Dua Dekade Partai Demokrat dan Konflik Internal

Partai Demokrat baru saja merayakan hari lahirnya yang ke-20 tahun. Dalam dua dekade, tercatat dua penurunan pamor partai ini: transformasi posisi dari partai penguasa menjadi oposisi sunyi di era pemerintahan Jokowi dan konflik internal tiada henti. Kini, suhu konflik pun kembali membara. Empat mantan kader Demokrat menggandeng Yusril Ihza Mahendra untuk menggugat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai ke Mahkamah Agung.

Ada satu pelajaran penting dari pergolakan Partai Demokrat, juga di partai lain, yakni seni mengelola faksionalisme. Jika partai politik dianalogikan dengan rumah, faksi politik itu semacam pojok kecil yang minus perhatian dari sang kepala rumah, sehingga lahirlah ledakan yang mengusik semua penghuni rumah.

Kisruh Partai Demokrat hampir mendekati tujuh bulan. Pada Maret 2021, Deli Serdang menjadi saksi kelahiran Partai Demokrat kubu Moeldoko yang dibidani faksi politik penentang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Di sana bersekutu dan bertemu dua arus utama, antara lain faksi Marzuki Alie dan loyalis Anas Urbaningrum. Di sisi AHY, ada juru bicara Andi Mallarangeng. Ketiganya – Anas, Marzuki, dan Andi – adalah “alumni” perebut raja tanpa mahkota dalam Kongres II partai di Bandung pada 2010. Kader-kader potensial Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu sempat berbulan madu membesarkan partai ini. Di ujung jalan, iklim kompetisi internal tak terhindarkan. Tapi, sayangnya, hal itu berujung ke arah perpecahan.

Menurut Franchoise Boucek (2009) dalam Rethinking of Factionalisation: Typologies, Intra-Party, and Three Faces of Factionalism, faksionalisme dapat berubah bentuk, biasanya dari kerja sama menjadi faksionalisme kompetitif dan kemudian menjadi faksionalisme degeneratif. Dalam kasus mutakhir Partai Demokrat, dari SBY ke “putra mahkota” AHY, faksionalisme internal yang bertiup kencang adalah intensi laten yang terpendam lama.

Secara umum, faksionalisme partai politik di Indonesia memang belum terlembagakan dengan baik, seperti faksi Correnti di Partai Kristen Demokrat Italia (Pridham, 2013). Untuk mengatur ritme faksionalisme, pemimpin partai sepatutnya menghadirkan orkestra demokratis dan suasana dialektis di partainya.

Demokratisasi dan dialektika internal ini menjadi instrumen pengelolaan faksionalisme untuk merespons beragam sumbu kepentingan. Budaya demokrasi prosedural ataupun substansial disertai komitmen meritokratik akan menyuburkan iklim organisasi politik yang sehat. Derajat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi anggota juga perlu diperluas sehingga terhindar dari persepsi minor mengenai citra partai yang bercorak feodalistik, milik privat, dan segelintir famili.

Ruang faksionalisme yang teratur bisa mendewasakan relasi antar-aktor. Dalam horizon yang lebih luas, pemimpin partai memerlukan revitalisasi ideologi dan platform sebagai perekat anggota partai. Kontekstualisasi gaya kepemimpinan, pengambilan keputusan, dan tindakan komunikatif harus diselaraskan dengan kebutuhan kader dan preferensi publik.

Begitu pula tata kelola partai, hendaknya diubah, dari pendekatan yang terkesan koersif, monolitik, dan eksklusif menjadi lebih persuasif, dialogis, dan inklusif. Ketika muncul persilangan pendapat dan aneka letupan, pendekatan informal – kultural akan jauh lebih efektif daripada pendekatan formal – legalistik yang galibnya menyisakan luka. Di sini soal kepiawaian berkomunikasi, manajemen konflik, dan seni menegosiasikan konsensus bersama.

Jejak rekam Demokrat menempati panggung tersendiri dalam dinamika kepartaian di Indonesia. Meski tergolong pendatang baru, partai ini berhasil mendulang 7,45 persen suara dalam Pemilihan Umum 2004 hingga memuncak pada Pemilu 2009 dengan 26,4 persen suara.   

Ibarat penuaan dini, sinar kejayaan Demokrat seketika meredup. Skandal korupsi Hambalang, yang menjerat sebagian elite sentral partai kala itu, memantik kutukan publik. Walhasil, Demokrat hanya memperoleh 10,19 persen suara dalam Pemilu 2014 dan menurun drastis menjadi 7,77 persen dalam Pemilu 2019.

