Cak Imin-Zulhas Dinilai Tak Punya Alasan Kuat Usul Perpanjang Jabatan Jokowi

Jakarta – Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya menilai usulan perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) belum memiliki alasan yang kuat. Yunarto mengutarakan sejumlah catatan kritis terkait usulan tersebut.
Yunarto menyoroti alasan di balik usulan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Ketum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang berbeda. Dia lantas mempertanyakan bagaimana alasan yang masih berbeda-beda itu justru digunakan untuk membuka satu kotak pandora: pembatasan masa kekuasaan yang dijamin konstitusi.

“Belum ada alasan yang kuat di antara ketum ini, kesatuan alasan untuk kemudian membuka kotak pandora bernama pembatasan masa kekuasaan, yang sangat esensial dalam demokrasi,” kata Yunarto Wijaya kepada wartawan, Jumat (25/2/2022).

“Bayangkan, sederhana saja, Zulhas dan Cak Imin sudah menggunakan alasan yang berbeda. Satu perang Ukraina dengan Rusia, lalu yang satu lebih menekankan terkait pandemi. Lalu bagaimana mungkin alasan yang juga masih berbeda-beda digunakan untuk sesuatu yang paling esensial dari demokrasi, yaitu pembatasan masa kekuasaan dan harus mengamandemen konstitusi,” lanjutnya.

Seperti diketahui, aspirasi perpanjangan masa jabatan presiden kembali mencuat setelah Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar atau Cak Imin memberi usul agar Pemilu 2024 ditunda 1-2 tahun. Alasannya, Pemilu 2024 berpotensi mengganggu momentum perbaikan ekonomi Indonesia.

Lulusan S2 manajemen Universitas Indonesia itu heran terhadap alasan pemulihan ekonomi tersebut. Dia menyebut semua negara di dunia pun tengah berjuang memulihkan ekonominya, tetapi tak ada yang melakukan perpanjangan kekuasaan.

Menurutnya, penundaan pemilu setidaknya lantaran permasalahan teknis yang diundur hanya hitungan bulan, bukan untuk memperpanjang masa jabatan kekuasaan.

“Pertanyaan yang harus ditanya juga adalah, ketika alasan pandemi yang digunakan, misalnya, atau pemulihan ekonomi yang masih berjalan pada masa pandemi, negara lain kan di dunia juga mengalami ini. Semua negara mengalami situasi pandemi dan juga sedang melakukan proses pemulihan ekonomi, tapi tidak ada satu pun negara yang setahu saya melakukan perpanjangan kekuasaan,” katanya.

“Penundaan pemilu hanya dilakukan dalam hitungan teknis. Hitungan bulan, tanggal, tapi bukan dalam konteks perpanjangan kekuasaan,” imbuhnya.

Dia menyebut berbagai hasil survei menunjukkan mayoritas responden memilih menolak penundaan pemilu. Lantas, dia mempertanyakan suara siapa yang diklaim para ketum partai itu.

“Semua lembaga survei mengatakan masih lebih banyak yang menolak untuk penundaan pemilu. Kan jadi pertanyaan, lalu suara siapakah yang diklaim para ketum partai. Kalau hanya didasarkan pada subjektivitas mereka ya pada akhirnya tuduhan mengenai oligarki ini kan seperti menjadi benar, gitu, kan,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menduga usulan perpanjangan masa jabatan presiden tersebut membawa kepentingan segelintir elite politik untuk memperpanjang kekuasaannya, baik di bangku-bangku kementerian maupun di Senayan. Sebab, ujarnya, apabila pilpres ditunda, akan mempengaruhi jadwal pileg.

“Dan jangan-jangan kemudian akan muncul tuduhan bahwa mereka punya kepentingan juga untuk memperpanjang kekuasaannya. Memperpanjang kekuasaan sebagai menterikah atau misalnya memperpanjang kekuasaan anggota-anggota DPR sebagai bagian dari partai,” katanya.

“Karena kan kita tahu pilpres yang ditunda ini akan menjadi pileg yang ditunda yang menguntungkan mereka juga,” sambung dia.

Yunarto kemudian menyinggung pernyataan Jokowi yang selama ini menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden. Menurutnya, selama Jokowi belum mengeluarkan pernyataan baru, tak salah jika masyarakat melihat bahwa elite yang mengusulkan itu dinilai menjerumuskan Jokowi.

“Catatan kritis keempat, yang bisa kita pegang kan adalah statement Pak Jokowi terakhir terkait isu ini jelas menolak dan mengatakan yang mengutarakan isu ini menjerumuskan dirinya. Selama belum ada statement baru Pak Jokowi, ya, jangan salahkan juga kalau kemudian sebagian masyarakat mengatakan bahwa yang mengutarakan kalimat ini orang yang menjerumuskan Jokowi juga,” katanya.

