Surya Paloh, Nasdem, dan Keindonesiaan

LINTASAN perjalanan politik seolah berulang. Pada 2004 lalu, Surya Paloh jadi salah satu peserta konvensi Golkar untuk memilih capres yang akan diusung partai itu. Pada 2020 lalu, Surya Paloh kembali muncul terkait konvensi pencapresan. Bedanya, kali ini ia memilih hanya menjadi sutradara sekaligus inisiator dari konvensi capres Partai NasDem yang dipimpinnya.

Pilihan SP (inisial populer yang paling sering dipakai para politikus terhadapnya walau saya sendiri memanggilnya dengan sebutan ‘Bang Surya’) menggelar konvensi untuk sebagian kalangan membersitkan pertanyaan. Logika sederhananya seperti ini: buat apa capek-capek mendirikan partai politik tatkala ada peluang dicalonkan secara mudah malah justru diberikan kepada orang lain. Terlebih, temuan sejumlah survei menunjukkan hingga saat ini belum ada kandidat yang punya peluang tinggi untuk memenangi Pilpres 2024.

Namun, sungguh keliru jika berkesimpulan SP bukanlah sosok yang tak punya ambisi politik. Keikutsertaannya pada konvensi Golkar dan kemudian upayanya membesarkan NasDem menunjukkan dia bukan politisi tanpa ambisi. Namun, seperti diakuinya sendiri, ambisi personal menjadi presiden atau wapres sudah berakhir untuk dirinya. Dengan kata lain, dia kini sedang menggendong ambisi politik yang berbeda. Pilihan sikap politik SP ini sangat mungkin membersitkan spekulasi dan juga prasangka. Menilik jejak politiknya, SP memang sosok yang (mungkin) mudah disalahpahami.

Mudah disalahpahami

Di satu sisi, misalnya, SP secara terbuka menunjukkan kegusarannya terhadap para aktor politik yang menjadikan agama dan etnis sebagai komoditas politik. SP karenanya dengan mudah dilabeli sebagai politikus dari kubu ‘NKRI harga mati’.

Kubu ini kerap diasosiasikan sebagai pihak yang mempromosikan gagasan ‘netral agama’ dan bahkan ada yang melabeli sebagai ‘islamofobia’. Namun, niscaya orang akan kecele jika beranggapan demikian.  Pasalnya, SP dalam berbagai kesempatan justru secara terbuka menunjukkan sosok keislamannya dan juga darah Aceh-nya. Bagi SP, nasionalisme dan agama merupakan dua hal yang bisa berjalan beriringan.

Terkait dengan itu, ia juga termasuk sosok yang mengedepankan inklusivitas dalam kehidupan bermasyarakat. Semua elemen bangsa ingin dirangkulnya. Namun, pada saat yang sama, SP terbilang menarik demarkasi yang tegas terhadap elemen-elemen yang mendukung gerakan radikalisme, terorisme, dan atau yang menolak Pancasila. Kombinasi sikap ini terkadang menimbulkan persepsi bahwa ia lebih memberi ruang kepada kelompok-kelompok minoritas.

Begitupun dalam bersikap. SP sepertinya memisahkan sikap politik dan pertemanan. Dia tak pernah melihat kubu yang berlawanan sebagai musuh, tapi hanya sebagai pesaing atau lawan politik. Karena itu, dia merasa tak ada salahnya menjalin komunikasi dengan kubu politik di luar koalisi, termasuk pada individu-individu yang dianggap tak sejalan dengan pemerintahan Jokowi-Ma’ruf. Sikap ini tak ayal membuat berbagai tudingan terlontar dan jelas tak kompatibel dengan situasi politik saat ini
yang terpolarisasi.

Kepribadian penuh warna ini pula yang kemudian bisa menjelaskan posisi NasDem dalam kancah perpolitikan nasional. Di satu sisi, NasDem, seperti halnya Gerindra dan Demokrat, dapat diklasifikasi sebagai partai personalistik dan personal. Mengacu pada Gunther dan Diamond (2003), partai personalistik ialah partai yang sengaja didirikan untuk memenuhi ambisi politik pendirinya. Callise (2005) mendeskripsikan partai personal sebagai partai yang bertumpu pada kharisma pendirinya yang sekaligus memfasiltasi penyediaan sumber daya secara patronistik.

Namun, NasDem tak sepenuhnya memenuhi kriteria ini. Pasalnya, tidak seperti Demokrat yang asosiasinya hanya melekat pada SBY ataupun Gerindra dengan Prabowo, asosiasi NasDem dengan SP kuat,terutama secara internal, tetapi tidak menggubah partai ini layaknnya menjadi sebuah komunitas
‘Surya Paloh Fans Club’. Daya tarik NasDem secara elektoral dalam perjalanannya justru ‘terdesentralisasi’ ke aktor-aktor lokal di tiap daerah.