Namun, belakangan ini, elektabilitas Demokrat justru naik. Dalam survei Charta Politika Indonesia, misalnya, tergambar tingkat keterpilihan Demokrat yang awalnya sebesar 4,2 persen pada 20-24 Maret 2021 naik menjadi 6,6 persen pada survei periode 12-20 Juli 2021.

Hal ini menunjukkan, dari segi elektabilitas tokoh, untuk sementara kans AHY cukup besar dibanding Moeldoko. Bisa jadi Demokrat terkesan “dizalimi” sehingga insentif elektoral dapat direngkuh. Namun ikhtiar penguatan politik partai akan jauh lebih awet manakala kerja-kerja konkret para kader teraksentuasi di tataran akar rumput.

Selain itu, ada catatan mengenai ketegangan hubungan Demokrat dengan lingkungan eksternal. Kasak-kusuk kegagalan Demokrat memasuki tubuh pemerintahan Jokowi ditengarai akibat relasi antagonistik antara SBY dan Megawati Soekarnoputri. Tafsir publik sekalipun berpola acak semacam ini mesti menjadi bahan evaluasi.

Pesan yang mengudara adalah bahwa konsistensi sikap terhadap isu-isu strategis, arena kandidasi, ataupun kebijakan publik haruslah tegas, terang benderang, dan menghindari langgam “politik dua kaki”. Politik itu soal persepsi. Artinya, kehendak elite mesti bertautan dengan psiko-politis publik.

Sebagai partai yang mengklaim partai tengah, saatnya Demokrat mengaktualisasi nilai-nilai politik moderat yang menjadi problem solver, bukan trouble maker. Kepemimpinan dan manajemen partai seorang AHY terus diuji untuk menunjukkan kedigdayaannya secara berdikari di era pasca-SBY.

Kini, Partai Demokrat sedang berada di titik krusial. Jika terobosan hukum Yusril dikabulkan, kemapanan partai di bawah AHY bakal terguncang. Implikasi lanjutannya, partai-partai lain dan bahkan organisasi kemasyarakatan akan meninjau ulang AD/ART masing-masing. Namun perlawanan hukum sepantasnya ditanggapi juga secara legalistik. Medan laga pertarungan hukum itu dapat diartikulasikan oleh pengadilan, bukan percaturan opini di ruang maya. 

Dalam konteks ikhtiar politik, AHY mesti terampil untuk memastikan kader-kader Partai Demokrat dengan segala mazhab atau faksi untuk menjalin kerja sama, mencegah situasi degeneratif, sekaligus merajut harmoni. Posisinya sebagai ketua umum partai adalah modal awal dalam kontes kandidasi 2024. Tapi, akan terasa hambar kalau gagasan programatik yang ditawarkan AHY (juga bakal calon presiden lain) tidak mengandung diferensiasi dan nilai tambah yang mengandung “wow effect”. Ini soal pendidikan politik yang mesti diperlihatkan oleh semua lapisan elite partai sebagai bagian dari demokrasi, bukan sekadar bertengkar dan berburu kekuasaan semata.

Mawardin

Peneliti Charta Politika Indonesia

Opini Koran Tempo, 5 Oktober 2021
Ilustrasi: Imam Yunni

Polarisasi, Amandemen, dan Jurus Cumi-Cumi

Jakarta – Musim paceklik politik itu melanda Republik Guinea. Prolognya berawal dari parlemen Guinea yang mengetuk palu perpanjangan masa jabatan presiden. Walhasil, baginda Alpha Conde masih bisa bersemayam di istana kepresidenan untuk periode ketiga.

Akibat amandemen konstitusi, negara di Afrika Barat itu mengalami kudeta (5/9/2021) melalui operasi politik sekelompok junta militer. Conde terpilih sebagai Presiden Guinea sejak 2010. Normalnya Conde selesai berkuasa 2020, tetapi ia malah menjebol batas konstitusi yang berakhir prahara dan antiklimaks.

Turbulensi politik dan erosi demokrasi sebenarnya sudah lama menghantam Guinea. Freedom House (2020) menggolongkan Guinea dalam kluster negara berstatus bebas sebagian (partly free). Freedom House menemukan kategori kebebasan sipil (civil liberties) dan hak politik (political rights) sebagai lubang hitam Guinea dengan skor yang anjlok.

