Yunarto Wijaya: PDIP Masih Sangat Mungkin Mendukung Ahok

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya melihat masih ada kemungkinan PDIP mendukung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Pilgub DKI. Apa alasannya?

“Menurut saya PDIP masih paling mungkin mendukung Ahok, mengapa? Ada 2 alasan. Pertama, sudah tidak ada lagi perbedaan mendasar yang selama ini menjadi penghalang hubungan PDIP dengan Ahok, terkait dengan pilihan Ahok untuk maju melalui jalur independen. Toh sekarang Ahok sudah menyatakan diri memilih jalur partai,” kata Yunarto kepada detikcom, Senin (8/8/2016).

Hal itu yang sebelumnya jadi penghalang serius. Memang setelah Ahok memutuskan maju lewat parpol dengan diusung Golkar, NasDem, dan Hanura, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto sempat memberi sinyal positif.

“Yang menjadi faktor penghalang adalah faktor komunikasi ketika ada beberapa sikap dan statement Ahok yang mungkin dirasakan menyinggung sebagian struktur di PDIP yg harus bisa diselesaikan,” katanya.

Faktor kedua adalah Presiden Jokowi. Kenapa Jokowi? Karena Jokowi dinilai Yunarto tak akan membiarkan penerusnya berhadapan dengan PDIP. Ditambah fakta baru pengakuan Ahok yang maju Pilgub DKI lewat jalur parpol salah satunya karena saran dari Jokowi.

“Kedua, faktor Jokowi, saya tidak bisa membayangkan seorang Jokowi berpangku tangan melihat penerus posisi politiknya harus berhadap-hadapan degan partainya sendiri, dan pertarungan ini apabila didiamkan akan berpengaruh negatif (siapapun yang menang) bagi kedua sosok tadi (PDIP dan Jokowi), dalam menatap kepentingan 2019 nanti,” kata Yunarto.

Sumber : Detik.com

Dua Skenario Gerindra Pilih Sandiaga Jadi Cagub DKI

Partai Gerindra telah menjatuhkan pilihan pada Sandiaga Uno untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada DKI 2017. Sandiaga dipilih oleh Ketua Umum DPP Gerindra, Prabowo Subianto, dari tiga nama yang disodorkan tim penjaringan Gerindra.

Dua nama lainnya adalah mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin dan pakar hukum tata negara Yusril Izha Mahendra.

Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, Minggu (31/7/2016), melihat ada skenario di balik pemilihan Sandiaga. Menurut dia, ada dua skenario yang disiapkan Gerindra untuk Sandiaga. Secara garis besar, kata Yunarto, Gerindra ingin mengalahkan Gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Skenario pertama adalah dengan mengajukan Sandiaga sebagai calon wakil gubernur bila berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Gerindra, kata Yunarto, sudah menujukkan gelagat tersebut lewat pernyataan beberapa kadernya seperti Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Muhammad Taufik dan M Syarif.

Menurut Yunarto, dua politisi Gerindra itu menyatakan bersedi menjadi nomor dua bila jadi berkoalisi dengan PDI-P.

“Untuk kalahkan incumbent (petahana) harus gandeng mesin parpol kuat dan itu hanya bisa didapatkan di PDI-P. Konsekuensinya jadi nomor dua,” kata Yunarto.

Gerindra, kata dia, memiliki harapan besar skenario pertama itu terwujud. Pasalnya, secara elektabilitas, Sandiaga masih jauh di bawah Ahok jika bersaing menjadi calon gubernur.

Gerindra akan mengajukan Sandiaga sebagai calon gubernur bila skenario pertama untuk berkoalisi dengan PDI-P gagal. Namun, Gerindra perlu usaha keras untuk bisa menyaingi Ahok.

“Kalau pun elektabilitas (Sandiaga) naik, bisa dikatakan stagnan. Elektabilitasnya belum sampai dua digit,” kata Yunarto.

 

Sumber : kompas.com

Pendukung Dinilai Tidak Terlalu Mementingkan Cara Ahok Maju pada Pilkada

Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, mengatakan, para pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tidak terlalu mementingkan cara Ahok maju pada Pilkada DKI mendatang.

Ahok telah memilih jalur partai politik untuk maju pada Pilkada DKI mendatang. Dari survei yang dilakukan, Yunarto menjelaskan bahwa pendukung Ahok lebih merespons bagaimana agar Ahok bisa maju menjadi calon gubernur, bukan metode atau cara Ahok maju mencalonkan diri.

Pada survei yang dilakukan, Yunarto menyebut sangat tipis perbedaan ketika ditanyakan apakah para pendukung setuju jika Ahok maju melalui jalur parpol atau lebih memilih jalur independen.

“Jangan kemudian ditafsirkan bahwa orang yang ikut serta mendukung Ahok melalui Teman Ahok kemudian menolak jalur partai. Karena survei membuktikan bahwa pertanyaan apakah Ahok boleh menggunakan jalur parpol itu hampir berimbang, tapi memang sedikit lebih unggul jalur independen,” ujar Yunarto saat dihubungi Kompas.com, Rabu (27/7/2016).

