemakzulan harus memenuhi dua prinsip. Pertama,  prinsip legalitas, yakni terpenuhinya prinsip-prinsip hukum. Kedua, prinsip legitimasi, yakni terpenuhinya nilai-nilai demokrasi. Keduanya adalah prinsip yang dipegang oleh negara-negara yang menganut prinsip negara hukum demokratis.

Kondisi obyektif, variabel politik, dan sistem ketatanegaraan pada masa Presiden Jokowi sangat jauh berbeda dengan zaman Bung Karno ataupun Gus Dur – dua sosok presiden yang menelan pil pahit pemakzulan. Seandainya pun gerakan politik jalanan menguat, tanpa ditopang oleh lembaga politik resmi yang otoritatif, gerakan itu hanya buang-buang energi.

Kalau kita tarik ke belakang, Megawati-Hamzah Haz pun sempat dtuntut mundur oleh pengunjuk rasa. Sorotan utamanya mengenai keputusan pemerintahan Megawati Soekarnoputri menaikkan harga bahan bakar minyak serta tarif dasar listrik dan telepon. Begitu pun dengan SBY-Boediono yang juga berulang kali digoyang oleh kubu oposisi dalam kasus bailout Bank Century.

Seperti kita saksikan bersama, Megawati mengakhiri masa jabatan sebagai presiden tepat pada waktunya. Pun SBY menduduki jabatan presiden selama dua periode. Kisah serupa akan terjadi pada Jokowi, bahwa mandat rakyat akan dituntaskan hingga tiba pemilihan umum 2024 sepanjang tak melanggar konstitusi UUD 1945 dan sumpah jabatan.

Van Bryan (2013), dalam Plato and the Disaster of Democracy, menggambarkan kita menjadi terobsesi dengan kebebasan kita dan menjadi rela mengorbankan hal-hal yang diperlukan, seperti tatanan dan struktur sosial, untuk mencapai kebebasan itu. Jauh melintasi zaman, Robert Dahl juga telah mengingatkan bahwa demokrasi akan menjadi instrumen anarkistis bila, atas nama demokrasi dan kebebasan, orang tidak bisa mengenal garis demarkasi antara hak dan kewajiban.

Saat ini kita sedang berikhtiar keras keluar dari kemelut pandemi. Massa yang berkerumun jelas berisiko tinggi tertular virus. Tapi, untunglah masyarakat tak terprovokasi oleh seruan demo “Jokowi End Game”. Seumpama tidak diantisipasi segera, ajakan unjuk rasa dengan massa termobilisasi tentu mengancam keselamatan dan kesehatan publik.

Untuk itu, energi bangsa ini mesti digeser dari tarian politik ingin merobohkan pemerintahan yang sah beralih ke aksi gotong-royong menolong masyarakat yang terkena dampak Covid-19. Stabilitas politik keamanan dan kepastian hukum harus dijaga bersama.

Di sisi lain, pemerintah tetap dituntut untuk merespons kritik dan suara dari semua pihak demi kemaslahatan berbangsa. Saluran bagi warga negara untuk menyuarakan aspirasinya wajib dilindungi sesuai dengan konstitusi. Kebebasan berpendapat terus dimekarkan, tapi dibingkai dengan hukum dan keteraturan (law and order).

Dengan demikian, jajaran pemerintahan Jokowi tidak usah panik melebihi takaran terkait dengan momok pemakzulan. Pemerintah, parlemen, dan masyarakat sipil hendaknya berpartisipasi untuk saling mengoreksi sekaligus menghadirkan solusi konkret atas prahara pandemi saat ini. Demokrasi memang membutuhkan ketabahan.

 

 

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

Opini Koran Tempo, 5 Agustus 2021

Ilustrasi: Kendra Paramita

Surya Paloh, Nasdem, dan Keindonesiaan

LINTASAN perjalanan politik seolah berulang. Pada 2004 lalu, Surya Paloh jadi salah satu peserta konvensi Golkar untuk memilih capres yang akan diusung partai itu. Pada 2020 lalu, Surya Paloh kembali muncul terkait konvensi pencapresan. Bedanya, kali ini ia memilih hanya menjadi sutradara sekaligus inisiator dari konvensi capres Partai NasDem yang dipimpinnya.

Pilihan SP (inisial populer yang paling sering dipakai para politikus terhadapnya walau saya sendiri memanggilnya dengan sebutan ‘Bang Surya’) menggelar konvensi untuk sebagian kalangan membersitkan pertanyaan. Logika sederhananya seperti ini: buat apa capek-capek mendirikan partai politik tatkala ada peluang dicalonkan secara mudah malah justru diberikan kepada orang lain. Terlebih, temuan sejumlah survei menunjukkan hingga saat ini belum ada kandidat yang punya peluang tinggi untuk memenangi Pilpres 2024.

Namun, sungguh keliru jika berkesimpulan SP bukanlah sosok yang tak punya ambisi politik. Keikutsertaannya pada konvensi Golkar dan kemudian upayanya membesarkan NasDem menunjukkan dia bukan politisi tanpa ambisi. Namun, seperti diakuinya sendiri, ambisi personal menjadi presiden atau wapres sudah berakhir untuk dirinya. Dengan kata lain, dia kini sedang menggendong ambisi politik yang berbeda. Pilihan sikap politik SP ini sangat mungkin membersitkan spekulasi dan juga prasangka. Menilik jejak politiknya, SP memang sosok yang (mungkin) mudah disalahpahami.