Iklim politik Indonesia teranyar juga sedang disengat suhu panas isu masa jabatan presiden tiga periode. Percaturan politik yang digelar partai-partai penghuni lembaga parlemen sudah gamblang –dalam konteks partai apa mengatakan apa menyoal wacana tiga periode.

Di sisi lain, ide kontroversial itu muncul dari luar pagar parlemen melalui pernyataan M. Qodari. Agendanya mengusung JokPro (Jokowi-Prabowo) sebagai pasangan capres-cawapres pada Pemilu 2024. Dalil dan dalihnya ingin menghilangkan polarisasi politik ekstrem sebagai residu dari Pilpres 2014, Pilpres 2019, termasuk Pilgub DKI Jakarta 2017.

Ada sejumlah jajak pendapat selama wacana presiden tiga periode bertiup kencang. Hasil rilis survei Charta Politika Indonesia, Indikator Politik, dan SMRC menunjukkan bahwa mayoritas suara publik masih menolak perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Beragam bunyi think-tank dan lembaga survei lain juga mengalunkan nada yang serupa.

Data Charta Politika bertajuk Peta Politik Triwulan I 2021 menunjukkan bahwa sebesar 61,3 persen masyarakat tidak menyetujui wacana tiga periode. Namun ada pula 13,9 persen masyarakat yang menyetujuinya. Ada beragam alasan masyarakat menyetujui ataupun menolak jabatan presiden tiga periode.

Mayoritas publik yang menolak tiga periode itu merefleksikan kesadaran masyarakat terhadap demokrasi dan konstitusi cukup persisten. Jika jabatan presiden menjadi tiga periode akan berpotensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Dalam perkara tiga periode, Presiden Jokowi telah berulang menolak wacana tersebut. Penolakan itu tentu melegakan, kendati terus dikipas-kipas segelintir kelompok kepentingan. Jangan lupa, dalam gerbong kekuasaan acap dipenuhi penumpang bebas dengan arah yang berbeda. Pada titik itu, sikap pribadi Presiden bisa saja akan dikepung akrobator politik extraordinary untuk menjalankan agenda partikular tertentu.

Namun demikian, kita patut bernapas lega juga; kabarnya Ketua Umum PDIP (the ruling party) Megawati Soekarnoputri menolak perpanjangan masa jabatan presiden. Sikap Megawati pun segendang sepenarian dengan pimpinan MPR dan DPR agar amandemen “secara terbatas” jangan sampai melebar pada penambahan masa jabatan presiden.

Itulah yang menjelaskan soal liarnya isu tiga periode. Penyodoknya tampak tak beraturan, sehingga bola tiga periode menggelinding secara acak. Ada anggapan bahwa bola tiga periode juga dilempar ‘by proxy’ yang bertendensi mendegradasi imunitas citra lembaga kepresidenan. Waktu jua yang akan menguji akhir dari drama elite ini.

Berkaca pada survei Charta Politika (20-24 Maret 2021), ada 50,9 persen pandangan masyarakat yang tidak percaya dengan isu bahwa pemerintahan Jokowi akan mengusulkan amandemen perubahan UUD 1945 terutama mengenai pasal masa jabatan presiden. Persentase yang sebetulnya signifikan. Hanya 16.8 persen responden yang menyatakan percaya dengan isu itu.

Selain kasak-kusuk tiga periode, perbincangan yang mengemuka yakni seputar Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), rumor presiden kembali dipilih MPR, isu pemilu 2024 diundur hingga 2027. Itulah beberapa sumber ketegangan naratif dalam rencana amandemen kelima. Untuk sementara, tren opini publik lebih menyetujui jabatan presiden dua periode, meskipun ada pendengung politik freelance yang secara diametral berbeda dengan kehendak utama publik.

Kalau ‘kawin paksa’ JokPro untuk pemilu 2024 diduga dapat menghilangkan polarisasi politik ekstrem, hal ini mencerminkan jurus cumi-cumi, yakni mengeluarkan tinta untuk mempertahankan diri. Inisiator tiga periode membunyikan lonceng kecemasan soal polarisasi dengan cara pandang yang simplistis dan spekulatif. Padahal, di banyak negara demokrasi, polarisasi adalah keniscayaan alamiah.

Agenda mendesak yang urgen sebenarnya seputar seni berpolitik dari para elite, berlakon sebagai teladan. Di sini soal ketaatan terhadap aturan main berdemokrasi, sekaligus menghentikan tradisi politik purbawi yang merusak bangunan demokrasi. Mulai dari etika komunikasi, estetika ekspresi politik, hingga garis batas moral mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dalam permainan politik elektoral.

