Pilpres 2019: Strategi Lama, Konten Baru

Hampir genap dua bulan kampanye Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 resmi bergulir. Alih-alih diramaikan oleh konstetasi gagasan (baca: arah pembangunan dan gagasan), jalannya kampanye saat ini lebih disesaki kampanye negatif dan kabar bohong.

Jika ditilik lebih jauh, kedua pasang kandidat secara umum terkesan seperti terkunci dengan strategi kampanye (pilpres) mereka pada 2014. Bukan hanya pengulangan, bahkan terjadi pendalaman dan perluasan. Jika dipadatkan, kedua kandidat sama-sama berusaha menerapkan emotional branding.

Dalam literatur pemasaran, emotional branding berfokus pada upaya menggugah perasaan dan emosi pemilih. Untuk itu kandidat sebagai brand politik harus mendemonstrasikan pemahamannya terhadap gaya hidup, aspirasi, dan inspirasi pemilih melalui pilihan narasi dan taktik komunikasi yang dilakukannya. Pemilih akan merasa terberdayakan dan terhubung. Dus, pada gilirannya membangun perasaan berkomunitas dan menumbuhkan solidaritas.

Pendalaman dan Perluasan

Pilihan tetap menjalankan strategi lama ini dapat dipahami. Secara makro, tidak terlalu banyak perbedaan yang fundamental tentang posisi kebijakan kunci. Dengan narasi berbeda, Joko Widodo dan Prabowo Subianto sama-sama menawarkan Indonesia yang digdaya, mampu berdikari, peran besar BUMN, pemerataan pembangunan, pengendalian konglomerasi, dan pemihakan kepada rakyat (rentan) miskin dengan beraneka aliran subsidi. Seperti dinyatakan Dean dkk (2015), ketika tidak ada perbedaan ideologi atau visi kebijakan yang terlalu jauh, ruang konstetasi untuk membangun diferensiasi adalah pada tawaran daya tarik emosional yang diajukan

Lebih daripada itu, polarisasi Pilpres 2014 secara bertahap telah membentuk basis pemilih yang kuat. Dalam kasus Prabowo, pemilihnya berproses bersama momen-momen politik sebelum Pilpres 2019. Tidak berlebihan menyatakan bahwa telah tumbuh rasa solidaritas dan satu komunitas dengan militansi tinggi di kalangan basis pemilihnya. Yang menjadi penggerak dan perekatnya bukanlah perioritas figur Prabowo melainkan pada isu-isu yang dimainkan. Persisnya isu-isu terkait politik identitas.

Hal yang sama terjadi pada Jokowi. Pendukungnya pun solid, tetapi belum sampai pada taraf memiliki rasa berkomunitas. Mereka terpilah-pilah dalam berbagai kelompok yang bahkan untuk sebagian punya sikap dan pandangan yang saling berlawanan. Yang jadi perekat dan penggerak mereka adalah figuritas Jokowi.

Pada Pilpres 2019, keduanya masih bertumpu pada hal yang sama: Prabowo dengan isu-isu politik identitasnya dan Jokowi dengan pesona personalitasnya. Untuk memelihara dan mengembangkan basis pemilihnya ini, kedua kandidat menggugah perasaan antusiasme di kalangan pendukungnya. Antusiasme memungkinkan pemilih berada dalam situasi yang dikenalinya dan karenanya mendorong atau menguatkan sikap partisannya (MacKuen dkk, 2007)

Perasaan antusiasme meliputi harapan kebanggaan, dan simpati (Marcus dan MacKuen, 1993). Kubu pendukung Prabowo terutama membangkitkan harapan akan kemenangan. Dan, ini sudah dimulai jauh hari sebelum kampanye resmi pilpres melalui tagar #2019gantipresiden. Ini diikuti dengan beberapa kemenangan pilkada yang kandidatnya juga mengusung tagar yang sama dan yang terpenting menggunakan pendekatan isu yang sama: isu-isu berbasis indentitas, seperti terjadi di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatera Utara.

Sebaliknya, antusiasme pendukung Jokowi lebih merupakan respons terhadap harapan yang ditumbuhkan kubu Prabowo. Tagar #Jokowi2periode dan sejenisnya menjadi representasi simbolik kebanggaan pemilih atas pilihan politiknya, sekaligus merupakan wujud kekhawatiran kubu pendukung Jokowi yang mengantisipasi gerakan kampanye dini ini. Seperti dikatakan Just dkk (2007), harapan di satu pihak menumbuhkan kekhawatiran/ketakutan di pihak lain. Secara keseluruhan, terlihat tendensi strategi dasarnya. Kubu pendukung Prabowo tidak bertumpu pada figuritas Prabowo, tetapi pesan simbolik dari tagar #2019gantipresiden yang dimaknai antara lain sebagai kebangkitan Islam (politik) dan “pribumi”. Sebaliknya, kubu pendukung Jokowi bertumpu pada figuritas Jokowi. Dan, ini bisa dipahami karena posisi Jokowi sebagai petahana.

