Letupan Awal Reshuffle Muncul Karena Politik
Letupan Awal Reshuffle Muncul Karena Politik
Letupan Awal Reshuffle Muncul Karena Politik
Senioritas dinilai tak akan menghambat kinerja Komjen Pol Tito Karnavian memimpin Polri. Seluruh personel Korps Bhayangkara akan mendukung kepemimpinan mantan kepala Densus 88 tersebut.
Peneliti Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) ini sudah berpengalaman mengarahkan seniornya dalam bertugas. Tito sudah menjadi perwira tinggi di saat teman satu angkatan, bahkan seniornya masih menjadi perwira menengah. “Senioritas tak lagi menjadi persoalan,” imbuhnya, saat dihubungi, Ahad (20/6).
Tito Karnavian diprediksi akan semakin memperkuat institusi Polri. Mantan kepala Polda Papua ini tidak sebatas didukung secara institusi, tapi juga politik. Tito didukung oleh Presiden Joko Widodo. “Fraksi-fraksi di DPR juga mendukung. Ini menunjukkan, Tito mendapatkan dukungan yang kuat,” imbuh Yunarto.
Kebijakan Presiden menunjuk Tito, menurutnya, adalah tradisi baru. Jabatan Kapolri akan lebih baik diemban oleh sosok yang berprestasi dan terbukti memiliki rekam jejak kepemimpinan yang baik. Yunarto menjelaskan, terpilihnya Tito membuktikan kebijakan memilih Kapolri tidak lagi berdasarkan senioritas.
Selain itu, Presiden menunjukkan independensinya dalam memilih Kapolri. Selama ini, isu yang berkembang adalah Komjen Pol Budi Gunawan akan dengan mulus naik menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Badrodin Haiti. Dukungan sejumlah elite politik disebut akan memuluskan karier Budi Gunawan untuk memimpin institusi Polri. “Namun, yang terjadi tidak seperti itu. Presiden menunjukkan pilihannya sendiri yang tak dipengaruhi pihak lain,” ungkapnya.
Direktur Lingkar Madani Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, sudah seharusnya tradisi senioritas dalam tubuh Polri dihentikan. Senioritas dinilainya akan membuat polisi manja dan tidak bersemangat berkompetisi menjadi yang terbaik.
Situasi Polri menjadi tantangan bagi Tito untuk membuktikan ketegasannya dalam menindak dan menegakkan hukum. “Sebab, kalau senior salah tetap salah. Jadi, tidak ada lagi hukum yang mengatakan pasal pertama senior tidak boleh salah, pasal kedua kalau senior salah lihat (kembali) pasal pertama. Tak ada lagi peraturan itu,” ujarnya.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, perbedaan angkatan 82, 83, ke 87 yang begitu jauh. Jangan dilihat sebagai beban dan hambatan. Emerson menjabarkan, mungkin saja beban psikologis akan dialami oleh Tito. Namun, sebagai pemegang tongkat komando, seharusnya Tito memiliki kekuatan untuk menegakkan hukum dan memastikan program yang digagasnya berhasil.
Kalau ada yang berusaha untuk menghambat dan menjegal programnya maka Emerson menyarankan Tito harus berani untuk mengambil langkah tegas. Dia mengatakan, Kapolri yang baru nanti harus menunjukkan kepemimpinannya.
Presiden Joko Widodo telah menyerahkan surat pengajuan calon Kapolri pada Rabu, 15 Juni 2016, ke DPR. Koalisi masyarakat sipil meminta supaya DPR segera melakukan uji kepatutan dan kelayakan untuk mencegah terjadinya gejolak politisasi pencalonan Kapolri. “Semakin cepat, semakin baik,” ujar Direktur Imparsial Al Araf.
Berdasarkan Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang kepolisian, penggantian Kapolri merupakan hak prerogatif Presiden. Pengajuan Tito sebagai Kapolri dinilainya sah secara hukum dan konstitusi.
Langkah Presiden mengajukan Tito sebagai calon Kapolri harus dipandang sebagai hal positif untuk kemajuan polri. Jokowi dipastikannya menginginkan perbaikan dalam institusi polri agar lebih profesional.
Wakil Ketua Umum dan Koordinator Kadin Kawasan Timur Indonesia Andi Rukman Karumpa mengatakan, Tito diharapkan dapat menuntaskan gangguan keamanan kelompok Santoso di Poso, Sulawesi Tengah. Menumpas jaringan Santoso adalah tugas berat. Dia mengatakan, banyak investor yang urung berinvestasi ke Sulawesi Tengah.