Mudah disalahpahami

Di satu sisi, misalnya, SP secara terbuka menunjukkan kegusarannya terhadap para aktor politik yang menjadikan agama dan etnis sebagai komoditas politik. SP karenanya dengan mudah dilabeli sebagai politikus dari kubu ‘NKRI harga mati’.

Kubu ini kerap diasosiasikan sebagai pihak yang mempromosikan gagasan ‘netral agama’ dan bahkan ada yang melabeli sebagai ‘islamofobia’. Namun, niscaya orang akan kecele jika beranggapan demikian.  Pasalnya, SP dalam berbagai kesempatan justru secara terbuka menunjukkan sosok keislamannya dan juga darah Aceh-nya. Bagi SP, nasionalisme dan agama merupakan dua hal yang bisa berjalan beriringan.

Terkait dengan itu, ia juga termasuk sosok yang mengedepankan inklusivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Semua elemen bangsa ingin dirangkulnya. Namun, pada saat yang sama, SP terbilang menarik demarkasi yang tegas terhadap elemen-elemen yang mendukung gerakan radikalisme, terorisme, dan atau yang menolak Pancasila. Kombinasi sikap ini terkadang menimbulkan persepsi bahwa ia lebih memberi ruang kepada kelompok-kelompok minoritas.

Begitupun dalam bersikap. SP sepertinya memisahkan sikap politik dan pertemanan. Dia tak pernah melihat kubu yang berlawanan sebagai musuh, tapi hanya sebagai pesaing atau lawan politik. Karena itu, dia merasa tak ada salahnya menjalin komunikasi dengan kubu politik di luar koalisi, termasuk pada individu-individu yang dianggap tak sejalan dengan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Sikap ini tak ayal membuat berbagai tudingan terlontar dan jelas tak kompatibel dengan situasi politik saat ini
yang terpolarisasi.

Kepribadian penuh warna ini pula yang kemudian bisa menjelaskan posisi NasDem dalam kancah perpolitikan nasional. Di satu sisi, NasDem, seperti halnya Gerindra dan Demokrat, dapat diklasifikasi sebagai partai personalistik dan personal. Mengacu pada Gunther dan Diamond (2003), partai personalistik ialah partai yang sengaja didirikan untuk memenuhi ambisi politik pendirinya. Callise (2005) mendeskripsikan partai personal sebagai partai yang bertumpu pada kharisma pendirinya yang sekaligus memfasiltasi penyediaan sumber daya secara patronistik.

Namun, NasDem tak sepenuhnya memenuhi kriteria ini. Pasalnya, tidak seperti Demokrat yang asosiasinya hanya melekat pada SBY ataupun Gerindra dengan Prabowo, asosiasi NasDem dengan SP kuat,terutama secara internal, tetapi tidak menggubah partai ini layaknnya menjadi sebuah komunitas
‘Surya Paloh Fans Club’. Daya tarik NasDem secara elektoral dalam perjalanannya justru ‘terdesentralisasi’ ke aktor-aktor lokal di tiap daerah.

Jika PD dan Gerindra secara efektif digunakan SBY dan Prabowo untuk meraih kursi presiden/wakil presiden, NasDem setidaknya dalam dua kali pemilu cenderung menyorongkan kandidat di luar partai (baca: Jokowi). Spekulasi berkembang, bisa jadi SP mengukur diri, bersikap realistis. Karakter pengusahanya dalam hal ini lebih berpengaruh ketimbang libido politiknya sebagai politikus.

Apa pun alasannya, pada titik inilah SP berhasil menempatkan dirinya lebih dari sekadar politikus senior atau ketua umum partai. Ia telah menjadi seoorang sutradara politik yang bertugas menghasilkan sebuah skenario cerita yang baik buat bangsa ini. Tentu saja dimulai dengan memilih bintang-bintang  yang mumpuni untuk membuat cerita betul-betul menjadi indah. Sama seperti ketika seorang Megawati pada 2014, memilih untuk tidak maju di Pilpres dan memajukan kadernya yang memang memiliki peluang lebih besar untuk menang.

Dalam kajian analisis latar belakang SP NasDem bisa juga dikategorikan sebagai partai enterpreneur (enterpreuner party). Salah satu contoh ‘terbaik’ dari tipe ini ialah forza-nya Berlusconi (secara kebetulan juga dikenal sebagai pengusaha media di Italia).

Partai entrepreneur ciri-cirinya sebagai berikut. Pertama, tak memandang penting ideologi dan karenanya bersifat fleksibel terhadap isu dan kebijakan.

Kedua, struktur organisasi yang hierarki dan tersentralisasi. Ketiga, menempatkan pemilih sebagai konsumen dan pengutamaan penggunaan profesional dalam melaksanakan kampanye politik. Keempat, tidak berakar pada gerakan sosial dan tak punya basis di akar rumput. Kelima, figur pemimpin menjadi penting untuk menarik atensi media dan dukungan dari pemilih. Selain itu, keenam, figur-figurnya juga tak berasal dari anggota parlemen dari partai lain (Hlousek dkk, 2010).

