Posts

Charta Politika Indonesia: Ahok-Djarot paling unggul saat debat

Hasil survei Charta Politika Indonesia menyebutkan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok)- Djarot Saiful Hidayat sebagai pasangan yang paling diunggulkan saat debat cagub-cawagub pada Jumat (13/1) lalu dengan elektabilitas mencapai 40,5 persen.

Sedangkan cagub-cawagub nomor urut tiga Anies Baswedan- Sandiaga Uno berada di posisi kedua dengan 25,2 persen dan cagub-cawagub nomor urut satu Agus Harimurti Yudhoyono- Sylviana Murni berada di urutan paling buncit dengan elektabilitas 24,3 persen.

“Secara keseluruhan, pasangan Ahok-Djarot dinilai yang paling unggul dalam debat pertama 40,5 persen. Kemudian urutan kedua adalah pasangan Anies-Sandi 25,2 persen dan pasangan Agus-Sylvi berada di urutan terakhir 24,3 persen,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, saat jumpa pers survei bertajuk ‘Peta Elektoral Cagub dan Cawagub DKI Jakarta Jelang Pencoblosan‘ di Kantor Charta Politika Indonesia, Jalan Cisanggiri III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (1/2).

Yunarto menuturkan, dari hasil survei yang dilakukan, Ahok-Djarot juga dinilai sebagai pasangan yang paling baik dalam hal visi misi dan program kerjanya.

“Pasangan Ahok-Djarot dinilai yang paling baik dalam menyampaikan visi, misi dan program kerja (dengan elektabilitas) 40,1 persen. Kemudian pasangan Anies-Sandi 28,2 persen, dan Agus-Sylvi 24,9 persen,” tambahnya.

“Masyarakat semakin aware. Ada penilaian tersendiri, Ahok dianggap berimbang dengan Anies dalam program, Agus terlemah dalam program,” sambungnya.

Tidak hanya itu, lanjutnya, pasangan petahana juga mendapat respon positif dalam memberikan solusi atas permasalahan yang terjadi di Ibu Kota dengan elektabilitas 34,2 persen. Disusul Anies-Sandi 32,3 persen dan Agus-Sylvi 29,5 persen. Sedangkan 4,0 persen responden tidak menjawab.

“Pasangan Ahok-Djarot juga dinilai yang paling baik dalam memberikan solusi atas permasalahan di DKI,” imbuhnya.

Lembaga survei Charta Politika Indonesia melakukan survei preferensi politik masyarakat DKI Jakarta, dimana pengumpulan data dilakukan pada tanggal 17-24 Januari 2017 melalui wawancara tatap muka dengan menggunakan kuesioner terstruktur.

Jumlah sampel sebanyak 767 responden yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi DKI Jakarta. Survei ini menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error +- 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen..

Merdeka.com

Charta Politika: Ahok-Djarot Unggul di Semua Wilayah

Jelang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017, lembaga survei Charta Politika merilis hasil survei yang digelar pada 17-24 Januari 2017. Hasilnya, pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Syaiful Hidayat (Ahok-Djarot) unggul di semua wilayah dan kemenangan terbesar pasangan ini terletak di wilayah Jakarta Barat dan Kepulauan Seribu.

“Semua daerah hampir merata, Ahok unggul. Jakarta Barat tinggi, saya kira ini basis Ahok. Dan Kepulauan Seribu, walau responden kami kecil di sana, tapi 50 persen responden memilih Ahok,” jelas Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya dalam rilis hasil survei, Rabu (1/2).

Survei bertajuk “Peta Elektoral Cagub dan Cawagub DKI Jakarta Jelang Pencoblosan” ini memiliki sampel sebanyak 767 responden yang tersebar di lima wilayah kota administrasi (Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur) dan satu kepulauan yakni Kepulauan Seribu.

Untuk tren elektabilitas, Yunarto mengatakan, bila dibandingkan dengan survei pada November 2016, pasangan calon Agus-Sylvi mengalami penurunan tajam (29,5 persen menjadi 25,9 persen), Ahok-Djarot meningkat tajam (28,9 persen menjadi 36,8 persen), dan Anies-Sandi stagnan (26,7 persen menjadi 27 persen).

