Politik Elektoral Jelang Pemilu 2024
LEMBAGA riset Charta Politika Indonesia mempublikasikan hasil survei nasional pada 13 Juni 2022. Survei dilaksanakan pada 25 Mei – 2 Juni 2022. Dalam jarak waktu yang tidak terlampau jauh, organisasi massa relawan Pro Jokowi (Projo) menyelenggarakan rapat kerja nasional (rakernas) pada 21 Mei 2022.
Dalam survei Charta Politika itu, jumlah sampel 1.200 responden berdasarkan multistage random sampling. Responden diwawancara tatap muka di 34 provinsi. Margin of error (batas kesalahan) lebih kurang 2,83 persen. Teknik penelitian ini perlu diutarakan kembali, lantaran apriori yang merebak seputar produk pengetahuan ini (tradisi empirisme ilmu politik).
Dalam rilis Charta Politika bertajuk “Membaca Isu Politik dan Dinamika Elektoral Pasca Rakernas Projo” dikemukakan banyak temuan. Di antaranya soal penilaian publik terhadap kinerja pemerintahan, kondisi ekonomi, hukum, pemberantasan korupsi, praktik demokrasi, kepemiluan, dan isu-isu kontemporer lainnya.
Parpol yang “aman” dan tokoh berelektabilitas moncer
Namun, tema yang paling memancing perbincangan publik ialah politik elektoral menjelang Pemilu 2024. Partai politik mana yang tergolong “aman” secara ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) empat persen? Partai mana yang “belum/tidak aman”? Siapa pula tokoh-tokoh yang memiliki elektabilitas moncer sebagai kandidat capres (calon presiden) 2024?
Temuan riset itu tentu bukan sesuatu yang final, hanya berlaku saat pengumpulan data survei dilakukan. Namun, proyeksi politik masa depan tak bisa dilepaskan dari kejadian masa kini, dan kejadian masa lalu. Maka, tersajilah data-data dan informasi sebagai bahan dasar yang terolah untuk memprediksi dinamika kontestasi politik. Peta politik elektoral (electoral) itu setidaknya dapat ditilik dari konfigurasi kekuatan parpol dan sosok capres.
Dalam survei terbaru Charta Politika itu, terdapat tiga partai papan atas manakala Pemilu 2024 diadakan pada saat survei dilaksanakan. Tolok ukurnya dilihat dari perolehan suara di atas 10 persen. Ketiga partai tersebut, yaitu PDI-P, Partai Gerindra, dan Partai Golkar.
PDI-P tetap konsisten sebagai parpol dengan elektabilitas tertinggi, yaitu sebesar 24,1 persen. Saat yang sama, Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo (kader PDI-P), masih bertengger di posisi teratas dalam pelbagai simulasi survei elektabilitas capres. Urutan kedua disusul Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto (ketua umum Partai Gerindra), lalu Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Ketiga nama ini selalu masuk tiga besar dalam pelbagai survei.
Salah satu momen atraktif yang menyita atensi pengamat ialah kehadiran Ganjar dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di acara Rakernas Projo ke-V di Jawa Tengah (Jateng). Jokowi pada kesempatan itu mengatakan, “Ojo kesusu sik. Jangan tergesa-gesa. Meskipun mungkin yang kita dukung ada di sini.”
Tafsir pun berkembang, ungkapan itu dianggap sebagai endorsement halus Jokowi untuk Ganjar. Di sisi lain, PDI-P juga punya kader biologis-ideologis, Puan Maharani, putri dari Megawati Soekarnoputri (ketua umum PDI-P). Puan Maharani, bukan semata trah Soekarno, darah biru – darah merah, tapi juga berpengalaman di ranah eksekutif (mantan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) maupun legislatif (kini Ketua DPR).
Sayangnya, elektabilitas Puan masih jauh di bawah Ganjar. Skenario duet Prabowo – Puan juga terasa musykil, mengingat “banteng” adalah sang juara pertama. Dalam tataran pilihan parpol, Gerindra diprediksi akan menempati posisi nomor dua pada 2024 dengan elektabilitas 13,8 persen.
Jika kadar elektabilitas Prabowo Subianto melesat sebagai capres, maka perolehan suara Gerindra akan terdongkrak. Peringkat ketiga akan digaet Partai Golkar dengan elektabilitas 11,3 persen. Pada survei Charta Politika sebelumnya, April 2022, elektabilitas Golkar berada di angka 9,2 persen. Saat itu posisi Golkar di urutan keempat, dan saling menyalip dengan PKB (9,8), dan kini suara Golkar naik.
Sementara itu, elektabilitas PKB justru agak melandai sedikit. Data survei Charta Politika pada pertengahan April 2022, elektabilitas PKB berada di angka 9,8 persen, lalu turun menjadi 8,3 persen dalam survei Charta Politika mutakhir.