Namun, NasDem juga tak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai partai enterprenur secara paripurna. Setidaknya karena tiga hal. Pertama, NasDem sedikit banyak memboyong konstituen dan elite Golkar yang mana SP sebelumnya bergabung. Kedua, meski figuritas SP penting, seperti yang disebut, daya tarik partai ini juga bertumpu pada aktor-aktor di tingkat lokal. Ketiga, NasDem punya restorasi Indonesia sebagai platform politiknya.

Faktor restorasi Indonesia menjadikan NasDem bisa membuat diferensiasi karena punya issue ownership. Akan tetapi,sebagai konsekuensi, publik kerap salah ekspektasi terhadap restorasi Indonesia. Di satu sisi, restorasi menawarkan perubahan. Politik tanpa mahar dan kemudian
konvensi capres menjadi dua penanda penting yang menunjukkan sisi progresif NasDem. Namun, saat bersamaan, Restorasi juga menyorongkan perubahan dalam pengertian membuka diri berpaling ke belakang. Selain pentingnya memulihkan soal keadaban, restorasi dihadapkan pada tantangan menjawab hal-hal aktual yang prinsipiel, termasuk mengenai dibukanya ruang bagi kemungkinan kembalinya presiden dapat lebih dari dua periode.

Tantangan ke depan

Terlepas dari itu, SP dengan NasDem-nya telah memberi warna perpolitikan Indonesia dan berpotensi menjadi pilihan alternatif manakala pemilih jenuh atau ingin menunjukkan rasa marah sesaat pada partai-partai yang selama ini jadi preferensi utama mereka.

Persoalannya, secara internal, SP perlu mencermati kesenjangan antara retorika restorasi dan perilaku politik para aktivis partainya yang terdiri atas banyak elemen dan berada dalam situasi politik yang sangat pragmatis. Mengikuti Hammel dan Svasand (1993), sebagai partai entrepreneur, NasDem telah melewati tahapan pertama yang ditandai keberhasilannya membangun pesan sebagai elemen pembeda (restorasi Indonesia) dan membangun identifikasi pemilih dengan Nasdem.

Namun, saat bersamaan, lika-liku dinamika politik sangat memungkinkan para aktivis partai melakukan berbagai manuver. Secara keorganisasian, secara alamiah muncul dua pengelompokan, yakni kader-kader di parlemen dan aktivis partai yang tak ada di parlemen. Keduanya sangat mungkin berselisih pendapat dan atau punya pilihan taktis-strategis yang berbeda.

Kini, NasDem memasuki tahapan kedua yang ditandai oleh penataan organisasi dan berkepentingan untuk terus melentingkan tingkat elektoralnya. Pada fase kedua ini dibutuhkan gaya kepemimpinan yang berbedaa. SP harus mampu membangun konsensus, tetapi sekaligus membangun mekanisme kontrol. Ini mengandaikan SP harus lebih terlibat. Sementara itu, faktualnya, Paloh selama ini cenderung memberi ruang delegasi yang besar pada elite partai lainnya.

Hal itu menjadi kian penting karena SP punya ambisi besar: berkontribusi untuk mengembalikan kejayaan Indonesia meski dengan itu harus mengorbankan kepentingan dan bahkan mungkin masa depan NasDem. Sementara itu, logika kepartaian telah menumbuhkan aspirasi aktivis politik yang lebih ke berorientasi ke dalam: bagaimana NasDem bertahan, berkuasa, dan bisa terus menjadi wadah penyalur aspirasi dan kepentingan mereka.

Yang sudah pasti, absennya ambisi personal dan posisi elektoral NasDem sebagai partai menengah (menuju papan atas) tak pelak menempatkan Paloh sebagai King Maker yang berpengaruh. Di titik inilah ujian berikutnya menanti. Jika berambisi mengembalikan kejayaan Indonesia dan memulihkan keadaban berbangsa, SP butuh wadah yang kuat.

Agar bisa jadi tumpuan, NasDem butuh modal politik dan keuangan yang sangat mungkin harus dicapai dengan sikap yang lebih pragmatis dan (mungkin) bertentangan dengan keadaban itu sendiri. Bisakah SP dan NasDem lolos dari ujian ini? Waktu yang akan menjawabnya.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun ke 70 untuk Bang Surya. Semoga diberi umur panjang dan kekuatan untuk terus berkhidmat merestorasi Indonesia. Sampai kepada impian, bahwa setiap anak-anak di Indonesia dari Sabang sampai Merauke punya kesempatan sama untuk bercita-cita menjadi guru, dokter, insinyur, bahkan menjadi seorang presiden. Tuhan memberkati!

 

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Kolom Opini Media Indonesian Hal 6 Jumat, 16 Juli 2021

 

 

Partai Baru, Matematika dan Mati-matian Politik

SUHU politik nasional kembali menghangat dengan aneka manuver elite dan partai politik (parpol) dalam menyongsong Pemilu 2024. Partai-partai baru pun bermunculan memenuhi lapak demokrasi. Di sisi lain, pandemi Covid-19 semakin mengganas.