Andi juga mengingatkan, lokasi perburuan Santoso diapit oleh dua objek vital sangat strategis, yakni Kawasan Ekonomi Khusus Palu dan Kawasan Industri Morowali. “Kita mau undang investor ke sana, selalu ditanya soal Santoso. Ini tak enak,” ujar Andi.
Kehadiran kelompok bersenjata yang sedang diburu tersebut sangat mengganggu urat nadi perekonomian di Sulawesi. Secara geografis, daerah operasi Santoso berada di Kabupaten Poso yang letaknya persis di tengah Pulau Sulawesi. Kapolri mendatang diharapkannya dapat menuntaskan permasalahan Santoso dengan cara apa pun.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Bahlil Lahadalia mengatakan, Komjen Tito memiliki kemampuan yang sudah lengkap mulai dari prestasi, kompetensi, dan profesionalitas beliau yang dinilai tidak diragukan lagi.
Bahlil yang juga merupakan tokoh muda Papua itu juga menyaksikan sendiri keberhasilan Tito dalam menjaga stabilitas dan kondusivitas pemilu di Papua. Berbagai potensi gejolak di Papua berhasil diredam.
“Pilkada dan pemilu di Papua termasuk paling rawan. Potensi gejolaknya sangat tinggi se-Indonesia. Namun, kami di Papua menyaksikan kepiawaian Tito dalam mengawal pesta demokrasi di Papua,” kata Bahlil.
Selama memimpin Polda Papua, lanjutnya, Tito juga dinilainya sukses menekan konflik horizontal, perang antarkampung, antarsuku, serta menekan gejolak ancaman disintegrasi. Hal ini, menurut Bahlil, lulusan terbaik Akademi Kepolisian 87 ini tak hanya cakap secara akademik. Tito dinilainya mampu menyelesaikan persoalan di lapangan.
Bahlil mengatakan, tugas berat sudah menanti Tito, yakni bagaimana mengurangi kriminalisasi di dunia usaha. Bahlil yakin, dengan kecakapannya, Tito mampu mereformasi dan membentuk postur kepolisian yang profesional dari atas hingga ke bawah.
rep: Mabruroh/antara, ed: Erdy Nasrul
Sebuah rencana gerakan untuk cuti sehari beredar di media sosial. Gerakan tersebut mengajak para pendukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok untuk menggunakan jatah cuti mereka sehari saja sehingga bisa mengikuti proses verifikasi yang dilakukan KPU DKI.
Hal itu sekaligus menjawab kekhawatiran Ahok yang sempat mengeluh bahwa pendukungnya akan kerepotan terkait dengan aturan baru soal verifikasi dukungan bagi calon perseorangan dalam UU Pilkada.
“Begitu enggak ada di rumah, (dikasih) 3 hari batas waktu kamu mesti datang ke PPS terdekat. PPS terdekat buka 24 jam enggak? Kalau dia cuma bilang buka jam kerja saja, harus minta cuti dulu buat datang. Ada berapa orang dong yang mau cuti?” kata Ahok beberapa waktu lalu.
Dalam UU Pilkada yang telah direvisi, verifikasi faktual mewajibkan petugas KPU untuk bertatap muka dengan pemilik KTP yang memberi dukungan untuk calon indepeden. Jika tidak bisa ditemui, para pendukung memiliki waktu tiga hari untuk datang ke kantor PPS dan melakukan verifikasi.
Atas dasar itulah gerakan cuti satu hari muncul dan menjadi viral di media sosial. Tidak jelas siapa yang pertama kali menyebarkan hal itu.
Demokrasi partisipatif
Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan gerakan tersebut merupakan sebuah bentuk demokrasi partisipatif. Model demokrasi di Jakarta dari dulu cenderung berbentuk demokrasi mobilisasi.
Bibit-bibit semangat demokrasi partisipatif, kata Yunarto, sebenarnya sudah muncul ketika Jokowi dan Ahok maju pada Pilkada DKI 2012.
“Bagaimana pemilih tidak lagi diberikan atribut, melainkan diajak membeli baju kotak-kotak sebagai bentuk kerelaan mendukung,” ujar Yunarto kepada Kompas.com, Jumat (10/6/2016).
Sikap pemilih semacam itu sulit untuk dibentuk. Biasanya pendukung di Jakarta cenderung apatis dan pragmatif, khususnya pada masyarakat kelas menengah ke atas yang tidak peduli dengan proses pemilu.
“Menurut saya biasanya orang kota menghindari, kelas menengah juga menghindari. Tapi kemudian ada euforia seperti ini mereka bersedia ikut sibuk,” ujar Yunarto.
Ia menambahkan, munculnya gerakan cuti itu menambah geliat demokrasi partisipatif yang sudah dimulai sejak Pilkada DKI 2012.
“Ini merupakan rentetan dari kampanye ala partisipatif yang sudah dimulai dari jaman Jokowi Ahok,” kata dia.
Sumber : Kompas.com
Kelompok relawan pendukung Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, “Teman Ahok”, diminta untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai kebijakan verifikasi faktual dukungan bagi calon independen, yang diatur dalam Undang-Undang Pilkada yang baru.
Berdasarkan UU tersebut, pasangan calon independen diberi waktu 3 hari untuk menghadirkan pendukung mereka ke Kantor Panitia Pemungutan Suara, apabila pendukung mereka itu tidak bisa ditemui petugas yang melakukan verifikasi dengan metode sensus.
“Harus disadari, ini bukan pertarungan Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) saja terkait soal itu. Ini terkait semua pihak bahwa jalur independen harus dihormati,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).
Menurut Yunarto, aturan dalam UU Pilkada yang baru disahkan ini dianggapkan menyulitkan calon yang maju melalui jalur independen atau perseorangan.
Yunarto menilai, verifikasi faktual selama tiga hari tidak mungkin terlaksana dengan baik dan menghambat kesempatan calon independen untuk ikut pilkada.
Selain itu, ia melihat adanya ketidaksetaraan antara calon independen dan calon dari partai politik.
“Secara logika itu hampir tidak mungkin dilakukan. Apalagi di kota besar yang pemilihnya sangat sibuk. Tidak mungkin tiga hari kemudian digugurkan gitu dukungannya,” ujar Yunarto.
Untuk menggugat kebijakan ini, lanjut dia, Teman Ahok dapat berkolaborasi dengan pegiat demokrasi lainnya.
Penggabungan antara Teman Ahok dan aktivis demokrasi lainnya, kata dia, bisa menjadi kekuatan besar dalam mengajukan gugatan perihal kebijakan verifikasi faktual ini.
Ia juga mengingatkan bahwa Teman Ahok tidak hanya memperjuangkan kesempatan Ahok ikut Pilkada DKI 2017 dengan mengajukan gugatan tersebut.
Dengan gugatan ini, lanjut dia, Teman Ahok dapat memperjuangkan demokrasi secara utuh. “Jangan jadikan demokrasi ini kultus memenangkan Ahok, tapi demokrasi secara utuh,” kata Yunarto.
Di sisi lain, Teman Ahok juga perlu menyiapkan langkah terburuk saat kebijakan tersebut benar terlaksana.
Yunarto menilai Teman Ahok perlu melakukan mobilisasi para pendukung secara cerdas.
Salah satu caranya adalah dengan mengingatkan para pendukung akan adanya verifikasi faktual yang harus ditempuh.
Para pendukung Ahok juga dinilainya harus siap repot apabila petugas verifikasi datang ketika pendukung tak ada di rumah.
“Sehingga kegagalan dalam waktu tiga hari bisa diperkecil kemungkinan,” ujar Yunarto.
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah yang baru disahkan pada rapat paripurna DPR, Kamis (2/6/2016), memuat ketentuan yang memperketat proses verifikasi kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat pilkada untuk calon indepenen.
Ada dua jenis verifikasi yang diatur dalam Pasal 48 UU Pilkada. Pertama adalah verifikasi administrasi yang dilakukan KPU tingkat provinsi/kabupaten/kota dibantu oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS).
Kedua, adalah verifikasi faktual dengan metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya.
Jika pendukung calon tak bisa ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di Kantor PPS.
Namun, jika pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukung mereka ke Kantor PPS dalam 3 hari, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Sumber : Kompas.com
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tak perlu lagi membahas perihal benar atau salah jalur independen dalam pilkada. Terutama perihal pencalonan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok lewat jalur perseorangan.
“Intinya menurut saya sudah proses dialektika proses independen sudah selesai. Jangan masuk ke sana (perdebatan jalur independen),” kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).
Jika membaca sejarah, Yunarto menuturkan antara PDI-P dengan Ahok dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 bukan perbedaan cara pandang kinerja. Namun lebih ke cara pandang prosedur.
Ahok merasa bisa mempertemukan partai dengan Teman Ahok. Sementara di sisi lain PDI-P memandang Ahok harus melewati mekanisme partai.
“Saya pikir yang harus dikompromikan prosedural dan teknis. Jangan lagi benar dan salah. Itu kurang elok statement seperti itu,” ungkap Yunarto.
Menurutnya, ada wilayah abu-abu yang sebenarnya bisa mempertemukan antara Ahok dan PDI-P. Pertama, jika Ahok tetap memilih jalur independen, PDI-P dalam hal ini bisa membuat peluang Heru Budi, bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta bisa masuk menjadi kader partai. Pasalnya itu bisa jadi bisa mewakilkan partai.
“Kalau Ahok masuk jalur parpol dan teman-teman partai lain, bagaimana kemudian aspirasi Teman Ahok bisa ditampung,” kata Yunarto. (Baca: Kalau Ahok Akui Jalur Independen Salah, PDI-P Siap Menjagokannya)
Aspirasi itu mulai dari pengakomodiran peran Teman Ahok dalam kampanye. Selain itu juga aspirasi setelah Ahok menjabat kembali sebagai gubernur.
“Harusnya varian seperti itu dimunculkan, bukan setback (kembali) seperti Bang Hugo tadi katakan itu (jalur independen) salah. Itu mengulang perdebatan independen bagian deparpolisasi atau independen lebih buruk,” kata Yunarto.
Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Andreas Hugo Pareira sebelumnya mengatakan bahwa partainya masih membuka peluang untuk mengusung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersama Djarot Saiful Hidayat sebagai calon kepala daerah pada Pilkada DKI 2017.
Namun, Ahok harus mengakui terlebih dahulu bahwa jalur independen yang ditempuhnya bersama kelompok relawan Teman Ahok adalah langkah yang salah.
Sumber : Kompas.com
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai batas waktu tiga hari untuk verifikasi faktual pendukung calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah tidak masuk akal. Pasalnya verifikasi faktual tak mungkin cukup dilaksanakan hanya dengan waktu maksimal tiga hari.
“Itu bentuk ketidakhormatan DPR terhadap pengakuan jalur independen. Bagaiaman mungkin dia melampaui logika yang sudah dibuat oleh KPU,” kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).
KPU menargetkan waktu 14 hari untuk melakukan verifikasi faktual pendukung calon perseorangan/independen. Tenggat waktu tersebut dinilai pas, dibanding maksimal hanya tiga hari untuk melakukan verifikasi faktual.
Verifikasi faktual dilakukan dengan metode sensus, yakni menemui langsung setiap pendukung calon yang menyerahkan KTP-nya. Jika pendukung calon tak bisa ditemui, maka pasangan calon diberi kesempatan untuk menghadirkan mereka di Kantor PPS.
Namun, jika pasangan calon tak bisa menghadirkan pendukung mereka ke Kantor PPS dalam waktu 3 hari, maka dukungan calon dinyatakan tidak memenuhi syarat.
“Tapi melampaui dari keputusan KPU yang 14 hari menjadi tiga hari, itu menurut saya pendegradasian keputusan yang telah diakui negara terhadap jalur independen,” ungkap Yunarto.
Bahkan Yunarto menilai verifikasi faktual itu menyulitkan siapa pun calon perseorangan. Menurutnya secara logika tidak dapat terlaksana dengan baik di lapangan. Terlebih calon perseorangan itu bertarung dalam pilkada di kota-kota besar di mana para pemilihnya sangat sibuk.
“Tidak mungkin tiga hari kemudian digugurkan gitu dukungannya,” ungkap Yunarto.
Kebijakan verifikasi faktual ini dinilai bisa menimbulkan logika baru. Salah satunya yakni permintaan untuk melakukan verifikasi faktual serupa terhadap pemilih partai-partai politik dalam pemilihan legislatif beberapa tahun silam. “Menurut saya harus digugat sehingga tidak ganggu kesetaraan antara jalur independen dan parpol. Bukan hanya konteks DKI, tapi juga keseluruhan pilkada sampai 2018,” tegas Yunarto.
Sumber : Kompas.com
Pemilihan calon ketua umum Partai Golkar akhirnya mengantar Setya Novanto menjadi nakhoda baru di partai berlambang beringin itu. Setnov menjadi ketua umum setelah pesaing terdekatnya, Ade Komarudin, memutuskan tak maju pada pemilihan putaran kedua.