Yunarto menambahkan bahwa saat tiga parpol mulai mendeklarasikan dukungan ke Ahok, para pendukung Ahok melihat bahwa ada alternatif lain untuk Ahok mencalonkan diri. Dalam pertanyaan pada survei lainnya, kata Yunarto, para pendukung Ahok mengiyakan saja apa pun jalur yang dipilih Ahok.

Di samping itu, alasan Ahok untuk lebih memilih jalur parpol bukan karena tidak percaya kepada 1 juta KTP yang telah dikumpulkan oleh Teman Ahok. Namun, lebih karena pertarungan sengit yang akan dihadapi ketika Pilkada dan jika terpilih untuk kedua kalinya menjadi gubernur DKI.

“Bukan permasalahan mengenai 1 juta KTP, tapi sistem verifikasi yang singkat bisa membuka celah. Kedua disadari ada serangan sangat besar kepada Ahok jika memulai sebuah kerja politik yang kedua tanpa dukungan parpol,” ujar Yunarto.

Basuki Tjahaja Purnama memilih jalur parpol sebagai tunggangan politiknya pada Pilkada DKI. Sebelumnya Ahok sempat menggumbar jika dirinya akan maju melalui jalur independen, yaitu melalui Teman Ahok.

Kompas.com

Maju Lewat Jalur Parpol, Ahok Berpeluang Besar Didukung PDIP

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan peluang Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mendapat dukungan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan makin besar apabila maju melalui jalur partai politik. Menurut dia, selama ini antara Ahok dan PDIP hanya berbeda pandangan.

“Muara perbedaannya hanya satu kan, PDIP tak menerima calon independen,” kata Yunarto kepada Tempo saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa, 26 Juli 2016.

Jika akhirnya Ahok maju lewat partai politik, ujar Yunarto, perbedaan itu bisa dikesampingkan. Ia menambahkan, Ahok juga bisa maju bersanding dengan Wakil Gubernur DKI saat ini, Djarot Saiful Hidayat, jika mendapat dukungan PDIP. “Dari awal (Ahok) memang ingin gandeng Djarot, karena beda sikap tadi, gandeng Heru.”

Yunarto mengungkapkan sulit membayangkan jika seseorang yang berasal dari kelompok minoritas seperti Ahok malah bertarung dengan PDIP yang selama ini menjadi tempat bagi minoritas. “Ini akan merugikan kedua belah pihak,” ucapnya.

Ahok akan menggelar acara halalbihalal bersama Teman Ahok dan barisan pendukungnya, seperti Partai Golkar, NasDem, dan Hanura, Rabu, 27 Juli 2016. Pada pertemuan itu, Ahok akan mengumumkan langkah politiknya.

Pemilihan tanggal 27 Juli, menurut Yuniarto, akan membuat orang berspekulasi meskipun pemilihannya dilakukan secara kebetulan. Sebab, tanggal itu bertepatan dengan peringatan tragedi yang pernah dialami PDIP pada 1996. Ketika itu, kantor PDIP diserbu sejumlah orang.

Sumber : Tempo.co

Benar atau Salah Jalur Independen Bukan Lagi Bahasan Pilkada DKI 2017

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menilai Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tak perlu lagi membahas perihal benar atau salah jalur independen dalam pilkada. Terutama perihal pencalonan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok lewat jalur perseorangan.

“Intinya menurut saya sudah proses dialektika proses independen sudah selesai. Jangan masuk ke sana (perdebatan jalur independen),” kata Yunarto saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (6/6/2016).

Jika membaca sejarah, Yunarto menuturkan antara PDI-P dengan Ahok dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 bukan perbedaan cara pandang kinerja. Namun lebih ke cara pandang prosedur.

Ahok merasa bisa mempertemukan partai dengan Teman Ahok. Sementara di sisi lain PDI-P memandang Ahok harus melewati mekanisme partai.

“Saya pikir yang harus dikompromikan prosedural dan teknis. Jangan lagi benar dan salah. Itu kurang elok statement seperti itu,” ungkap Yunarto.

Menurutnya, ada wilayah abu-abu yang sebenarnya bisa mempertemukan antara Ahok dan PDI-P. Pertama, jika Ahok tetap memilih jalur independen, PDI-P dalam hal ini bisa membuat peluang Heru Budi, bakal calon wakil gubernur DKI Jakarta bisa masuk menjadi kader partai. Pasalnya itu bisa jadi bisa mewakilkan partai.

“Kalau Ahok masuk jalur parpol dan teman-teman partai lain, bagaimana kemudian aspirasi Teman Ahok bisa ditampung,” kata Yunarto. (Baca: Kalau Ahok Akui Jalur Independen Salah, PDI-P Siap Menjagokannya)

Aspirasi itu mulai dari pengakomodiran peran Teman Ahok dalam kampanye. Selain itu juga aspirasi setelah Ahok menjabat kembali sebagai gubernur.

“Harusnya varian seperti itu dimunculkan, bukan setback (kembali) seperti Bang Hugo tadi katakan itu (jalur independen) salah. Itu mengulang perdebatan independen bagian deparpolisasi atau independen lebih buruk,” kata Yunarto.

Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Andreas Hugo Pareira sebelumnya mengatakan bahwa partainya masih membuka peluang untuk mengusung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok bersama Djarot Saiful Hidayat sebagai calon kepala daerah pada Pilkada DKI 2017.

Namun, Ahok harus mengakui terlebih dahulu bahwa jalur independen yang ditempuhnya bersama kelompok relawan Teman Ahok adalah langkah yang salah.

Sumber : Kompas.com

Kecil Kemungkinan Prabowo Pilih Yusril, Ini Alasannya

Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra dinilai memiliki peluang paling kecil untuk dipilih Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto apabila mempertimbangkan hubungan kedekatan bakal calon dengan Prabowo.

Jika dibandingkan dengan dua tokoh lainnya, yakni pengusaha Sandiaga Uno dan mantan Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Syamsudin, Yusril dinilai paling tidak dekat dengan Prabowo.

Apalagi, Yusril juga bukan kader Gerindra. “Sulit menerima logika bahwa partai yang cukup besar seperti Gerindra harus melepas tiket gratis kepada non-kader yang itu akan merusak proses kaderisasi juga,” ujar Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya kepada Kompas.com, Rabu (27/4/2016).

Adapun Yusril, Sandiaga, dan Sjafrie, adalah tiga nama yang disetorkan DPD DKI Jakarta Gerindra untuk dipilih Prabowo sebagai bakal calon gubernur, yang akan diusung Gerindra pada Pilkada DKI 2017.

Yunarto mengatakan di antara ketiga nama tersebut, Sjafrie merupakan bakal calon yang paling dekat dengan Prabowo.

Menurut Yunarto, Partai Gerindra merupakan partai yang memiliki komando sentral di tangan ketua umumnya, yaitu Prabowo.

Dengan demikian, kata dia, faktor kedekatan dengan ketua umum menjadi penting.

“Keunggulan Pak Sjafrie adalah kedekatan secara chemistry dengan Prabowo. Kita tahu sepak terjang Pak Sjafrie dengan Prabowo sama-sama tentara,” ujar Yunarto.

Sjafrie memang bukan kader partai. Namun, kedekatan personalnya dengan Prabowo bisa menguntungkan.

Jika Sjafrie masuk menjadi kader Partai Gerindra, Yunarto mengatakan, peluang Sjafrie akan lebih besar lagi.

Sementara itu, Sandiaga Uno, adalah kader Parta Gerindra yang sempat disanjung Prabowo saat acara ulang tahun Partai Gerindra beberapa waktu lalu.

Namun, menurut Yunarto, kedekatan Prabowo dengan Sandiaga baru sebatas hubungan antar-kader saja, bukan kedekatan personal.

“Sama Sandiaga bisa dikatakan ada kedekatan karena sesama Gerindra. Tetapi dengan Sjafrie kan kedekatan personal.

Punya sejarah sama-sama angkatan 1974, jadi tentara. Itu jauh lebih dalam kedekatannya,” ujar Yunarto.

Sumber : Tribbun Jambi

Ahok Bakal Bernasib seperti Foke?

Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya tidak setuju opini itu

Pengamat politik dari Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya tidak sependapat dengan opini yang menyebutkan nasib Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) akan sama seperti Fauzi Bowo (Foke) di pilkada tahun 2017 nanti.

“Ada orang mengatakan bahwa pada tahun 2012 elektabilitas Foke paling tinggi, tapi jungkir balik saat pemilihan. Mereka bilang kejadian itu akan sama dengan Ahok. Saya katakan, memang masih mungkin Ahok bisa dikalahkan. Tapi menyamakan Ahok dengan Foke saya tidak setuju. Yang menjadi faktor utama bagi incumbent adalah tingkat kepuasan publik bukan elektabilitas, dan itu berbeda antara Ahok dan Foke,” kata Yunarto di kantor Charta Politika Indonesia, Jalan Cisanggiri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (30/3/2016).

Yunarto mengatakan dari hasil survei, kepuasan masyarakat terhadap kinerja Ahok jauh lebih tinggi dibandingkan saat Foke persiapan maju lagi di pilkada 2012. Jelang pilkada tahun itu, tingkat kepuasan masyarakat hanya 42 persen sampai 47 persen.

“Kalau tingkat kepuasan publik di atas 50-60 persen, biasanya peluang menangnya tinggi, tapi kalau di bawah 50 persen, peluang kalahnya sangat besar. Dan kepuasan terhadap kinerja Ahok mencapai 61 persen, sementara yang sangat puas adalah 21,8 persen responden,” kata Yunarto.

Menurut Yunarto figur Ahok merupakan magnet bagi publik untuk mendukungnya menjadi gubernur Jakarta periode 2017-2022.

“Pilkada di DKI ini lebih cenderung melihat figur, karena tingkat rasionalitas penduduknya tinggi. Dan itu juga tentu didukung oleh kepuasan terhadap kinerja. Kita lihat saja, hanya ada 12,5 persen saja yang tidak puas dengan kinerja Ahok dan Wakilnya Djarot,” kata Yunarto.

Sumber : Suara.com