“Kami lihat, undecided voters mengalami penurunan, dari 14,9 persen menjadi 10,3 persen. Makin dekat pemilihan undecided voters menurun,” tambah Yunarto.

Berdasarkan survei, ia melanjutkan, sebanyak 199 responden memilih pasangan caon nomor satu karena tegas, program kerjanya, dan ganteng. Sebanyak 282 responden memilih Ahok-Djarot mayoritas karena kinerja yang bagus dan tegas. Sedangkan, Anies-Sandi dipilih oleh 207 responden karena baik, program kerja menarik dan pintar.

Sementara itu, debat berpengaruh besar terhadap elektabilitas pasangan calon. Menurut Yunarto, debat dan elektabilitas memiliki korelasi yang linear.

“Pengaruh cukup besar dari pandangan masyarakat Jakarta terhadap kemampuan pasanga calon (lewat debat), (debat) berpengaruh pada pilihan mereka,” katanya.

Secara keseluruhan, pasangan calon Ahok-Djarot unggul dalam debat kedua pada 13 Januari (40,5 persen) disusul Anies-Sandi (25,2 persen) dan Agus-Sylvi (24,3 persen).

“Pasangan yang paling baik dalam visi misi dan program kerja (adalah) Ahok, yang paling baik memberikan solusi juga Ahok,” tambah Yunarto. (obs)

Charta Politika: Agus-Sylvi 25,9%, Ahok-Djarot 36,8%, Anies-Sandi 27%

Hasil survei yang dilakukan Charta Politika memperlihatkan bahwa cagub-cawagub DKI Jakarta nomor pemilihan satu, Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni, memiliki elektabilitas 25,9 persen.

Kemudian, cagub-cawagub nomor pemilihan dua, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat, memiliki elektabilitas 36,8 persen, dan pasangan nomor pemilihan tiga, Anies Baswedan-Sandiaga Uno, memiliki elektabilitas 27,0 persen.

Responden yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) sebanyak 10,3 persen. Survei ini dilakukan pada 17-24 Januari 2017.

“Ahok-Djarot di peringkat pertama, nomor dua ada Anies-Sandi, dan nomor tiga Agus-Sylvi. Selisih antara Anies dan Agus masih dalam margin of error, belum bisa disimpulkan siapa yang unggul,” ujar Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya.

Yunarto menjelaskan hal tersebut saat merilis hasil survei di Kantor Charta Politika, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (1/2/2017).

Elektabilitas ketiga pasangan cagub-cawagub DKI Jakarta dalam survei teranyar Charta Politika ini berbanding lurus dengan elektabilitas ketiga calon gubernur, tanpa cawagubnya.

Elektabilitas Agus sebesar 22,5 persen, Ahok 31,0 persen, dan Anies 23,5 persen.

Bila dibandingkan dengan survei pada November 2016 yang dilakukan Charta Politika, Yunarto menyebut ada penurunan elektabilitas Agus-Sylvi dan peningkatan elektabilitas Ahok-Djarot.

Dalam survei Charta Politika pada November 2016 itu, elektabilitas Agus-Sylvi 29,5 persen, Ahok-Djarot 28,9 persen, dan Anies-Sandi 26,7 persen.

“Kita lihat ada penurunan tajam Agus-Sylvi, Ahok-Djarot ada peningkatan tajam, Anies-Sandi sebetulnya stagnan. Tapi karena penurunan cukup tajam dari Agus-Sylvi, jadi Agus-Sylvi dari peringkat satu jadi peringkat tiga, Anies-Sandi dari tiga menjadi dua,” kata Yunarto.

Survei Charta Politika ini dilakukan dengan wawancara tatap muka terhadap 767 responden di enam wilayah di Jakarta. Metode penelitian yang digunakan yakni multistage random sampling dengan margin of error lebih kurang 3,5 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survei ini dibiayai menggunakan dana internal Charta Politika. Lihat Video

Kompas.com

Membaca Peta Pilkada DKI

Satu ketidakpastian telah berakhir setelah tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta. Sebelumnya, beberapa alternatif kombinasi pasangan telah diwacanakan untuk bersaing dengan petahana. Tak dimung-kiri, munculnya nama Agus Harimurti Yudhoyono dan Anies Baswedan merupakan kejutan.