Kontestasi elektoral masa mendatang akan dijepit oleh korona sekaligus gelombang krisis. Tentu kehadiran parpol baru belakangan ini cukup mengejutkan. Dalam situasi normal saja, betapa sulitnya menjaga stamina politik bagi parpol baru. Apalagi dalam suasana new normal, tentu mereka akan dihadapkan beban berlipat ganda.

Kompleksitas situasi ini penting digambarkan sebagai peringatan dini bahwa peta jalan menuju kontestasi Pemilu 2024 dipenuhi ketidakpastian. Jika merujuk pada matematika sebagai ilmu pasti, sederet data politik kuantitatif terkini bisa menjadi panduan bagi pemain baru untuk mengelola ketidakpastian itu, setidaknya meminimalkan risiko.

Faktor Pemicu

Sampai akhir Juni 2021, tercatat lebih dari sepuluh partai baru bermunculan. Ada parpol yang sudah berstatus badan hukum, ada juga yang belum memperoleh pengesahan, mungkin juga sedang mengurus legalitasnya dari Kementerian Hukum dan HAM.

Partai-partai baru tersebut adalah Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (UKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Hijau Indonesia, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Kita juga disuguhi kemunculan Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1945, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Demokrasi Rakyat Indonesia Sejahtera (PDRIS), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Nusantara, dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).

Banyak faktor yang menyebabkan parpol baru berkecambah setiap menjelang pemilu. Ada partai baru yang didirikan sebagai implikasi dari konflik internal yang membelit partai lamanya. Lalu, sejumlah partai baru yang menggunakan simbol agama, nasionalis, dan ”campuran” nasionalis-religius sebagai refleksi keberagaman masyarakat Indonesia tak henti mencoba peruntungan.

Kedatangan partai baru terkadang dipengaruhi oleh romantisme terhadap kekuatan politik tertentu yang berkibar pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Kembang kempis parpol baru tak pernah sepi pula dari sekadar gaya-gayaan dan kegenitan politisi musiman. Praktisnya, parpol adalah wadah kanalisasi hasrat kuasa elite untuk bergulat di gelanggang demokrasi melalui pemilu.

Semakin Kompetitif

Berdasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, parpol baru yang diperbolehkan mengikuti pemilu haruslah memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan kepengurusan 50 persen kecamatan. Sulit dimungkiri, persyaratan untuk lolos verifikasi faktual di KPU agar menjadi peserta Pemilu 2024 bukanlah perkara gampang.

Di tengah persepsi publik terhadap parpol yang bernada minor, parpol dituntut untuk membangun infrastruktur kepengurusan di tingkat pusat dan daerah. Semuanya membutuhkan jaringan massa yang mengakar, dana yang memadai untuk operasional partai, dan ketokohan yang kuat untuk merebut perhatian audiens.

Jika parpol baru telah memenuhi syarat-syarat administratif sebagai kontestan, pekerjaan rumah selanjutnya, seberapa besar peluangnya untuk menaklukkan ambang batas parlemen 4 persen. Paling mungkin, parpol baru membidik suara swing voters (pemilih mengambang) dan undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan). Juga menggerus basis konstituen partai lama.

Namun, tak mudah juga mengubah pemilih. Lagi pula, partai-partai lama akan terus bergerak merawat konstituen agar tidak terjadi migrasi suara ke kutub lain. Karena itu, selain tokoh atraktif yang punya magnet elektoral, partai baru mesti mengemas diferensiasi dan distingsi program, gairah organisasi, dan jejaring aktor yang menawarkan kebaruan.

Becermin pada hasil Pemilu 2019, tidak ada satu pun parpol baru yang lolos ke Senayan. Partai Perindo hanya mampu meraup 2,67 persen suara; Partai Berkarya memperoleh 2,09 persen; PSI meraih 1,89 persen; dan Partai Garuda hanya 0,50 persen. Bahkan, parpol lama seperti Partai Hanura terdepak dari DPR pada Pemilu 2019. Nasib serupa juga dialami PBB sejak Pemilu 2009 hingga 2019, gagal menembus ambang batas parlemen. Demikian pula PKPI, belum sekali pun lolos ke Senayan dari Pemilu 1999 hingga 2019.

Pelajaran Berharga

Parpol baru tetap berpeluang untuk meraih dukungan publik. Kalau kita menggeser jarum sejarah partai baru di kepemiluan, Partai Nasdem sukses menduduki kursi Senayan dengan 6,7 persen suara pada Pemilu 2014. Mundur ke belakang lagi, pada Pemilu 2009, parpol baru seperti Gerindra berhasil mendapatkan 4,5 persen suara, termasuk Hanura. Tapi, ironisnya Hanura gagal mempertahankan kursi Senayan pada Pemilu 2019.

Jauh melintasi waktu, Partai Demokrat ibarat ”bayi ajaib” pada Pemilu 2004, sukses mendulang 7,4 persen suara. Pada Pemilu 1999, terdapat tiga parpol baru yang bertengger pada posisi moncer, yakni PDIP (33,74 persen), PKB (12,61 persen), dan PAN (7,12 persen).