Dalam Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Golkar di Nusa Dua, Bali, Selasa (17/5) dini hari, Setnov–sapaan Novanto–mendapat 277 suara. Ade berada di posisi kedua dengan 173 suara.
Posisi itu sebenarnya masih memungkinkan pemilihan untuk dilanjutkan ke putaran kedua. Sebab, aturan pemilihan memang memungkinkan calon ketua umum yang meraih dukungan di atas 30 persen dari 554 suara berhak maju ke putaran kedua.
Namun, Akom–panggilan akrab Ade–memilih tidak melanjutkan pemilihan ke putaran kedua. Ketua DPR itu memilih legawa dengan hasil pemilihan demi kepentingan Golkar.
Langkah Akom itu mendapat pujian dari pengamat politik Yunarto Wijaya. Menurut Yunarto, langkah politik Akom telah menjadi catatan penting bagi partai berlambang beringin itu.
“Bagi saya, star-nya (bintang Munaslub Golkar–Red) adalah Akom. Dia berhasil belajar dari pengalaman itu dan memutuskan untuk mundur, bukan Novanto,” ujar Yunarto dalam keterangan tertulisnya, Selasa (17/5).
Direktur Eksekutif Charta Politika itu menjelaskan, sebenarnya banyak pemilik suara di munaslub yang ingin merapat ke Akom jika pemilihan berlanjut ke putaran kedua. Namun, Yunarto menambahkan, Akom justru tak mau head to head dengan Setnov di putaran kedua.
Yunarto melihat sikap kompromistis Akom itu justru penting bagi Golkar. Sebab, langkah itu justru mencegah Golkar dari pertarungan yang lebih keras yang biasanya muncul partai sempalan akibat kekecewaan karena kalah dalam pemilihan ketua umum. Hal itu terbukti dengan terbentuknya Gerindra, Hanura, dan Nasdem setelah Munaslub Golkar 2004 dan 2009.
“Harus diakui, ini sisi negarawan Akom yang belajar dari 2009, ketika head to head memunculkan parpol baru dan terbukti menurunkan suara Golkar,” ulasnya.
Yunarto juga mengatakan, hal yang perlu segera dilakukan Golkar di bawah komando Setnov adalah mempercepat rekonsiliasi setelah setahun lebih terbelit konflik internal. Menurut dia, semangat rekonsiliasi di munaslub harus tetap dipertahankan.
“Pasca-pertarungan luar biasa selama setahun lebih, berakhir klimaks ketika Akom mundur dan merelakan ambisinya. Minimal munas kali ini lebih steril dan jauh dari risiko perpecahan partai,” tegasnya.
Sumber : RMOL
Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra dinilai memiliki peluang paling kecil untuk dipilih Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto apabila mempertimbangkan hubungan kedekatan bakal calon dengan Prabowo.
Jika dibandingkan dengan dua tokoh lainnya, yakni pengusaha Sandiaga Uno dan mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsudin, Yusril dinilai paling tidak dekat dengan Prabowo.
Apalagi, Yusril juga bukan kader Gerindra. “Sulit menerima logika bahwa partai yang cukup besar seperti Gerindra harus melepas tiket gratis kepada non-kader yang itu akan merusak proses kaderisasi juga,” ujar Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya kepada Kompas.com, Rabu (27/4/2016).
Adapun Yusril, Sandiaga, dan Sjafrie, adalah tiga nama yang disetorkan DPD DKI Jakarta Gerindra untuk dipilih Prabowo sebagai bakal calon gubernur, yang akan diusung Gerindra pada Pilkada DKI 2017.
Yunarto mengatakan di antara ketiga nama tersebut, Sjafrie merupakan bakal calon yang paling dekat dengan Prabowo.
Menurut Yunarto, Partai Gerindra merupakan partai yang memiliki komando sentral di tangan ketua umumnya, yaitu Prabowo.
Dengan demikian, kata dia, faktor kedekatan dengan ketua umum menjadi penting.
“Keunggulan Pak Sjafrie adalah kedekatan secara chemistry dengan Prabowo. Kita tahu sepak terjang Pak Sjafrie dengan Prabowo sama-sama tentara,” ujar Yunarto.
Sjafrie memang bukan kader partai. Namun, kedekatan personalnya dengan Prabowo bisa menguntungkan.
Jika Sjafrie masuk menjadi kader Partai Gerindra, Yunarto mengatakan, peluang Sjafrie akan lebih besar lagi.
Sementara itu, Sandiaga Uno, adalah kader Parta Gerindra yang sempat disanjung Prabowo saat acara ulang tahun Partai Gerindra beberapa waktu lalu.
Namun, menurut Yunarto, kedekatan Prabowo dengan Sandiaga baru sebatas hubungan antar-kader saja, bukan kedekatan personal.
“Sama Sandiaga bisa dikatakan ada kedekatan karena sesama Gerindra. Tetapi dengan Sjafrie kan kedekatan personal.
Punya sejarah sama-sama angkatan 1974, jadi tentara. Itu jauh lebih dalam kedekatannya,” ujar Yunarto.
Sumber : Tribbun Jambi
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat ini memiliki modal kerja yang memadai. Menurut survei berkala Saiful Mujani Research and Consulting pada Maret lalu, tingkat keyakinan publik terhadap kemampuan memimpin Presiden Jokowi mencapai 72 persen, kepuasan terhadap kinerja 59 persen, dan penilaian bahwa arah perjalanan bangsa sudah berada pada jalur yang benar 81 persen (Kompas, 18/4/2016).
Modal kerja ini bukan sesuatu yang ajek. Berbagai peristiwa, pengamatan, dan pengalaman publik secara langsung ataupun melalui media massa dan media sosial dapat mendevaluasinya meski juga mempunyai peluang untuk terus ditingkatkan, terutama terkait kepuasan terhadap kinerja pemerintahan. Karena itu, selain meneruskan prioritas pembangunan di sektor infrastruktur, kemaritiman, dan pangan yang notabene memiliki kandungan kegiatan fisik yang dominan, pemerintahan Jokowi-JK juga perlu meningkatkan tindak komunikasi politiknya.
Salah satu tindak komunikasi yang menjadi sorotan publik adalah silang pendapat yang tajam di antara para pembantu presiden. Silang pendapat ini dinilai tak hanya menimbulkan kegaduhan yang tak perlu, tetapi sekaligus mengindikasikan adanya pemerintah yang terbelah. Pemerintah yang tidak kohesif mengganggu nalar publik dan juga menimbulkan kecemasan di kalangan pelaku bisnis. Jika terus berlanjut, ini berpotensi akan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Dialog internal
Secara lebih positif, kegaduhan yang terjadi menunjukkan tingginya intensi ragam pandangan alternatif tentang bagaimana tujuan pembangunan yang telah ditetapkan seharusnya diimplementasikan. Karena merasa diabaikan atau tak didengar, penggagas pandangan alternatif ini bergerilya dengan berbagai cara. Hasil yang terbaca oleh publik adalah kegaduhan.
Kegaduhan dipersoalkan karena dinilai sebagai (aksi) politik. Politik atau politikus diandaikan hanya diperlukan pada saat penetapan tujuan (input) dan hadir kembali pada saat menilai hasilnya (output). Sebagaimana dikatakan Stoker (2006), “A good Weberian bureaucracy would not brook political interference over its appointments or rules, and it would be protective of the sensibilities of its experts. Equally, a good new public management system gives managers the freedom to manage.” Menurut cara pandang seperti ini, kehadiran aksi politik dan atau politikus pada tahapan proses dinilai sebuah kegagalan dari sistem.
Pengebirian politik punya implikasi serius: tersingkirnya beragam pandangan para pemangku kepentingan (shareholders) bangsa tentang apa yang seharusnya menjadi kepentingan bersama. Pokok sepenting ini ditetapkan sepihak menurut preferensi individu, bukannya berbasis preferensi kolektif dari yang dicapai melalui proses deliberatif yang melibatkan para pihak. Dalam konteks kegaduhan pada kabinet kerja, para menteri bertindak menurut preferensi dirinya dan mengabaikan koleganya yang lain. Sangat boleh jadi, preferensi tersebut adalah hasil agregasi dari aspirasi pemangku kepentingan sektoralnya atau hasil telaah para ahli. Ia jadi masalah karena kemudian melupakan para koleganya yang juga memiliki cara pandang berbeda tentang kebijakan publik yang mereka pertengkarkan.
Belajar dari pengalaman kegaduhan ini, sudah saatnya keragaman pandangan difasilitasi, dan itu dimulai dari internal pemerintah. Dengan menggunakan kalimat dari pemerintah sendiri, diperlukan adanya “Revolusi Mental” dalam pengelolaan pemerintahan. Langkah awalnya adalah menyingkirkan asumsi bahwa menteri yang benar adalah menteri yang steril dari bias kepentingan parpol (jika ia dari unsur parpol) atau world of view yang mendasari keahliannya (jika ia dari unsur profesional).