Penunjukan Agus sebagai calon gubernur memang mencengangkan banyak kalangan. Meski sudah menduga Agus bakal diorbitkan di jalur politik, hampir tak ada yang memprediksi Agus bakal diterjunkan pada momen pilkada DKI. Pemilihan Sylviana Murni sebagai calon wakil gubernur lebih mudah dipahami karena diasumsikan dapat menjadi semacam “Joe Biden”- nya Barack Obama dan sekaligus merangkul segmen Betawi dan perempuan. Penetapan Anies sebagai cagub yang diusung Partai Gerindra dan PKS merupakan kejutan berganda. Bukan hanya publik yang dibuat terenyak, melainkan besar kemungkinan juga dua kandidat lain yang sudah dideklarasikan sebelumnya, Agus dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Sebelumnya, Gerindra-PKS diduga kuat masih berkalkulasi menemukan cawagub yang punya daya dorong elektoral untuk mendampingi Sandiaga Uno.

Ketidakpastian baru

Kejutan ini pada gilirannya menghadirkan ketidakpastian baru. Pertama, ketakpastian terkait motif pencalonan. Timbul berbagai analisis yang mengalkulasi alasan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendorong putra sulungnya langsung berkompetisi di pilkada yang disebut-sebut bakal sangat ketat dan keras dan dengan waktu persiapan yang begitu pendek. Terlebih, dari hasil survei yang pernah diketahui publik, tingkat elektabilitas Agus masih rendah. Hal sama berlaku pada Anies yang rekam jejak politiknya pernah berseberangan dengan Prabowo Subianto/Gerindra dan juga klaim julukan oleh sebagian pihak sebagai “Islam liberal” yang dinilai tak selaras dengan pendukung PKS.

Meski demikian, secara positif, rasa penasaran publik ini sebenarnya merupakan sebuah peluang bagi kedua kandidat untuk membangun cerita yang menggugah pemilih. Melalui narasi yang tepat, publik akan terdorong untuk mempelajari dan mempertimbangkannya sebagai kandidat yang layak untuk dipilih. Sebaliknya, jika dibiarkan tak terjawab, akan mudah diisi berbagai spekulasi yang bisa berdampak negatif terhadap citra kandidat dan pada akhirnya memberi pengaruh pada tingkat elektabilitasnya. Salah satunya pemaknaan bahwa pilkada DKI proksi pertarungan SBY dengan Prabowo dan juga Megawati, bahkan Joko Widodo.

Kedua, ketidakpastian soal konteks kompetisi. Hadirnya 3A (Agus, Ahok, dan Anies) sebagai cagub di Jakarta memberikan kelegaan tersendiri. Profil ketiganya diyakini akan mengikis kekhawatiran munculnya pilkada yang terpolarisasi berdasarkan sentimen agama. Meski demikian, situasi persaingan sebelumnya sudah cukup mengeras.

Jika menilik preferensi politik Anies, bisa dipastikan dia akan emoh memainkan isu sentimen agama. Namun, hal ini belum tentu berlaku di kalangan tim sukses ataupun pendukungnya, terutama yang mengidentifikasikan diri dengan partai politik pengusungnya. Apalagi, dibandingkan dengan Agus-Sylviana, pasangan Anies-Sandiaga lebih diprediksi mendulang dukungan dari kalangan politisi dan ormas yang selama ini mengedepankan agenda sentimen agama untuk berkompetisi dengan Ahok. Dengan kata lain, aura sentimen agama masih mungkin berlanjut.

Soal yang sama juga berlaku pada Agus ataupun Ahok. Meski masih sporadis dan bukan pesan yang resmi, sudah ditemui pesan-pesan yang memosisikan Agus sebagai representasi Islam yang sejuk. Hal ini tentu dimaksudkan sebagai pembeda dengan pasangan Anies-Uno. Pada kasus Ahok, juga muncul pesan-pesan bernada agama, baik dari kalangan yang seiman dengan Ahok ataupun dari kalangan pemilih Muslim yang mendukungnya.