Potret keberhasilan sejumlah parpol baru mewartakan signifikansi variabel tokoh. Misalkan Nasdem yang mengandalkan Surya Paloh dan Gerindra yang identik dengan Prabowo Subianto. Pun Demokrat yang diasosiasikan dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Hanura yang bertumpu pada Wiranto. Begitu pula PDIP dengan karisma Megawati Soekarnoputri, PKB berkat ketokohan Gus Dur, dan PAN lewat pengaruh Amien Rais.

Di negara-negara lain, ada beberapa kisah sukses parpol baru yang patut dipelajari. Di Prancis, misalnya, kemenangan Partai La Republique en Marche (LREM) berhasil menyabet kursi di parlemen pada Pemilu 2017. Bahkan, pimpinan LREM Emmanuel Macron meraih posisi sebagai presiden Prancis.

Aktivis politik Indonesia juga dapat menyerap energi keberhasilan Partai Demosisto di Hongkong yang dipelopori generasi milenial seperti Joshua Wong dan Nathan Law. Partai yang kesohor dengan ”Gerakan Payung” itu mengikuti Pemilu 2016 dan mampu unjuk gigi sebagai simpul kekuatan politik militan di Parlemen Hongkong.

Mampukah parpol baru di tanah air memodifikasi dan mengadaptasikan jejak kemenangan LREM dan Demosisto sesuai dengan konteks politik elektoral di Indonesia? Namun, melihat matematika elektoral kekinian, parpol baru tidak boleh setengah hati bertarung, tapi harus mati-matian politik.

 

 

Mawardin Sidik

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Jawa Pos
Sumber foto: Jawa Pos

Ruang Seleksi Kepemimpinan 2024

Dalam beberapa pekan terakhir terjadi eskalasi penyebutan nama para kandidat Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.

Pemantiknya adalah rilis survei dan juga opini para pengamat maupun politisi. Eskalasi dari survei berasal dari ramainya rilis hasil survei baik dari lembaga survei yang namanya sudah dikenal maupun yang baru belakangan muncul. Atensi publik dan media tak jauh dari soal tingkat keterkenalan dan elektabilitas kandidat secara perorangan.

Di sisi lain, pengamat dan politisi juga mulai melempar wacana mengenai format pasangan. Yang menarik, ada dua kategori kandidat yang ternyata masih sering disebut bahkan kadang ditonjolkan: ketua umum parpol dan politisi kawakan, yaitu politisi yang pada 2024 nanti sudah berusia minimal 70 tahun.

Membatasi Seleksi

Di satu sisi, pemunculan nama-nama ketua umum (ketum) parpol itu merupakan hal lumrah. Normatifnya, setiap parpol niscaya memajukan kader terbaiknya. Dan, asumsi yang digunakan: posisi ketum adalah penghargaan yang diberikan kepada kader terbaik partai.

Kecenderungan seperti ini lebih terasa lagi terjadi di parpol yang bertipe partai figur. Pemunculan nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Prabowo Subianto, contohnya. Partai Demokrat dan Partai Gerindra merupakan contoh partai figur yang personal, personalistik dan juga personalis.

Partai personal adalah partai yang bertumpu pada karisma pendirinya yang sekaligus memfasiltasi penyediaan sumber daya secara patronistik (Calisse, 2015). Mirip dengan itu, partai personalistik adalah partai yang sengaja didirikan untuk memenuhi ambisi politik pendirinya (Gunther dan Diamond, 2003). Partai personalis adalah yang ditandai pemusatan pada pemimpin partai, sekaligus dengan kapasitas organisasi kepartaian yang minimum atau dilemahkan (Kostadinova dan Levitt, 2014).

Pemunculan nama Muhaimin Iskandar atau Puan Maharani dan juga Megawati konsekuensi logis ketika partai massa bertransformasi jadi partai personalis. Mengikuti Kostadinova dan Levitt, dalam konteks kepemimpinan, PKB adalah partai personalis yang tak bertumpu pada karisma pemimpin, tetapi lebih keterampilan politik Muhaimin dalam menancapkan pengaruhnya di PKB.

Sebaliknya, PDI Perjuangan (PDI-P) menjadi partai personalis karena kombinasi karisma dan keterampilan politik Megawati mendominasi struktur partai. Tapi, pemunculan nama ketum tak melulu berasal dari partai figur. Nama Airlangga Hartarto, umpamanya, harus dibaca sebagai strategi politik secara kelembagaan. Mengikuti tipologi Kostadinova dan Levitt, Golkar merupakan partai yang terinstitusionalisasi. Kekuatan utamanya pada kapasitas organisasi, bukan daya tarik ketua partai.

Terlepas dari tipe partai, pemunculan beberapa nama ketum parpol memiliki motif yang cenderung berkelidan. Kebutuhan meningkatkan awareness (Muhaimin, Airlangga, Puan) ataupun melentingkan elektabilitas (Prabowo, AHY) bertemu dengan kebutuhan membangun daya tawar politik maupun mengonsolidasikan partai. Pada saat yang sama, pemunculan politisi kawakan sesuatu yang di luar ekspektasi banyak kalangan.

Sebelumnya, ada semacam asa Pilpres 2019 akan jadi ajang terakhir bagi politisi generasi baby boomer (kelahiran 1946 hingga 1964). Harapan ini berpotensi kandas. Setidaknya, karena dua hal. Pertama, politisi dari silent generation (lahir sebelum 1946) rupanya masih bisa berkontestasi dan punya kans untuk menang. Keterpilihan Biden (lahir 1942) ataupun Ma’ruf Amin (lahir 1943) seakan jadi justifikasi usia lanjut tak selalu jadi penghambat dari sisi elektoral.