Jika PD dan Gerindra secara efektif digunakan SBY dan Prabowo untuk meraih kursi presiden/wakil presiden, NasDem setidaknya dalam dua kali pemilu cenderung menyorongkan kandidat di luar partai (baca: Jokowi). Spekulasi berkembang, bisa jadi SP mengukur diri, bersikap realistis. Karakter pengusahanya dalam hal ini lebih berpengaruh ketimbang libido politiknya sebagai politikus.

Apa pun alasannya, pada titik inilah SP berhasil menempatkan dirinya lebih dari sekadar politikus senior atau ketua umum partai. Ia telah menjadi seoorang sutradara politik yang bertugas menghasilkan sebuah skenario cerita yang baik buat bangsa ini. Tentu saja dimulai dengan memilih bintang-bintang  yang mumpuni untuk membuat cerita betul-betul menjadi indah. Sama seperti ketika seorang Megawati pada 2014, memilih untuk tidak maju di Pilpres dan memajukan kadernya yang memang memiliki peluang lebih besar untuk menang.

Dalam kajian analisis latar belakang SP NasDem bisa juga dikategorikan sebagai partai enterpreneur (enterpreuner party). Salah satu contoh ‘terbaik’ dari tipe ini ialah forza-nya Berlusconi (secara kebetulan juga dikenal sebagai pengusaha media di Italia).

Partai entrepreneur ciri-cirinya sebagai berikut. Pertama, tak memandang penting ideologi dan karenanya bersifat fleksibel terhadap isu dan kebijakan.

Kedua, struktur organisasi yang hierarki dan tersentralisasi. Ketiga, menempatkan pemilih sebagai konsumen dan pengutamaan penggunaan profesional dalam melaksanakan kampanye politik. Keempat, tidak berakar pada gerakan sosial dan tak punya basis di akar rumput. Kelima, figur pemimpin menjadi penting untuk menarik atensi media dan dukungan dari pemilih. Selain itu, keenam, figur-figurnya juga tak berasal dari anggota parlemen dari partai lain (Hlousek dkk, 2010).

Namun, NasDem juga tak sepenuhnya bisa dikategorikan sebagai partai enterprenur secara paripurna. Setidaknya karena tiga hal. Pertama, NasDem sedikit banyak memboyong konstituen dan elite Golkar yang mana SP sebelumnya bergabung. Kedua, meski figuritas SP penting, seperti yang disebut, daya tarik partai ini juga bertumpu pada aktor-aktor di tingkat lokal. Ketiga, NasDem punya restorasi Indonesia sebagai platform politiknya.

Faktor restorasi Indonesia menjadikan NasDem bisa membuat diferensiasi karena punya issue ownership. Akan tetapi,sebagai konsekuensi, publik kerap salah ekspektasi terhadap restorasi Indonesia. Di satu sisi, restorasi menawarkan perubahan. Politik tanpa mahar dan kemudian
konvensi capres menjadi dua penanda penting yang menunjukkan sisi progresif NasDem. Namun, saat bersamaan, Restorasi juga menyorongkan perubahan dalam pengertian membuka diri berpaling ke belakang. Selain pentingnya memulihkan soal keadaban, restorasi dihadapkan pada tantangan menjawab hal-hal aktual yang prinsipiel, termasuk mengenai dibukanya ruang bagi kemungkinan kembalinya presiden dapat lebih dari dua periode.

Tantangan ke depan

Terlepas dari itu, SP dengan NasDem-nya telah memberi warna perpolitikan Indonesia dan berpotensi menjadi pilihan alternatif manakala pemilih jenuh atau ingin menunjukkan rasa marah sesaat pada partai-partai yang selama ini jadi preferensi utama mereka.

Persoalannya, secara internal, SP perlu mencermati kesenjangan antara retorika restorasi dan perilaku politik para aktivis partainya yang terdiri atas banyak elemen dan berada dalam situasi politik yang sangat pragmatis. Mengikuti Hammel dan Svasand (1993), sebagai partai entrepreneur, NasDem telah melewati tahapan pertama yang ditandai keberhasilannya membangun pesan sebagai elemen pembeda (restorasi Indonesia) dan membangun identifikasi pemilih dengan Nasdem.

Namun, saat bersamaan, lika-liku dinamika politik sangat memungkinkan para aktivis partai melakukan berbagai manuver. Secara keorganisasian, secara alamiah muncul dua pengelompokan, yakni kader-kader di parlemen dan aktivis partai yang tak ada di parlemen. Keduanya sangat mungkin berselisih pendapat dan atau punya pilihan taktis-strategis yang berbeda.

Kini, NasDem memasuki tahapan kedua yang ditandai oleh penataan organisasi dan berkepentingan untuk terus melentingkan tingkat elektoralnya. Pada fase kedua ini dibutuhkan gaya kepemimpinan yang berbedaa. SP harus mampu membangun konsensus, tetapi sekaligus membangun mekanisme kontrol. Ini mengandaikan SP harus lebih terlibat. Sementara itu, faktualnya, Paloh selama ini cenderung memberi ruang delegasi yang besar pada elite partai lainnya.

Hal itu menjadi kian penting karena SP punya ambisi besar: berkontribusi untuk mengembalikan kejayaan Indonesia meski dengan itu harus mengorbankan kepentingan dan bahkan mungkin masa depan NasDem. Sementara itu, logika kepartaian telah menumbuhkan aspirasi aktivis politik yang lebih ke berorientasi ke dalam: bagaimana NasDem bertahan, berkuasa, dan bisa terus menjadi wadah penyalur aspirasi dan kepentingan mereka.

Yang sudah pasti, absennya ambisi personal dan posisi elektoral NasDem sebagai partai menengah (menuju papan atas) tak pelak menempatkan Paloh sebagai King Maker yang berpengaruh. Di titik inilah ujian berikutnya menanti. Jika berambisi mengembalikan kejayaan Indonesia dan memulihkan keadaban berbangsa, SP butuh wadah yang kuat.

Agar bisa jadi tumpuan, NasDem butuh modal politik dan keuangan yang sangat mungkin harus dicapai dengan sikap yang lebih pragmatis dan (mungkin) bertentangan dengan keadaban itu sendiri. Bisakah SP dan NasDem lolos dari ujian ini? Waktu yang akan menjawabnya.

Sebagai penutup, saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun ke 70 untuk Bang Surya. Semoga diberi umur panjang dan kekuatan untuk terus berkhidmat merestorasi Indonesia. Sampai kepada impian, bahwa setiap anak-anak di Indonesia dari Sabang sampai Merauke punya kesempatan sama untuk bercita-cita menjadi guru, dokter, insinyur, bahkan menjadi seorang presiden. Tuhan memberkati!

 

Yunarto Wijaya
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Kolom Opini Media Indonesian Hal 6 Jumat, 16 Juli 2021

 

 

Partai Baru, Matematika dan Mati-matian Politik

SUHU politik nasional kembali menghangat dengan aneka manuver elite dan partai politik (parpol) dalam menyongsong Pemilu 2024. Partai-partai baru pun bermunculan memenuhi lapak demokrasi. Di sisi lain, pandemi Covid-19 semakin mengganas.

Kontestasi elektoral masa mendatang akan dijepit oleh korona sekaligus gelombang krisis. Tentu kehadiran parpol baru belakangan ini cukup mengejutkan. Dalam situasi normal saja, betapa sulitnya menjaga stamina politik bagi parpol baru. Apalagi dalam suasana new normal, tentu mereka akan dihadapkan beban berlipat ganda.

Kompleksitas situasi ini penting digambarkan sebagai peringatan dini bahwa peta jalan menuju kontestasi Pemilu 2024 dipenuhi ketidakpastian. Jika merujuk pada matematika sebagai ilmu pasti, sederet data politik kuantitatif terkini bisa menjadi panduan bagi pemain baru untuk mengelola ketidakpastian itu, setidaknya meminimalkan risiko.

Faktor Pemicu

Sampai akhir Juni 2021, tercatat lebih dari sepuluh partai baru bermunculan. Ada parpol yang sudah berstatus badan hukum, ada juga yang belum memperoleh pengesahan, mungkin juga sedang mengurus legalitasnya dari Kementerian Hukum dan HAM.

Partai-partai baru tersebut adalah Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Partai Ummat, Partai Masyumi, Partai Era Masyarakat Sejahtera (Emas), Partai Usaha Kecil Menengah (UKM), Partai Indonesia Terang (PIT), Partai Hijau Indonesia, dan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima).

Kita juga disuguhi kemunculan Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 1945, Partai Indonesia Damai (PID), Partai Demokrasi Rakyat Indonesia Sejahtera (PDRIS), Partai Swara Rakyat Indonesia (Parsindo), Partai Nusantara, dan Partai Negeri Daulat Indonesia (Pandai).

Banyak faktor yang menyebabkan parpol baru berkecambah setiap menjelang pemilu. Ada partai baru yang didirikan sebagai implikasi dari konflik internal yang membelit partai lamanya. Lalu, sejumlah partai baru yang menggunakan simbol agama, nasionalis, dan ”campuran” nasionalis-religius sebagai refleksi keberagaman masyarakat Indonesia tak henti mencoba peruntungan.

Kedatangan partai baru terkadang dipengaruhi oleh romantisme terhadap kekuatan politik tertentu yang berkibar pada zaman Orde Lama maupun Orde Baru. Kembang kempis parpol baru tak pernah sepi pula dari sekadar gaya-gayaan dan kegenitan politisi musiman. Praktisnya, parpol adalah wadah kanalisasi hasrat kuasa elite untuk bergulat di gelanggang demokrasi melalui pemilu.

Semakin Kompetitif

Berdasar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, parpol baru yang diperbolehkan mengikuti pemilu haruslah memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen kabupaten/kota, dan kepengurusan 50 persen kecamatan. Sulit dimungkiri, persyaratan untuk lolos verifikasi faktual di KPU agar menjadi peserta Pemilu 2024 bukanlah perkara gampang.

Di tengah persepsi publik terhadap parpol yang bernada minor, parpol dituntut untuk membangun infrastruktur kepengurusan di tingkat pusat dan daerah. Semuanya membutuhkan jaringan massa yang mengakar, dana yang memadai untuk operasional partai, dan ketokohan yang kuat untuk merebut perhatian audiens.

Jika parpol baru telah memenuhi syarat-syarat administratif sebagai kontestan, pekerjaan rumah selanjutnya, seberapa besar peluangnya untuk menaklukkan ambang batas parlemen 4 persen. Paling mungkin, parpol baru membidik suara swing voters (pemilih mengambang) dan undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan). Juga menggerus basis konstituen partai lama.

Namun, tak mudah juga mengubah pemilih. Lagi pula, partai-partai lama akan terus bergerak merawat konstituen agar tidak terjadi migrasi suara ke kutub lain. Karena itu, selain tokoh atraktif yang punya magnet elektoral, partai baru mesti mengemas diferensiasi dan distingsi program, gairah organisasi, dan jejaring aktor yang menawarkan kebaruan.

Becermin pada hasil Pemilu 2019, tidak ada satu pun parpol baru yang lolos ke Senayan. Partai Perindo hanya mampu meraup 2,67 persen suara; Partai Berkarya memperoleh 2,09 persen; PSI meraih 1,89 persen; dan Partai Garuda hanya 0,50 persen. Bahkan, parpol lama seperti Partai Hanura terdepak dari DPR pada Pemilu 2019. Nasib serupa juga dialami PBB sejak Pemilu 2009 hingga 2019, gagal menembus ambang batas parlemen. Demikian pula PKPI, belum sekali pun lolos ke Senayan dari Pemilu 1999 hingga 2019.

Pelajaran Berharga

Parpol baru tetap berpeluang untuk meraih dukungan publik. Kalau kita menggeser jarum sejarah partai baru di kepemiluan, Partai Nasdem sukses menduduki kursi Senayan dengan 6,7 persen suara pada Pemilu 2014. Mundur ke belakang lagi, pada Pemilu 2009, parpol baru seperti Gerindra berhasil mendapatkan 4,5 persen suara, termasuk Hanura. Tapi, ironisnya Hanura gagal mempertahankan kursi Senayan pada Pemilu 2019.

Jauh melintasi waktu, Partai Demokrat ibarat ”bayi ajaib” pada Pemilu 2004, sukses mendulang 7,4 persen suara. Pada Pemilu 1999, terdapat tiga parpol baru yang bertengger pada posisi moncer, yakni PDIP (33,74 persen), PKB (12,61 persen), dan PAN (7,12 persen).

Potret keberhasilan sejumlah parpol baru mewartakan signifikansi variabel tokoh. Misalkan Nasdem yang mengandalkan Surya Paloh dan Gerindra yang identik dengan Prabowo Subianto. Pun Demokrat yang diasosiasikan dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Hanura yang bertumpu pada Wiranto. Begitu pula PDIP dengan karisma Megawati Soekarnoputri, PKB berkat ketokohan Gus Dur, dan PAN lewat pengaruh Amien Rais.

Di negara-negara lain, ada beberapa kisah sukses parpol baru yang patut dipelajari. Di Prancis, misalnya, kemenangan Partai La Republique en Marche (LREM) berhasil menyabet kursi di parlemen pada Pemilu 2017. Bahkan, pimpinan LREM Emmanuel Macron meraih posisi sebagai presiden Prancis.

Aktivis politik Indonesia juga dapat menyerap energi keberhasilan Partai Demosisto di Hongkong yang dipelopori generasi milenial seperti Joshua Wong dan Nathan Law. Partai yang kesohor dengan ”Gerakan Payung” itu mengikuti Pemilu 2016 dan mampu unjuk gigi sebagai simpul kekuatan politik militan di Parlemen Hongkong.

Mampukah parpol baru di tanah air memodifikasi dan mengadaptasikan jejak kemenangan LREM dan Demosisto sesuai dengan konteks politik elektoral di Indonesia? Namun, melihat matematika elektoral kekinian, parpol baru tidak boleh setengah hati bertarung, tapi harus mati-matian politik.

 

 

Mawardin Sidik

Peneliti Charta Politika Indonesia

Sumber: Jawa Pos
Sumber foto: Jawa Pos