Partai Demokrat dan PKS saling berebut posisi kelima. Survei teranyar menunjukkan elektabilitas Demokrat 7,2 persen, dan PKS 7,0 persen. Kedua partai ini berbalapan dengan selisih elektabilitas di angka nol koma.
Sedangkan Partai NasDem berada di urutan ketujuh dengan elektabilitas 5,3 persen. Manuver Surya Paloh dengan partainya, terkait siapa tokoh-tokoh yang diusung sebagai capres pada Pemilu 2024, akan menentukan prospek elektoral NasDem. Rakernas yang digelar NasDem pada 16 Juni 2022 mulai membuka tabir. Aspirasi elite NasDem wilayah terkait rekomendasi capres, hasilnya Anies 32 DPW dan Ganjar 29 DPW.
“Saya orang PDI Perjuangan”, ujar Ganjar santai menanggapi namanya masuk bursa capres NasDem. Figur Anies tampaknya tengah bergema kuat di NasDem.
Di panggung politik lain, PKS juga diasosiasikan dengan Anies Baswedan. Dalam nalar elektoral, manakala performa Anies melambung naik, PKS tentu berharap menuai berkah elektoralnya. Siasat politik PKS bersama PKB melalui ijtihad “Koalisi Semut Merah”, dan Demokrat memengaruhi eksistensi partai-partai tersebut dalam blantika politik nasional.
Begitu pula tarian politik Golkar, PAN, dan PPP lewat proyek “Koalisi Indonesia Bersatu” turut mewarnai lanskap politik ke depan, sembari menunggu siapa gerangan capres/cawapresnya.
Merebut pasar elektoral
Selain Megawati, Jokowi, Surya Paloh, “King Maker” lainnya juga disebut-sebut akan turun gunung: SBY, Jusuf Kalla, dan para sekondan. Lonceng peringatan untuk PAN dan PPP, mengingat posisinya belum aman untuk lolos PT. Tingkat elektabilitasnya masih di bawah angka empat persen, sebagaimana terpotret dalam dua survei terakhir Charta Politika (2022). Kedua partai itu mesti memformulasikan “cetak biru” dan agenda aksi penyelamatan partai.
Bagaimana nasib partai nonparlemen? Perindo masih memimpin perolehan suara partai nonparlemen, maupun parpol baru. Namun, kerja keras dan cerdas untuk mendulang dukungan publik perlu dilipatgandakan lagi.
Untuk partai-partai baru, pasar elektoral yang meliputi suara swing voters (pemilih mengambang), dan undecided voters (pemilih yang belum menentukan pilihan) masih cukup terbuka. Itu perkara yang rumit, tapi patut dicoba. Cipta kondisi untuk menggalang dukungan publik mesti ditopang oleh tokoh yang influensial.
Ketegangan konfliktual intrapartai, kasus rasuah, dan perbuatan tercela yang memantik kutukan publik mesti dimitigasi. Saat yang sama, organisasi partai memperkuat infrastruktur dan suprastruktur politik, reproduksi isu yang segar disertai program distingtif, kemudian dikomunikasikan secara kolosal guna menyedot perhatian audiens.
Dalam perhitungan kalender politik, Pemilu 2024 masih lama. Sebut saja ini semacam “early forecasting” mengenai cuaca politik. Keterpilihan parpol bisa saja berubah. Dalam konteks politik elektoral yang dinamis itu, parpol yang meraih elektabilitas “aman”, jangan terlena. Pun parpol dengan derajat elektabilitas “belum/tidak aman”, jangan terkejut.
Ada preseden parpol pada pemilu sebelumnya – semula terpajang di etalase survei dengan angka elektabilitas di bawah empat persen, akhirnya lolos Senayan. Tetapi, kasus ini jangan pula dijadikan “obat penenang”. Penjelasan ilmiahnya berkaitan dengan gejala volatilitas pemilih.
Dalam proses kandidasi pilpres, rute perjalanan juga masih panjang. Pemilu sejatinya bukan hanya perkara menang-kalah, bukan pula soal siapa yang berlaga, tapi apa ide-ide cemerlang untuk mengatasi kemelut bangsa. Para kandidat, parpol, pemilih, masyarakat sipil dan segenap pemangku kepentingan pemilu dapat terlibat aktif untuk membingkai kenduri demokrasi dengan kontestasi gagasan programatik, dan visi besar untuk memajukan Indonesia.
Mawardin
Peneliti Charta Politika Indonesia
Artikel ini dimuat di Kolom Kompas.com, 18 Juni 2022
Foto Ilustrasi: KOMPAS/HANDINING
Gibram