Jika pilkada hanya berkutat pada isu-isu sektarian, risikonya diskursus yang jauh lebih penting, yakni mengenai kebijakan dalam menata dan membangun Jakarta niscaya akan terpinggirkan. Ini pada gilirannya akan menghadirkan ketidakpastian baru lainnya: nasib penataan dan pembangunan yang sedang dan akan dilaksanakan di Jakarta. Yang sudah dapat dipastikan, kehadiran tiga pasangan calon ini memberikan pilihan yang lebih berwarna bagi pemilih ketimbang jika kompetisi berlangsung secara head to head antara petahana dan penantang.

Menilai kandidat

Sebagai petahana, Ahok dapat diibaratkan buku yang sudah jadi. Pemilih niscaya memiliki kepastian lebih tinggi. Berdasarkan rekam jejaknya, baik kebijakan maupun perilaku, pemilih dapat memproyeksikan Jakarta seperti apa yang mewujud dan pemimpin seperti apa yang akan mereka temui lima tahun ke depan. Ahok dapat saja percaya diri karena sudah banyak menghadirkan kebaruan dan penataan di Jakarta. Namun, ia perlu mewaspadai potensi menyusutnya suara yang mungkin terjadi karena posisinya sebagai petahana.

Naurin, Soroka, dan Markwat (2015) dalam studinya tentang janji politik partai yang berkuasa di Swedia, umpamanya, menemukan bahwa pemilih lebih menganggap penting informasi mengenai pelanggaran atas janji politik. Pengabaian atas janji politik akan menurunkan nilai petahana sebagai pemerintah. Lebih daripada itu, sungguhpun telah menuaikan janji politik, ada kemungkinan justru tak disukai karena pemilih memilih preferensi kebijakan yang berbeda. Dengan kata lain, petahana menghadapi situasi net loss. Isunya kemudian, di segmen pemilih mana efek ini paling mungkin terjadi dan sebaliknya pada segmen mana efek net loss tak terjadi. Yang terakhir ini lebih berlaku pada pemilih die hard Ahok atau pemilih yang tak melihat ada harapan yang lebih menjanjikan dari dua penantang Ahok.

Anies dapat diibaratkan sebagai sebuah buku setengah jadi. Ia punya rekam jejak sebagai pejabat pemerintahan selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Posisi ini selaras dengan kiprah sebelumnya sebagai penggagas gerakan Indonesia Mengajar yang menginspirasi sejumlah kalangan. Sayangnya, kiprahnya selaku menteri terhenti di tengah jalan karena adanya perombakan kedua Kabinet Kerja Jokowi- Kalla beberapa bulan lalu. Karena itu, pemilih dihadapkan pada ketidakpastian terhadap kebijakan-kebijakan yang akan diusungnya meski ia sudah mulai melontarkan sejumlah gagasan mengenai Jakarta lima tahun ke depan. Terlebih, belajar dari pengalaman berpemilu, pemilih makin menyadari potensi adanya kesenjangan antara janji politik dan realisasinya ketika seorang kandidat memerintah.

Untungnya, pemilih punya petunjuk lain: personalitas kandidat. Personalitas menjadi sumber penilaian untuk mengevaluasi kredibilitas kandidat. Jika pemilih merasa tak pasti terhadap informasi mengenai personalitas kandidat, hal ini akan mengurangi penilaian terhadap kandidat secara keseluruhan (Glaslow dan Alvarez, 2000). Dalam hal ini, Anies mempunyai modal yang cukup karena publik sudah sering menyaksikan manuver Anies dalam berbagai ranah sosial ataupun politik.

Tantangan terbesarnya, apakah personalitas yang kelak ditonjolkannya itu dianggap paling relevan atau paling penting di mata pemilih. Tantangan lain, membangun keyakinan bahwa personalitas dirinya cukup sesuai dengan kepribadian pemilih terutama di kalangan simpatisan partai pengusungnya. Seperti dinyatakan Caprara dan Zimbardo (2004), pemilih cenderung memilih kandidat yang mirip karakternya dengan dirinya meski ada moderasi berdasarkan identifikasi diri pemilih terhadap parpol.

Berbeda dengan dua kandidat lainnya, Agus dapat diibaratkan buku yang baru dibuat. Kiprah Agus di ruang publik sangat terbatas, terlebih karena karier politiknya di TNI juga sangat sedikit yang bersentuhan dengan publik. Dengan kata lain, ketidakpastian terhadap Agus sangat tinggi. Namun, hal ini dimoderasi dengan fakta lain. Pemilih dimudahkan membangun asosiasi mengenai Agus karena adanya profil SBY. Terlepas dari pro-kontra penilaian atas dirinya, publik tetap mengapresiasi SBY sebagai presiden yang relatif berprestasi dan juga penampilan dirinya yang selalu elegan di depan publik. Meski demikian, Agus harus melihat kelebihan ini sebagai keuntungan komparatif saja. Ini adalah modal awal dan ia butuh narasi lain agar hadir sebagai diri sendiri. Otentitas ini perlu dilengkapi dengan berbagai tawaran baru, baik dari sisi kebijakan pembangunan ataupun personalitas.

Dinamis

Dengan konteks kandidat seperti ini, siapakah yang lebih berpeluang? Kompetisi politik di Jakarta sepertinya akan lebih terbuka. Hasil survei sebelum masa pendaftaran pasangan calon tak bisa lagi dijadikan patokan utama. Kehadiran tiga pasangan ini membuat konteks persaingan yang baru dan pada gilirannya mendorong pemilih untuk mengevaluasi ulang preferensinya. Pergeseran pemilih masih akan berlangsung. Misalnya dari segmen pemilih yang mengedepankan sentimen agama. Kehadiran Agus niscaya membuat pilihan menjadi lebih tidak mudah dibandingkan seandainya yang akan berkompetisi hanya Anies vs Ahok saja.

Begitu juga di segmen lain. Kehadiran Anies, umpamanya, merupakan daya tarik tersendiri bagi pemilih Jokowi-Ahok pada 2012 yang kini tak nyaman dengan Ahok. Sebaliknya, Ahok dapat menarik pemilih yang enggan mempertaruhkan kepastian yang sudah ada karena dua kandidat yang dimunculkan secara mengejutkan ini justru dinilai menghadirkan ketidakpastian yang lebih tinggi bagi kepentingan dirinya dan atau bagi Jakarta.

Dinamika lain juga dimungkinkan dari kalangan pemilih simpatisan parpol pengusung, terutama pada kasus Ahok dan Anies. Simpatisan parpol yang tak sreg dengan pilihan parpolnya sangat mungkin memilih bergolput-ria atau malah menyeberang mendukung kandidat lain. Dalam kasus Agus, tiga partai pengusung yang tak terpresentasikan pada pasangan yang diusung besar kemungkinan punya ikatan lebih longgar alias lebih mudah berpindah hati mendukung kandidat lain.

Dalam waktu yang tersisa, ketiga kandidat dipastikan akan berlomba-lomba menampilkan sisi terbaik dirinya dan juga gagasan-gagasannya. Pemilih yang sudah menetapkan pilihan akan lebih sulit diubah pendiriannya. Redlawsk (2004) melalui studi eksperimentalnya menyimpulkan, dibutuhkan aliran informasi yang cukup banyak agar pemilih mengubah penilaian awalnya terhadap kandidat. Hanya saja, perubahan itu makin sulit terjadi jika pemilih telah termotivasi untuk mengabaikan/menghindari informasi yang negatif tentang kandidat tersebut dan atau ia menilai kandidat yang dipilihnya merupakan kandidat yang bagus.

Pada situasi seperti itu, pemilih yang belum menetapkan pilihannya menjadi segmen penting yang harus diraih secara cermat. Karena itu, sangat penting bagi kandidat untuk menghindari terjadinya “kecelakaan” dalam tindakan ataupun dalam ucapan, termasuk yang berasal dari kalangan pendukung lingkaran intinya.

 

YUNARTO WIJAYA

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

Yunarto Wijaya: PDIP Masih Sangat Mungkin Mendukung Ahok

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya melihat masih ada kemungkinan PDIP mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilgub DKI. Apa alasannya?