Bagaimana soal isu penundaan Pemilu 2024 ke 2027? Kalau basis materialnya terkait darurat pendemi, justru sebuah inkonsistensi logis. Jejak Pilkada Serentak 2020 yang mendapat restu legalistik adalah fakta empiris yang tak terbantahkan. Kondisi mutakhir juga memperlihatkan masing-masing partai politik telah memasang kuda-kuda untuk berpacu dalam palagan elektoral 2024 mendatang.

Nama-nama capres dan cawapres potensial yang terpajang dalam etalase survei terus meramaikan pasar bebas politik. Dari sisi kalkulasi politik para elite sentral, pemilu 2024 sangat muskil diundur. Di sisi lain, kalau hajatan pemilu digelar 2027, maka logistik bisa disimpan sebagai deposito politik dengan asumsi ketiadaan Pemilu 2024.

Ihwal ini, Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa desakan amendemen UUD 1945 mungkin juga didasari oleh motivasi para anggota dewan, antara lain motivasi “insentif” untuk bisa tetap menjabat hingga 2027 tanpa harus bersusah payah pemilu.

Di pentas politik Indonesia, jurus cumi-cumi memang senantiasa eksis. Modenya beraneka macam dengan pola acak, berpindah-pindah haluan dalam sekejap. Jika kita konversikan mode cumi-cumi ke dalam kancah politik, maka politik cumi-cumi akan terpantul pada kecenderungan yang pragmatis tanpa memperhatikan ideologi dan etika. Politik cumi-cumi juga lihai mengaburkan substansi persoalan, antara lain mengatasi polarisasi dengan ‘polarisasi baru’.

Sejarah perpolitikan di Indonesia masa lalu maupun kasus aktual dalam praktik demokrasi di negara-negara lain telah memberikan alarm pelajaran berharga. Salah satunya Republik Guinea. Artinya, masa jabatan presiden dua periode adalah inovasi demokrasi yang perlu dirawat bersama untuk melonggarkan sirkulasi dan regenerasi kepemimpinan nasional.

Dengan demikian, proyek tiga periode kemungkinan besar akan gulung tikar. Tetapi sebagai imaji politik, tentu halal diutarakan di alam demokrasi. Masyarakat sipil sebagai agensi moral menjadi tumpuan masyarakat untuk membangun counter-narrative terhadap mantra politik bergaya cumi-cumi. Pendidikan politik juga memerlukan atensi serius agar kesadaran kritis masyarakat terus mengkristal. Akhir kata, kita membutuhkan surplus pemimpin politik berwatak negarawan sekaligus lokomotif penjaga demokrasi. Selamat berhati-hati.

Mawardin
Peneliti Charta Politika Indonesia
foto: Detiknews

Kolom Detiknews, 15 September 2021
(https://bit.ly/3CllaiO)

Agenda Demokrasi Ekologi

Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengirim pesan yang genting dalam pidato sambutannya di kantor Direktur Intelijen AS, 27 Juli 2021. Biden mengutarakan perubahan iklim secara ekstrem merupakan tantangan terbesar negaranya, dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Presiden dari Partai Demokrat AS itu menyebut kemungkinan ibu kota Indonesia 10 tahun ke depan terancam tenggelam.

Pidato panas tersebut sontak memantik reaksi yang beragam dari publik di Tanah Air. Sengatan isu tersebut membuat Jakarta seolah-olah berstatus “lampu merah”, khususnya potensi terendam dengan skala stadium berat. Sebenarnya Jakarta telah terdeteksi pada tahun-tahun sebelumnya terkait momok tenggelam. Belum lagi imbas dari pemanasan global.

Awal tahun 2021 lalu, banjir besar serentak pun menerjang sejumlah daerah di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, NTT dan NTB akibat degradasi lingkungan sebegitu parah. Kita membutuhkan paradigma baru dan evaluasi-kritis terhadap tata kelola lingkungan berikut segenap kebijakan yang mengitarinya. Banjir, panas bumi, resesi ekologis, dan perubahan iklim merupakan konsekuensi dari eksploitasi sumber daya alam yang overdosis.

Untuk itu, setidaknya, ada tiga kata kunci yang relevan di sini sebagai bagian dari ikhtiar sistemik menciptakan keselamatan ekosistem. Pertama, konstitusi beserta kebijakan dalam mengelola lingkungan. Kedua, etika kewarganegaraan dalam lanskap ekologis. Ketiga, iklim politik dan demokrasi yang mencerminkan keberpihakan terhadap lingkungan hidup.