Kedua, dalam konteks Indonesia, penyebutan nama para politisi kawakan menjadi lebih menggema ketika dikaitkan dengan wacana presiden boleh tiga periode. Jika wacana ini bisa lolos di MPR-DPR, tak hanya Joko Widodo (Jokowi) yang berpeluang. Susilo Bambang Yudhoyono/SBY (lahir 1949) disebut-sebut akan jadi lawan paling sepadan dengan Jokowi.

Tak hanya itu, Jusuf Kalla (lahir 1942) juga dinilai punya peluang besar menjadi wapres untuk ketiga kalinya.

Diapungkannya kembali pasangan Megawati-Prabowo yang pernah berpasangan di Pilpres 2009 menunjukkan politisi kawakan masih diperhitungkan punya kans memenangi kontestasi. Terlebih, faktualnya, politisi kawakan punya posisi sangat strategis dalam menentukan kandidat yang kelak akan diusung partai mereka. Megawati dan Prabowo adalah ketum parpol, SBY ketua dewan pembina di Partai Demokrat. Bahkan, meski tak punya posisi strategis, Kalla diyakini masih punya pengaruh dalam skala tertentu di Golkar.

Namun, di sisi lain, pewacanaan ketum dan politisi kawakan secara dini dan masif juga dapat dimaknai sebagai upaya membatasi proses seleksi calon pemimpin di 2024. Dalam hal ini, proses seleksi hendak dibatasi pada satu calon saja, setidaknya di tingkat internal tiap partai. Ini bagian dari politik simbol untuk mengingatkan kader partai itu untuk tak melakukan manuver. Juga jadi pesan politik pada kandidat di luar partai bahwa kesempatan mereka diusung hanya maksimal sebagai pendamping.

Selain pewacanaan, upaya membatasi proses seleksi juga dilakukan dengan cara mendorong agar Pilpres 2024 nanti hanya diikuti dua pasang kandidat sebagaimana Pilpres 2014 dan 2019. Salah satu caranya dengan tetap mempertahankan ambang batas presiden (presidential threshold) yang ada saat ini. Beriringan dengan itu, ada upaya mendorong terbentuknya koalisi sejak dini dengan alasan klasik seperti mewujudkan koalisi permanen, mengefisienkan pemilu dan mendorong terbentuknya pemerintahan yang kuat.

Memilih kalah

Meski begitu, peluang bukan sama sekali tertutup bagi kandidat non-ketum parpol. Sejumlah partai menengah dan kecil belum bersikap atau membuka pintu bagi calon dari internal atau eksternal partai. Nasdem malah mengambil langkah berani ‘mencuri panggung’ dengan gagasan konvensi. Meski bukan ide baru, gagasan ini secara telak antitesis dari upaya membatasi proses seleksi itu. Adalah tantangan buat Nasdem untuk membuktikan konvensi yang akan dijalankannya tak berakhir anti-klimaks seperti pernah terjadi pada Demokrat.

Yang tak kalah penting, pilpres masih sekitar dua tahun lebih. Politisi yang sekadar kader biasa atau yang tak berpartai (kepala daerah, pemuka agama, selebritas hingga unsur TNI/Polri) masih punya peluang diusung. Politik Indonesia cukup dinamis, segala kemungkinan masih cukup terbuka. Asumsinya, pada saatnya parpol akan bersikap rasional. Pada akhirnya, mereka akan melihat tren elektabilitas. Kandidat yang berpotensi menang akan didukung.

Problemnya, asumsi itu bisa saja terlanggar. Setidaknya, ada tiga faktor yang bisa jadi penyebabnya. Pertama, parpol percaya kalkulasinya sendiri. Dalam hal ini, parpol tetap mendukung ketum partainya sendiri yang tren elektabilitasnya rendah atau stagnan. Mereka berkeyakinan hasil survei masih bisa berbalik seiring proses kampanye. Kalkulasi ini bukan sekadar ilusi. Setidaknya, Pilpres 2014 dan 2019 menunjukkan peluang mengejar kandidat yang semula diprediksi bisa menang dengan margin besar nyaris bisa dilakukan.

Contoh keberhasilan kuda hitam memenangi kontestasi politik cukup banyak. Ini umpamanya dilakukan Donald Trump ketika mengalahkan Hillary Clinton di pilpres AS 2016 lalu. Dalam konteks pilkada, hal serupa pernah dilakukan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Barat 2008, Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko pada Pilkada Jawa Tengah 2013, Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012 atau juga Anies Baswedan-Sandiaga Uno pada Pilgub DKI Jakarta 2017, untuk menyebut beberapa contoh.

Kedua, parpol secara sadar memilih strategi ‘bunuh diri elektoral’. Maksudnya, parpol sengaja tetap mengusung ketum partai meski sudah berkalkulasi akan kalah. Yang dikejar adalah efek ekor jas (Coat-Tail Effect) dari pencalonan itu. Dalam hal ini, pilpres hanyalah agenda tambahan untuk mendukung agenda utama: pemilu legislatif (pileg). Ini bisa jadi pilihan menarik karena meyakini koalisi permanen tak akan terwujud sebagaimana terjadi di pilpres 2019 lalu. Kesempatan meraih posisi menteri di kabinet tetap akan terbuka, terlebih jika meraih kursi yang signifikan di DPR.

Masih terkait itu, ketiga, ada upaya pengendalian risiko. (Ketum) partai berupaya mencegah kerugian lebih besar. Dalam hal ini, parpol bersikeras mencalonkan ketumnya sendiri daripada mengusung kader partainya yang secara elektoral lebih besar peluangnya untuk menang. Pilihan ini dilakukan karena elite parpol memprediksi adanya potensi kerusakan reputasi organisasi yang fatal jika kader itu justru memenangi pilpres. Sebab, kader itu diduga bisa atau terpaksa membuat kebijakan-kebijakan yang berlawanan dengan garis politik parpol. Selain itu, ketum sangat mungkin punya prediksi bahwa kader biasa itu bisa saja kemudian terdorong mengambil alih kepemimpinan partai setelah terpilih menjadi presiden atau wakil presiden.

Harus berkoalisi

Timbul pertanyaan, apakah sikap parpol untuk tak realistis tadi bisa dieksekusi? Jika ambang batas presiden tak diturunkan, hanya PDI-P yang bisa. Mereka bisa mencalonkan diri secara mandiri karena jumlah kursi di DPR lebih dari batasan minimal 20 persen, persisnya 22,26 persen. Artinya, partai-partai figur lain yang bersikeras ngotot mencalonkan ketumnya sendiri harus berkoalisi. Perkoalisian akan membuka pintu bagi calon dari kalangan bukan ketum, baik sebagai capres atau cawapres.

Tak hanya itu, kemungkinan adanya lebih dari dua pasangan kandidat masih cukup terbuka. Ini artinya lebih besar lagi peluang bagi kandidat non-ketum parpol untuk ‘manggung’. Seperti ini ilustrasinya. Katakanlah PDI-P dan Gerindra berkoalisi (36 persen), minimal masih ada dua slot pasangan tersedia.

Misal saja ada koalisi, sebut saja Anak Bangsa (Nasdem, PKS dan PPP yang totalnya sekitar 22 persen kursi di DPR) dan koalisi demokrasi (Demokrat, PKB dan PAN, sekitar 27 persen). Masih ada Golkar yang bisa bergabung dengan salah satu dari tiga koalisi tersebut atau membelah dua koalisi terakhir.

Alternatif lain, tetapi jauh lebih sulit, adalah Golkar memastikan dukungan dari parpol non parlemen. Golkar bisa melakukan ini jika memiliki kandidat yang kompetitif, selain tetap memajukan Airlangga Hartanto sebagai cawapres, misalnya. Dus, ini akan menjadi ruang bagi kandidat non-ketum untuk tampil dalam pentas Pilpres 2024 nanti.

Seturut uraian di atas, upaya menyempitkan jalur bagi tampilnya kandidat non-elite (baca: ketum parpol) akan berhadapan dengan realitas politik (persyaratan pencalonan). Pada saat yang sama, kandidat-kandidat non-ketum justru makin giat bermanuver untuk melentingkan elektabilitasnya. Ini jelas menimbulkan gangguan psikologis politik bagi para ketum parpol.

Tidak jaminan

Pesan utama tulisan ini sederhana saja: peluang kompetisi politik harus lebih terbuka. Ketum parpol dan yang bukan ketum parpol seyogianya memiliki kesempatan yang relatif sama untuk dicalonkan. Dalam sistem presidensial, parpol normanya akan mencari kandidat terbaik dan tentunya yang paling mungkin untuk menang. Ini berbeda dengan sistem parlementer di mana ketua partailah yang diajukan sebagai kandidat menjadi perdana menteri.

Meski demikian, harus diakui, tak ada jaminan kita akan mendapatkan kandidat terbaik, sungguhpun peluang pencalonan menjadi lebih terbuka. Seperti diingatkan Pakulski (2013), di era pemusatan kepada pemimpin, kontestasinya lebih terarah pada citra ketimbang kebijakan atau ideologi. Ini tak lepas dari peran besar media massa. Kandidat yang memiliki keterkenalan dan elektabilitas tinggi tidak menjamin memiliki kompetensi yang tinggi juga.

Lebih pada itu, Pakulski juga mengingatkan kemungkinan terjadinya apa yang ia sebut sebagai kevakuman kepemimpinan. Ini bukan karena tak ada pemimpin yang tersedia untuk dipilih melainkan tak adanya calon-calon pemimpin yang berkualitas.

Dalam situasi seperti ini, panggung politik hanya akan diisi oleh para calon pemimpin medioker. Tipe pemimpin seperti ini, kata Pakulski, cenderung oportunis, demagog dan menghamba pada kemenangan ketimbang kesetiaan pada (ideologi) partai. Ini jelas menimbulkan kerapuhan bagi demokrasi.

Akhirnya setiap kekuasaan selalu punya virusnya sendiri. Salah satunya apa yang disebut Musella (2018) dengan istilah hukum besi kepemimpinan. Intinya, ketika memegang tampuk kekuasaan, figur yang demokratis dan berkualitas pun tak tertutup kemungkinan untuk terus tergoda mempertahankan kekuasaannya atau memperluas kekuasaannya. Yang terakhir ini dapat saja terjadi pada kandidat non-ketum. Setelah terpilih, mereka dengan satu atau lain alasan, dapat saja tergoda untuk merebut kepemimpinan partai yang mengusungnya. Ini jelas akan mengganggu jalannya pemerintahan.

Kita tentu berharap akan mendapatkan pemimpin terbaik pada 2024 nanti. Tapi, juga perlu menyiapkan diri untuk mendapatkan pemimpin dengan kualitas medioker saja. Karena itu, pekerjaan rumah kita yang utama adalah penguatan kelembagaan demokrasi. Kita perlu, umpamanya, memastikan check and balances berjalan, demokratisasi internal di parpol terlembagakan dan juga terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih.

 

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Kompas, 23 Juni 2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Capres Alternatif: Siapa Kandidat Kuat Selain Prabowo, Ganjar, dan Anies?

TEMPO.CO, Jakarta – Sejumlah survei menunjukkan bahwa Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menduduki elektabilitas tiga teratas sebagai calon presiden atau capres potensial menuju pemilihan presiden atau Pilpres 2024. Namun, selain tiga tokoh tersebut, hasil sigi sejumlah lembaga survei juga memotret calon-calon potensial lainnya.

Survei Charta Politika pada 20-24 Maret 2021, dalam simulasi 12 nama, elektabilitas Prabowo, Ganjar, dan Anies menjadi tiga teratas. Prabowo Subianto 19,6 persen, Ganjar Pranowo 16 persen, dan Anies Baswedan 12,6 persen. Di bawahnya ada Sandiaga Uno dengan 9,3 persen, dan Ridwan Kamil 8,1 persen.

“Lima besar tokoh dengan elektabilitas tertinggi ini, tiga sosok calon kepala daerah dan dua sosok menteri. Mereka sekaligus figur-figur yang akan diuji kapasitasnya baik sebagai kepala daerah maupun menteri,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya, akhir Maret 2021.

Selain lima nama tersebut, kata Yunarto, ada calon-calon kuda hitam yang cukup menonjol. Di antaranya Menteri Sosial Tri Rismaharini (5,3 persen), Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (4,8 persen), dan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud Md (3,8 persen). “Tiga nama ini muncul, melonjak cukup tajam,” ujarnya.

Kemudian di bawah mereka ada Erick Thohir 2,1 persen, Moeldoko 1,3 persen, Puan Maharani 1,2 persen dan Gatot Nurmantyo 0,6 persen. Sisanya, 15,2 persen tidak tahu/tidak jawab. Survei melibatkan 1.200 responden melalui wawancara telepon. Metode yang digunakan yakni stratified dengan pengacakan sistematis. Charta Politika mengklaim margin of error survei 2,83 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.

Sekitar dua bulan sebelumnya, Lembaga Survei Indonesia (LSI) melakukan survei pada 25-31 Januari 2021. LSI melakukan simulasi tertutup dengan 10 nama, Pada simulasi tertutup 10 nama, hasilnya Prabowo Subianto paling unggul dengan 26 persen, kemudian Ganjar Pranowo 15,4 persen, dan Anies Baswedan 13,3 persen.

Selanjutnya, ada Sandiaga Salahudin Uno 10,4 persen, Ridwan Kamil 7,5 persen, Agus Harimurti Yudhoyono 6,2 persen, Khofifah Indar Parawansa 4,4 persen, Gatot Nurmantyo 2,6 persen, Puan Maharani 1,1 persen, dan Budi Gunawan 0,6 persen. Adapun yang belum menjawab 12,6 persen. Survei LSI melibatkan 1.200 responden dengan metode multistage random sampling, margin of error 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.

Teranyar, Indikator Politik Indonesia merilis survei pada Mei lalu. Survei dilakukan menggunakan metode simple random sampling yang dilakukan terhadap 1.200 orang pada 13-17 April 2021. Indikator mengklaim survei ini dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan margin of error 2,9 persen.

Indikator melakukan simulasi semi terbuka dengan 17 nama. Hasilnya, Ganjar Pranowo menempati posisi teratas dengan 15,7 persen, Anies Baswedan 14,6 persen dan Prabowo Subianto 11,1 persen.

Di bawah tiga besar itu, capres 2024 potensial lainnya; Ridwan Kamil 10 persen, Sandiaga Salahuddin Uno 8,1 persen, Agus Harimurti Yudhoyono 6,4 persen, Puan Maharani 2,9 persen, Khofifah Indar Parawansa 2,8 persen, Airlangga Hartarto 1 persen, Gatot Nurmantyo 0,9 persen, Mahfud Md 0,6 persen, Erick Thohir 0,6 persen, Tito Karnavian 0,5 persen, Ma’ruf Amin 0,3 persen, Bambang Soesatyo 0,2 persen, Muhaimin Iskandar 0,1 persen, Budi Gunawan 0,0 persen. Sisanya, sekitar 24,1 persen masih belum menjawab.

 

DEWI NURITA

Sumber: Tempo.Co
Sumber foto: Tempo/Rezki Alvionitasari.