“Menurut saya PDIP masih paling mungkin mendukung Ahok, mengapa? Ada 2 alasan. Pertama, sudah tidak ada lagi perbedaan mendasar yang selama ini menjadi penghalang hubungan PDIP dengan Ahok, terkait dengan pilihan Ahok untuk maju melalui jalur independen. Toh sekarang Ahok sudah menyatakan diri memilih jalur partai,” kata Yunarto kepada detikcom, Senin (8/8/2016).

Hal itu yang sebelumnya jadi penghalang serius. Memang setelah Ahok memutuskan maju lewat parpol dengan diusung Golkar, NasDem, dan Hanura, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sempat memberi sinyal positif.

“Yang menjadi faktor penghalang adalah faktor komunikasi ketika ada beberapa sikap dan statement Ahok yang mungkin dirasakan menyinggung sebagian struktur di PDIP yg harus bisa diselesaikan,” katanya.

Faktor kedua adalah Presiden Jokowi. Kenapa Jokowi? Karena Jokowi dinilai Yunarto tak akan membiarkan penerusnya berhadapan dengan PDIP. Ditambah fakta baru pengakuan Ahok yang maju Pilgub DKI lewat jalur parpol salah satunya karena saran dari Jokowi.

“Kedua, faktor Jokowi, saya tidak bisa membayangkan seorang Jokowi berpangku tangan melihat penerus posisi politiknya harus berhadap-hadapan degan partainya sendiri, dan pertarungan ini apabila didiamkan akan berpengaruh negatif (siapapun yang menang) bagi kedua sosok tadi (PDIP dan Jokowi), dalam menatap kepentingan 2019 nanti,” kata Yunarto.

Sumber : Detik.com

Pendukung Dinilai Tidak Terlalu Mementingkan Cara Ahok Maju pada Pilkada

Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan, para pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak terlalu mementingkan cara Ahok maju pada Pilkada DKI mendatang.

Ahok telah memilih jalur partai politik untuk maju pada Pilkada DKI mendatang. Dari survei yang dilakukan, Yunarto menjelaskan bahwa pendukung Ahok lebih merespons bagaimana agar Ahok bisa maju menjadi calon gubernur, bukan metode atau cara Ahok maju mencalonkan diri.

Pada survei yang dilakukan, Yunarto menyebut sangat tipis perbedaan ketika ditanyakan apakah para pendukung setuju jika Ahok maju melalui jalur parpol atau lebih memilih jalur independen.

“Jangan kemudian ditafsirkan bahwa orang yang ikut serta mendukung Ahok melalui Teman Ahok kemudian menolak jalur partai. Karena survei membuktikan bahwa pertanyaan apakah Ahok boleh menggunakan jalur parpol itu hampir berimbang, tapi memang sedikit lebih unggul jalur independen,” ujar Yunarto saat dihubungi Kompas.com, Rabu (27/7/2016).

Yunarto menambahkan bahwa saat tiga parpol mulai mendeklarasikan dukungan ke Ahok, para pendukung Ahok melihat bahwa ada alternatif lain untuk Ahok mencalonkan diri. Dalam pertanyaan pada survei lainnya, kata Yunarto, para pendukung Ahok mengiyakan saja apa pun jalur yang dipilih Ahok.

Di samping itu, alasan Ahok untuk lebih memilih jalur parpol bukan karena tidak percaya kepada 1 juta KTP yang telah dikumpulkan oleh Teman Ahok. Namun, lebih karena pertarungan sengit yang akan dihadapi ketika Pilkada dan jika terpilih untuk kedua kalinya menjadi gubernur DKI.

“Bukan permasalahan mengenai 1 juta KTP, tapi sistem verifikasi yang singkat bisa membuka celah. Kedua disadari ada serangan sangat besar kepada Ahok jika memulai sebuah kerja politik yang kedua tanpa dukungan parpol,” ujar Yunarto.

Basuki Tjahaja Purnama memilih jalur parpol sebagai tunggangan politiknya pada Pilkada DKI. Sebelumnya Ahok sempat menggumbar jika dirinya akan maju melalui jalur independen, yaitu melalui Teman Ahok.

Kompas.com

Maju Lewat Jalur Parpol, Ahok Berpeluang Besar Didukung PDIP

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan peluang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendapat dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan makin besar apabila maju melalui jalur partai politik. Menurut dia, selama ini antara Ahok dan PDIP hanya berbeda pandangan.

“Muara perbedaannya hanya satu kan, PDIP tak menerima calon independen,” kata Yunarto kepada Tempo saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa, 26 Juli 2016.

Jika akhirnya Ahok maju lewat partai politik, ujar Yunarto, perbedaan itu bisa dikesampingkan. Ia menambahkan, Ahok juga bisa maju bersanding dengan Wakil Gubernur DKI saat ini, Djarot Saiful Hidayat, jika mendapat dukungan PDIP. “Dari awal (Ahok) memang ingin gandeng Djarot, karena beda sikap tadi, gandeng Heru.”

Yunarto mengungkapkan sulit membayangkan jika seseorang yang berasal dari kelompok minoritas seperti Ahok malah bertarung dengan PDIP yang selama ini menjadi tempat bagi minoritas. “Ini akan merugikan kedua belah pihak,” ucapnya.

Ahok akan menggelar acara halalbihalal bersama Teman Ahok dan barisan pendukungnya, seperti Partai Golkar, NasDem, dan Hanura, Rabu, 27 Juli 2016. Pada pertemuan itu, Ahok akan mengumumkan langkah politiknya.

Pemilihan tanggal 27 Juli, menurut Yuniarto, akan membuat orang berspekulasi meskipun pemilihannya dilakukan secara kebetulan. Sebab, tanggal itu bertepatan dengan peringatan tragedi yang pernah dialami PDIP pada 1996. Ketika itu, kantor PDIP diserbu sejumlah orang.

Sumber : Tempo.co

Benar atau Salah Jalur Independen Bukan Lagi Bahasan Pilkada DKI 2017

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tak perlu lagi membahas perihal benar atau salah jalur independen dalam pilkada. Terutama perihal pencalonan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok lewat jalur perseorangan.

“Intinya menurut saya sudah proses dialektika proses independen sudah selesai. Jangan masuk ke sana (perdebatan jalur independen),” kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).

Jika membaca sejarah, Yunarto menuturkan antara PDI-P dengan Ahok dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 bukan perbedaan cara pandang kinerja. Namun lebih ke cara pandang prosedur.

Ahok merasa bisa mempertemukan partai dengan Teman Ahok. Sementara di sisi lain PDI-P memandang Ahok harus melewati mekanisme partai.

“Saya pikir yang harus dikompromikan prosedural dan teknis. Jangan lagi benar dan salah. Itu kurang elok statement seperti itu,” ungkap Yunarto.

Menurutnya, ada wilayah abu-abu yang sebenarnya bisa mempertemukan antara Ahok dan PDI-P. Pertama, jika Ahok tetap memilih jalur independen, PDI-P dalam hal ini bisa membuat peluang Heru Budi, bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta bisa masuk menjadi kader partai. Pasalnya itu bisa jadi bisa mewakilkan partai.

“Kalau Ahok masuk jalur parpol dan teman-teman partai lain, bagaimana kemudian aspirasi Teman Ahok bisa ditampung,” kata Yunarto. (Baca: Kalau Ahok Akui Jalur Independen Salah, PDI-P Siap Menjagokannya)

Aspirasi itu mulai dari pengakomodiran peran Teman Ahok dalam kampanye. Selain itu juga aspirasi setelah Ahok menjabat kembali sebagai gubernur.

“Harusnya varian seperti itu dimunculkan, bukan setback (kembali) seperti Bang Hugo tadi katakan itu (jalur independen) salah. Itu mengulang perdebatan independen bagian deparpolisasi atau independen lebih buruk,” kata Yunarto.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Andreas Hugo Pareira sebelumnya mengatakan bahwa partainya masih membuka peluang untuk mengusung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersama Djarot Saiful Hidayat sebagai calon kepala daerah pada Pilkada DKI 2017.

Namun, Ahok harus mengakui terlebih dahulu bahwa jalur independen yang ditempuhnya bersama kelompok relawan Teman Ahok adalah langkah yang salah.

Sumber : Kompas.com

Kecil Kemungkinan Prabowo Pilih Yusril, Ini Alasannya

Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra dinilai memiliki peluang paling kecil untuk dipilih Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto apabila mempertimbangkan hubungan kedekatan bakal calon dengan Prabowo.

Jika dibandingkan dengan dua tokoh lainnya, yakni pengusaha Sandiaga Uno dan mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsudin, Yusril dinilai paling tidak dekat dengan Prabowo.

Apalagi, Yusril juga bukan kader Gerindra. “Sulit menerima logika bahwa partai yang cukup besar seperti Gerindra harus melepas tiket gratis kepada non-kader yang itu akan merusak proses kaderisasi juga,” ujar Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya kepada Kompas.com, Rabu (27/4/2016).

Adapun Yusril, Sandiaga, dan Sjafrie, adalah tiga nama yang disetorkan DPD DKI Jakarta Gerindra untuk dipilih Prabowo sebagai bakal calon gubernur, yang akan diusung Gerindra pada Pilkada DKI 2017.

Yunarto mengatakan di antara ketiga nama tersebut, Sjafrie merupakan bakal calon yang paling dekat dengan Prabowo.

Menurut Yunarto, Partai Gerindra merupakan partai yang memiliki komando sentral di tangan ketua umumnya, yaitu Prabowo.

Dengan demikian, kata dia, faktor kedekatan dengan ketua umum menjadi penting.

“Keunggulan Pak Sjafrie adalah kedekatan secara chemistry dengan Prabowo. Kita tahu sepak terjang Pak Sjafrie dengan Prabowo sama-sama tentara,” ujar Yunarto.

Sjafrie memang bukan kader partai. Namun, kedekatan personalnya dengan Prabowo bisa menguntungkan.

Jika Sjafrie masuk menjadi kader Partai Gerindra, Yunarto mengatakan, peluang Sjafrie akan lebih besar lagi.

Sementara itu, Sandiaga Uno, adalah kader Parta Gerindra yang sempat disanjung Prabowo saat acara ulang tahun Partai Gerindra beberapa waktu lalu.

Namun, menurut Yunarto, kedekatan Prabowo dengan Sandiaga baru sebatas hubungan antar-kader saja, bukan kedekatan personal.

“Sama Sandiaga bisa dikatakan ada kedekatan karena sesama Gerindra. Tetapi dengan Sjafrie kan kedekatan personal.

Punya sejarah sama-sama angkatan 1974, jadi tentara. Itu jauh lebih dalam kedekatannya,” ujar Yunarto.

Sumber : Tribbun Jambi

Djarot Masih Diminati Warga Jakarta Jadi Wakil Gubernur, Haji Lulung Diurutan Ketiga

Charta Politika Indonesia menyebutkan ada beberapa nama yang potensial untuk menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017 mendatang.

Dari sejumlah nama, berdasarkan survey yang dilakukan Charta Politika, Wakil Gubernur DKI Jakarta pertahana Djarot Saiful Hidayat masih paling tinggi dipilih responden.

“Mungkin karena sosok pertahana, Djarot masih menjadi wakil gubernur yang paling banyak dipilih. 11,8 persen responden memilihnya,” kata Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunanto Wijaya dalam rilis “Siapa Lawan Ahok” di Kebayoran Baru, Jakarta, Rabu (30/3/2016).

Selanjutnya, mantan Ketua KPK, Abraham Samad dan Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Abraham Lunggana, juga menjadi nama yang menyusul tingkat keterpilihan Djarot.

“10 persen responden pilih Abraham Samad jadi wakil gubernur. Selanjutnya, Haji Lulung yang dipilih 7,5 persen responden,” katanya.

Sedangkan, Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Heru Budiartono yang menjadi bakal calon wakil gubernur bersama Basuki Tjahaja Purnama melalui jalur perseorangan, tingkat elektabilitasnya sama dengan Abraham Lunggana.

“Pak Heru punya elektabilitas sebagai wakil gubernur yang sama dengan Haji Lulung yaitu 7,5 persen,” kata Yunanto.

Namun, pada survey yang digelar sejak 15 Maret hingga 20 Maret 2016 dan mengambil sampel 400 responden dari seluruh kota administrasi di Jakarta serta Kepulauan Seribu, 37 persen responden masih belum menentukan pilihan calon wakil gubernur.

Penulis: Valdy Arief
Editor: Adi Suhendi
Sumber : Tribunnews