Asumsi seperti ini justru menyuburkan kecurigaan satu sama lain alih-alih menumbuhkan kesalingpengertian. Karena itu, menteri seyogianya harus dipandang sebagai figur yang punya muatan nilai-nilai. Kesadaran akan keragaman pandangan ini merupakan motor penggerak berlangsungnya dialog yang deliberatif.
Meminjam strategic triangle-nya Moore (Moore dan Sanjeev, 2004), ada tiga pencakupan utama proses dialog. Pertama, mengkreasikan apa yang menjadi public value bagi Kabinet Kerja. Keragaman parpol pengusung dan preferensi menteri dari kalangan profesional perlu dipertemukan dan sekaligus didialogkan dengan tujuan pembangunan yang sudah ditetapkan dalam RPJMN atau dokumen lainnya. Kedua, membangun legitimasi dan dukungan politik sebagai bagian dari terus memperbarui mandat dan kepercayaan dari publik. Ketiga, menetapkan kapasitas operasional untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Dalam hal ini, proses dialog akan memediasi dan memberi bobot yang sama terhadap pertimbangan filosofis, politis, dan teknis. Selama ini, tujuan politik yang besar biasanya mengalami pereduksian dan pergeseran ketika bertemu dengan pertimbangan teknis dan atau kalkulasi politik. Tidak jarang juga, pertimbangan filosofis dari sebuah kebijakan diabaikan karena dinilai tak efisien atau sebaliknya tetap dipaksakan meski tidak relevan dengan konteks situasi yang tengah dihadapi. Dialog yang deliberatif memberi ruang yang sama bagi ketiga pertimbangan ini.
Kata kunci pentingnya adalah nilai tambah yang dapat diberikan melalui kebijakan publik yang dipilih. Karena itu, pilihan terhadap cara mengonversi tujuan pembangunan menjadi hasil yang dikehendaki juga harus dibebaskan dari egoisme sektoral ataupun ideologi.
Dalam konteks permasalahan yang kian kompleks dan saling tertaut di era globalisasi, para pemimpin dituntut lebih berpikiran terbuka. Pilihan strategis eksekutornya dapat saja kementerian, sektor privat, perusahaan kerja sama, ataupun komunitas. Pemilihannya didasarkan pertimbangan taktis, yakni yang memberikan alternatif pilihan terbaik bagi pengguna (Kelly, Mulgan dan Muers, 2002).
Lebih daripada itu, dalam konteks sebagai penyedia layanan, para pembantu presiden juga perlu memiliki kapasitas kepemimpinan yang sesuai. Broussine (2003), umpamanya, menyebut kapasitas kepemimpinan yang dibutuhkan itu adalah: toleransi terhadap ambiguitas dan ketidakpastian, menyadari ketidaklengkapan pengetahuan; mengembangkan pemimpin dan kepemimpinan melalui organisasi, dan kemampuan melakukan refleksi kritis.
Tiga langkah konkret
Proses dialog di internal kabinet ini perlu disokong dengan sekurangnya tiga tindakan praktis. Pertama, Presiden menyiapkan semacam panduan baru tentang visi dan arahan prioritas pembangunan yang dikehendakinya selaku kepala pemerintahan. Panduan tambahan ini harus cukup singkat dan mendeskripsikan pilihan titik berdiri pemerintah pada isu-isu strategis. Contoh sederhana, kemandirian pangan, umpamanya, tidak mungkin dicapai seketika dengan biaya berapa pun (biaya ekonomi, sosial, maupun politik). Karena itu, perlu ada batasan toleransi, sekaligus ruang manuver pun inovasi untuk melakukan tindakan-tindakan konkret yang secara jangka pendek dapat saja dimaknai sebagai “pelanggaran” terhadap prinsip kemandirian tersebut.
Panduan baru ini berfungsi untuk menjembatani panduan normatif yang sudah ada, seperti janji kampanye Jokowi-JK yang dikenal dengan sebutan Nawacita dan Trisakti. Ini merupakan gambaran mengenai posisi politik Jokowi-JK dalam memandang beragam persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan. Janji kampanye ini telah diramu ulang dan didetailkan dalam RPJMN 2015-2019. Kedua dokumen ini sepertinya belum mampu menjadi juru pandu para pembantu presiden sebagaimana tecermin dari kerasnya polemik yang berkembang pada isu-isu kebijakan, seperti Blok Masela, pemberantasan pencurian ikan (illegal fishing), atau pembangunan kereta api cepat, untuk menyebut beberapa contoh.
Terkait itu, kedua, Presiden Jokowi perlu melembagakan proses kajian internal, yaitu tanggapan dan rekomendasi dari kementerian terkait terhadap rencana kebijakan kementerian lain yang terutama mempunyai dampak lintas sektoral. Kajian internal dilakukan baik dalam bentuk pertemuan tatap muka maupun melalui pertukaran dokumen.
Berbeda dengan koordinasi, kajian internal ini merupakan bentuk kerja bersama dalam konteks jaringan di antara elemen pemerintahan. Kerja bersama mengandaikan adanya kewajiban formal untuk melakukannya, adanya komitmen terhadap hasil-hasil pembahasan serta dibarengi semangat kesukarelaan karena kesadaran sebagai sesama pembantu presiden yang mempunyai kewajiban mengonversi tujuan menjadi hasil-hasil yang diharapkan melalui cara-cara yang disepakati bersama. Karena itu, kajian internal ini perlu memiliki prosedur yang jelas dan terbuka sehingga publik juga dapat melakukan penilaian dan pengawasan.
Melalui kajian internal seperti ini, seluruh aspek dapat ditelaah dan secara politik “semua kartu” harus diletakkan di atas meja agar pengambilan keputusan menghasilkan pilihan kebijakan kedua terbaik (second best policy). Asumsinya, pilihan kebijakan pertama bersifat ideal dan karena itu tidak mungkin diaplikasikan sebab kebijakan pembangunan merupakan tindak politik yang tidak berada di ruang kosong. Dalam hal ini, rapat kerja terbatas kabinet dapat difungsikan sebagai medium pengambilan keputusan manakala proses kajian internal ini tidak bisa menghasilkan titik temu yang dapat disepakati di antara para pihak.
Untuk melengkapi ini, ketiga, tim kepresidenan harus lebih proaktif melengkapi dua proses di atas dengan menyiapkan skenario kemungkinan terhadap pilihan kebijakan yang disepakati bersama. Skenario kemungkinan ini terutama dibutuhkan agar proses pengomunikasian kebijakan menunjukkan adanya kesatuan pendapat yang mencerminkan sikap pemerintah, juga menunjukkan adanya niat baik sekaligus membangun kesalingpengertian dengan di antara pihak.
Kesalingpengertian ini menjadi penting terutama sekali ketika isu-isu pembangunan yang kompleks telah direduksi secara kebablasan menjadi narasi yang simplistis, seperti pro rakyat vs anti rakyat; anti asing vs pro asing; dan pro lingkungan vs anti lingkungan. Padahal, proses dan kebijakan pembangunan jarang pernah menjadi hal yang sederhana. Publik saatnya diedukasi dan sekaligus dilibatkan dalam pembahasan sebelum kebijakan tersebut diputuskan menjadi kebijakan publik. Dengan cara ini, selain membangun pembelajaran bagi semua pihak, termasuk menumbuhkan empati terhadap sudut pandang pihak lain, betapapun tidak setujunya dengan pandangan tersebut.
Dialog yang deliberatif di internal elemen pemerintah tidak sekadar dibutuhkan untuk memberi keyakinan bahwa pemerintah tetap fokus bekerja dan kohesif, tetapi juga dibutuhkan ketika proses dialog deliberatif ini diterapkan dalam konteks kenegaraan. Dalam hal ini, pihak yang terlibat mencakup seluruh pemangku kepentingan kunci (key shareholders): parpol, sektor publik, pakar, komunitas pun asosiasi warga. Pemerintah yang terbelah jelas akan menjadi beban bagi proses dialog karena menambah kerumitan ketika negosiasi dan kompromi harus dilakukan.
Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 April 2016, di halaman 6 dengan judul “Menggagas Kabinet Kohesif“.
Charta Politika Indonesia menyelenggarakan survei preferensi politik masyarakat DKI Jakarta menjelang pemilihan Gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022. Pengumpulan data dilakukan pada 15–20 Maret 2016 melalui wawancara tatap muka dengan menggunakan kuesioner terstruktur.
Jumlah sampel sebanyak 400 responden yang tersebar di lima wilayah kota administrasi dan satu Kepulauan (Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Kepulauan Seribu). Survei ini menggunakan metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan margin of error ± (4,9%) pada tingkat kepercayaan 95%.