Pada Pilpres 2019, isu-isu politik identitas yang sebelumnya masih abstrak mengalami konkretisasi karena ditautakan dengan peristiwa dan kebijakan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintahan Jokowi. Keberadaan tenaga kerja asing (TKA) asal China, misalnya, dipergunakan untuk mengonkretkan pesan-pesan “bahaya aseng dan asing”.

Begitupun kasus-kasus hukum yang melibatkan sejumlah pemuka agama dimanfaatkan sebagian pendukungnya untuk mengonkretkan pesan-pesan “anti Islam”. Keberadaan Ma’ruf Amin sebagai cawapres Jokowi ternyata tidak juga merontokkan pesan-pesan jenis ini. Selain karena telah ditransformasi menjadi “bela Islam”, Ma’ruf yang notabene ketua Majelis Ulama Indonesia juga di de-“sakralisasi” dengan stigma (mulai dari isu “dimanfaatkan” sampai dengan sikap oportunis untuk mengejar kekuasaan).

Konkretisasi ini di satu pihak merupakan upaya membangkitkan rasa cemas. Perasaan ini akan mendorong pemilih melepaskan sikap partisannya, lebih terbuka untuk menentukan pilihannya. Mereka terdorong untuk mempelajari lebih jauh kandidat meski output-nya tidak selalu harus berganti pilihan (MacKuen dkk, 2007). Dalam studi eksperimentalnya, Lau dkk (2007) menemukan bahwa rasa cemas terbentuk manakala ada perbedaan yang signifikan antara informasi awal yang dimiliki pemilih dan informasi baru yang diterimanya. Perbedaan ini bisa disebabkan faktor kualitas kandidat atau jarak posisi kandidat terhadap sejumlah isu. Namun, mekanisme ini terutama lebih bekerja ketika pemilih mempelajari lebih lanjut kandidat yang jadi preferensinya alih-alih kandidat yang tak diinginkan.

Dengan begitu, dapat dikatakan, konkretisasi isu-isu politik identitas diarahkan untuk mengganggu pemilih Jokowi. Gangguan ini bertujuan mendorong pembelotan pemilih partisan Jokowi alih-alih menyasar swing voters, misalnya. Dan, sebagai penantang, tentu saja bahan bakar utamanya isu-isu ekonomi. Pesimisme, ketidakmampuan, dan ingkar janji tema payungnya.

Di lain pihak, konkretisasi isu-isu politik identitas ini diarahkan untuk menyolidkan pemilihnya. Caranya dengan mentransformasi rasa cemas jadi rasa marah. Ketika pemilih merasa marah, ia tak lagi berhati-hati dalam mengolah informasi dan cenderung membangun stereotyping (Hudi dan Feldman, 2007). Tak heran jika kemudian sodoran penjulukan seperti “Poros Mekah” vs “Poros Beijing” atau “Partai Allah” vs “Partai Setan” begitu disambut karena memudahkan pemilih Prabowo membangun rasionalitas pilihan politik.

Secara keseluruhan, paduan harapan dan kemarahan kian mengkristal karena kerap mereka mendapatkan momentum untuk mengekspresikan aspirasinya dalam bentuk aksi-aksi massa dalam berbagai isu-kebijakan. Setiap ada peristiwa politik akan dikemas sedemikian rupa untuk menunjukkan adanya ancaman luar biasa buat mereka atau cita-cita pendukungnya. Juga dalam bentuk perlindungan dan pembelaan ketika ada simpatisan yang melakukan kekeliruan bicara atau melanggar ketentuan hukum.

Berbeda dengan itu, dari perspektif kubu petahana, mereka menyadari kekuatan utama bersaing ada pada figuritas yang dinilai aset terkuat dan berisiko jika disisihkan. Ini terlihat dari intensitas tindak komunikasinya yang banyak mengeksplorasi atribut personalitas Jokowi (merakyat, ramah, turun ke lapangan/membumi, dan jujur). Jika mengacu pada brand personalitas Aaker (1997), kesemuanya merupakan bagian dari dimensi ketulusan.

Personalitas seperti itu efektif pada Pilpres 2014 karena, pertama, menawarkan kebaruan (antitesis) dari personalitas kepemimpinan ala Susilo Bambang Yudhoyono (militer, gagah, intelek, dan good looking) yang sudah menjadi standar pemimpinan selama hampir 10 tahun terakhir. Dan, kedua, personalitas Prabowo (militer, mapan, tegas dan berani) relatif sebangun dengan personalitas yang ditawarkan SBY.

Pengembangan yang dilakukan pasca-2014 adalah mengedepankan dimensi kegembiraan (berjiwa muda dan bersemangat) dan kompetensi (pekerja keras). Tawaran personalitas tersebut memudahkan pemilih mengidentifikasikan dirinya pada Jokowi dan sebagian kecil lainnya mempersonifikasikan dalam bentuk “kelompok pemuja”. Problemnya, pada Pilpres 2019 ini, Jokowi adalah petahana. Sebagai petahana, kinerjanya pasti dievaluasi dari dua belah pihak: pemilihnya pada 2014 ataupun pemilih yang cenderung ke Prabowo. Tindak komunikasinya yang banyak menonjolkan dimensi baru personalitasnya dengan nge-vlog, ber-sneaker, bermotor besar, dan sejenisnya hanya menguatkan sisi personalitas sebelumnya.