Dari sisi konstitusi, sesungguhnya ketentuan mengenai lingkungan hidup telah dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Konstitusi pasca-amandemen memenuhi unsur dalam apa yang disebut oleh Jimly Asshiddiqie (2009) sebagai konstitusi hijau (green constitution). Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Selanjutnya, penegasan tersebut diperkuat lagi dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.

Keluhuran konstitusional itu patut diapresiasi. Hanya saja, agenda lingkungan bukan hanya sebatas ketentuan normatif-legalistik tetapi juga harus menjelma menjadi gerakan nasional yang bersifat multisektor disertai tindakan ekologis yang nyata. Seyogianya, konstitusi hijau berjalan paralel dan meniscayakan lahirnya seperangkat kebijakan yang sensitif lingkungan (green policy).

Norma lingkungan hidup yang tertulis dalam konstitusi beserta peraturan turunannya tentu sama pentingnya dengan sanksi yang tegas bagi predator lingkungan hidup. Dengan cara ini sekumpulan regulasi berdampak signifikan terhadap perbaikan secara fundamental aspek lingkungan hidup. Begitu pula sinkronisasi kebijakan pembangunan dalam kerangka kerja ekologis antara pemerintah pusat dan daerah hendaklah menjadi komitmen bersama. Bahkan, komitmen ekologis harus diperluas resonansinya hingga kalangan pengusaha dan investor (green business) untuk menciptakan iklim usaha yang eco-friendly.

Dari sisi warga, kita patut mengamalkan apa yang dikatakan oleh Andrew Dobson sebagai kewarganegaraan ekologis (ecological citizenship). Gerakan ini identik dengan kesadaran warga negara akan tanggung jawab mereka terhadap kelestarian lingkungan dengan menerapkan gaya hidup yang ramah lingkungan (Dobson, 2007). Selanjutnya, kebijakan negara dituntut mampu mewujudkan aspek lingkungan yang berkarakter deliberatif dan partisipatif.

Akses ruang hidup yang sehat dan layak bagi warga negara akan terwujud manakala didukung oleh politikus dan pejabat publik yang mengutamakan agenda lingkungan. Dalam ilmu politik dan hubungan internasional juga dikenal dengan terminologi green politics atau environmental politics.

Perubahan iklim tidak sekadar problem intrinsik lingkungan, tetapi bertalian juga dengan iklim politik dan demokrasi yang kompleks. Dalam perkembangan ide dan praktik demokrasi, muncul istilah demokrasi ekologi dan demokrasi hijau. Intinya adalah bagaimana membingkai lingkungan hidup dalam teleologis berdemokrasi.

Dalam studi Pickering, Bäckstrand, Schlosberg (2020) bahkan menelurkan istilah planetary democracy (demokrasi planet). Menurut Pickering et.al, konsep demokrasi ekologi dan lingkungan berupaya untuk mendamaikan dua cita-cita normatif, yakni memastikan kelestarian lingkungan sekaligus menjaga demokrasi.

Dalam konteks ini, demokrasi ekologi akan terpatri bila partai politik yang mengusung lingkungan hidup sebagai prinsip utama politik (green parties) turut mengemuka. Setiap parpol sebenarnya memiliki platform politik lingkungan dalam dokumen visi-misinya. Namun pengelolaan lingkungan yang bersifat jangka panjang belum menjadi arus utama.

Pandangan Doyle dan McEachern (2008) mengonfirmasi asumsi umum bahwa parpol konvensional (juga pemerintah umumnya) justru lebih memprioritaskan pertumbuhan ekonomi. Padahal, antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan dapat bergerak secara simultan sesuai prinsip pembangunan berkelanjutan. Dalam kancah demokrasi elektoral, produk politik mensyaratkan kemasan yang menarik perhatian pemilih. Kita dapat menimba inspirasi dari pengalaman parpol bermazhab green politics di negara-negara lain, misalnya Partai Hijau (Jerman), The Australian Greens, Values Party di Selandia Baru, The Green Party of Canada dan sebagainya.

Peluang bagi aktor politik untuk membumikan demokrasi ekologi cukup terbuka, meski berat di tengah kartelisasi oligarkis. Panggung demokrasi di negeri ini penuh dengan surplus politikus yang terperangkap dalam polarisasi semu tetapi minus solusi untuk menyeimbangkan kelestarian alam dan kebutuhan ekonomi.

Mawardin
Peneliti Charta Politika Indonesia
foto: (Istimewa)

Opini Bisnis Indonesia, 23 Agustus 2021