Firda Cynthia Anggrainy – detikNews
Sumber foto: Ari Saputra/detikcom
Sumber berita: https://bit.ly/35sRkxM

Kontestasi Dini Pemilihan Presiden 2024

Dalam lintasan politik 2021 lalu, isu suksesi kepemimpinan nasional begitu hangat. Memasuki 2022, kontestasi dini menuju Pemilihan Presiden 2024 kian semarak. Siapa figur yang potensial menggaet dukungan publik?

Bursa Capres

Data survei dari lembaga Saiful Mujani Research and Consulting (8-16 Desember 2021) dan Indikator Politik (6-11 Desember 2021) menempatkan Prabowo Subianto sebagai calon terkuat, bersaing ketat dengan Ganjar Pranowo, disusul Anies Baswedan. Sedangkan Charta Politika (29 November – 6 Desember 2021), Poltracking (3-10 Oktober 2021) menunjukkan elektabilitas Ganjar di posisi tertinggi, diikuti Prabowo dan Anies.

Sejumlah figur popular juga menyedot atensi publik untuk berlaga. Mereka terdiri dari kepala daerah, menteri, pimpinan partai politik, anggota DPR, dan sebagainya. Nama-nama yang terekam yaitu Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Khofifah Indar Parawansa, Erick Thohir, Puan Maharani, Airlangga Hartarto, dan lainnya.

Khusus Prabowo, tercatat sebagai politikus kawakan yang sudah tiga kali berkontestasi di pilpres (2009, 2014, 2019), tapi (selalu) kalah. Tokoh yang kini menjabat Menteri Pertahanan itu dianggap representasi jenderal senior. Ada juga deretan elite yang lahir dari rahim militer, namun elektabilitasnya masih berada di bawah Prabowo, yakni AHY, Andika Perkasa, Moeldoko, Luhut Binsar Panjaitan, dan Gatot Nurmantyo.

Komposisi militer dan sipil berlangsung dalam empat kali perhelatan pilpres di era Reformasi. Pertimbangan itu bukan sebagai variabel utama, namun lebih mencerminkan akulturasi peran figural. Dari segi etnisitas, paket Jawa dan luar Jawa juga menjadi kalkulasi praktis. Begitu pula kombinasi kaum nasionalis dan agamis, serta keseimbangan logika elektoral dan logistik politik.

Dari perspektif gender, elektabilitas tokoh-tokoh perempuan masih kalah kompetitif dibandingkan dengan figur laki-laki. Puan Maharani adalah salah satu tokoh perempuan yang masuk radar perbincangan elite. Meski elektabilitas Puan masih berada di bawah Ganjar, namun ketua DPR itu dihubungkan dengan keistimewaan “darah biru” di PDIP.

Publik versus Elite

Ganjar adalah salah satu kader unggul PDIP yang kini menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah. Hanya saja, ia dianggap bukan golongan “darah biru”. Kendati demikian, elektabilitas Ganjar yang moncer, apalagi reputasi politiknya terus dirawat, kinerja positif selaku gubernur dijaga, basis peluangnya sangat besar untuk maju di palagan elektoral 2024.

PDIP telah memenuhi ambang batas persyaratan untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres. ‘Poros Merah’ akan memainkan peran yang sentral dalam ajang pilpres 2024. Komposisi nasionalis-religius tampaknya masih ideal digunakan PDIP yang cenderung menggaet tokoh Nahdlatul Ulama (NU) sebagai cawapres.

Partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (2014) ataupun Koalisi Indonesia Maju (2019) yang berhasil memenangkan Jokowi, bisa saja berpencar ke mana-mana ketika Pilpres 2024 tiba masanya. Lanskap politik di Tanah Air kemudian berubah. Gerak-gerik politik di Indonesia begitu cair. Buktinya, Partai Gerindra dan PAN yang notabene partai oposisi, belakangan bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi.

Seberapa besar peluang Gerindra memimpin poros politik tersendiri? Praktisnya, Gerindra membutuhkan partai lain manakala ingin mengajukan pasangan capres dan cawapres agar memenuhi persyaratan. Kalau skenario penjajakan Prabowo-Puan atas romantisme “Perjanjian Batu Tulis” mengalami hambatan psiko-politis, maka opsi alternatif bagi Gerindra ialah kembali berkongsi dengan kutub oposisi, yaitu PKS dan Partai Demokrat.

PAN juga bisa dirangkul oleh Gerindra sebagai bekas sekutu dalam pertarungan Pilpres 2019 lalu. Seumpama Prabowo diusung oleh mitra koalisi sebagai capres dengan asumsi itu, kans AHY sebagai cawapres lebih besar (kalau merujuk pada tingkat elektabilitas terkini) daripada Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, ataupun Presiden PKS Ahmad Syaikhu.

Dalam konfigurasi tokoh non-partai, Anies Baswedan termasuk sosok yang kompetitif. Sinyal politik PKS, bahkan kelompok Islam politik lebih mengarah ke Anies. Dalam potret umum, blok politik PKS dipersepsikan sebagai simbol antitesis postur politik Jokowi. Namun demikian, Anies sebenarnya berada dalam dua arus. Selain tumpuan kubu oposisi, Anies juga sedang bergema di Partai Nasdem. Poros ini berpotensi diisi oleh Nasdem dan Partai Golkar.

Ketua umum Nasdem Surya Paloh akan berlakon sebagai king maker. Di sini, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla kemungkinan akan mengayunkan langkah yang senada. Saat yang sama, kluster partai menengah, terutama PKB, kemudian merapat ke poros politik tersebut.

Bilamana terjadi kebuntuan, tentu PKB (juga PPP) akan lebih prospektif kembali ke kandang banteng dalam skema duet ‘Merah-Hijau’. Ketua umum PKB Muhaimin Iskandar, juga Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto didorong oleh partainya untuk maju di Pilpres 2024, tetapi elektabilitasnya belum terlalu mumpuni.

Politik itu penuh intrik. Paradoks antara logika elite dan persepsi akar rumput akan menyertai penggodokan skenario poros politik tersebut. Ilmuwan politik Harold Lasswell berkata “siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana”. Pendekatan pragmatis Laswellian itu tetap relevan untuk membingkai manuver politisi dewasa ini.

Permainan politik elite tingkat tinggi, penuh misteri, rahasia dan kejutan mengingatkan kita pada Michael Gallagher & Peter Marsh (1988) dalam Candidate Selection in Comparative Perspective, bahwa konteks kandidasi ibarat kebun rahasia politik (The Secret Garden of Politics).

Sosok seperti Anies Baswedan maupun Ridwan Kamil, sekalipun menyala-nyala di etalase survei, sangat mungkin terpental manakala sekelompok elite di parpol mengabaikan preferensi massa. Pilihan bagi aktor beken non-partai maupun “petugas partai” adalah terus merawat pasar elektoral agar dipinang oleh gugusan kekuatan politik.

Bagaimana dengan Ganjar Pranowo? Kita tentu masih ingat bagaimana jiwa besar Megawati Soekarnoputri yang merestui Jokowi sebagai capres 2014 dan 2019, meski Jokowi berputar di luar orbit sentral partai. Megawati akhirnya menang terhormat sebagai king maker. Kisah serupa sangat mungkin berulang pada sosok Ganjar.

Demikian pula Sandi (Gerindra), basis elektoralnya cukup menggetarkan. Di sisi lain, Gerindra tetap menjagokan Prabowo sebagai capres 2024. Menariknya, dalam survei terakhir Charta Politika (2021), Sandi tergolong cawapres teratas versi publik. Setidaknya, cawapres yang pas adalah sosok yang mampu menjangkau persebaran ceruk elektoral dari sisi demografis, genealogi kultural, dan warna-warni politik.

Ke mana ujungnya? Hasil polling bisa saja bergeser tergantung fluktuasi dinamika politik. Ruang dan waktu masih cukup terbuka bagi para aktor untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas. Menarik kita ikuti perkembangan politik selanjutnya.

 

Mawardin,
peneliti Charta Politika Indonesia
Foto ilustrasi: 20Detik
Kolom Detiknews, 7 Februari 2022

Lagu Lawas Tiga Periode

Di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), isu presiden tiga periode pernah menggelinding. Pada masa Presiden Jokowi, kita kembali mendengar lagu lawas itu. Setidaknya, sejak akhir 2019 sampai awal 2022 ini, Jokowi terus didorong oleh sebagian pihak untuk tampil kembali di pemilu berikutnya.

Dalam berbagai kesempatan, Jokowi sudah menolak wacana presiden tiga periode. Tetapi dalam dua tahun terakhir, kita disuguhkan deklarasi pasangan Jokowi (capres) – Prabowo (cawapres) untuk berlaga di Pilpres 2024. Kini muncul lagi ide aneh untuk membentuk paket Prabowo (capres) – Jokowi (cawapres). Di sisi lain, kasak-kusuk penundaan Pemilu 2024 juga terdengar.

J.B. Delston (2016) dalam Public Reason and Its Limits: The Role of Truth in Politics, menguraikan soal pengambilan keputusan politik, mengacu pada pandangan John Rawls yang disebut sebagai “alasan publik”. Dalam derajat tertentu, pejabat tidak boleh memaksakan kehendak privat, lalu mengabaikan aspirasi publik.

Bagaimana suara opini publik terhadap desas-desus tiga periode dan hajatan Pemilu 2024 itu? Pada tanggal 9 Januari 2022, Charta Politika Indonesia (CPI) menggelar rilis survei nasional bertajuk “Refleksi Akhir Tahun 2021: Kondisi Politik, Ekonomi dan Hukum di Masa Pandemi”.

Data survei CPI (29 November – 6 Desember 2021) mengenai perpanjangan masa jabatan presiden, dari hampir 50% responden yang mengetahui wacana tersebut, hasilnya mayoritas menyatakan tidak setuju dengan masa jabatan presiden tiga periode.

Sementara itu, tingkat pengetahuan publik seputar pemilu yang akan digelar pada 2024 berada di angka hampir 60%. Dari jumlah itu, menurut hasil survei CPI, mayoritas menyatakan setuju dengan penyelenggaraan Pileg–Pilpres dan Pilkada secara bersamaan pada 2024. Sedangkan isu penundaan Pemilu 2024 menjadi 2027, sebagian besar responden menyatakan tidak setuju.

Sejumlah lembaga survei lainnya pun menemukan hasil serupa. Artinya, persistensi masyarakat terhadap demokrasi dan konstitusi telah mengental. Dalam postulat Lord Acton: power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut).

Pesan moralnya jelas, bahwa kekuasaan harus dibatasi agar tidak terbius dalam perangkap otoritarian. Mantra tiga periode akan memunculkan glorifikasi terhadap individu. Budaya politik kultus juga akan mengedepan. Keadilan tiap warga negara akan akses untuk berpartisipasi dalam pemilu terjadwal akan terbonsaikan.

Jika kekuasaan presiden dua periode tidak diberi limitasi, maka stok putra-putri terbaik bangsa ini akan mengalami stagnasi. Gula kekuasaan yang dinikmati secara overdosis sangat destruktif bagi bangunan demokrasi. Dampak susulannya, bahkan bisa memicu distrust dari publik.

Pemilu 2024 merupakan wahana untuk menyiapkan regenerasi kepemimpinan sesuai kalender konstitusi. Dalam peta politik elektoral termutakhir, masing-masing partai politik, termasuk bakal calon presiden telah bermanuver menyongsong kompetisi elektoral di Pilpres 2024 nanti.

Dalam sejarah politik Indonesia, masa jabatan presiden dua periode sejak reformasi 1998 sejatinya adalah koreksi terhadap durasi kekuasaan yang terlalu lama di era orde lama maupun orde baru. Sebab itu, masa jabatan presiden dua periode mesti diproteksi sebagai mandat demokrasi konstitusional yang sejauh ini relatif stabil.

Kekuasaan memang terasa manis bagai madu, tetapi seketika dapat menjelma menjadi racun jika berkuasa melampaui batas. Itulah yang menjelaskan, misalnya, negara Perancis mengurangi masa jabatan presiden dari tujuh tahun menjadi lima tahun.

Pada 2009, Presiden Hugo Chavez Venezuela saat itu menghilangkan aturan masa jabatan presiden dua periode. Diego A. Zambrano (2019) dalam artikelnya The Constitutional Path to Dictatorship in Venezuela telah menggambarkan betapa platform ekstra konstitusional disertai referendum menggiring Venezuela ke dalam sistem “hiperpresidensial” menuju otoritarianisme.

Amerika Serikat (AS) masih menjadi trendsetter dalam hal pembatasan periode masa jabatan presiden. Mandat konstitusi di AS semula membuka kran jabatan presiden tanpa batas. Tetapi George Washington, presiden pertama AS, tidak tergoda untuk menikmati kursi empuk kekuasaan, justru ia mewariskan keteladanan yang istimewa.

George Washington hanya ingin menjabat dua periode saja, kendati loyalisnya terus mendorong maju kembali. Jokowi juga tak henti-hentinya didukung relawan JokPro agar menjabat tiga periode. Tetapi, Jokowi berulang kali menolak usulan tersebut.

Kalau Jokowi dan Prabowo berduet di Pilpres 2024 beralaskan kontingensi untuk menghilangkan polarisasi politik ekstrem (residu dari Pilpres 2014 dan Pilpres 2019), justru relasi kausalnya kurang tepat.

Polarisasi terjadi bukan karena siapa kontestan yang bertarung, tapi bagaimana cara kontestasi itu berlangsung dalam kerangka demokrasi berkeadaban. Kuncinya terletak pada aktor politik, koalisi parpol dan masyarakat umum agar mengisi ruang kampanye politik dengan kedalaman etik, keluasan nalar kognitif, dan keindahan ekspresif.

Aspirasi rakyat yang didominasi oleh penolakan terhadap wacana tiga periode hendaknya didengarkan oleh segenap pemangku kepentingan dan pengambil kebijakan. Bukankah inti demokrasi adalah mendengar suara rakyat?

Mawardin,
peneliti Charta Politika Indonesia
Sumber: https://bit.ly/3FTiI4d ~ Qureta (24 Januari 2022)
Sumber foto: CNN Indonesia