Pemilih membutuhkan kebaruan dan terutama yang berkaitan dengan jabatannya, tetapi pilihannya tidak bisa terlalu ekstrem. Misalnya, menonjolkan atribut Jokowi sebagai figur yang “gagah”. Ini tidak otentik di benak pemilih dan karenanya akan diabaikan atau justru dimaknai secara berlawanan. Sebaliknya, sosok Jokowi yang andal (baca: penguasaan masalah dan responsif), misalnya, lebih sejalan dengan personalitas sebelumnya dan sesuai dengan posisinya sebagai petahana.

Selain itu, kekuatan personalitas Jokowi juga diantisipasi Prabowo dengan menghadirkan sosok Sandiaga Uno sebagai pembanding. Sosok Uno dicitrakan sebagai figur sukses, taat beragama, gaul, good looking, dan juga cerdas. Lebih dari pada itu, Uno sejauh ini mengisi panggung politik lebih banyak. Tidak sekedar untuk “menetralisasi” pesona Jokowi, tetapi juga mengalihkan atensi orang terhadap figuritas Prabowo.

Kubu Jokowi tentu saja menyadari keharusan petahana untuk unjuk kinerja. Pemilih perlu diyakinkan bahwa mereka tidak salah pilih. Kubu Jokowi memilih menggugah rasa bangga atas kemajuan Indonesia dan harapan masa depan yang lebih gemilang ditularkan. Masalahnya, pengomunikasiannya relatif kering. Penyajian lebih banyak menekankan pada angka-angka. Narasinya minim sehingga kurang efektif, terlebih kalangan pemilih yang masih galau.

Lebih daripada itu, kubu Jokowi juga berupaya membangkitkan rasa cemas dengan cara mengulik kembali personalitas dan rekam jejak Prabowo tetapi terutama untuk menunjukkan ketidakcocokan karakter Prabowo dengan posisi presiden, terutama terkait dengan isu kebhinekaan dan masa depan Indonesia. Pilihan tema ini efektif untuk memantapkan hati pemilihnya tetapi belum cukup efektif mengganggu pemilih Prabowo. Sering kali bahkan isu kebhinekaan ini dipelintir menjadi pertarungan antara “Pancasila” vs “agama” yang berpotensi menambah panas tensi dalam masa kampanye.

Titik balik

Meski efektif, pendekatan emosional buka tanpa bahaya. Bahaya pertama menyeruak ketika pengguna brand (baca: pemilih) membangun narasi-narasinya sendiri sedemikian rupa hingga terlalu jauh dari kehendak kandidat. Brand kandidat menjadi tidak otentik ketika mengalami “sakralisasi”. Atau juga jadi tidak relevan bagi kebanyakan pemilih ketika ada sekelompok kecil pemilih mengusung agenda politik sub-kelompoknya sendiri dengan “membajak” brand kandidat.

Sampai titik tertentu, hal ini mungkin masih bisa ditoleransi untuk menjaga “keutuhan” komunitas, memberi ruang ekspresi pada pendukung dan atau untuk menyediakan “vaksin” menghadapi virus-virus kampanye negatif yang dilakukan pihak kompetitor. Meski begitu, situasinya bisa berbeda 180 derajat ketika dinilai “kelebihan dosis”.

Brand politik yang berlebihan dosis akan membuat pemilih lawan yang cemas jadi berbalik marah dan karenanya menguatkan diri pada kandidat yang menjadi preferensinya. Tidak hanya itu, kondisi ini juga akan mendorong sebagian pemilihnya diliputi rasa cemas dan mendorongnya untuk mencari informasi baru tentang kandidat yang menjadi preferensinya.

Selain itu, brand kandidat juga berpotensi mengalami apa yang disebut Thompson dkk (2006) dengan istilah “DoppelgAnger brand image”. Yakni ketika komunitas, organisasi sosial, pemuka informasi, blogger, atau aktivitas politik yang memilih independen dari kedua kubu kandidat membuat narasi-narasi negatif tentang brand kandidat sebagai bentuk perlawanan budaya. Narasi ini tidak sebatas pada nama kandidat, logo, dan tagline, tetapi juga program. Di tangan mereka, brand kandidat dipelesetkan/diparodikan dan direferensikan pada simbol atau makna yang negatif dengan tendensi untuk meremehkan, menghina, menyalahkan, dan sejenisnya.

Brand yang kelebihan dosis ataupun yang dipelesetkan sama-sama mengubah makna brand yang diinginkan kendidat. Efek kerusakannya bisa tak terduga. Di titik ini, kedua kubu perlu mencermati ulang alur emosi yang dimaikannya. Kekeliruan mengantisipasi kedua bahaya tersebut bisa berakibat fatal, terlebih dalam situasi kontestasi yang kian berpolarisasi seperti saat ini.

 

Yunarto Wijaya

Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

 

 

(Sumber: Kompas Cetak, Selasa 13 November 2018 Halaman 6 *opini*)

Foto dok Charta Politika.

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *